Kamis, 26 Juli 2012

AUDISI ANTOLOGI CERITA “ANDAI AKU JADI ... ”

  30 Cerita Menarik dan Inspiratif Tentang Para Pemuja Karkater Tayangan Di Layar Kaca (Film, Drama, Sinetron, Serial atau Telenovela)

Salam Para Penulis!

“Sumpah, aku tuh suka banget sama Spiderman. Super hero yang cakep dan suka nolongin orang. Andai aku jadi Spider Man, akan kutolong semua manusia yang lagi kesulitan.”

Rabu, 25 Juli 2012

Ingin Apa??


Pernah tidak kalian berpikir untuk terus berada pada masa-masa liburan atau malah ingin selalu berada pada saat-saat kalian disibukkan dengan aktivitas yang padat? Mungkin dari kalian ada yang menjawab salah satu diantaranya atau bahkan keduanya. Yach,, kita selalu ingin mendapatkan apa yang kita mau di saat yang tepat  bukan? Tak lain dan tak bukan kita meliki keinginan yang luar biasanya. Sampai terkadang kita salah menggunakan cara untuk mendapatkannya. Namun, bukan itu yang ingin aku bahas saat ini, tapi mengenai keinginan manusia yang terkadang membingungkan.

Selasa, 24 Juli 2012

Diskusi Langsung Bareng Pendeta


Banyak orang berpikir akan sulit untuk melakukan hal-hal yang baginya luar biasa. Menganggap bahwa kita tak mampu melakukannya. Kita selalu terkurung oleh sugesti yang membuat kita berhenti sebelum mencoba. Bagaimana kita bisa tahu sesuatu itu sulit untuk dilakukan atau tidak, jika kita belum mencoba?

Sabtu, 21 Juli 2012

Tukang Nyasar


Terlahir sebagai seorang anak yang memiliki pribadi pendiam ternyata tidak selamanya menyenangkan. Kalian tahu, dengan sifat tersebut membuat kita sulit beradaptasi dengan orang-orang baru dan cenderung lebih suka menyendiri dibandingkan harus berada di tengah keramaian. Lebih memilih diam daripada harus terus berceloteh gak karuan. Sangat tertutup dan cenderung lebih sensitif. Ntah ini sebuah kelainan atau memang hal biasa. Meski kita tahu bahwa dengan perbedaan dunia akan tampak lebih indah.

Minggu, 15 Juli 2012

Musuh VS Teman


“Ambil hal positif, sertai dengan pikiran positif dan lakukan dengan positif, tak lain akan menelurkan hal yang positif pula.”
Aku masih saja tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Begitu banyak kesalahan-kesalahan maupun keadaan yang menyimpang dari harapan. Pernahkah kalian berpikir mengapa dunia begitu kejam dengan keadaan. Menuai kisah tak terenggut oleh kedamaian. Bagaimana mungkin hidup bisa begitu kejam?

Selasa, 10 Juli 2012

Coretan Sepi


Sebenarnya gak tau sih mau ngomong apa di sini. Tapi kata kebanyakan orang, kalau lagi mandet nulis, ngerasa gak ada bahan buat ditulis dan lain sejenisnya, maka tuliskan saja apa yang lagi ada di benakmu saat ini. Meskipun itu berisi curhatanmu yang lagi badmood nulis. Haha, awalnya lucu juga denger nasihat ini, tapi setelah dipahami ada benernya juga loh. Saat kita lagi gak tau mau menuliskan apa, rasa bosan itu juga ternyata dapat dituliskan. Walhasil menjadi sebuah tulisan juga khan?

Rabu, 04 Juli 2012

Pemikiran Ekonomi Islam Abu A'la Al-Maududi

BAB I
PENDAHULUAN

Abul A'la Maududi, disamping sebagai tokoh pergerakan yang banyak berbicara tentang politik, ia juga banyak berbicara tentang ekonomi. Kepeduliannya terhadap problem umat dituangkan dalam butir-butir pemikirannya tentang prinsip-prinsip Ekonomi Islam yang tertuang dalam kumpulan risalahnya yang sudah dibukukan seperti Economic System of Islam, Economic Problem of Man and It’s Islamic Solution, Way of Life dan lain-lain.

Peranan Pers dalam Masyarakat Demokrasi

A. Pengertian pers

            Pers memiliki dua posisi penting, yaitu sebagai kegiatan media massa dan sebagai lembaga social. Sebagai lembaga social, pers menampung segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Ini berarti bahwa apa yang ingin disampaikan masyarakat dapat disalurkan melalui pers untuk disampaikan kepada public. Media masa merupakan bagian tak terpisahkan di masyarakat. Di Negara maju dan berkembang, kehadiran media masa merupakan bagian dari lembaga social yang ada. Lembaga social yang merupakan wahana komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik inilah kemudian dikenal sebagai pers.

Perawi

Pendahuluan
Pengumpulan dan periwayatan hadits tidak bersifat umum, tetapi dikumpul dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku seputar hadits.

Sumber dan Pengelolaan Data Informasi

BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam organisasi banyak kita lihat manfaat suatu sistem informasi bila digunakan sebaik mungkin. Peranan manajemenlah yang menuntut penyebaran dan penggunaan sumber-sumber yang efesien untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, akan membantu fungsi menajemen dengan diterimanya suatu informasi dengan cepat dan tepat. Maka diperlukan sistem informasi manajemen yang baik untuk mendukung tujuan organisasi.

Imam yang Dibenci Ma'mum

Bab I

Pendahuluan
Tujuan saya dalam makalah ini ialah menyajikan pembahasan mengenai imam yang dibenci oleh ma’mumnya. Dimana dalampenjabarannya, terlebih dahulu saya sajikan seputar masalah imam. Namun, makalah ini tetaplah memuat pembahasan sebatas imam yang dibenci ma’mumnya seperti yang telah saya sebutkan di awal.

Basis Data

BAB I
BASIS DATA
1.1 Defenisi
Data adalah sekumpulan baris fakta yang mewakili peristiwa yang terjadi pada organisasi atau pada lingkungan fisik sebelum diolah ke dalam format yang bisa dimengerti dan digunakan manusia. (Raymon McLeod, Jr ) Data diambil dari bahasa latin, yang artinya “memberi”. Data adalah fakta yang diberikan, darimana kenyataan tambahan dapat ditarik menjadi kesimpulan (C.J. Date). Sedangkan menurut Kenneth C. Laudon. Jane P. Louden ( 2010) Data yaitu kumpulan fakta-fakta kasar yang menunjukan kejadian yang terjadi dalam organisasi atau lingkungan  fisik sebelum fakta tersebut diolah dan ditata mejadi bentuk yang dapatdipahami.

Manajemen waktu

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI............................................................................................................ i

BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1  Latar Belakang penelitian................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3  Tujuan Penelitian............................................................................................... 2
1.4  Asumsi Dan Batasan Masalah.......................................................................... 3
1.5  Metode Pengamatan.......................................................................................... 3
1.6  Manfaat.............................................................................................................. 3

Islam di Indonesia

Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Ketika Malaka mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan yang baru, banyak pedagang dari Arab, India (Bengali), dan Persia yang meninggalkan Pasai. Mereka telah menjadi lapisan elit yang kaya berkat perdagangan yang mereka kuasai. Di samping itu, terdapat para ulama yang sebagian besar berkebangsaan Arab. Mereka inilah yang berperan mengajarkan agama Islam di lingkungan masyarakat di pusat perdagangan yang tersebar di Asia Tenggara. Hubungan antara Majapahit dan Kesultanan Malaka pada bagian kedua abad XV tidak hanya dalam pemerintahan, tetapi juga perdagangan. Majapahit memperoleh pasokan barang-barang mewah dari Kesultanan Malaka. Sebaliknya, Majapahit memberikan bahan-bahan makanan berupa beras serta hasil pertanian lainnya. Malaka berperan penting dalam mempercepat islamisasi di bandar-bandar sepanjang jalur perdagangan ke Majapahit. Ini merupakan awal pertumbuhan komunitas Islam yang akan menyebar sampai ke pedalaman Pulau Jawa.
Sejarawan telah memberikan beberapa pendapat mengenai waktu masuknya Islam ke Indonesia. Beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Agama Islam telah masuk ke wilayah Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad  ketujuh Masehi dan dibawa para saudagar Arab yang berdagang di Tiongkok. Dari tanah Arab, para saudagar itu menuju Tiongkok melalui jalur Arab-Malabar-Nicobar-Kamboja-Aceh.
  2. Agama Islam masuk ke Indonesia, tepatnya di daerah Aceh, pada pertengahan abad ke-7 Hijriah (ke-12 M). Hal ini dapat dibuktikan melalui kedatangan seorang mubaligh bernama Abdullah Arief pada tahun 1151 M ke wilayah Aceh. Pada tahun 1205 M tercatat sebuah nama penguasa muslim bernama Raj Johan Syah yang menguasai wilayah sampai ke Semenanjung Melayu.
  3. Berdasarkan hasil seminar nasional tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-1 H (abad ke-7 M) secara langsung dari tanah Arab. Daerah yang pertama kali menjadi tempat masuknya Islam adalah pesisir Sumatra. Agama Islam disebarkan oleh para saudagar muslim dengan cara damai.


Proses Penyebaran Islam di Indonesia
Berdasarkan sumber sejarah, baik tulisan maupun peninggalan fisik, proses penyebaran Islam di Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Para pedagang muslim mancanegara mendirikan permukiman semi permanen di sejumlah bandar penting Indonesia. Mereka mendirikan mesjid untuk keperluan kegiatan keagamaan. Saat berinteraksi dengan masyarakat pribumi, mereka mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.
  2. Pengenalan ajaran dan nilai-nilai Islam belum memperoleh tanggapan saat pengaruh kerajaan Hindu-Budha  masih kuat. Meskipun demikian, para pedagang Islam tetap aktif berdakwah, bahkan melibatkan para mubaligh dari negeri asal mereka. Upaya itu menunjukkan hasil ketika pengaruh kerajaan Hindu-Budha mulai surut. Sejumlah permukiman muslim yang permanen bermunculan di sejumlah bandar penting, seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
  3. Berkembangnya permukiman muslim di pusat perdagangan menjadikan masyarakat muslim sebagai kekuatan ekonomi. Para pedagang muslim pribumi terlibat aktif dalam kegiatan perdagangan mancanegara. Kekuatan ekonomi belum beralih menjadi kekuatan politik selama kerajaan Hindu-Budha masih berpengaruh.
  4. Kekuatan ekonomi itu beralih menjadi kekuatan politik saat penguasa pribumi di bandar dagang menjadi muslim. Kondisi itu dipercepat dengan mundurnya pengaruh kerajaan Hindu-Budha. Puncak kekuatan politik Islam adalah munculnya sejumlah kerajaan Islam di Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia terjadi melalui beberapa cara, yaitu :
  1. Melalui Perdagangan
  2. Melalui Perkawinan
  3. Melalui Tasawuf
  4. Melalui Pendidikan
  5. Melalui Kesenian
  6. Melalui Politik
Dalam menyebarkan agama Islam, ada golongan-golongan yang berperan di dalamnya. Agama Islam pada awalnya dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, India dan Mesir, kemudian disebarkan dan dikembangkan oleh para ulama dan mubaligh Indonesia, seperti :
  1. Dato’ri Bandang dan Dato Sulaeman yang menyebarkan agama Islam di Gowa dan Tallo, Sulawesi Selatan.
  2. Dato’ri Bandang bersama Tuan Tunggang’ri Parangan yang melanjutkan penyebaran agama Islam sampai ke Kutai, Kalimantan Timur.
  3. Para wali dengan sebutan wali songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Nama wali songo adalah nama suatu dewan mubaligh di Jawa. Apabila salah satu anggota dewan wafat, dia digantikan oleh wali yang lain berdasarkan musyawarah. Setiap wali mempunyai tugas melanjutkan penyiaran Islam di Pulau Jawa. Berikut ini adalah nama-nama wali songo.
a. Maulana Malik Ibrahim yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik (dikenal dengan sebuatan Sunan Gresik)..
b. Sunan Ampel yang semula bernama Raden Rakhmat berkedudukan di Ngampel (Ampel), dekat Surabaya.
c. Sunan Bonang yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rakhmat dan berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
d. Sunan Drajat yang semula bernama Syarifuddin juga putra Raden Rakhmat yang berkedudukan di Drajat dekat Sedayu (Surabaya).
e. Sunan Giri yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit Giri Gresik.
f. Sunan Muria yang semula bernama Raden Umar Said yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
g. Sunan Kudus yang semula bernama Jafar Sidiq yang berkedudukan di Kudus.
h. Sunan Kalijaga yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak.
i. Sunan Gunung Jati yang semula bernama Syarif Hidayatullah yang berasal dari Samudera Pasai. Ia dapat merebut Sunda Kelapa Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.
Selain para ulama, para pedagang dan para muslim Cina juga memegang peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam.
Pengaruh Islam terhadap Peradaban Bangsa Indonesia
Secara geografis, wilayah Indonesia termasuk dalam kawasan Asia Tenggara. Masyarakat di wilayah ini telah memiliki peradaban yang tinggi sebelum kedatangan Islam. Hal itu disebabkan karena wilayah Asia Tenggara merupakan negara-negara yang memiliki kesamaan budaya dan agama.negara-negara tersebut telah memiliki kontak dengan peradaban bangsa India. Kontak itu tidak hanya terjadi dalam aspek peradabannya saja, tetapi juga meliputi agama dan kepercayaan.
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah mengenal tulisan yang diajarkan para penyebar agama Hindu dan Budha. Pengaruh itu telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-7 M sampai abad ke-14 dan ke-15 M. Pengaruh. Hindhuisme dan Budhaisme membawa prubahan besar, terutama dalam sistem pemerintahan.
Pengaruh agama Hindhu dan Budha bagi masyarakat Indonesia dapat dilihat dari banyaknya bangunan-bangunan suci untuk peribadatan, seperti candi, ukiran, patung, dan relief. Ukiran dan relief yang terdapat di dalam menggambarkan kreativitas bangsa Indonesia. Dalam bidang sastra, lahir beberapa kitab semacam kitab suluk yang menceritakan perjalanan seorang sufi dalam mendapatkan ilmu sejati. Contohnya adalah Kitab Dewa Ruci.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa bangsa Indonesia sebelum menerima agama Islam telah mempunyai agama dan kepercayaan, yaitu agama Budha, Hindhu serta animisme dan dinamisme. Di samping itu, masyarakat Indonesia telah memiliki peradaban sebelum kedatangan agama Islam, seperti peradaban magalithicum  dan peradaban yang merupakan perpaduan antara peradaban lokal dan peradaban Hindhu-Budha. Pada abad ke-7, Islam belum menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama Budha masih memegang peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan sosial, politik, perekonomian dan kebudayaan. Pada awal abad ke-13 M, kerajaan ini memasuki masa kemunduran. Dalam kondisi seperti ini, pedagang-pedagang muslim memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Mereka tidak hanya membangun perkampungan yang ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintah yang dikehendaki. Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri adalah sebagai berikut :
  1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil proses islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang muslim sejak abad ke-7 M. Raja pertamanya adalah Malik as-Saleh.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan gelar Malik as-Slaeh sebelum menjadi raja adalam Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik as-Saleh. Adapun raja-raja yang menggantikan kedudukannya adalah sebagai berikut :
  1. Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326 M)
  2. Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345 M)
  3.  Mansur Malik az-Zahir (1345-1346 M)
  4. Ahmad Malik az-Zahir (1346-1383 M)
  5. Zainal Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M)
  6. Nahrasiyah
  7. Abu Zaid Malik az-Zahir
  8. Mahmud Malik az-Zahir (1455-1477 M)
  9. Zainal Abidin (1477-1500 M)
  10. Abdullah Malik az-Zahir (1500-1513 M)
  11. Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan Islam Samudra Pasai berlangsung sampai dengan tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M, kerajaan ini direbut oleh Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Raja Ali Mugayat Syah.

  1. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M. Pendirinya dalah Ali Mugayat Syah. Ia meluaskan wilayahnya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis yang kemudian menaklukkan Kerajaan Islam Samudra Pasai tahun 1524 M.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Untuk menghadapi tentara Portugis, ia bekerja sama dengan Kerajaan Turki Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia.
Puncak kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya, Kerajaan Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatra. Ia memerintahkan dengan keras dalam menentang penjajahan Portugis. Setelah itu, kedudukannya digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memerintah secara lebih liberal. Pada masanya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam mengalami masa keemasan. Akan tetapi, setelah kematiannya negara dipimpin oleh para penguasa perempuan (1641-1699 M). Akibatnya, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran. Akhirnya, pada abad ke-18 M, Kerajaan Aceh runtuh dan kebesarannya hanya tinggal kenangan.
  1. Kerajaan Demak
Kerajaan ini didirikan atas prakarsa para wali. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama Kerajaan Demak. Ia mendapat gelar Senopati Jimbul Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raden Patah dibantu oleh para wali, terutama dalam persoalan-persoalan agama. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah asal (kekuasaan) Majapahit yang diberikan raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini semakin lama berkembang menjadi daerah yang ramai dan pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan para wali.
Masa pemerintahan Raden Patah berlangsung sejak akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16 M. Raden Patah adalah anak raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor. Ketika menggantikan kedudukan ayahnya, Pati Unus baru berusia 17 tahun pada tahun 1507 M.
Setelah menduduki jabatan sebagai raja,ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malak ditaklukkan oleh Portugis tahun 1511 M. Serangan yang dilakukannya mengalami kegagalan. Karena kerasnya ombak dan kuatnya pasukan Portugis, ia kembali ke Demak tahun 1513 M.
Pati Unus digantikan oleh Sultan Trenggono, ia kembali dilantik Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546 M. Pada masanya, agama Islam berkembang sampai ke Kalimantan Selatan. Dalam penyerangan ke Blambangan, Sultan Trenggono meninggal (1546 M). Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Prawoto. Pada masanya terjadi kerusuhan sehingga ia terbunuh. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Joko Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang. Pada masa ini, Kerajaan Islam Demak pindah ke Pajang.
  1. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Demak. Raja pertamanya adalah Joko Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di Pajang. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari tangan Aria Penangsang pada tahun 1546 M, seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajang. Ia mendapat gelar Sultan Adiwijaya.
Pada masa pemerintahannya, ia berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke pedalaman di arah timur hingga Madiun. Setelah itu, ia menaklukkan Blora pada tahun 1554 M dan Kediri tahun 1577 M. Pada tahun 1581 M, ia mendapat pengakuan dari para raja di Jawa sebagai raja Islam. Di masa pemerintahannya, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara mulai dikenal di pedalaman Jawa. Hal itu menyebabkan pengaruh islam makin kuat di pedalaman Jawa.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya tahun 1587 M, kedudukannya digantikan oleh Aria Panggiri, anak Sunan Prawoto. Sementara itu, anak Sultan Adiwijaya, yaitu Pangeran Benawa diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri dengan mendapat bantuan dari Senopati Mataram. Usahanya itu berhasil dan ia memberikan tanda terima kasih kepada Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, ia menolak tawaran itu. Ia hanya meminta pusaka Kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang berada di bawah perlindungan Mataram dan kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.
  1. Kerajaan Mataram
Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh puteranya bernama Seda Ing Krapyak yang memerinyah sampai tahun 1613 M. Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613-1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak-kontak bersenjata antara Kerajaan Mataram dan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M, ia digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran tahun 1677-1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Mataram.
  1. Kerajaan Mataram
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat tahun 1568 M dalam usia 129 tahun. Kedudukannya sebagai Wali Songo membuat ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Kerajaan Pajajaran yang belum menganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang meruntuhkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Girilaya. Sepeninggalnya, Kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Penembahan Sepuh memimpin Kesultanan Kasepuhan yang bergelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar Badruddin.
  1. Kerajaan Banten
Setelah Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon. Kekuasaan diserahkan kepada putranya, yaitu Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin kemudian menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552 M. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung dan Sumatra Selatan. Pada tahun 1527 M, ia berhasil menaklukkan Sunda Kelapa.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai raja Islam pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Yusuf. Ia menaklukkan Pakuan pada tahun 1579 M sehingga banyak bangsawan Sunda yang masuk Islam.
Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Muhammad yang masih muda belia. Selama itu, kekuasaan dipegang oleh Qadi bersama empat pembesar istana lainnya. Muhammad meninggal tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu, kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M dan mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Pada masa Sultan Abdul Fatah (1651-1659 M) terjadi beberapa kali peperangan dengan VOC yang berakhir dengan perdamaian tahun 1659 M.
  1. Kerajaan Islam di Kalimantan
Penyebaran Islam di Kalimantan banyak dilakukan oleh para mubaligh dari Jawa. Hal itu terjadi karena hubungan masyarakat antara dua kepulauan itu sudah terjalin sejak masa pemerintahan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kutai. Oleh karena itu, para mubaligh pada masa berikutnya hanya melanjutkan hubungan yang telah terjalin cukup lama itu. Di antara mubaligh yang datang ke Kalimantan adalah Khatib Dayyan serta mubaligh dari Banjar, yaitu Muhammad Arsyad al-Banjari yang menegakkan ajaran Islam di Kalimantan pada abad ke-18 M.
Ketika Demak berkuasa, terutama pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M), terjadi konflik di Kerajaan Daha, yaitu Pangeran Samudera dan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Demak. Permohonan itu diterima dengan syarat, jika ia memenangkan peperangan, ia harus masuk Islam. Ternyata, peperangan itu dimenangkan oleh Pangeran Samudera. Ia pun masuk Islam.
Di Kalimantan Barat, yaitu di daerah Sukadana, sejak tahun 1550 M telah berdiri kerajaan Islam. Sultan yang perama adalah Penembahan Girikusuma (1591 M) dan yang kedua adalah Sultan Muhammad Safiuddin (1677 M).
  1. Kerajaan Islam di Sulawesi
Di sulawesi terdapat beberapa kerajaan, di antaranya adalah Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan. Kerajaan ini terletak di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi yang merupakan daerah strategis.
Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Kerajaan Ternate mengadakan persahabatan dengan Kerajaan  Gowa-Tallo. Babullah mengajak raja kerajaan tersebut untuk menerima agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Dato’ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Sultan Alauddin adalah raja pertama yang memeluk Islam pada tahun 1605 M. Setahun kemudian, hampir seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam di daerah itu adalah abdul Qadir Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau. Raja Gowa-Tallo sangat besar perannya dalam penyebaran Islam. Bukan hanya rakyatnya yang menerima Islam, tetapi juga kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Wajo menerima Islam tahun 1610 M. Bone menerima Islam tahun 1611 M. Raja Bone pertama yang menerima Islam bergelar Sultan Adam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masuknya Islam ke wilayah Sulawesi menjadi sebab utama bersatunya kerajaan-kerajaan yang ada di sana. Meskipun sudah masuk Islam, pertempuran antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam yang lain masih terjadi. Meskipun demikian, Islam tetap memberi arti penting bagi kemajuan peradaban masyarakat di Sulawesi.

Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Peranan itu dapat dilihat dari pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia yang sangat luas. Hal itu menimbulkan kesulitan untuk memisahkan antara kebudayaan lokal dan kebudayaan Islam.
Secara sosiokultural, pengaruh Islam terhadap peradaban bangsa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa hal berikut :
  1. Pengaruh Adat Istiadat
Pengaruh peradaban Islam dalam adat istiadat di Indonesia sering kita jumpai, seperti ucapan salam berupa kalimat ’alikum wa rahmatullah wa barakatuh yang digunakan dalam berbagai forum resmi. Di samping itu, juga terdapat ucapan kalimat-kalimat doa yang digunakan dalam rapat akbar, seperti istigasah, kubra, tahlilan dan ucapan basmalah ketika akan memulai suatu pekerjaan atau acara.
  1. Pengaruh Kesenian
Pengaruh kesenian yang cukup menonjol, antara lain irama kasidah, nasid, tilawatil qur’an dan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Syair pujian yang mengagungkan nama-nama Allah juga sering didengungkan oleh umat Silam di mesjid dan musala. Hal itu merupakan bukti adanya pengaruh ajaran Islam terhadap kehidupan masyarakat Insonesia.
  1. Pengaruh Bangsa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga tidak terlepas dari pengaruh bahasa Islam, yaitu bahasa Arab. Misalnya kata wajib berasal dari bahasa arab yaitu fardu, kata lahir berasal dari bahasa Arab zahir, sedangkan akhir kata berasal dari bahasa Arab akhirul kalam. Begitu juga dengan nama. Masyarakat Indonesia memberi nama anak mereka dengan nama  Arab, seperti abdullah, Muhammad, Ahmad, Abdul Aziz, Abdul Razak, Aminah, Khadijah dan Aisyah.
  1. Pengaruh Politik
Setelah tersosialisasinya agama Islam, maka kepentingan politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti pula dengan penyebaran agama Islam. Pengaruh ini juga dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak, Banten dan Tidore.
Perkembangan Islam di Indonesia
Pada abad ke-17 M, tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para Ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mereka mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.
Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
  • Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
  • Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Awal abad ke-20 M, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al-Qur’an dan hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan pun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin pergerakan berasal dari golongan bangsawan.
Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.
Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia. Serikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan Belanda. Tokoh-tokoh Serikat Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Di masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.
Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang kontroversi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.
Menjelang abad ke-21 M, proses dakwah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awalnya masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk muslim terbesar di dunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.



Referensi
Wahid, N. Abbas,  Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Matroji, Sejarah, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008.
Surpriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Hamka, Prof.DR, Sejarah Umat Islam, Jakarta:Penerbit Bulan Bintang, 1976.
Hasymy, Prof. A, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Aceh : PT. Alma’arif, 1993.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Mansur, Ahmad,  Menemukan Sejarah,  Bandung:Penerbit Mizan, 1996.

Ijtihad

A.   Pengertian Ijtihad
Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
ﺑﺬل وﺳﻌﻪ وﻃﺎﻗﺘﻪ ﻃﻠﺒﻪ ﻟﻴﺒﻠﻎ ﻣﺠﻬﻮدﻩ وﻳﺼﻞ إ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ
“Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.”[1]
Menurut al-Syaukani, arti etimologi ijtihad adalah:
ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ اﺳﺘﻔﺮاغ اﻟﻮﺳﻊ اي ﻓﻌﻞ
“Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.”[2]
Menurut Abu Zahrah, secara istilah, arti ijtihad ialah:
ﺑﺪل اﻟﻔﻘﻴﻪ وﺳﻌﻪ اﺳﺘﻨﺒﺎط اﻻﺣﻜﺎم اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ
“Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.”[3]
Menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, ijtihad ialah:
اﺳﺘﻔﺮغ اﻟﻮﺳﻊ ﻃﻠﺐ اﻟﻈﻦ ﺑﺸﻰءﻣﻦ اﻻﺣﻜﺎم  اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara’.”[4]
Secara etimologis kata ijtihad diambil dari kata dasar(mujarrad)nya al-jahd atau al-juhd yang berarti al-masyaqqah yaitu kepayahan, kesulitan atau kesungguhan.[5] Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan al-ifti‘al dari kata dasarnya al-juhd, yaitu kemampuan.[6] Menurut as-Sa‘d at-Taftazani, sebagaimana dikutip Nadiyah Syarif al-‘Umari, bahwa secara etimologis kata ijtihad digunakan untuk menyebut pekerjaan yang berat dan sulit, bukan untuk pekerjaan yang ringan dan mudah.[7] Sehingga istilah ini dipakai untuk sebutan aktifitas penggalian hukum Islam dari sumber-sumber aslinya, karena aktifitas ini memang menuntut suatu kesungguhan, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan secara terminologis, ijitihad adalah pengerahan potensi oleh seorang ahli fiqh dalam rangka memperoleh hukum Syar‘i baik yang berupa hukum aqli maupun naqli, atau qat‘i maupun zanni.[8] Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[9] Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”[10] Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mengatakan ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Ia mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i.[11]
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
B.   Dasar Ijtihad
Dasar hukum ijtihad  dapat berasal dari al-Qur’an maupun hadits, diantaranya yaitu:
Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada allah (al-Qur'an dan sunnah nabi).
Firman Allah dalam Surat an-Nisa:83
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[12] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[13]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Firman Allah Surat al-Anfal:41
Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampaan perang maka sesungguhnya setengah untuk Allah, Rosul, Kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskan dan ibnu sabil. Jika kamu beriamn kepada Allah dan kepada apa yang kami terunkan kepada hamba kami muhammad dari hari furqon yaitu bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa ata segala sesuatu.
Firman Allah Surat ar-Rum:21
Artinya : ... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Sabda Rasullullah Saw:
Artinya dari Mu'adz bin Jabal ketika nabi Muhammad SAW mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu'adz, “Apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus di putuskan?” Mua'dz menjawab, "Aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam Kitabullah". Nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?" Mu'adz menjawab, "Dengan berdasarkan sunnah Rasulullah". Nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula dalam sunnah Rasullullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan menjawab dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan", lalu Mu'adz mengatakan," Rasullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan".[14]
Hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﻓﺎﺻﺎب ﻓﻠﻪ اﺟﺮان واذا ﺣﻜﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﺛﻢ اﺧﻂﺄ ﻓﻠﻪ اﺟﺮ واﺣ
"Bila seorang hakim akan memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala melakukan ijtihad).”[15]
C.   Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun, jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
D.   Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
E.   Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahi yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’.[16]
F.    Jenis-jenis ijtihad

a.      Ijma'

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

b.      Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi) :
1.      Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.      Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.      Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

c.       Istihsân

Beberapa definisi Istihsân
1.      Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.      Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.      Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.      Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.      Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.

d.      Mashlahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

e.       Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

f.       Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

g.      Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
G.  Ijtihad : Sumber Dinamika
Dalam buku Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri merupakan mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar maka akan turun wahyu membenarkannya. Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk meluruskan kesalahan tersebut. Secara umum, di kalangan para ulama menyepakati ijtihad Rasulullah SAW dalam urusan-urusan kemashlahatan yang bersifat keduniawian, pengaturan taktik dan strategi peperangan, dan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan persengketaan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai ijtihad Rasulullah SAW dalam utusan hukum-hukum agama.[17]
Suatu hari, salah seorang sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan shalat tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan junub.  Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat. Untuk menengahi persoalan itu, Rasulullah SAW lantas bersabda dalam rangka membenarkan perbuatan Amr, "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala." (HR Bukhari dan Muslim).
Ijtihad banyak digunakan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya Rasul, tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian pula hadits pun tidak bertambah. Sementara di sisi lain, problema yang timbul di tengah umat makin bertambah, baik ragam maupun jumlah. Salah satu mekanisme ijtihad yang dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat guna bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap permasalahan tertentu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak ditemukan nash-nya dalam Alquran.
Ijtihad ini kian mengalami perkembangan setelah masa sahabat. Kemunculan sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibn Shihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai hal tersebut. Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai masa perkembangan paling pesat. Masa ini pula kemudian dikenal dengan periode pembukuan sunah dan fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka yang merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii serta Imam Hanbali.
Akan tetapi, ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah abad keempat Hijriyah. Muncul pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran umat Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Selain itu, tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal yang memiliki kemampuan seperti para mujtahid sebelumnya. Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajara Islam, mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
H.  Syarat Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Para ulama membuat norma-norma dan persyaratan seseorang yang dapat melakukan ijtihad yang secara umum sulit dipenuhi, sehingga ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang berpendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup karena sudah tidak mungkin lagi menemukan orang yang dapat memenuhi persyaratan sebagai mujtahid sepeninggal para ulama mujtahid abad III H. Kalau dilacak sejarahnya, ternyata fatwa pintu ijtihad sudah tertutup (insidad bab al-ijtihad) itu hanya dilontarkan perorangan saja, bukan merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana klaim Imam ar-Rafi‘i (w. 623 H). Ia berpendapat “bahwa semua orang sepertinya sudah sepakat bahwa sekarang ini tidak ada lagi mujtahid”.[18] Pendapat itu disangkal oleh az-Zarkasyi (745-794 H) dan mayoritas ulama Hanabilah.[19]
Menurut hemat penulis, bahwa persyaratan ijtihad itu bukanlah doktrin yang harus terpenuhi secara sempurna, artinya perlu modifikasi kembali, karena jika demikian justru akan membuat hukum Islam itu tidak berkembang, sementara persoalan hukum akan terus bermunculan mengiringi dinamika sosial masyarakat. Artinya, perlu reformulasi fiqh ijtihad yang lebih memberikan peluang bagi dinamika hukum Islam, terutama dalam merespon hukum-hukum muamalat yang sangat dinamis perkembangannya, meskipun tidak keluar jauh dari koridor umum hukum Islam.
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
1.      Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
a.       Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
b.      Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
c.       Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya.
d.      Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
2.      Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits
3.      Mengetahui bahasa arab
4.      Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
5.      Mengetahui usul fiqih
6.      Mengetahui maksud-maksud sejarah
7.      Mengenal manusia dan alam sekitarnya
8.      Mempunyai sifat adil dan taqwa
Syarat tambahan :
1.      Mengetahui ilmu ushuluddin
2.      Mengetahui ilmu mantiq
3.      Mengetahui cabang-cabang fiqih
I.      Tingkatan-Tingkatan Para Mujtahid
Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan:
1.      Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk ber-isbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam madzhab yang empat.
2.      Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah
3.      Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i
4.      Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali.














J.     Kesimpulan
Dari beberapa defenisi di atas mengenai ijtihad, maka dapat disimpulkan bahwa ijtihad (bahasa Arab : اجتهاد) dari kata al-jahd atau al-juhd yang berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Dasar dilakukannya sebuah ijtihad adalahdari al-Qur’an dan hadits. Ijtihad dilakukan untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Jika muncul persoalan yang merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Adapun hukum berijtihad bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut. Ijtihad memiliki beberapa jenis, diantaranya ialah ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah murshalah, Sududz Dzariah, istishab, dan ‘urf. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Dimana untuk menjadi mujtahid harus memenuhi banyak persyaratan yang dapat dibilang sulit. Dan mujtahid juga memiliki beberapa tingkatan.








Daftar Pustaka
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Terj. Anas Mahyuddin, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1995.
Hanafie, MA.,Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII.
Drs. Atang Abd. Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.
Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA.,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad asy-Syaukani, Relevansinya bagi Perubahan Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Umari, Nadiyyah Syarif al-. al-Ijtihad fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1986.
http://mmishbah.blogspot.com/2008/02/tentang-ijtihad.html
http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/kedudukani_ijtihad.htm
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/New/Nash%20dan%20Ijtihad.htm



[1] Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi (t.th:112)
[2] Al-Syaukani (t.th:250)
[3] Abu Zahrah (t.th:379)
[4] al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978:480)
[5] A.W. Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif. hlm. 217 dan 733. Dalam al-Qur’an al-juhd disebutkan dalam tiga tempat, yaitu dalam surat an-Nahl: 38; an-Nur:53 dan; Fatir: 42, yang semuanya menunjukkan arti ijtihad, yaitu mencurahkan segala kesungguhan, kemampuan dalam bersumpah. Lihat Nadiyyah Syarif al-‘Umari.1406/1986. al-Ijtihad fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah ar-Risalah. hlm. 18.
[6] Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab al-Muhit. I: 521.
[7] Al-‘Umari. al-Ijtihad .... hlm. 18-19.
[8] Ibid. hlm. 27.
[10] Abdul Hamid Hakim. Mabadii Awwaliyyah. (Jakarta, Maktabah As-Sa’adiyyah Putra, tt), hlm. 19
[11] al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9
[12] Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[13] Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[14] Ali Hasab Allah, 1971:82
[15] Muslim,II,t.th:62
[16] Wahbah al-Zuhaili, 1978:498-9 dan Muhaimin,dkk, 1994:189
[17] Wahbah al-Zuhaili, 1978:499; al-Syaukani, t.th: 234
[18] Ibid. hlm. 225.
[19] Asy-Syaukani. Irsyad al-Fukhul. hlm. 253.