Menatap langit senja telah menjadi kebiasaan Yuki, wanita manis bertubuh mungil dengan lesung pipi sebelah kiri. Yuki mulai menyukai senja saat masih berumur sembilan tahun. Masih teringat jelas olehnya sosok ayah yang sangat ia kagumi yang memboncengnya dengan sepeda ontel. Membawanya ke atas salah satu bukit di desa kelahiran Yuki untuk menikmati indahnya senja. Ayah Yuki sosok pendiam dan penyayang juga giat bekerja. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah petuah, sayang untuk dilewatkan. Begitulah anggapan Yuki saking jarang ayahnya untuk berbicara.
Hari ini
berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sebab kali ini Yuki menatap senja dengan
ditemani linangan air mata. Ia merindukan ayahnya. Bagi Yuki, melihat senja
bagai melihat sosok ayahnya. Kenangan bersama ayahnya berkelebat dalam pikirinnya
hingga membuncahkan kesedihan juga kebanggaannya memiliki ayah yang luar biasa.
***
“Ayah,
kapan kita pergi jalan-jalan ke pekan? Kemarin ayah sudah janji sama Yuki. Ayo
kita jalan-jalan,” rengek Yuki sambil menarik tangan ayahnya. “Iya sayang,
besok kita pergi,” jawab ayahnya lembut sambil mengusap kepala Yuki yang saat
itu masih kanak-kanak. Tepat seperti yang telah dijanjikan, hari itu ayah Yuki
pulang lebih awal. Jadilah mereka pergi ke pekan dengan sepeda ontel yang biasa
digunakan ayahnya untuk pergi bekerja ke pertambangan. Ya, ayah Yuki hanyalah
seorang penambang timah.
Sepeda
terus dikayuh meninggalkan kampung halaman menuju kampung sebelah. Ya, pekan
itu hanya ada di kampung sebelah. Di boncengan, Yuki terus melempar senyum
seakan ingin mengabarkan pada semua orang bahwa ia akan pergi ke pekan. Bagi
orang desa seperti Yuki, bisa pergi ke pekan merupakan hal yang luar biasa.
Sebab pekan jarang diadakan, sekalipun ada untuk biaya masuk bagi keluarga Yuki
bisa dianggap mahal.
Sebenarnya
pekan ini baru digelar pada malam hari. Bisa dibilang, pekan itu menyerupai
pasar malam. Sebelum ke pekan, ayah Yuki membawanya ke sebuah bukit. Awalnya Yuki
berontak, namun setelah melihat keindahan dari atas bukit, ia terbawa
kenikmatannya hingga lupa akan tujuan awal. Tepat di pinggir bukit, di bawah sebuah
pohon rindang, Yuki bersama ayahnya melihat betapa kuasanya kekuasaan Sang
Pencipta. Dari atas bukit tersebut, perkampungan Yuki tampak sangat kecil,
tersusun begitu rapi. Baru kali ini Yuki melihat kampungnya dari atas. Bukan
itu saja, perkampungan yang lain serta hijaunya pepohonan yang terhampar, juga tampak
dari sana. Semuanya tampak dipayungi oleh awan-awan besar. Indah sekali.
“Lihat Yuki,
di sana pekannya,” ucap ayah Yuki sambil menunjuk ke satu arah perkampungan. Mata
Yuki beralih ke arah yang ditunjuk ayahnya, kemudian mengembangkan senyum
memamerkan senyum pipinya. “Ayah suka ke sini?” tanya Yuki ingin tahu. “Ya
sayang, ayah suka melihat senja dari sini. Ayah juga sering membawa almarhumah
ibu kemari,” jawab ayah Yuki dengan tatapan terus ke depan. Ibu Yuki telah meninggal
dunia saat melahirkan Yuki. Sejak kecil Yuki diasuh oleh ayahnya seorang diri.
Karena ayah dan ibu Yuki adalah pendatang, jadi di sini Yuki tak memiliki
saudara. Yuki hanya hidup berdua dengan ayahnya di sebuah rumah yang sederhana
juga dengan cara yang sederhana. Baginya, ayah adalah segalanya dan ia hidup
hanya untuk ayahnya.
“Jika
besar nanti, Yuki mau jadi apa? Tanya ayah yang kali ini menolehkan wajah
sendunya pada Yuki. “Yuki mau jadi penulis terkenal.” Jawab Yuki dengan
antusias. Ayahnya tersenyum sambil mengangguk, Yuki ikut tersenyum. Sesaat
keheningan menyelimuti mereka. Masing-masing saling menikmati panorama alam
yang terhampar di depan mata. Sesekali Yuki memandang wajah ayahnya, tampak
senyum indah mengembang dari bibir ayahnya. Senyum itu, mimik wajah bahagia itu
dan eratnya genggaman ayah saat itu tak pernah ia lupakan.
***
Sehabis
melihat senja, ayah membawa Yuki ke sebuah surau di perkampungan sebelah untuk terlebih
dulu melaksanakan shalat magrib. Ya, saat itu gelap berhasil menelan senja. Setelah
itu, barulah sepeda dikayuh menuju pekan yang berjarak sekitar empat kilo dari
surau. Sesampainya di sana keramaian telah menghadang. Kelap kelip lampu
berwarna-warni tampak di mana-mana. Saking tak sabarnya untuk masuk, Yuki
menarik tangan ayahnya membelah keramaian.
Kesana-kemari
mata Yuki menjelahi sudut-sudut pekan. Tak satupun yang ingin dilewatkan. Ayah
Yuki sangat bahagia melihat anak yang sangat disayangi bersorak-sorak gembira. Saat
itu, ayah Yuki membelikan Yuki sebuah kalung yang sampai saat ini masih Yuki
pakai. Sebuah kalung dengan liontin kaca berbentuk limas, di dalamnya bernuansa
laut dan terdapat sepasang lumba-lumba di tengahnya. Ayahnya memasangkan kalung
itu ke leher Yuki. Indah sekali. Yuki melompat-lompat kegirangan kemudian memeluk
ayahnya. Pelukan yang penuh dengan kedamaian, nyaman sekali.
***
Waktu
bertengger di angka 10 malam. Langit tampak lebih gelap pertanda akan turun
hujan. Menyadari itu, ayah mengajak Yuki yang masih asyik bermain untuk pulang.
Meski urung, namun Yuki matut saja. Karena kelelahan, di perjalanan Yuki
tertidur dengan bersender di badan ayahnya. Terseok-seok pedal sepeda dikayuh,
semakin lama semakin kencang takut hujan keburu turun. Sesekali ayah
membetulkan letak tubuh Yuki yang miring karena tertidur agar tak terjatuh dari
sepeda.
Dingin
semakin menyusup ke pori-pori, namun keringat ayah mengucur deras. Sepanjang
jalan menuju pulang telah tampak sepi. Terlebih lagi saat melewati jalan yang
dihimpit oleh pepohonan. Sepertinya hujan benar-benar akan segera turun. Ayah
mengayuh sepeda semakin kencang. Hingga tepat di persimpangan jalan, sebuah
petir memekik di kaki langit. Seperti sedang terjadi pertempuran sengit antarbenda
langit. Ayah terkejut hingga tubuhnya bergetar, Yuki juga tak kalah terkejutnya
hingga ia terjaga meskipun masih setengah sadar. Di saat yang sama, sebuah
sepeda motor melaju dengan cepat muncul dari salah satu persimpangan yang lain dan
akhirnya brakkk,, tanpa sempat dihindari menabrak sepeda yang ayah dan Yuki
naiki.
Sepeda
terjatuh beberapa meter dari tempat tabrakan. Ayah terlempar hebat membentur
bebatuan jalan, begitu pula Yuki terlempar membentur salah satu pohon besar
yang kemudian tak sadarkan diri. Hujan seketika turun sangat derasnya. Cairan
merah kental mengalir bersama curahan hujan. Dan saat itu yang terdengar
hanyalah aungan hujan.
***
Sejak
saat itu, Yuki menjadi yatim piatu. Satu-satunya orang yang ia miliki juga ikut
meninggalkannya. Meninggalkannya di usia yang masih cukup muda untuk menghadapi
kerasnya kehidupan. Ia harus putus sekolah yang sama sekali belum pernah ia
tamatkan. Untuk mendapatkan sesuap nasi, ia harus bekerja serabutan,
mengerjakan apa saja yang bisa ia lakukan. Terkatung-katung
kesana-kemari, diusir saat mencari pekerjaan, kelaparan dan lain sejenisnya telah
menjadi makanan sehari-hari Yuki. Selain dari kerja serabutan, Yuki hidup dari
belas kasih tetangganya. Bukan hanya itu, akibat kecelakaan naas itu, kini Yuki
juga telah kehilangan kaki kanannya. Ia harus meminta bantuan tongkat untuk
menopang tubuhnya.
***
“Bunda...
Bunda...” dua anak lelaki hampir sebaya berlarian dan menjatuhkan tubuhnya
bersandar pada Yuki. “Ayah tangkap kalian,” ucap seorang lelaki berperawakan
datang menyusul kepada dua anak lelaki tersebut. Yuki tersenyum
kepada lelaki yang kini mendampinginya itu. Lelaki yang memberikannya senyuman
terindah dengan kesetiaan dan cintanya. Lelaki yang memberikan kebahagiaan
dengan kehadiran dua malaikat kecil. Lelaki itu memupuskan segala duka,
menggantikan sosok ayah yang meninggalkannya 17 tahun yang lalu.
“Ayah, lihatlah aku kini. Aku telah bahagia dengan suami
dan anak-anakku, cucumu. Aku juga telah mencapai mimpiku untuk menjadi seorang
penulis yang sesungguhnya. Ah, andaikata kebahagiaan ini ikut kau reguk
bersamaku!” setetes air mata membasahi pipi Yuki. Sosok ayahnya membayang dalam
ingatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar