Pendahuluan
Pengumpulan dan periwayatan hadits tidak bersifat umum,
tetapi dikumpul dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam
bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits
tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat
rumit yang telah ditetapkan oleh ulama dan yang mereka jelaskan secara lengkap
di dalam buku-buku seputar hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun
yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan.
Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah
matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah
memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki
pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan
terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya
sampai masing-masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh
dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh
ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil
dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan,
dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan
lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat
penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan,
pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa
‘ada’ul hadist yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang
krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap
keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist
harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup
dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam
makalah ini Insya Allah, penulis juga akan mengupas seputar periwayatan
suatu hadits.
Pembahasan
Pengertian Perawi
Perawi adalah diadopsi dari istilah aslinya yaitu
"Rawi". Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau
memberikan hadits (Naqil al-Hadits). Untuk membedakan antara rawi dan sanad
adalah dalam dua hal, yaitu : pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang
menerima hadits-hadits kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin disebut
dengan rawi. Dengan demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang
membukukan dan menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan
hanya menyampaikannya kepada orang lain tanpa membukukannya disebut sanad
hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi
pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab
ada rawi yang membukukan hadits. Kedua, dalam penyebutan silsilah hadits untuk
sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan
hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi
pertama adalah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah
antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama adalah
sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqoh-an
seorang perawi adalah
dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits
berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih
dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqoh. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhary al-Jufi atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari (194-256 H) dan Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury atau popular dengan sebutan Imam Muslim (204-261 H). Keduanya merupakan dua otoritas tertinggi dalam dunia periwayatan hadits sahih.
dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits
berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih
dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqoh. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhary al-Jufi atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari (194-256 H) dan Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury atau popular dengan sebutan Imam Muslim (204-261 H). Keduanya merupakan dua otoritas tertinggi dalam dunia periwayatan hadits sahih.
Hadits hadits yang diriwayatkan oleh keduanya
memberi syarat yang sangat ketat atas matan (isi) ataupun sanad (silsilah
periwayatan) hadits. Integritas orang-orang yang menwayatkan hadits (perawi
hadits) juga sangat diperhatikan, seperti tidak pernah sekalipun berdusta, kuat
ingatannya, pernah bertemu dengan perawi sebelumnya, dan lain-lain. Dalam salah
satu riwayat juga disebutkan bahwa Imam Bukhari pernah menolak integritas
seorang perawi hadits, hanya karena orang itu pernah berdusta kepada seekor
kuda. Ia memanggil kuda dengan berpura-pura memberi makan, padahal di genggaman
tangannya tidak ada makanan.
Demikian pula, Imam Muslim mempunyai otoritas yang
sangat tinggi dalam periwayatan hadits. Muslim bin Qasim al-Qurtuby, salah
satu dari teman dekat ad-Daruqutny, telah berkata di dalam kitab Tankh-nya saat
mengomentari Imam Muslim, “Tidak seorang pun menyusun kitab hadits yang
menyamainya. Ini mengacu pada bagusnya ia dalam hal penyusunannya,
pengaturannya, dan kemudahan untuk menemukan hadits yang dicari. Ia menjadikan
setiap hadits ada pada satu bab yang sesuai dengannya, menghimpun di dalamnya
cara-cara penyusunan yang diinginkan, di samping memilih di dalam penyebutannya
dan menyebutkan lafaz-lafaz yang berbeda-beda.” Dengan persyaratan yang
sangat ketat, terutama atas matan dan sanad, tak heran kalau hadits-hadits yang
disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (muttafaq alaihi) menempati
tingkatan teratas hadits sahih.
Syarat-Syarat Seorang Perawi
- Berakal
Menurut para ahli hadits, syarat berakal itu
identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi, agar dapat
menanggung dan menyampaikan suatu hadits, seseorang harus telah memasuki usia
akil baligh. Bisa jadi anak yang masih belum akil baligh mampu menanggung riwayat,
tetapi dia baru bisa menyampaikannya sesudah memasuki usia akil baligh.
Sahabat-sahabat yang paling banyak menerima
riwayat yang mereka dengar semasa kecilnya ialah Anas bin Malik, Abdullah bin
Abbas dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin Rabi’ masih ingat Rasulullah SAW
menghukumnya karena sesuatu kesalahan dan pada waktu Rasulullah SAW wafat,
Mahmud baru berusia lima tahun.
Para ahli hadits tidak bersepakat mengenai batas
usia yang pantas bagi seseorang untuk menceritakan hadits. Sebagian orang mengatakan
lima belas tahun. Yang lain menganggap tiga belas tahun. Menurut jumhur
(mayoritas) ulama, di bawah usia tersebut pun seseorang boleh mendengarkan dan
menceritakan hadits. Al-Khatib al-Baghdadi cenderung pada pendapat terakhir. Ia
berkata : ”Itulah yang benar menurutku.”
Namun, hal ini juga harus mengikuti kondisi dan
situasi negeri setempat. Jika penduduk Basrah dapat menulis dan mendengar
hadits pada usia rata-rata sepuluh tahun, tapi penduduk Kufah tidak boleh
menggampangkannya. Bagi mereka usia yang pantas untuk itu adalah dua puluh
tahun, karena sebelumnya mereka masih tersita waktunya untuk menghafal
al-Qur’an dan beribadah. Adapun penduduk negeri Syam menulis pada usia tiga
puluh tahun.
- Cermat
Yang dimaksudkan dengan perawi yang cermat adalah
dia mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, mampu memahami dengan cermat dan
seksama, menghafalnya dengan sempurna hingga tidak menimbulkan keraguan,
mempertahankan semuanya secara utuh mulai saat mendengar sampai saat
menyampaikannya. Jadi, untuk syarat kecermatan ini diperlukan ingatan yang kuat
dan pengetahuan yang jernih.
Kecermatan seorang perawi bisa dikenali jika
hadits yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang dikenali terpercaya, cermat dan teliti. Tetapi, itu tidak
harus mengena secara keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadits
yang mereka riwayatkan masih dapat diandalkan. Tetapi, kalau perbedaan
terlampau besar dan sering tidak ssuai dengan hadits yang mereka riwayatkan,
maka kecermatannya masih meragukan. Walaupun suatu riwayat berasal dari
orang-orang yang dikenal terpercaya, cermat dan teliti, riwayat tersebut tetap
suatu penyimpangan. Orang yang membawa riwayat hadits yang aneh-aneh itu
menanggung dosa besar dan kejahatan yang banyak.
- Adil
Perawi yang adil adalah yang bersikap konsisten
dan berkomitmen tinggi terhadap urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan
dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian. Al-Khatib al-baghadadi
memberikan defenisi tentang adil sebagai berikut: ” Yang tahu melaksanakan
kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari
larangan-larangan, menjauhi kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban
dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa
merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat mempertahankan
sifat-sifat tersebut, ia bisa disebut bersikap adil terhadap agamanya dan
hadits-haditsnya diakui kejujurannya.”
- Islam
Mengenai syarat keislaman, itu sudah jelas.
Seorang rawi harus meyakini akidah Islam, karena ia meriwayatkan hadits-hadits
atau khabar-khabar yang berkaitan dengan masalah hukum, urusan tasyri’-tasyri’
agama tersebut. Jadi, ia mengemban tanggung jawab untuk memberi pemahaman
tentang semuanya kepada manusia. Namun, syarat Islam itu sendiri hanya berlaku
ketika seseorang menyampaikan hadits, bukan ketika membawa atau menanggungnya.
Terbukti dari riwayat Jubair bin Math’am yang mengatakan bahwa dia pernah
mendengar Nabi SAW membaca surah ath-Thur pada sembahyang maghrib, yang bisa
diterima. Padahal waktu ituJubair bin Math’am masih berstatus tawanan Perang
Badar dan belum masuk Islam. Namun, justru peristiwa itulah yang membuatnya
beriman. Jubair mengaku-seperti yang disebutkan dalam Shakih al-Bukhari-
”Itulah yang pertama kali menanamkan keimanan ke dalam hatiku.”
- Sanadnya harus muttasil (bersambung).
Artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar
dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar
mendengar dari Rasulullah SAW.
- Kuat ingatan/kokoh ingatannya.
Kekokohan ingatan perawi itu dibagi dua, yaitu :
a. Kuat ingatannya
karena kitabnya terpelihara. Ini disebut Dlabithul Kitab.
b. Kuat hafalan dan
pemahamannya. Ini disebut Dlabithus Shadri.
- Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
- Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
- Rawi mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan pendapat.
- Rawi mengetahui secara pasti apa yang diberitakannya.
- Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan kepada pengamatan sendiri, bukan atas dasar perasaan atau pemikirannya.
Pengertian At-Tahammul wa Al-'Ada
(Transformasi Hadis)
Tahammul adalah menerima dan mendengar
suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode
penerimaan hadits. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan
menerima dan mendengar hadits. Jadi, tahammul adalah proses menerima
periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan
dan menyampaikan hadits. Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau
meriwayatkan hadits kepada orang lain. Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan
dan meriwayatkan hadits.
Syarat Penerima Hadits dan
Penyampaiannya
- Kelayakan Tahammul
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar
yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang
sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah
mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan,
Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu
Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara
riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.
Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin
‘Itr menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut
jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat
memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan
mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas
usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil
itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun
demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak
di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa
meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah
lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari
dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih
ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima
tahun.”
Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun
al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil
dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar.
Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau
menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak
kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah
memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan
absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia
tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya
mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
Mengenai penerimaan hadits bagi orang
kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap sah, asalkan hadits tersebut
diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat.
Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan
banyaknya sahabat yang mendengar sabda Rasulullah sebelum mereka masuk Islam.
Salah satu sahabat yang mendengar sabda Rasululllah sebelum masuk Islam adalah
Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat
maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badr. Pada
saat itu, dia dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia massuk Islam, bila
penerimaan hadist oleh orang kafir yang disampaikannya setelah memeluk Islam
dapat diterima, maka sudah tentu penerimaan hadits oleh orang fasik yang
diriwayatkannya setelah dia bertobat dianggap sah.[8]
2. Kelayakan Ada’
Mayoritas ulama
hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa
dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Islam
Sehingga tidaklah diterima
riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui
agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila
riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya
atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di
samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang
dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6)
Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang
fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita
harus menolaknya.
b. Baligh
Ini merupakan pusat taklif, karena itu
riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai
penerapan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
رفع القلم عن ثلاث عن
المجنون حتى يفيق ,وعن النائم حتى يستيقظ ,وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
Terangkat pena dari tiga
orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun
dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan penerimaan riwayat
dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena
kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan
perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk
melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal
dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan
menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan
kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah
agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan
kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
c. Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap
dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara
harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa
besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi
timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkaraperkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di
jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam
berkelakar.
d. Dhabt
Dhabtu adalah:
تيقظ الراوي حين تحمله
وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الي وقت اداء
“Teringat kembali perawi saat
penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu
menerima hingga menyampaikan”
Yaitu keterjagaan seorang perawi
ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya
sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup
hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia
meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan,
penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
Cara mengetahui kedhabitan seorang
perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain
yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal
riwavat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak
masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit
kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai
hujjah.
Metode Penerimaan Hadits dan
Penyampaiannya
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga
penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a. As-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak
mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat
riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang
didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat
berikut :
سمعت ، سمعنا ،
حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني
قال لى فلان, jika pada saat mendengar dia
tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih
akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut
tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama
digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang
diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. al
Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al
Ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits
pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab
yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits,
sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa
kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya,
atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang
kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits
yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini
menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits
melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya
sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya
dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas
ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang
muttasil.
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan
mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang
lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab),
sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru.
Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras
dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari
kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk
mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada
argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang
membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun
pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang
benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits
nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan
tadlis tidak dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau
hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut
Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah
terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan
riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
- Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
- Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
- Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah
(menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah
aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh
orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau
dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya
munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan
tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan
meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan
ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak
hadits diriwayatkan dengan lafat كتب
إلي فلان.
f. Al-I’lam
(memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang
memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat
darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk
menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada
gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya
menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih-
memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang
kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan
pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk
menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai
dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam
bukunya Al-Muqoddimah.
Al-Washiyah adalah penegasan syeikh ketika hendak
bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang
tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh
mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut
mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh
memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk
riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka
mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari
munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan
batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya
kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan
bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan
lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia
memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain
tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini
tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh
orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau
pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari
penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat
antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang
memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia
harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini
apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya
kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti
diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian
hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika
perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan
redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang
telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1) Jika
proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh
saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika
proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang
meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان
قرأة عليه
3) Ketika
proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika
prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى
فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika
proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي,
كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika
prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى
فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika
proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan
kata:
أوصى إلي
فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip
atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Lafal-lafal
Untuk Meriwayatkan Hadits
Lafal-lafal untuk menyampaikan hadits, dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Lafal para rawi yang mendengar langgung dari gurunya, seperti :
Saya telah mendengar ….سَمِعْتُ
Kami telah mendengar……سَمِعْنَا
Seseorang telah bercerita padaku …..حَدَّثَنِى
Seseorang telah bercerita kepada kami…..حَدَّثَنَا
Seseorang telah mengabarkan padaku/kepada kami …..اَخْبَرَنَا , اَخْبَرَنِى
2. Lafal para rawi yang mungkin mendengar/tidak mendengar sendiri, seperti :
Diriwayatkan oleh …..رُوِيَ
Dihikayatkan oleh ……..حُكِمَ
Dari …..عَنْ
Bahwasannya …. أَنَّ
Lafal-lafal untuk menyampaikan hadits, dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Lafal para rawi yang mendengar langgung dari gurunya, seperti :
Saya telah mendengar ….سَمِعْتُ
Kami telah mendengar……سَمِعْنَا
Seseorang telah bercerita padaku …..حَدَّثَنِى
Seseorang telah bercerita kepada kami…..حَدَّثَنَا
Seseorang telah mengabarkan padaku/kepada kami …..اَخْبَرَنَا , اَخْبَرَنِى
2. Lafal para rawi yang mungkin mendengar/tidak mendengar sendiri, seperti :
Diriwayatkan oleh …..رُوِيَ
Dihikayatkan oleh ……..حُكِمَ
Dari …..عَنْ
Bahwasannya …. أَنَّ
Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi
terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul
hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan
periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan
dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl
(pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang
diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadist,
menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah:
“Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu
kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang
telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan
hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan
hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist
itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga
tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik
beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1)
orang yang melakukan periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy
(periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan
rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah
sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan
dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al-
Hadist).
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan
untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari ulama
hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul
hadits sewaktu menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan
hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa penggantian dan perubahan
sedikit pun.
Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan
ahli ushul bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz,
dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama
cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan
makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala
seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami
kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia
diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat,
ia bisa menghindari perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandurg
didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang
bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan
makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya riwayat
dengan lafadz seperti yang didengarnya.
Seperti sudah disinggung dalam
pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga
menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga
berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah
periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan
Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan
ulama hadist.
1. Periwayatan Hadist dengan
Lafadz.
Periwayatan hadist dengan lafadz
dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana
Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun
walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang menekankan periwayatan hadist
dengan lafaz dan menolak periwayatan hadist dengan makna adalah Muhammad ibn
Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan
meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau
dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan
apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam
ejaannya. Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka
sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.
2. Periwayatan Hadist dengan Makna.
Sedangkan periwayatan dengan makna
yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai
dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi.
Dan periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah
hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat
dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi saw.
Adapaun yang membolehkan Periwayatan
Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu: Pertama, Para perawi
harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat
membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang diriwayatkan dan mana
yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh
yang hamir sama dalalahnya. Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat
maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh
hadist itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud
dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’
al-kalim) dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan
padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud
lafazh semula.
Disamping pendapat diatas ulama
Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj
al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah,
berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian
sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadist
dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi tak
sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.
Meskipun demikian, jumhur ulama
sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan nash-nya yang asli
seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak
bolehnya periwayatan hadist oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat
akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya,
dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari
lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan hadist dengan
lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan
persyaratan-persyaratan yang ketat.
Simpulan
Perawi adalah diadopsi dari istilah aslinya yaitu
"Rawi". Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau
memberikan hadits (Naqil al-Hadits). Adapun syarat-syarat perawi hadits, yaitu
:
a. Berakal
b. Cermat
c. Adil
d. Islam
e. Sanadnya harus
muttasil (bersambung).
f. Kuat ingatannya
g. Tidak bertentangan
dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
h. Tidak beillat
i.
Rawi mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak
mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan
pendapat.
j.
Perawi mengetahui secara pasti apa yang
diberitakannya
k. Pengetahuan mereka
tentang berita itu berdasarkan kepada pengamatan sendiri, bukan atas dasar
perasaan atau pemikirannya.
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai
oleh para ulama adalah:
1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
2. Al-Qira’ah, yaitu seorang murid membaca hadis
di depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca
oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana.
3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru
kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu
demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5. Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5. Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
6. Al-I’lam, yaitu pemberian informasi guru kepada
murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh
dari seseorang tanpa menyebut namanya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya.
Daftar Pustaka
As-Shalih, Subhi. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta
: Pustaka Firdaus. 1993, Hal. 114
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1998. Hal. 204
M. M. Azami. Memahami Ilmu Hadits. Jakarta
: Lentera, 2003. Hal. 102
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta
: Gaya Media Pratama, 1996. Hal. 104
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits.
Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001. Hal. 169
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta : Bulan Bintang, 1974. Cet. Keempat. Hal.
100 dan hal. 229
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006. Hal 195
’Ajaj, Muhammad al-Khatib. Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits.
Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001. Hal 200
Nuruddin. Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo. Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994. Hal. 194
Mudasir. Ilmu Hadist. Bandung: Pustaka Setia, 2005. Hal. 183
Soetari, Endang. Ilmu Hadist. Bandung : Amal Bakti Press, 1997. Hal. 186
Zainimal. Ulumul
Hadist. Padang
: The Minangkabau Foundation, 2005. Hal. 184
http://referensiagama.blogspot.com
http://tumpah.blogsome.com/2005/04/13/ringkasan-dasar-dasar-pengenalan-ilmu-hadits-bagian-1/
http://www.google.com
http://www.google.com
terimah kasi nuri barkat makalah kt yg aku copy shingga tugas ku selesai
BalasHapus