A.
Pengertian
Ijtihad
Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri
al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
ﺑﺬل وﺳﻌﻪ وﻃﺎﻗﺘﻪ ﰱ ﻃﻠﺒﻪ ﻟﻴﺒﻠﻎ ﻣﺠﻬﻮدﻩ وﻳﺼﻞ إﱃ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ
“Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan
pencarian suatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.”[1]
Menurut al-Syaukani, arti etimologi
ijtihad adalah:
ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ اﺳﺘﻔﺮاغ اﻟﻮﺳﻊ ﰱ اي ﻓﻌﻞ
“Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa
saja.”[2]
Menurut Abu Zahrah, secara istilah,
arti ijtihad ialah:
ﺑﺪل اﻟﻔﻘﻴﻪ وﺳﻌﻪ ﰱ اﺳﺘﻨﺒﺎط اﻻﺣﻜﺎم اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ
“Upaya seorang ahli fikih dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci.”[3]
Menurut al-Amidi yang dikutip oleh
Wahbah al-Zuhaili, ijtihad ialah:
اﺳﺘﻔﺮغ اﻟﻮﺳﻊ ﰱ ﻃﻠﺐ اﻟﻈﻦ ﺑﺸﻰءﻣﻦ اﻻﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ
“Pengerahan segala kemampuan untuk
menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara’.”[4]
Secara etimologis kata ijtihad diambil dari kata dasar(mujarrad)nya al-jahd
atau al-juhd yang berarti al-masyaqqah yaitu kepayahan, kesulitan atau
kesungguhan.[5] Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau
at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan
al-ifti‘al dari kata dasarnya al-juhd, yaitu kemampuan.[6] Menurut as-Sa‘d at-Taftazani, sebagaimana
dikutip Nadiyah Syarif al-‘Umari, bahwa secara etimologis kata ijtihad
digunakan untuk menyebut pekerjaan yang berat dan sulit, bukan untuk pekerjaan
yang ringan dan mudah.[7] Sehingga istilah ini dipakai untuk sebutan
aktifitas penggalian hukum Islam dari sumber-sumber aslinya, karena aktifitas
ini memang menuntut suatu kesungguhan, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan secara terminologis, ijitihad adalah pengerahan potensi oleh
seorang ahli fiqh dalam rangka memperoleh hukum Syar‘i baik yang berupa hukum
aqli maupun naqli, atau qat‘i maupun zanni.[8] Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas, ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah
usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja
yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang.[9]
Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran
untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan
fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan
segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”[10]
Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mengatakan ijtihad (secara bahasa),
berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Ia mendefinisikan
ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu
dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang
hukum syar'i.[11]
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu
tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
B.
Dasar Ijtihad
Dasar hukum ijtihad dapat berasal dari al-Qur’an maupun hadits,
diantaranya yaitu:
Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat
59
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan
diantara kamu kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada allah (al-Qur'an dan sunnah nabi).
Firman Allah dalam Surat an-Nisa:83
Artinya: Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri[12] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[13]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Firman Allah Surat al-Anfal:41
Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampaan perang maka sesungguhnya setengah untuk Allah, Rosul, Kerabat rosul,
anak-anak yatim, orang-orang miskan dan ibnu sabil. Jika kamu beriamn kepada
Allah dan kepada apa yang kami terunkan kepada hamba kami muhammad dari hari
furqon yaitu bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa ata segala sesuatu.
Firman Allah Surat ar-Rum:21
Artinya : ... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Sabda Rasullullah Saw:
Artinya dari Mu'adz bin Jabal ketika
nabi Muhammad SAW mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau
bertanya kepada Mu'adz, “Apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu
perkara yang harus di putuskan?” Mua'dz menjawab, "Aku akan memutuskan
berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam Kitabullah". Nabi bertanya lagi,
"Bagaimana jika dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?"
Mu'adz menjawab, "Dengan berdasarkan sunnah Rasulullah". Nabi
bertanya lagi, "Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula
dalam sunnah Rasullullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan menjawab dengan
pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan", lalu
Mu'adz mengatakan," Rasullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan,
segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk
hal yang melegakan".[14]
Hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:
اذا ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﻓﺎﺻﺎب ﻓﻠﻪ اﺟﺮان واذا ﺣﻜﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﺛﻢ اﺧﻂﺄ ﻓﻠﻪ اﺟﺮ واﺣﺪ
"Bila seorang hakim akan
memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian
hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala
kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala
(pahala melakukan ijtihad).”[15]
C.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara
sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur
secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan
pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi
kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu
maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada
dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan
dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun, jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan al-Hadist,
pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
D. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan
al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a. Pada
dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu
ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses
berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa daripada ajaran Islam.
E. Hukum Ijtihad
Ulama
berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya
tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad
bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib
kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang
Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu
peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja
tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas
hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang
muslim yang memenuhi kriteria mujtahi yang diminta fatwa hukum atas suatu
peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan
selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua
mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya
berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka
gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum
berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak
atau belum terjadi. Keempat, hukum
ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qath’i, baik dalam
al-Qur’an maupun sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijma’.[16]
F.
Jenis-jenis
ijtihad
a. Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan
yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
b. Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan
atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang
belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat,
bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi) :
1.
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju
kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.
Membuktikan hukum definitif untuk yang
definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
c. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
1.
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih
(ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih
tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk
mencegah kemudharatan.
5.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di
masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
d. Mashlahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan
masalah yang tidak ada naskhnya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
e. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan
suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
f. Istishab
Adalah tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
g. Urf
Adalah tindakan menentukan
masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran
dan Hadis.
G.
Ijtihad : Sumber Dinamika
Dalam buku Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah ada
sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri merupakan mujtahid (ahli
ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas pada masalah-masalah yang belum
ditetapkan hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar maka akan
turun wahyu membenarkannya. Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk
meluruskan kesalahan tersebut. Secara umum, di kalangan para ulama menyepakati
ijtihad Rasulullah SAW dalam urusan-urusan kemashlahatan yang bersifat
keduniawian, pengaturan taktik dan strategi peperangan, dan keputusan-keputusan
yang berhubungan dengan persengketaan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat
mengenai ijtihad Rasulullah SAW dalam utusan hukum-hukum agama.[17]
Suatu hari, salah seorang sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan
shalat tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan junub. Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal
tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat. Untuk menengahi
persoalan itu, Rasulullah SAW lantas bersabda dalam rangka membenarkan
perbuatan Amr, "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya
dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala."
(HR Bukhari dan Muslim).
Ijtihad banyak digunakan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya Rasul,
tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian pula hadits pun tidak
bertambah. Sementara di sisi lain, problema yang timbul di tengah umat makin
bertambah, baik ragam maupun jumlah. Salah satu mekanisme ijtihad yang
dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dengan
mengumpulkan para sahabat guna bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap
permasalahan tertentu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan
berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak ditemukan nash-nya dalam
Alquran.
Ijtihad ini kian mengalami perkembangan setelah masa sahabat. Kemunculan
sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibn Shihad
az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai
hal tersebut. Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai masa
perkembangan paling pesat. Masa ini pula kemudian dikenal dengan periode
pembukuan sunah dan fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka yang
merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii
serta Imam Hanbali.
Akan tetapi, ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah abad keempat
Hijriyah. Muncul pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran
umat Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Selain itu,
tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal yang memiliki kemampuan seperti para
mujtahid sebelumnya. Selanjutnya,
perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum
tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di
antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan
qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Terhentinya
atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan
pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan
teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang
lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan
mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya
orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk
opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum
yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal
Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus
yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim
telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang
nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan
kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para
mujtahid terdahulu.
Tanpa
disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada
(ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid,
walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena
kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan
manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang
dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Ijtihad
diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan
dan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajara Islam,
mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad
juga adalah saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
H.
Syarat Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Para ulama membuat
norma-norma dan persyaratan seseorang yang dapat melakukan ijtihad yang secara
umum sulit dipenuhi, sehingga ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang berpendapat
bahwa pintu ijtihad sudah tertutup karena sudah tidak mungkin lagi menemukan
orang yang dapat memenuhi persyaratan sebagai mujtahid sepeninggal para ulama
mujtahid abad III H. Kalau dilacak sejarahnya, ternyata fatwa pintu ijtihad
sudah tertutup (insidad bab al-ijtihad) itu hanya dilontarkan perorangan saja,
bukan merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana klaim Imam ar-Rafi‘i (w.
623 H). Ia
berpendapat “bahwa semua orang sepertinya sudah sepakat bahwa sekarang ini
tidak ada lagi mujtahid”.[18]
Pendapat
itu disangkal oleh az-Zarkasyi (745-794 H) dan mayoritas ulama Hanabilah.[19]
Menurut hemat penulis, bahwa persyaratan ijtihad itu bukanlah doktrin yang harus terpenuhi secara
sempurna, artinya perlu modifikasi kembali, karena jika demikian justru akan
membuat hukum Islam itu tidak berkembang, sementara persoalan hukum akan terus
bermunculan mengiringi dinamika sosial masyarakat. Artinya, perlu reformulasi
fiqh ijtihad yang lebih memberikan peluang bagi dinamika hukum Islam, terutama
dalam merespon hukum-hukum muamalat yang sangat dinamis perkembangannya,
meskipun tidak keluar jauh dari koridor umum hukum Islam.
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh
para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
1.
Harus
mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
a.
Mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat.
b.
Mengetahui
sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
c.
Mengetahui
sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan
mutasyabih, dan sebagainya.
d.
Menguasai ilmu
tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
2.
Mengetahui
Assunah dan ilmu Hadits
3.
Mengetahui
bahasa arab
4.
Mengethui
tema-tema yang sudah merupakan ijma'
5.
Mengetahui usul
fiqih
6.
Mengetahui
maksud-maksud sejarah
7.
Mengenal
manusia dan alam sekitarnya
8.
Mempunyai sifat
adil dan taqwa
Syarat tambahan :
1. Mengetahui ilmu ushuluddin
2. Mengetahui ilmu mantiq
3. Mengetahui cabang-cabang fiqih
I.
Tingkatan-Tingkatan
Para Mujtahid
Para mujtahid mempunyai
tingkatan-tingkatan:
1.
Mujtahid mutlaq
atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk
ber-isbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits dengan menggunakan kaidah mereka
sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini
yang paling terkenal adalah imam madzhab yang empat.
2.
Mujtahid
muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan
guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam
Abu Hanifah
3.
Mujtahid fil
madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun
dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i
4.
Mujtahid tarjih
yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk
menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi
kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat,
misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali.
J. Kesimpulan
Dari beberapa defenisi di atas mengenai
ijtihad, maka dapat disimpulkan bahwa ijtihad (bahasa Arab : اجتهاد) dari kata
al-jahd atau al-juhd yang berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau
mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk
mencapai atau memperoleh sesuatu. Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya
pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang
didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Dasar dilakukannya sebuah ijtihad
adalahdari al-Qur’an dan hadits. Ijtihad dilakukan untuk memenuhi keperluan
umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu
tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Jika muncul persoalan yang
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran
dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran
dan Al Hadist.
Adapun hukum berijtihad bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut. Ijtihad memiliki beberapa jenis, diantaranya ialah ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah murshalah, Sududz Dzariah, istishab, dan ‘urf. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Dimana untuk menjadi mujtahid harus memenuhi banyak persyaratan yang dapat dibilang sulit. Dan mujtahid juga memiliki beberapa tingkatan.
Daftar Pustaka
Fazlur
Rahman, Islamic Methodology in History, Terj. Anas Mahyuddin, Membuka Pintu
Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1995.
Hanafie, MA.,Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII.
Drs.
Atang Abd. Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.
Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA.,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad asy-Syaukani,
Relevansinya bagi Perubahan Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Umari, Nadiyyah Syarif al-. al-Ijtihad
fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1986.
http://mmishbah.blogspot.com/2008/02/tentang-ijtihad.html
http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/kedudukani_ijtihad.htm
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/New/Nash%20dan%20Ijtihad.htm
[5] A.W.
Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14.
Surabaya: Pustaka Progresif. hlm. 217 dan 733. Dalam al-Qur’an al-juhd
disebutkan dalam tiga tempat, yaitu dalam surat an-Nahl: 38; an-Nur:53 dan;
Fatir: 42, yang semuanya menunjukkan arti ijtihad, yaitu mencurahkan segala
kesungguhan, kemampuan dalam bersumpah. Lihat Nadiyyah Syarif
al-‘Umari.1406/1986. al-Ijtihad fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah
ar-Risalah. hlm. 18.
[6] Ibn
Manzur. Lisan al-‘Arab al-Muhit. I: 521.
[7] Al-‘Umari.
al-Ijtihad .... hlm. 18-19.
[8] Ibid. hlm. 27.
[12] Ialah:
tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[13] Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah:
kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul
dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan
kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[18] Ibid. hlm. 225.
[19] Asy-Syaukani.
Irsyad al-Fukhul. hlm. 253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar