Ijma’
- Definisi Ijma’
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh
adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan ummat Islam pada suatu
masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan
kepada semua mujtahid dari ummat Islam pada waktu kejadian itu terjadi dan
mereka sepakat atas hokum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut
ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hokum mengenainya dianggap sebagai dalil,
bahwasanya hokum tersebut merupakan hokum syara’ mengenai kejadian itu.
Dalam definisi itu hanyalah disebutkan
sesudah wafat Rasulullah Saw karena pada masa hidup Rasulullah, beliau
merupakan rujukan pembentukan hokum Islam satu-satunya, sehingga tidak
terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syara’ dan tidak pula terbayangkan
adanya kesepakatan karena kesepakatan tidak akan terwujud kecuali dari beberapa
orang.
- Rukun Ijma’
Dari definisi di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa rukun ijma’, dimana menurut syara’ ia tidak akan terjadi
kecuali dengan keberadaan yang empat, yaitu :
- Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, di mana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainnya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya ditemukan seorang mujtahid, maka secara syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah Saw karena hanya beliau sendirilah mujtahid waktu itu.
- Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan ummat Islam terhadap hukumsyara’ mengenai suatu kasus/peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri Makkah dan Madinah saja, atau para mujtahid negeri Irak saja, atau mujtahid negeri Hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunnah, bukan mujtahid golongan syi’ah sepakat atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesepakatan khusus ini tidaklah sah ijma’ menurut syara’. Karena ijma’ itu tidak bias terjadi kecuali dengan kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian. Selain mujtahid tidak masuk penilaian.
- Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentangpendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya, baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri dan setelah pendapat-pendapat itu dikumpulkan barulah ternyata kesepakatan pendapat mereka atau mereka mengemukakan pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu kongres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atas satu hokum mengenainya.
- bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hokum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat, karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyyah yang pasti dan mengikat.
- Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat itu telah
terpenuhi, misalnya dengan diadakan perhitungan pada suatu masa di antara
masa-masa sesudah Rasulullah Saw wafat terhadap semua mujtahid ummat Islam
menurut perbedaan negerinya, kebangsaannya, dan kelompoknya, kemudian kepada
mereka dihadapkan suatu kejadian untuk diketahui hokum syar’inya dan
masing-masing mujtahid itu mengemukakan pendapatnya mengenai hukumnya melalui
perkataan atau perbuatan, baik secara kolektif ataupun secara individual,
kemudian mereka semua sepakat atas satu hokum mengenai peristiwa ini, maka
hokum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’i yang wajib diikuti
dan tidak boleh ditentang. Selanjutnya para mujtahid pada masa berikutnya tidak
boleh menjadikan peristiwa ini sebagai objek ijtihad, karena hokum yang telah
ditetapkan mengenai kejadian itu berdasarkan ijma’ ini merupakan suatu hokum
syar’i yang qath’i, yang tidak ada peluang untuk menentangnya maupun untuk
menghapuskannya.
Dalil atas kehujjahan ijma’ adalah sebagai
berikut :
- Sebagaimana dalam al-Qur’an allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya, Allah SWT juga memerintahkan mereka untuk mentaati ulil amri di antara mereka. Allah SWT berfirman :
ﻳﺎﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ﺃﻣﻨﻮﺍ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭﺍﻭﱃ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulilamri di antara kamu…” (QS.
An-Nisa’ : 59)
Lafazh ‘Al-Amr’ berarti : urusan dan
iaadalah umm yang meliputi urusan keagamaan dan urusan duniawi. Ulil amri
duniawi adalah para raha, para amir dan penguasa, sedangkan ulil amri keagamaan
adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian mufassir, terutama Ibnu ‘Abbas
menafsirkan kata ulil amri dalam ayat ini dengan ulama. Sebagian ulama lainnya
menafsirkannya dengan para amir dan penguasa.
Yang jelas, tafsirnya dalah meliputi
semuanya dan meliputi kewajiban mentaati kepada setiap kelompok tersebut sesuai
dengan bidangnya.
Apabila ulil amri dalam bidang hokum
syari’at Islam,yaitu para mujtahid sepakat atas suatu hokum maka wajib diikuti
dan dilaksanakan hokum mereka berdasarkan nash al-Qur’an. Oleh karena inilah,
maka Allah SWT berfirman :
ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻗﻖ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﻬﺪﻯ
ﻭﻳﺘﺒﻊ ﻏﻴﺮ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻧﻮﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻮﱃ ﻭﻧﺼﻠﻪ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺳﺎﺀﺕ
ﻣﺼﻴﺮﺍ
“Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang yang beriman, Kami akan biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam dan neraka
Jahanna adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)
- Bahwasanya hokum yang telah disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid ummat Islam pada hakekatnya adalah hokum ummat Islam yang diwakili oelh para mujtahid mereka. Sejumlah hadits telah dating dari Rasulullah Saw juga sejumlah atsar dari sahabat yang menunjukkan terhadap kemakshuman (terpeliharanya) ummat dari kesalahan. Di antaranya ialah sabda Rasulullah Saw :
ﻻ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﺍﻣﺘﻰ ﻋﻠﻰ
ﺧﻄﺎﺀ
“Ummatku tidak berkumpul atas kesalahan.”
Juga sabda beliau :
ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺍﻠﻠﻪ ﻟﻴﺠﻤﻊ ﺍﻣﺘﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻀﻼ ﻟﺔ
“Allah tidak akan menghimpunummatku atas
kesesatan.”
Juga sabdanya lagi :
ﻣﺎ ﺭﺁﻩ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺴﻦ
“Apa yang dipandang oleh ummatku sebagai
kebaikan, maka ia di sisi Allah adalah baik.”
Hal itu agaknya disebabkan bahwa kesepakatan
semua mujtahid atas suatu hokum mengenai satu kejadian, padahal mereka
berlainan pandangan dan lingkungan yang mengelilingi mereka dan terpenuhinya sejumlah
sebab bagi perbedaan pendapat mereka merupakan dalil bahwasanya kesatuan
kebenaran itulah yang menghimpun kalimat mereka dan mengalahkan hal-hal yang
menyababkan mereka berbeda pendapat.
- Bahwasanya ijma’ atas suatu hokum syar’i haruslah didasarkan atas sandaran yang syar’i, karena sesungguhnya seorang mujtahid Islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya.
Apabila dalam ijtihadnya tidak terdapat
nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman nash dan pengetahuan yang
menunjukkan atasnya. Apabila dalam suatu kejadian terdapat nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melampaui batas pengambilan hokumnya dengan lantaran
qiyas terhadap sesuatu yang ada nashnya atau menerapkan kaidah-kaidah syari’at
dan prinsip-prinsip umumnya, atau dengan menggunakan dalil dari dalil-dalil
yang telah ditetapkan oleh syari’at, seperti istihsan, istishab, atau dengan
memelihara urf, atau dengan mashalih mursalah.
Apabila ijtihad seorang mujtahid harus
bersandar kepada dalil syar’i, maka kesepakatan seluruh mujtahid atas satu
hokum mengenai suatu peristiwa merupakan dalil adanya sandaran syar’i yang
menunjukkan secara pasti terhadap hokum ini, karena kalau sekiranya sesuatu
yang mereka jadikan sandaran itu merupakan dalil zhanni, niscaya menurut
kebiasaan mustahil timbul kesepakatan, Karena dalil zhanni adalah lapangan bagi
perbedaan pendapat akal secara pasti.
Sebagaimana ijma’ atas suatu hukummengenai
suatu kejadian berdasarkan pentakwilan nash atau penafsirannya, juga ia dapat
didasarkan atas illat hokum suatu nash serta menjelaskan sifat yang berhubungan
dengannya.
- Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Sekelompok ulama, di antara mereka dalah
an-Nazhzham dan sebagian ulama Syi’ah, berkata : sesungguhnya ijma’ yang telah
jelas rukun-rukunnya itu tidak mungkin terjadi menurut adapt kebiasaan, karena
sulitnya mewujudkan rukun-rukunnya itu. Hal itu agaknya disebabkan bahwa tidak
ditemukan suatu ukuran yang dengan itu bisa diketahui apabila seseorang telah
mencapai tingkat rujukan untuk menetapkan bahwa orang ini adalah seorang
mujtahid atau bukan seorang mujtahid. Dengan demikian, mengetahui para mujtahid
atau bukan mujtahid adalah sulit.
Seandainya diperkirakan bahwa
orang-perorang dari para mujtahid di dunia Islam pada waktu terjadinya suatu
peristiwa diketahui, maka memperhatikan pendapat mereka semua dalam suatu
peristiwa melalui suatu cara yang menunjukkan keyakinan atau mendekati
keyakinan itu adalah sulit, karena mereka itu berpencaran di berbagai benua
yang berlainan, di berbagai negeri yang berjauhan, di samping mereka berlainan
kebangsaan dan marganya, sehingga tidak mudah jalan untuk mencapai mereka
semuanya, dan mengambil pendapat mereka secara kolektif. Tidak mudah pula untuk
mengutip pendapat masing-masing dari mereka dengan suatu system yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Seandainya dipastikan bahwa masing-masing
mujtahid diketahui dan memungkinkan untuk memperhatikan pendapat-pendapat
mereka melalui suatu system yang dapat dipertanggungjawabkan, maka apakah yang
dapat menjamin bahwa mijtahid yang menampilakan pendapatnya mengenai suatu peristiwa
akan tetap berpegang pada pendapatnya hingga pendapat-pendapat mujtahid lainnya
diambil. Apakah yang dapat menghalangi kemunculan syubhat kepadanya, kemudian
ia merujuk dari pendapatnya sebelum pendapat para mujtahid lainnya diambil.
Padahal persyaratan bagi terjadinya ijma’ itu tetapnya kesepakatan para
mujtahid semuanya, pada suatu waktu atas satu hokum mengenai suatu peristiwa.
Di antara hal yang menguatkan bahwa ijma’
itu tidak mungkin terjadi adalah bahwasanya juka ijma’ itu terjadi, maka harus
disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’I itu harus menyandarkan
ijtihadnya kepada dalil. Dalil yang dijadikan sandaran oleh para pembuat ijma’
(mujmi’un) itu jika dalil itu qath’i maka termasuk mustahil menurut adapt untuk
tersembunyi. Karena bagi ummat Islam tidaklah tersembunyi bagi mereka dalil
syar’i yang qath’i sampai mereka memerlukan kembali para mujtahid dan ijma’
mereka, juka dalil itu zhanni, maka mustahil menurut adapt untuk terbit ijma’
karena dalil zhanni tidak bisa tidak, menjadi objek pertentangan.
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-ahkam menukil
dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal : “Saya mendengar ayah saya berkata : “ Apa
yang diakui oleh seseorang bahwa hal itu adalah ijma’, maka hal itu adalah
dusta. Barang siapa mengaku adanya ijma’, maka dia adalah pendusta. Barangkali
orang-orang telah bertentangan tentang apa yang dia ketahui, tetapi dia tidak
akan bias menyelesaikan,maka hendaklah ia katakana : “kami tidak mengetahui
orang-orang berbeda pendapat”.
Jumhur ulama berpendapat bahwasanya ijma’
it dapat terjadi menurut adapt. Mereka berkata : ssungguhnya pendapat yang
dikemukakan oleh orang-orang yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’
adalah merupakan hal yang nyata. Sekalipun dikemukakan dalil atas kemungkinan
terjadinya.
Mereka menyebutkan beberapa contoh bagi
sesuatu yang ditetapkan oleh ketetapan ijma’, seperti kekhalifahan Abu Bakar,
keharaman lemak babi, pembagian warisan sperenam bagi nenek perempuan,
terhalangnya anak laki-laki dari anak laki-laki dari pewarisan sebab adanya
anak laki-laki dan lain sebagainya dari hokum-hukum juziyah (bagian) dan
kuliyah (global).
Pendapat yang saya pilih bahwasanya ijma’
dengan definisinya dan rukunnya seperti yang telah saya jelaskan adalah tidak
mungkin terjadi secara adapt, apabila persoalannya diserahkan kepada
person-person ummat Islam dan bangsa-bangsanya. Ijma’ itu dapat terjadi apabila
dipimpin oleh pemerintahan-pemerintahan Islam yang beraneka ragam. Jadi, setiap
pemerintahan Islam dapat menentukan syarat-syarat, yang dengan kesempurnaannya
seseorang dapat sampai ke derajat ijtihad dan memperbolehkan ijtihad kepada
orang yang telah memenuhi syart-syarat tersebut. Dan dengan ini setiap
pemerintahan dapat mengetahui para mujtahidnya dan pendapat-pendapat mereka
tentang peristiwa apapun. Maka apabila setiap pemerintah Islam telah
memperhatikan pendapat para mujtahid sepakat pada setiap pemerintahan Islam
atas suatu hokum mengenai suatu peristiwa, maka inilah yang dinamakan ijma’.
Dan hokum yang telah disepakati menjadi hokum syara’ yang wajib ditaati oelh
ummat Islam seluruhnya.
- Kemungkinan Terjadinya Ijma’ Dalam Kenyataan.
Apakah ijma’ itu dapat terwujud secar
nyata menurut pengertian tersebut pada masa-masa sesudah Rasulullah Saw wafat?
Jawabnya “Tidak!”. Orang-orang yang mau melihat kepada peristiwa-peristiwa yang
para sahabat telah menetapkan hukumnya mengenai peristiwa-peristiwa itu dan
keputdan itu dianggap sebagai ijma’, maka akan menjadi jelas bahwa tidak pernah
terjadi ijma’ dengan pengertian tersebut dan apa yang terjadi hanyalah
merupakan kesepakatan dari orang-orang yang hadir dari kalangan ahli ilmu
pengetahuan dan pendapat terhadap suatu hokum dalam kasus yang dikemukakan.
Pada hakekatnya ini adalah hokum yang keluar dari musyawarah jama’ah, bukan
dari pendapat masing-masing orang.
Menurut satu riwayat, bahwasanya Abu Bakar
ra apabila kepadanya dihadapkan orang-orang yang bersengketa dan ia tidak
menemukan sesuatu yang akan ia putuskan di antara mereka baik di dalam kitab
Allah maupun Rasul-Nya, maka ia mengumpulkan tokoh-tokoh ummat Islam dan
orang-orang terbaik dari kaum mereka, kemudian ia mengajak mereka
bermusyawarah, lalu apabila mereka bersepakat, maka ia pun melaksanakan
kesepakatan itu.
Tidak diragukan lagi bahwa tokoh-tokoh
ummat Islam dan orang-orang terbaik dari mereka yang dikumpulkan oleh Abu Bakar
ra pada waktu dihadapkan persengketaan tidaklah merupakan keseluruhan
tokoh-tokoh ummat Islam dan orang-orang yang terbaik dari mereka. Karena di
antara mereka terdapat sejumlah orang yang cukup banyak berada di Makkah, Syam,
Yaman, dan di medan
pertempuran. Tidak pernah disebutkan bahwa Abu Bakar ra menangguhkan
penyelesaian terhadap persengketaan sehingga ia memperhatikan pendapat seluruh
mujtahid di kalangan sahabat di berbagai negeri, akan tetapi ia melaksanakan
hokum yang disepakati oleh orang-orang yang hadir, karena sesungguhnya mereka
adalah jama’ah, dan pendapat jama’ah lebih dekat kepada kebenaran daripada
pendapat perseorangan.
Demikian pula yang pernah dilakukan oleh
Umar ra dan inilah yang disebut ole fuqaha’ sebagai ijma’. Pada hakekatnya ia
hanyalah pembentukan hokum Islam oleh jama’ah, bukan perorangan. Dan hal ini
tidaklah ditemukan kecuali pada masa sahabat dan sebagian masa dinasti Umayyah
di Andalusia, ketika mereka membentuk organisasi ulama pada abad kedua hijriyah,
di mana mereka bermusyawarah mengenai pembentukan hokum Islam. Dalam biografi
sebagian ulama Andalusia seringkali disebutkan
bahwa ia termasuk di antara ulama peserta musyawarah itu.
Adapun sesudah masa sahabat, selain masa
senggang pada saat Daulah Umayyah berkuasa di Andalusia,
maka ijma’ tidak terjadi. Ijma’ dari sebagian besar para mujtahid untuk
menetapkan suatu hokum Islam tidak pernah terealisir. Pembentukan hokum Islam
tidak muncul dari kelompok ulama, akan tetapi setiap individu dari para
mujtahid bersikap mandiri dalam ijtihadnya di negerinya dan di lingkungannya.
Dengan demikian, pembentukan hokum Islam
adalah bersifat individual, bukan berdasarkan musyawarah. Kadangkala
pendapat-pendapat itu bersesuaian dan kadangkala bertentangan. Paling jauh yang
mampu dikatakan oleh seorang faqih adalah “Tidak diketahui adanya pertentangan
pendapat mengenai hokum peristiwa itu”.
- Macam-Macam Ijma’
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara
menghasilkannya, maka ia ada dua macam, yaitu :
- Ijma’Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hokum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hokum. Maksudnya bahwa setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atai tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
- Ijma’ Sukuti. Yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui fatwa atau suatu putusan hokum,dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.
Adapun macam yang pertama, yaitu ijma’
sharih, maka itulah ijma yang haqiqi dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam
mahzab jumhur ulama. Sedangkan macam yang kedua yaitu ijma’ sukuti, maka ia
adalah ijma’ I’tibari (anggapan), karena sesungguhnya orang yang diam saja
tidak ada kepastian bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian
mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma’ dank arena inilah maka ia
masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’
sukuti bukanlah hujjah, dan bahwa ijma’ tersebut tidak lebih dari keadaannya
sebagai pendapat sebagian dari individu
para mujtahid.
Ulama Hanafiyyah berpenapat bahwa ijma’
sukuti adalah hujjah, apabila terdapt suatu ketetapan bahwa mujtahid yang
bersikap diam telah dihadapkan kasus kepadanya dan dikemukakan kepadanya
pendapat orang yang mengemukakan pendapatnya mengenai kasus ini, dan ada waktu
senggang yang cukup untuk mengkaji dan membentuk pendapat namun ia diam saja,
di samping itu juga tidak ditemukan adanya suatu kecurigaan bahwa ia diam
karena merasa takut atau karena dibujuk, atau karena tidak mampu, atau karena
mengejek. Karena sesungguhnya sikap diamnya seorang mujtahid dalam posisi
memberi fatwa, memberikan penjelasan dan membentuk hokum Islam setelah lewat
kesempatan untuk mengkaji dan mempelajarinya, di samping tidak ada hal yang
menghalang-halanginya untuk mengemukakan pendapatnya, merupakan suatu dalil
atas persetujuannya kepada pendapat yang telah dikemukakan, sebab kalau
sekiranya ia menentang, maka tidak cukup baginya berdiam diri saja.
Pendapat yang saya nilai lebih unggul
adalah pendapat jumhur ulama. Karena seorang mujtahid yang diam, diamnya itu
diliputi oleh sejumlah kondisi dan kesamaran, di antaranya yang bersifat
psikologis dan ada kaanya tidak bersifat psikologis, padahal tidak mungkin
meneliti seluruh kondisi dan kesamaran dan kepastian bahwa ia diam saja sebagai
persetujuan dan keridhaan terhadap pendapat yang dikemukakan. Orang yang diam
saja tidak mempunyai pendapat dan kepadanya tidak bias dinisbatkan pendapat
yang menyetujui atau pendapat yang menentang. Kebanyakan yang terjadi yang
disebut dengan ijma’ ialah berasal dari ijma’ sukuti.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi bahwa ia
mempunyai dalalah qath’i terhadap hukumnya atau dalalah zhanni, maka ijma’ juga
ada dua macam, yaitu :
1.
Ijma’ yang qath’i dalalahnya
terhadap hukumnya. Inilah ijma’ sharih, maksudnya bahwa hukumnyadipastikan dan
tidak ada jalan ntuk memutuskan hokum yang berlainan dengannya dalam kasus itu,
dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’
yang sharih atas hokum syara’ mengenai kasus itu.
2.
Ijma’ yang zhanni dalalahnya atas
hukumnya, yaitu ijma’ sukuti, dalam arti bahwa hukumnya diduga kuat, dan ijma’
ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari kedudukannya sebagai objek bagi
ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan
keseluruhan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar