Fajar pancarkan aroma kesegaran. Menyambut riang
datangnya pagi yang membawa kecerahan bagi para penikmatnya. Pantulan cahaya
terlihat jelas pada embun yang menetes pelan hingga nyaris tak bersuara,
membentuk warna-warna pelangi yang indah. Disambut kicauan merdu burung-burung
yang menghiasi atap biru dunia. Kubuka jendela kamarku lebar-lebar, membiarkan
kesejukan angin berhembus mengisi seluruh lorong kamar yang sengaja kudesain
bernuansa ala Korea.
Banyak orang mengatakan semangat pagi akan menjadi
semangat kita dalam satu hari penuh. Benar atau tidak, aku mencobanya dimulai
hari ini. Semua masalah yang telah terjadi di hari-hari suram sebelumnya takkan
mampu menghalangiku dan aku takkan membiarkannya untuk itu. Aku selalu
melakukan apa yang aku sukai dan berusaha untuk mendapatkan apa yang aku
inginkan, inilah salah satu sifatku yang paling tajam. Tapi jangan salah, aku
sangat penyayang.
Setelah berbenah diri dengan kaus biru bercorak
ala korea dibalut jaket berwarna hitam dipadu dengan jeans yang sengaja dirobek di lutut bagian kanannya, tak
ketinggalan sepatu hitam liris biru bertali dan mempersiapkan segala yang
kubutuhkan dalam ransel hitam corak garis putih di seluruh bagiannya dengan
ukuran yang cukup besar membuat tubuhku sedikit tertutup olehnya, ku langkahkan
kaki meninggalkan kamar kesayanganku berharap suatu saat nanti ku dapat
kembali-tentu saja menjadi pemilik tunggalnya, menuruni anak tangga dengan
lincah, tak lupa menancapkan niat agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan
lancar.
Tak ku sangka walaupun aku telah berusaha bangun
pagi-pagi sekali, namun, tetap saja akulah orang yang paling terakhir keluar
kamar dibandingkan semua anggota keluargaku. Mereka semua telah menungguku
untuk sarapan pagi, kecuali ayahku, sebab ia sedang menjalankan bisnisnya di
luar kota. Yah, inilah suasana pagi di istanaku. Ups, bukan. Istana orang
tuaku. Tapi, seperti akulah rajanya disini. Semua yang ku inginkan selalu ku dapatkan
dengan mudah. Keluargaku memang orang yang berada. Jadi, wajar jika aku telah
terbiasa hidup berkecukupan atau bahkan sampai berlebihan.
Namun, kali ini ada yang berbeda dari sorot indera
penglihatan mereka. Sesuatu yang sulit ku sebutkan. Tanpa ingin merusak suasana
indah di pagi hari, aku tak begitu memperdulikannya. Mengucapkan selamat pagi
dan mulai menyantap porsi yang telah disediakan untukku, menganggap semuanya
berjalan seperti biasa.
”Bisakah kali ini kau batalkan rencanamu itu, anakku?” ucap ibuku dengan
penuh harap.
Sontak aku terkejut, hampir saja aku menyemburkan
suapan ketiga yang baru saja masuk dan belum tertelan. Yah, aku memang
merencanakan kepergianku melakukan hobi yang mungkin telah tertancap begitu
dalam di jiwa, menjelajahi planet bumi. Ini adalah moment yang paling aku sukai sejak lama. Dengan bermodalkan tekad
yang cukup kuat dan restu ibu yang masih sepenggal hati, untuk kesekian kalinya
aku pergi menjalankan perintah hati yang terkadang membawa bencana tersendiri.
”Ibu, tenanglah... anakmu ini, Oruzgan Mourad Karzani, akan baik-baik
saja.” Jawabku berusaha menenangkan ibu.
Tanpa menunggu ibu mencegahku, ku tinggalkan
sarapan yang tersisa, ku dekati dan ku salam ia, ku kecup keningnya, memohon
do’a serta izin darinya, lalu segera pergi meninggalkan kebisuan di bibir
merahnya. Tentu saja bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memenuhi
keinginanku yang telah kecanduan menjelajah. Aku yakin ibuku telah memahami
sifat setiap anaknya, termasuk aku, Karzani si penjelajah dunia.
***
Menghirup udara dalam-dalam dengan mengoyakkan sedikit
senyum kepuasan adalah hal pertama yang aku lakukan setibanya di kota
terpelajar, Jogja. Ku ikuti kemana langkah kaki berjalan ditemani hiruk-pikuk orang-orang
di sekelilingku. Ternyata seperti inilah pulau Jawa, tepatnya sebuah kota yang
bernama Jogja. Mataku terus menerawang jauh menelusuri kota ini. Rasa
keingintahuanku mendadak melesat tinggi memaksaku terus mencari apa saja yang
bisa kudapat di sini.
Ketika nafas terasa terseok, kupalingkan wajah
mencari-cari tempat yang bisa berbagi kelelahan. Ketika melihat sebuah warung
kecil di pinggir jalan yang saat itu terlihat tidak begitu ramai, tanpa
berpikir panjang aku langsung mendekatinya. Duduk di bangku yang kelihatannya
sudah tua yang disediakan untuk para pembeli tepat di depan warung itu. Ternyata
penjualnya adalah seorang ibu yang renta menggunakan busana kebaya coklat
bercorak bunga kuning. Aku jadi ingat ibuku, walaupun ia tidak setua itu. Ibu
penjual menyambutku dengan ramah. Ku pesan secangkir teh manis dingin yang
memang tak banyak pilihan menunya dibandingkan restoran-restoran yang biasa ku
datangi.
Tak butuh waktu lama cangkir yang tadi aku pesan
kosong seketika. Betapa lelahnya aku yang sedari tadi berkeliling kota ini
tanpa berkendara. Setelah lelah terasa mulai menghilang, waktunya aku
melanjutkan perjalanan.
”Berapa bu?” Tanyaku pada ibu pemilik warung yang sedari tadi sibuk
mengemas barang dagangannya. Mungkin ia akan segera menutup warungnya karena
hari terlihat sudah mulai gelap. ”Cuma Rp.4000 aja nak.” jawabnya. ”Terlalu
murah dibandingkan di restoran-restoran yang memasang harga tinggi” gumamku
dalam hati.
Kurogoh kantong belakang sebelah kanan jeansku, mengambil dompet hitam yang
terbuat dari kulit ular yang biasa aku gunakan. Namun, kali ini aku tak
menemukannya. Ku coba mencarinya di dalam tas besarku, tapi yang kucari tak
kunjung kelihatan. Bahkan, aku menemukan bagian bawah salah satu kantong bagian
terdepan tasku sobek, seperti bekas sayatan. Semua barang-barang di dalamnya
hilang, termasuk dua handphone yang
kuletakkan di dalamnya.
”Dompetku hilang.” ucapku sedikit
berteriak. Ku palingkan wajah ke sekelilingku, tak banyak orang di sana dan tak
ada yang terlihat mencurigai. Di saat aku mulai panik, si ibu pemilik warung
pun meringis. Tapi, kemudian memasang wajah empati kepadaku. ”Sudahlah, tidak
usah dibayar. Lain kali berhati-hatilah.” Ucap si ibu menenangkan hati.
Betapa cerobohnya aku padahal ini bukanlah
penjelajahanku yang pertama. Keindahan kota ini telah membuaiku hingga aku
melupakan semua. Bahkan, aku lupa untuk memesan sebuah kamar hotel yang
seharusnya telah aku lakukan setibanya aku di kota ini. Aku tak bisa
menghubungi orang-orang yang bisa membantuku, termasuk keluargaku. Aku berniat
menjual baju-bajuku berharap mendapatkan uang untuk menelpon keluargaku, tapi
hari telah gelap. Sulit untuk melakukannya terlebih lagi aku tak mengenal
siapapun di sini.
Angin berhembus kencang malam ini. Dewi malam
menatap tajam seolah menyalahkan kebodohanku. Gemuruh malam Jogja terus saja
terdengar. Ku sepi di tengah keramaian. Malam yang semakin larut ditambah lelah
fisik dan mental memaksaku beristirahat di depan sebuah gedung yang
kelihatannya tak berpenghuni, beralaskan kardus bekas berbantal tas besarku
berselimut dinginnya angin dan beratapkan luasnya langit indah.
***
Seperti biasa, aku bangun setelah matahari
menyingsing menyemburkan segurat sinar yang menyilaukan mata. Aku terbangun
malas, bahkan serasa ingin tidur kembali. Namun, seketika aku tersadar ini
bukanlah kamar di istanaku ataupun kamar mewah subuah hotel. Aku segera bangkit
dan hendak meraih tas ku, tapi apa yang terjadi, lagi-lagi aku kebablasan.
Tasku tak menunjukkan rupanya. ”Kemana tasku?” gumamku. Ku coba tuk mencari di
sekitar tempat aku terlelap, tapi tetap tak menemukannya.
Kini ku tak bisa tinggal diam. Emosiku meluap-luap
siap meledak. Ku langkahkan kaki semakin kuat melewati gedung-gedung tua yang
tak bersahabat menuju satu tempat, kantor polisi. Sesampainya di sana, bukannya
aku mendapatkan perlindungan ataupun sedikit ketenangan, mereka malah menganggap
aku berbohong dan mempermainkan mereka. Mereka, para polisi itu tidak percaya
karena aku tak bisa menunjukkan bukti apapun bahwa aku pendatang yang telah
kecurian seluruh barang-barangku. Bahkan, aku tak mengingat nomor telepon
seluler satupun keluargaku ketika salah satu polisi yang berperawakan kasar
dengan kumis tipis memintaku menghubungi mereka. Yach, aku memang tak pernah
menghafalnya.
***
Terdudukku di trotoar jalan memasang pandangan
kosong ke depan. Meratapi nasibku yang semakin tak karuan. Kini kutak tahu
harus melakukan apa agar aku dapat kembali pulang menikmati betapa nyamannya
jika aku berada di rumahku. Sampai kapan aku harus seperti ini.
Terkatung-katung di kota orang tanpa bekal. Aku tak menyangka mengapa kota yang
disebut banyak orang sebagai kota terpelajar ini begitu kejam dan tak
bersahabat, sungguh tak pantas dengan sebutannya. Aku jadi menganggap semua
orang disini adalah musuhku.
Hari ini tepat hari ketujuh aku berada di Jogja,
berarti aku telah seminggu berada disini. Aku benar-benar menjadi gembel Jogja
sekarang. Bertahan hidup dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain. Sering kali untuk mendapatkan sesuatu yang dapat mengganjal perut, aku
bekerja di warung-warung makan dengan upah sebungkus nasi lengkap dengan lauk
dan minumnya.
Jangan mengira aku tak berusaha bekerja untuk
mendapatkan uang, aku telah berulang kali meminta bahkan terkadang memohon
pekerjaan kepada orang-orang di sini, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan bahkan
tak pernah sekalipun terpikirkan olehku sebelumnya. Tapi tak ada yang mau
mempekerjakanku dengan upah uang, karena aku memang tak begitu lihai bekerja.
Aku biasa hidup tersedia, semuanya serba ada. Dan sampai saat sebelum aku
mengalami ini semua.
Ini semua membuatku hilang harapan. Harapan yang
begitu indah saat aku melakukan hobiku. Berharap bisa mendapatkan sesuatu yang
sangat berharga dan mempengaruhi hidupku selanjutnya. Tapi sekarang, aku merasa
tak mendapatkan apapun di sini kecuali penderitaan. Aku bukanlah orang yang
diciptakan untuk pandai menikmati penderitaanku. Dan satu lagi yang aku tahu
bahwa orang-orang di sini kejam.
***
Langit belum sepenuhnya gelap. Sinar terang masih
berdiri gagah di ufuk Barat. Gemilir angin berhembus tak terhirau, menabrak
segala yang menghadang. Terlihat dari balik kabut senja sosok tua berjalan tak
lagi gagah, kakinya telah goyah hingga harus berpapah pada sebuah tongkat tua.
Sebelah tangannya menggendong beban yang cukup berat bagi orang setuanya.
Rumput dan ilalang menari-nari di atas pundaknya diterpa hembusan angin.
Pakaiannya kumuh tak terawat dengan sobek di bagian bahu dan kantong kiri
bajunya.
Mataku masih menerawang ke arahnya, menyidik penuh
haru. Seketika ia menoreh ke arahku menebarkan senyum yang merekah laksana
sabit di perut malam, membuyarkan pandanganku dan mengajakku untuk segera
membantunya. Hingga terjadi percakapan akrab di antara kami seolah-olah kami
telah kenal cukup lama. Pak Kur, begitulah ia menyebutkan dirinya. Ia ramah
sekali.
Ketika aku menceritakan perjalananku, ia turut
prihatin dan bersedia membantuku walaupun keadaannya cukup memprihatinkan. Ia
memberiku tumpangan tempat tinggal, makanan dan pakaian bersih. Dan yang paling
membuatku takjub adalah ketika ia mengatakan bahwa akan membantuku untuk dapat
berada di tengah-tengah keluargaku lagi. Diriku seakan menemukan setitik cahaya
setelah sekian lama berada dalam kegelapan. Aku merasa sangat kerdil di
depannya.
Jika dilihat sekilas tak ada yang istimewa
darinya, hanya seorang kakek tua lusuh yang ingin pulang ke peraduannya. Namun,
tahukah kalian siapa sebenarnya kakek tua yang berantakan yang kutemui ini? Ia
adalah seorang pahlawan bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk
membela Negara. Berjuang melawan Negara-negara yang menjajah negeri kita.
Hingga kemerdekaan ada di tangan kita.
Namun, beginikah cara kita memperlakukan seseorang
yang tersisa yang telah mempertaruhkan banyak untuk Negara? Kita mendapatkan
kebebasan dari Negara yang dulu menjajah berkat orang-orang sepertinya, tapi
kini kita mencampakkannya seolah tak perduli atas jasa-jasa mereka. Mungkin ia
hanya satu dari mereka yang berjuang yang terungkap oleh kita, namun, tidakkah
kita dapat menghargai jasanya? Adilkah ini bagi mereka? Tidak adakah sedikit
saja kehormatan yang kita berikan padanya? Di sisa-sisa hidupnya, ia tersisih
dari gemerlapnya dunia. Di balik gedung-gedung tinggi yang tak mau melirik
seakan ia tak pernah ada. Kejam!!!
Sungguh mulia dirinya. Jika dibandingkan dengan
diriku, aku bukanlah siapa-siapa. Walaupun ku hidup di keluarga yang berada,
dipenuhi kasih sayang dan mendapatkan pendidikan tinggi, tapi ku tak pernah
memberikan apapun tuk orang lain dan lingkungan sekitarku. Bahkan tak pernah
terpikirkan olehku orang-orang seperti pak Kur sebelumnya.
Perjalanan kali ini membawaku pada pendewasaan yang
sungguh sangat luar biasa yang tidak pernah ku dapatkan di Universitas terbaik
sekalipun. Sekolah ataupun sejenisnya memberikan kita pelajaran terlebih dulu
kemudian kita ujian, tapi kehidupan memberikan kita ujian yang mengandung
pelajaran. Benar atau tidak, tapi inilah yang aku rasakan dan inilah akhir dari
perjalananku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar