BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Harta adalah
sesuatu yang sangat penting bagi manusia, harta memang mutlak diperlukan
manusia karena dengan harta manusia akan dihormati, dengan harta manusia bisa
makan dan memberi makan anak dan istri, dengan harta manusia bisa membeli dan
memiliki apa saja yang ia inginkan di dunia. Dan tanpa harta manusia seringkali
dilecehkan, dihinakan, bahkan sampai ada orang yang gila dan bunuh diri karena
tidak mempunyai harta.
Allah swt telah
menjadikan harta sebagai sebagai sesuatu yang indah dalam pandangan manusia. Manusia
diberi tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap harta. Harta di dalam Islam
dianggap sebagai bagian dari aktivitasdan tiang kehidupan yang dijadikan Allah
sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), Dan juga
digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling
menukarkannya dan melarang menukarnya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dikupas mengenai masalah harta seputar
kepentingannya dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab
disebut al mal yang berasal dari kata ﻣﺎل _ ﻳﻤﻴﻞ _ ﻣﻴﻼ
Yang berarti condong, cenderung dan miring. Dari
pengertian semantik ini dipahami sesuatu itu dinamakan harta bila dapat dikumpulkan
untuk dimiliki baik bagi kepentingan individu, keluarga maupun masyarakat.[1]
كل ما يقتض ويحوزه
الانسان بالفعل سواء اكان عينا او منفعة كذهب ا و فضة او حيوا ن او نبات او منا فع
الشئ كالركوب وا لبس والسكن
“Sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik
berupa benda yang tampak seperti emas,perak,binatang,tumbuh-tumbuhan,maupun
(yang tidak tampak).yakni manfa’at seperti kendaraan,pakaian dan tempat
tinggal.”[2]
Sesuatu
yang tidak dikuasai menusia tidak bisa dinamakan harta menurut bahasa, seperti burung diudara, ikan di dalam laut, pohon di
hutan dan barang tambang di bumi.
Secara terminologis, menurut
Ulama’ Hanafiyah, harta ialah:
مايميل
اليه طبع الانسان ويمكن ادخره الى وقت الحجة. اوكان مايمكن حيازته واهرازه وينتفع
به ﻋﺎدﻩ
“Sesuatu yang di gandrungi tabi’at manusia dan memungkinkan
untuk disimpan hingga di butuhkan, atau segala sesuatu yang dapat
dimiliki,disimpan,dan dapat di manfa’atkan .“ [3]
Menurut Hanafiyah, harta mesti dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak
dapat disimpan tidak dapat disebut harta. Menurut Hanafiyah , manfaat tidak
termasuk harta tetapi termasuk milik.
ﻟﻤﺎلﻫﻮﮐﻞﻣﺎﻟﻪﻗﻴﻤﺔﻳﻠﺰمﺑﻀﻤﺎﻧﻪ ا
“Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai
dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak dan melenyapkannya.” (Jumhur
ulama selain Hanafiyah)[4]
Kata mal berarti sesuatu yang dikumpulkan
dan dimiliki, yaitu harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat.
Faruqi mendefenisikan harta sebagai suatu benda atau kekayaan yang memberikan
faedah yang dapat memuaskan jasmani dan rohani atau kebutuhan hidup. Kata mal dalam al-Quran disebut
sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah, suatu jumlah yang cukup banyak
menghiasi sepertiga surah-surah al-Quran. Jumlah ini belum termasuk kata-kata
yang semakna dengan mal, seperti rizq, mata’, qintar dan kanz (perbendaharaan).[5]
Harta dalam pandangan para fuqaha bersendi pada
dua unsur, yaitu ‘ainiyah, yakni harta itu merupakan benda, ada wujudnya
dalam kenyataan. Dan ‘urf, yakni harta itu dipandang harta oleh manusia,
baik oleh semua manusia ataupun soleh sebagian mereka, dapat diberi atau tidak
dapat diberi.[6]
2.2 Harta Ditinjau dari Perspektif Islam
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki
Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT.
Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam
sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
‘Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal:
usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya
darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Kedua, status harta
yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT.
Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda
dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai
perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta
kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan
dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal:
28)
4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah
:41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan
harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian (Ma’isyah)
yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
‘’Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang
bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan
mujahid di jalan Allah’’ (HR Ahmad).
‘’Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain’’(HR
Thabrani)
‘’jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian
tidak akan sempat mencari rezki’’ (HR Thabrani).
Keempat, dilarang
mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2),
melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan
zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya
saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti
melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang
haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam
takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan
merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).[7]
Menurut penelitian Yahaya bin Josoh M. Phil dalam
desertasinya yang berjudul Konsep Mal dalam al-Quran, menyimpulakan
bahwa konsep harta dalam al-Quran mencakup hal-hal di bawah ini.
1.
Harta adalam milik Allah, karena segala sumber daya alam
dari langit dan bumi, disediakan oleh Allah yang Maha Pencipta yang mengaturnya
untuk patuh terhadap sunnatullah, agar dapat diproduksi menjadi harta yang
dapat dimiliki dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia.
2.
Pengumpulan harta dapat dilakukan dengan usaha
mengeksplorasi sumber daya alam, usaha perdagangan dan pemberian harta dari
orang lain dengan jalan yang tidak ditentukan oleh aturan Islam.
3.
Pemilikan harta individu terletak dalam batas-batas
kepentingan anggota masyarakat, karena pada harta yang dikumpulkan oleh
individu terdapat hak-hak orang lain.
4.
Kebebasan mengumpulkan dan memanfaatkan harta adalah pada
barang-barang yang halal dan baik, dan tidak melanggar batas-batas ketentuan
Allah.
5.
Harta harus dimanfaatkan untuk fungsi sosial dengan
prioritas awal dimulai dari individu, anggota keluarga dan masyarakat.
6.
Pemanfaatan harta haruslah pada prinsip kesederhanaan
dalam arti tidak sampai pada batas penghamburan harta epada hal-hal yang tidak
penting dan mubazir, dan tidak pula sampai pada batas-batas kekikiran yang
mengakibatkan terjadinya penimbunan harta.
7.
Harta dapat dikembangkan dengan usaha-usaha yang elah
ditentukan syara’ dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
8.
Harta di sisi Allah tidak akan ada manfaatnya, apabila
kewajiban menaati perintah Allah dilalaikan, karena harta hanyalah sekedar
sarana untuk mendekatkan diri dan mencapai keridhaan-Nya di dunia dan akhirat.[8]
2.3 Harta yang Halal,
Haram dan Syubhat
Al-Quran menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada
di alam ini diciptakan Allah swt untuk kepentingan dan kebahagiaan manusia.
Kendati demikian bukan berarti manusia bebas untuk menikmatinya. Ada
aturan-aturan yang telah digariskan Allah dalam kitab-Nya tentang pengelolaan
dan pemanfaatan isi alam baik dalam bentuk perintah maupun larangan.
Peraturan-peraturan itu berguna untuk membatasi
manusia yang cenderung memiliki sifat tamak dan rakus, tidak pernah merasa puas
terhadap harta yang pada gilirannya dapat mencelakakan dirinya sendiri. Banyak
sekali ayat-ayat dan hadits-hadits nabi yang menunjukkan kecenderungan negatif
manusia tersebut. Dapatlah dikatakan, aturan-aturan itu penting agar manusia
dapat mengendalikan hawa nafsu dan mampu memilah dan memilih mana yang penting,
berguna dan mana pula yang sekedar hiasan semata.
Ditinjau dari kaca mata hukum Islam, harta itu ada
yang bendanya (a’in) halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada
pula yang haram (dilarang mengumpulkan, mengkonsumsi dan memproduksinya). Di
antara dua kategori tersebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas
kehalalannyadan keharamannya). Dalam wilayah bisnis, kategori halal dan aram
ini juga berlaku. Rafiq Isa Beekun menyebutnya dengan Halan and Haram
Business Areas.
Dari sisi mendapatkan atau memperolehnya demikian
juga ada yang halal, haram dan syubhat. Kategorisasi ini berangkat dari hadits
Rasul yang artinya:
“Yang halal itu teah jelas dan yang haram itu juga jelas, dan di antara
keduanya dalah hal-hal yang syubhat. Barang siapa yang bergelimang pada hal-hal
yang syubhat diibaratkan seseorang yang mengembalakan kambingnya di pinggir
jurang.”
Pernyataan hadits di atas yang menyebutkna bahwa
sesuatu yang halal itu jelas, begitu pula yang haram, berpijak pada satu
kenyataan bahwa al-Quran dan hadits sebagia sumber hukum Islam telah memberikan
keterangan-keterangan yang rinci dan tegas menyangkut kategori tersebut.
Berbeda dengan yang syubhat, keterangannya tidak begitu jelas, namun apakah ia
dikategorikan pada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang
ada.
Menarik untuk dicermati adalah metode yang
dilakukan al-Quran dalam mengungkap dan menjelaskan harta yang halal dan haram.
Ketika menyebut hal-hal yang diharamkan al-Quran menggunakan bahasa yang rinci
dan tegas. Contohnya pada surah al-Maidah:3.
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama
selai nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang terjatuh, yang ditanduk dan
yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan
diharamkan bagimu menyembelih untuk berhala.”
Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal yang
dihalalkan, al-Quran menggunakan bahasa yang global, seperti firman Allah di
bawah ini:
“Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang tedapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya
setan itu musuh yang nyata bagi kamu.”
Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan
bagi manusia dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan
rinci adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam
menentukannya. Jika tidak dijelaskan, dipastikan manusia akan berbeda dalam
menentukan mana yang haram dan mana yang tidak haram karena manusia akan
dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya. Ternyata jumlah harta yang haram itu
sedikit, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasinya.
Ini berbeda ketika Allah menjelaskan harta-harta
yang halal. Apabila Allah juga merincinya di samping jumlahnya yang sangat
banyak sehingga al-Quran menjadi jauh lebih tebal dan tidak fleksibel, hal ini
akan menimbulkan kesulitan bagi manusia sendiri. Kesulitan ini bisa saja dalam
mengidentifikasi harta-harta yang halal dan lebih gawat lagi ketika muncul
produk-produk baru yang tentu saja tidak disentuh al-Quran. Muncullah persoalan
baru tentang hukumnya. Dengan demikian metode yang ditempuh al-Quran ketika
menjelaskan harta yang haram maupun yang halal adalah dalam kerangka memberikan
kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia.
Menyangkut yang syubhat sebenarnya di sini ada
keleluasan manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah hanya memberikan isyarat,
bermain-main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala kambing
yang mengembalakan kambingnya di tepi jurang, sehingga besar kemungkinan akan
jatuh ke dalamnya. Artinya, bermain-main dengan harta yang syubhat dapat
menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan.[9]
2.4 Kedudukan Harta dan Fungsinya
Harta mempunyai kedudukan yang amat penting dalam
kehidupan manusia. Hartalah yang dapat menunjang segala kegiatan manusia,
termasuk untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia (papan, sandang dan pangan).
Harta bukan satu-satunya yang diandalkan dalam
mewujudkan pembangunan (material, spiritual), karena masih ada faktor lain yang
ikut menentukan, seperti kemauan keras, keikhlasan, kejujuran dan seperangkat
ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh masing-masing kegiatan. Harta termasuk ke
dalam lima kebutuhan pokok manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
kehormatan dan harta.
Kemudian seseorang diberi kesempatan oelh Allah
memiliki harta, banyak atau sedikit, seseorang tidak boleh sewenang-wenang
dalam menggunakan (memfungsikan) hartanya itu. Kebebasan seseorang untuk memiliki
dan memanfaatkan hartanya adalah sebatas yang dibenarkan oleh syara’. Di
samping untuk kepentingan pribadi, juga harus ada melimpah kepada pihak lain,
seperti menunaikan zakat, memberikan infaq dan sadaqah untuk kepentingan umum
dan untuk orang-orang yang memerlukan bantuan, seperti fakir miskin dan anak
yatim. Hal ini berarti bahwa harta itu juga berfungsi sosial.[10]
Firman Allah dalam surah
azd-Dzariyat:19, yang berbunyi:
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak
untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Dalam hadits Nabi saw
disebutkan,
“Sesungguhnya pada setiap harta
(seseorang), ada hak (orang lain) selain zakat. (HR. Tirmidzi)
Ditinjau dari syariah Islam, fungsi harta sangat
banyak diantaranya :
a.
Harta berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah
yang khas (mahdah).
b.
Untuk meningkatkan keimanan atau ketakwaan kepada Allah
swt, sebab kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran.
c.
Harta berfungsi untuk meneruskan kehidupan dari satu
periode ke periode berikutnya, sebagaimana firman Allah:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(QS. An-Nisa:9)
d.
harta berfungsi sebagai penyeimbang antara kehidupan
dunia dan akhirat, Nabi saw bersabda :
“Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah
dunia untuk masalah akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan
dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karenamaslah dunia adalah
menyampaikan manusia kepada masalah akhirat. (HR. Al-Bukhari)
e.
Harta berfungsi sebagai sarana harta modal pokok untuk
mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena ilmu tanpa modal akan terasa
sulit, misalnya seseorang tidak bisa berkuliah di perguruan tinggi bila tidak
memiliki biaya.
f.
Harta juga berfungsi untuk memutarkan (mentasharuf)
peranan-peranan kehidupan, seperti adanya pembantu dan tuan, adanya orang
miskin dan kaya yang saling membutuhkan sehingga tersusunlah masyarakat yang
harmonis dan berkecukupan.
2.5 Jalan-Jalan Memperoleh Harta
Sebelum menjelaskan
mengenai jalan-jalan memperoleh harta, penulis akan terlebih dahulu akan menyebutkan
sebab-sebab kepemilikan harta, yaitu:
1.
Ihraz almubahat (penguasaan harta bebas), yakni cara
pemilkan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki
pihak lain.
2.
Al-Tawallud (anak pinak atau berkembang biak), yakni
setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik.
3.
Al-khalafi (penggantian), yakni penggantian seseorang
atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama.
4.
Al-‘Aqd (akad), yakni pertalian antara ijab dan qabul
sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad.[12]
Merujuk al-Quran, akan ditemukan paling tidak tiga
cara pengumpulan harta, yaitu:
1.
Ekplorasi sumber daya alam, adalah produksi yang memungut
langsung bahan-bahan alamiah yang ada di prmukaan dan perut bumi. Tentu saja
ini membutuhkan usaha manusia untuk menguaknya. Tanpa usaha manusia, harta itu
akan tetap tersimpan dan tidak dapat termanfaatkan dengan baik. Eksplorasi
sumber daya alam mengisyaratkan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang harus dimiliki manusia.
2.
Usaha perdagangan, dalam al-Quran topik ini diungkap
dengan kata tijarah atau perdagangan yang berarti menebarkan modal untuk
mendapatkan keuntungan. Perdagangan yang disebut dalam al-Quran dengan kata
tijarah diungkapkan sebanyak 8 kali dan kata bai’un yang bermakna jual beli
disebut sebanyak 6 kali. Banyaknya ayat-ayat al-Quran yang mengungkap kata ini
menunjukkan bahwa usaha perdagangan sebagai salah satu cara utama dalam
pengumpulan harta.
3.
Pemberian orang lain, dari al-Quran terdapat isyarat
pemberian harta dari orang lain dengan jalan-jalan yang dibenarkan syariat
merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan harta. Pemberian harta dari orang
lain dapat berbentuk zakat, sadaqah, infaq, ganimah, jiziyah, fa’i, warisan dan
sebagainya. Ini bukan berarti kebolehan untuk mengharapkan belas kasihan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.[13]
2.6 Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam
Konsep kepemilikan dalam Islam mempunyai perbedaan
dengan paham-paham konvensional. Ciri khas konsep Islam tentang kepemilikan ini
adalah pada kenyataaan bahwa dalam Islam legitimasi hak milik tergantung pada
moral yang dikaitkan padanya, seperti juga jumlah matematik tergantung pada
tanda aljabar yang dikaitkan padanya.
Konsep kepemilikan dalam Islam jelas berbeda
dengan kapitalisme dan komunisme, karena tidak satu pun dari keduanya itu
berhasil dalam menempatkan individu selaras dengan kedudukan sosialnya. Hak
milik pribadi merupakan dasar kapitalisme, dimana penghapusannya merupakan
sasaran pokok ajaran sosialis. Pemilikan kekayaan yang tidak terbatas dalam
kapitalisme pasti tidak luput dari kecaman bahwa ia turut bertanggung jawab
akan kesenangan pembagian kekayaan dan pendapatan secara mencolok, karena dalam
perkembangan ekonomi sesungguhnya hampir di mana saja ia telah meningkatkan
kekuasaan dan pengaruh perserikatan perusahaan, di mana perusahaan yang
memonopili harga dan produksi, dan perusahaan memiliki hak memonopoli. Hak
milik yang tidak ada batasannya ini telah membuat yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin.di sini erjadi kedaulatan konsumen, dan
ketidaksesuaian sistem harga dan tujuan mencari keuntungan.
Sedangkan sistem komunisme yang diatur atas dasar
kolektivisme atau segala sesuatunya adalah milik negara menyebabkan
dihapuskannya milik pribadi. Walaupun perencanaan bersifat totaliter yang
digunakan dalam konsep hak milik kolektif dapat membantu untuk meniadakan
pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak kekurangan-kekurangan yang
lain, tetapi hal ini tidak bebas dari keterbatasan-keterbatasan tertentu yang
bersifat serius, yaitu mengenai soal intensif dan soal kebebasan pribadi.
Dalam komunisme, jalur perkembangan ekonomi yang
sebenarnya elah membuat manusia menjadi mesin produksi. Demikian pula fasisme
menjamin adanya mata pencaharian bagi individu tetapi terlebih dulu
menghancurkan kesatuannya yang mandiri dengan meleburnya dalam cakupan nasional
yang mekanis. Masyarakat harus banyak berkorban bersama-sama.
Islam memberikan keseimbangan antara hal-hal
berlawanan yang telah terlalu dilebih-lebihkan. Tidak hanya dengan mengakui hak
milik pribadi tetapi juga dengan menjamin pendistribusian kekayaan yang
seluas-luasnya dan paling bermanfaat melalui lembaga-lembaga yang didirikannya,
dan melalui peringatan-peringatan moral. Hal ini akan menjadi jelas jika kita
menjelaskan secara lebih konprehensif ketentuan-ketentuan pokok dan
ketentuan-ketentuan syariat mengenai hak milik kekayaan dan metode
penggunaannya.[14]
Menurut pandangan Islam, hak kepemilikan terhadap
harta dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: hak milik pribadi (al-milkiyah
al-fardiyah), hak milik umum (al-milkiyah al-‘amah) dan hak milik
negara (al-milkiyah ad-daulah). Pembagian tiga kelompok jenis hak milik
terhadap harta ini semata-mata didasarkan ketentuan nash-nash syara’ yang telah
menempatkan pembagian tersebut.[15]
2.7 Kewajiban Terhadap Harta
Mengenai pembelanjaan harta, Islam mengajarkan
agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan kebutuhan dirinya
sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya,
barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, Islam
mengharamkan bermegah-megah dan berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena
sifat ini cenderung kepada penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis
dari harta tersebut.
Islam mengajarkan ada kewajiban-kewajiban tertentu
manusia terhadap harta, baik terhadap hartanya sendiri maupun harta orang lain.
Kewajiban terhadap harta sendiri dapat berbentuk:
1.
Pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial atau
masyarakat. Dalam kaca Islam, harta atau uang adalah modal,tidak boleh
dibiarkan “idle” melainkan untuk investasi yang menghasilkan kesejahteraan umat
dengan peningkatan produksi dan kesempatan kerja.
2.
Dalam tigkat tertentu, seseorg yang memiliki harta berlebih
harus menginfakkan hartanya baik melalui institusi zakat, infaq, sodaqoh, wakaf
dan sebagainya.
3.
Seseorang yang memiliki harta harus dapat menjamin dan
menjaga harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi
orang lain.
Terhadap harta orang lain, setiap orang harus ikut
memeliharanya dari segala kerusakan dan keamanannya. Islam sangat menganjurkan
kepada umatnya untuk saling menolong apakah melalui institusi sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, gadai-menggadai, dimana terjadi pemindahan hak pemanfaatan
bukan hak milik dari seseorang kepada yang menyewa atau yang meminjam. Pada
saat itulah penyewa aau peminjam kewajiban untuk memelihara harta tersebut
sebaik-baiknya.[16]
Al-quran melarang mengembangkan harta dengan cara
menyengsarakan masyarakat dan juga memakan harta manusia dengan tidak sah,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah:188)
Di antara pokok-pokok penting dalam pengembangan
harta adalah sebagai berikut :
1.
Menghindari sentralisasi modal.
2.
Mengembangkan yayasan-yayasan kemanusiaan dengan
orientasi kemasyrakatan.
3.
Menguatkan ikatan persaudaraan dan kemasyarakatan melalui
zakat dan infaq.
Menurut Islam, harta pada hakikatnya adalah milik
Allah swt, namun karena Allah telah menurunkan kekuasaan-Nya atas harta
tersebut kepada manusia, maka ia diberi kewenangan untuk memanfaatkan dan
mengembangkannya. Sebab ketika seseorang memeiliki harta, maka esensinya dia
memiliki harta tersebut hanya untuk memanfaatkan dan dikembangkan. Namun
demikian dalam hal ini dia terikat dengan hukum-hukum syara’, dan tidak bebas
mengelola secara mutlak.[17]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Harta adalah segala sesuatu yang dapat
diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan, baik berupa benda yang tampak
seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak yakni
manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
2) Islam memandang harta dengan acuan akidah
yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia,
alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman
kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya.
Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia
dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga
mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang
3) pengelolaan harta kekayaan dalam Islam
(sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu: (a). Larangan mencampur-adukkan
yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu
memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang
bathil)”; (b). Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan
Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan”; (c). ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya,
hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).
Daftar Pustaka
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997.
Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A., Fiqih Muamalah, Bandung ,
CV. Pustaka Setia, 2001.
Hasan, M.Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
Jakarta: PT Grafindopersada. 2004.
Fadhil, Dr. Nur Ahmad dan Akmal T, Drs. Azhari. Etika
Bisnis dalam Islam. Jakarta: Hijri Pustaka Utama. 2001.
Ash-Shiddieqy, Prof
T.M. Hasbi. Pengantar Fikih Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
1989.
Sahrani, m.m., m.H, Drs. Sohari dan Abdullah,m.m, Dra. H.
Ru’fah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia. 2011.
Masa’adi,M.Ag, Drs. Ghufron A. Fiqih Muamalah
Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Triyuwono, Iwan dan As’udi, Moh. Akuntansi Syariah.
Jakarta: Salemba Empat. 2001.
Djakfar, SH.,M.Ag, Dr. H. Muhammad. Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam. Malang: Penerbit UIN Malang Press. 2007.
Solahuddin,M. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2007.
[1]
Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari
Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 70.
[4]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Grafindopersada, 2004), h. 56.
[5]
Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari
Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001),
h.70-71.
[6]
Prof T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam
Pengantar Fikih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 151.
[7]. Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, h. 9.
[8]
Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari
Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 71.
[9]
Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari
Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h.
75-78.
[10]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Grafindopersada, 2004), h. 58-61.
[11] Drs. Sohari Sahrani, m.m., m.H dan
Dra. H. Ru’fah Abdullah,m.m, dalam Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia
Indonesia,2011), h. 26.
[12]
Drs. Ghufron A. Masa’adi,M.Ag dalam
Fiqih Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), h. 56-62
[13]
Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari
Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h.
78-81.
[14]
Iwan Triyuwono dan Moh. As’udi dalam
buku Akuntansi Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), h. 45-46.
[15]
M. Solahuddin, S.E., M. Si, dalam
bukunya Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h.
66.
[16]
Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari
Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h.
82-83.
[17]
Dr. H. Muhammad Djakfar, SH.,M.Ag,
dalam bukunya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, (Malang: Penerbit UIN Malang
Press, 2007), h. 51-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar