Terlahir sebagai seorang anak yang memiliki pribadi pendiam ternyata tidak
selamanya menyenangkan. Kalian tahu, dengan sifat tersebut membuat kita sulit
beradaptasi dengan orang-orang baru dan cenderung lebih suka menyendiri
dibandingkan harus berada di tengah keramaian. Lebih memilih diam daripada
harus terus berceloteh gak karuan. Sangat tertutup dan cenderung lebih
sensitif. Ntah ini sebuah kelainan atau memang hal biasa. Meski kita
tahu bahwa dengan perbedaan dunia akan tampak lebih indah.
Begitu pula dengan menjadi 'anak rumahan’, bukan? Keseharian
waktunya hanya dihabiskan di dalam rumah. Melakukan sesuatu yang selalu
dibatasi oleh dinding-dinding putih yang selalu membisu. (Itu Kalau dinding
rumahnya warna putih ya. Warna dalam tulisan bisa disesuaikan dengan warna
rumah masing-masing. :D) Ujung-ujungnya akan terasa kaku ketika dihadapkan
dengan ‘dunia luar’. Takut melakukan ini dan itu. Kalaupun mencoba melakukan
suatu kegiatan yang ‘tak biasa’, maka akan menemukan banyak kendala dan kesalahan.
Aku kira ini hal wajar bagi mereka, ‘anak rumahan’.
Aku kira hal yang paling menonjol ketika seorang ‘anak rumahan’ keluar dari
‘sarangnya’ adalah dia akan sulit melakukan sebuah perjalanan seorang diri.
Tentu saja dia tidak mengetahui jalan mana yang harus dilalui untuk sampai ke
tempat tujuannya. Secara selama ini di rumah saja, kalau pun keluar pakai supir
yang selalu standby mengantarkan kemana pun dia pergi. Nah, aku
punya sedikit cerita mengenai hal ini. Seorang anak yang mencoba melepaskan gelarnya
sebagai ‘anak rumahan’, namun ternyata malah mendapatkan gelar baru sebagai
‘tukang nyasar’ yang kemudian melanglang buana keliling kota tempat dia
tinggal. Anggaplah namanya Riri. Selamat membaca!!
***
Saat itu hari begitu terik, dengan malas Riri keluar dari rumahnya dengan
menggunakan sepeda motor matic kesayangannya yang diberi nama Uki. Sejak
Riri memutuskan untuk menghilangkan gelar ‘anak rumahan’ yang selama ini telah
melekat padanya, Uki-lah yang senantiasa menemani Riri melanglang buana. Hari
itu Riri berjanji akan menemani temannya mencari sebuah percetakan yang murah.
“Mau kemana kita hari ini No?” tanya Riri pada temannya, Retno. “Kita cari
percetakan yang murah ya. Aku mau cetak banner buat kedai bakso mamakku ne,”
jawab Retno. “Asyek, nanti aku dapat makan bakso gratis donk,” tutur Riri penuh
harap. “Ya, baksonya doang sebiji,” jawab Retno sambil tertawa.
Pergilah mereka berkeliling Kota Medan yang saat itu menjadi kota mereka
tinggal. Setelah berkeliling gak jelas, akhirnya sampailah mereka di daerah
lapangan merdeka atas anjuran sebuah percetakan di daerah Pancing. Di salah
satu persimpangan lampu merah, mereka tampak kebingungan karena mereka tidak
melihat satupun percetakan berdiri di sana.
“Yang mana No?” tanya Riri sambil mengipas-ngipaskan tangannya, mungkin
panas sangat mengganggu mesin pendingin dalam tubuhnya. “Mana aku tau, khan kau
yang bawa jalan dari tadi,” jawab Retno dengan ringannya. “Bah, macam mananya
kau ini. khan kau yang mau cari,” cetus Riri sambil menjalankan motornya.
Roda motor Riri terus berputar tanpa tahu kapan akan berhenti lagi. Teruuus
saja, sampai dia benar-benar tidak mengenal sekelilingnya. Sedang di boncengan
Retno asyik memainkan hp-nya tanpa menyadari kalau mereka telah berjalan
terlalu jauh.
“No, dimana kita ini?” tanya Riri lagi. “Hmm, terusan Lapangan Benteng ne
kayaknya,” jawab Retno lagi-lagi dengan ringannya kemudian kembali bermain hp.
Mendengar jawaban Retno, Riri merasa sedikit lega. “Setidaknya Retno taulah
jalan ne,” pikirnya.
Hari semakin sore. Diam kembali menyelinap di antara mereka. Motor terus
melaju kencang, sesekali melambat dan beberapa kali nyaris menabrak. Riri telah
basah oleh keringat di bagian-bagian tertentu. Beberapa kali ia memandangi
garis penunjuk isi minyak karena sudah mencapai batas akhir. Tak berapa lama,
setelah merasa nyeri dibagian bokong karena terlalu lama berada di atas motor,
akhirnya Retno melemparkan pandangannya.
“Ri, dimana ini?” kini giliran Retno yang bertanya dengan gusar. “Tadi khan
kau bilang terusan Lapangan Benteng wak. Cemananya?” jawab Riri santai. “Aku
gak tau ini dimana,” ucap Retno bertambah panik. “Waduh, jadi dari tadi kau
ngapain di boncengan? Tidur?” cetus Riri dengan suara yang lebih keras sambil
membuka kaca helmnya. “Tin,Tiiiiiiin.” Beberapa kendaraan menjerit karena motor
Riri tiba-tiba berhenti di tengah jalan karena ‘kehausan’.
***
(Di lain waktu)
Riri kembali melakukan sebuah perjalanan dengan Uki. Kali ini ia bersama
seorang temannya yang lain bernama Teti. Mereka ingin makan ke sebuah tempat di
Jalan Tamrin yang kata kebanyakan orang enak. Mereka bela-belain ke sana meskipun
tempatnya lumayan jauh dari kampus mereka. Saat itu mereka sedang pergantian
dosen di kampus, jadi daripada nunggu dosen yang dua jam lagi baru datang,
mereka berpikir lebih baik cari makan dulu. Saat itu waktu memang telah memasuki
jam makan siang.
Gas motor mulai ditarik, roda berjalan sesuai prosedur. Kali ini Riri
kembali memegang kendali. Dia yakin benar mengetahui jalan menuju tujuannya.
Selip sana selip sini karena perut juga sudah melilit. Tak lama kemudian,
mereka sampai di tempat tujuan. Tak ada masalah. Tepat seperti perkiraan Riri
dalam waktu lebih kurang setengah jam mereka sampai di sebuah rumah makan yang
dituju.
“Ri, kau mau pesan apa,” tanya Teti melihat Riri yang sedari tadi tidak
juga memesan makanannya. Karena Riri adalah seorang ‘anak rumahan’ yang baru
bermigrasi menjadi ‘anak luaran’, maka sudah tentu ia bingung apa yang ingin di
pesannya, terlebih lagi membaca daftar menu yang kebanyakan sama sekali asing
baginya. Sudah empat kali pelayan pria berseragam yang bertugas melayani mereka
bertanya pada Riri makanan apa yang akan dipesannya, namun Riri belum juga
menjatuhkan pilihan.
Dan akhirnya Riri berkata, ”Enaknya aku makan apa yang tet?” “Makan sop
buntut aja mbak,” cetus pelayan tersebut ketika Teti nyaris membuka mulutnya
hendak menjawab. “Biar gemuk,” lanjut pelayan itu sambil nyengir. Antara
menghina, kesal menunggu lama atau memang ingin mengusulkan menu andalannya,
aku yakin salah satunya benar. Akhirnya Riri mengiyakan usulan dari si pelayan.
Satu jam sudah mereka berada di rumah makan tersebut, semua hidangan juga
sudah ludes. Riri mengajak Teti untuk kembali ke kampus. Di parkiran, Riri
melemparkan pandang ke sekitar. Matanya menjelajah seperti mencari sesuatu
hingga akhirnya dia berkata, “Tet, kau tau jalan pulang dari sini?” “Ya gak
lach ri, aku khan bukan orang medan. Mank kenapa? Jangan bilang kau gak tau
ya,” tutur Teti panjang lebar dengan wajah ragu. “Gak, cuma nanya aja,” jawab
Riri mencoba ngeles.
Uki melaju dengan perlahan. Sedang di atasnya, Riri tampak mulai gusar
karena tidak tahu jalan pulang. Semula ia berpkir akan mudah mencari jalan
pulang dengan mengandalkan alur jalan saat pergi. Ternyata di luar dugaan.
Sedang Teti, duduk santai di boncengan tanpa menyadari bahwa mungkin dia akan
‘berkeliling medan’ bersama Riri.
Roda terus melaju. Riri memandangi setiap tikungan yang dilewati dan
beberapa kali telah memilih tikungan sesuai instingnya. Yach, Riri hanya
mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang benar. Riri seperti sedang
berada dalam sebuah permainan ‘memilih jalan mana yang benar’. Namun tak
semudah sebuah permainan yang jika sudah ‘mentok’ dapat ditinggalkan. Ini
mempertaruhkan keselamatan dirinya dan juga teman yang dibawanya.
Sudah lebih dari satu jam ia berkeliling. Hatinya bertambah gusar ketika
dering hpnya berkali-kali berbunyi. “Ini pasti info kalau dosen udah masuk.
Ish, mana dosennya killer kali lagi,” gumam Riri. Teti yang tidak mengambil
mata kuliah tersebut nyantai aja di belakang tanpa menyadari bahwa teman
di sampingnya sudah sangat gelisah. Riri mempercepat laju motornya meskipun
belum mengetahui jalan yang sebenarnya. Bahkan untuk sekedar bertanya dengan
penduduk sekitar saja tak lagi terpikirkan olehnya. Sampai akhirnya ia
mengenali daerah ia berada, Simpang Sukarame. Tanpa ragu, dengan senyum puas Riri
memerintahkan Uki untuk melaju terus.
Satu jam lebih sudah Uki melaju tanpa berbelok. Namun, semakin lama melaju,
semakin Riri tak mengenali sekitarnya. “Ri, ini dimana? Koq gak sampe-sampe?”
tanya Teti mulai khawatir. “Tadi khan kita di simpang sukarame Tet. Kalau terus
aja seharusnya aksara,” jawab Riri ikut khawatir. “Tapi koq lama kali ya ri?
Nanti nyasar kita?” Teti kembali bertanya. “Aku pun gak tau Tet. Coba kau baca
dulu banner-banner itu, dimana kita sekarang. Aku rabun jadi gak nampak,” jawab
Riri. “Bentar ya aku lihat. Ya ampun Ri, udah sampe amplas kita. Nyasar kita Ri,”
cerocos Teti panik. Gubrak.
***
(ini yang
terakhir)
“Ces, aku pinjam buku catatan Akuntansi-mu lach, kemaren khan aku gak
masuk,” pinta Riri pada temannya, Cesi, via seluler. “Kau tu ya, di situ tugas
mau dikumpul baru heboh. Aku udah di rumah, kau ambil aja di rumahku,” tutur
Cesi. “Nyantai lach kau ces. Ya udah dimana rumahmu?” tanya Riri. “Nanti aku
sms-in aja,” ucap Cesi. “Oke deh, thanks ya ces, ngences,” canda Riri sambil
cengengesan dan kemudian mematikan panggilan keluarnya tanpa peduli jeritan
Cesi dari seberang.
Riri bergegas keluar bersama Uki meski saat itu petang sudah menjelang dan
langit tampak mendung. Alamat rumah Cesi sebenarnya tidak begitu jauh dari
rumah Riri, karena itu dia memperkirakan kalau sebelum magrib tiba sudah dapat
kembali ke rumah. “Ayo Ki, lets go,” ucapnya pada Uki. Mungkin kalau Uki
bisa bicara mungkin dia akan berkata, “Pergi aja sendiri.”
Dengan sekali bertanya dengan penduduk sekitar, dalam waktu lebih kurang
setengah jam Riri sudah bertengger di depan rumah Cesi. Dua kali Uki menjerit,
Cesi sudah nongol di pintu rumahnya dengan membawa sebuah buku. “Cepat kau
fotocopy Ri, udah mau ujan ne. Ntar keujanan pula kau,” ucap Cesi mengawali.
“Iya buq. Tapi fotocopynya dimana ya?” tanya Riri. “Di genteng, yach di tempat
fotocopy lach Ri,” canda Cesi. “Itu juga aku tau. Maksud aku tempat fotocopynya
dimana?” tutur Riri sambil memajukan bibirnya. “Haha, terus aja, ntar nampak tu
di sebelah kiri, gak jauh koq,” ucap Cesi menjelaskan sambil menunjuk sebuah
jalan.
Tak berapa lama Riri sudah berada di depan rumah Cesi. Uki kembali menjerit
dua kali mengundang Cesi keluar dari rumahnya. Kemudian Riri berlalu setelah
mengucapkan terima kasih. Dia tampak terburu-buru karena hujan sudah mulai
turun. Langit juga sudah tampak gelap. Di simpang tiga, Riri terlihat bingung,
dia lupa jalan mana yang tadi dilaluinya. Beberapa menit ia terdiam dalam
kebingungan hingga akhirnya ia dikejutkan oleh suara keras dari petir seperti
memaksanya untuk cepat memilih. Duaaaarrrrr. Semula ia membelokkan Uki ke
kanan, namun kemudian berbalik ke simpang kiri.
Rintik hujan sudah mulai turun, semakin lama semakin deras. Semburan air
yang sangat deras membuat matanya begitu perih memaksanya untuk berteduh. “Coba
tadi bawa helm dan mantel, bisa diterobos ne ujan,” gumamnya kesal. Ia berteduh
di depan sebuah apotek di salah satu persimpangan jalan. Ia melemparkan
pandangannya ke sekeliling. “Sepertinya masih jauh,” Riri kembali bergumam
melihat ia tidak mengenali daerah sekitarnya.
Saat itu waktu masih bertengger ke angka enam. Namun langit sudah tampak
sangat gelap. Seorang lelaki paruh baya
memakai kaos oblong putih dipadu dengan celana training biru dan sendal
jepit orange menghampirinya. “Bapak ini sangat lusuh dan sedikit aneh,”
pikirnya. “Basah ya?” sapanya sambil cengengesan. “Iya,” jawab Riri singkat.
Kemudian dia diam Riri pun diam. Pria itu masih berdiri di sampingnya hingga
sekian lama. “ Simpang Aksara masih jauh gak ya pak?” tanya Riri ragu. “Masih
jauh lach,” jawabnya lagi cengengesan sambil menunjuk arah jalan terus.
Riri kembali memutar pandangan. Setiap kendaraan berjalan kencang hingga
terkadang memercikkan air yang dipijaknya. Saat itu sudah masuk waktu maghrib.
Namun, hujan bukan mereda tapi malah semakin deras. Riri tampak semakin gusar. Setiap
pasang mata meliriknya tajam seperti ingin memberitahu sesuatu. Sedang pria tua
itu masih berada di sebelahnya. Riri memperhatikan penampilannya sendiri, namun
tak ada masalah, hanya basah saja. “Mungkin mereka kasihan melihat gadis
bertubuh imut sepertiku basah kuyup,” pikir Riri.
Tak lama kemudan Riri nekad menerobos derasnya hujan. Memaksa Uki untuk
berbasah-basah ria bersamanya. Riri benar-benar merasa takut sendirian dalam
keadaan seperti ini. Namun derasnya hujan membuat Riri menyerah. Matanya begitu
perih tersiram derasnya hujan hingga tak sanggup terbuka. Akhirnya ia kembali
berteduh di persimpangan lainnya yang ramai oleh orang-orang yang juga senasib
dengannya, terjebak hujan.
“Pak, ini dimana ya?” tanya Riri ketika benar-benar tak mengenali
sekelilingnya pada seorang lelaki di sebelahnya. “Ini di Bayangkara dek,”
jawabnya singkat. “Apa pak? Bayangkara?” ucap Riri terkejut. “Iya, emang adek
mau ke mana?” lelaki itu balik bertanya. “Ke Tembung pak,” jawab Riri lemas. Ya
ampun dek, salah jalur lach. Udah jauh kali adek jalan. Ini kalau ke kiri arah ke Belawan, kalau terus arah ke Kota
Medan dan kalau ke kanan arah ke Karakatau,” tutur lelaki itu panjang lebar.
Riri terdiam dan bergumam dalam hati, “Ya ampun, padahal bapak yang tadi
bilang jalan terus. Ternyata benar dugaanku kalau bapak tadi itu orang gila.
Pantas aja aneh. Nyasar lagi aku dibuatnya. Apes, apes.” Riri tertunduh lesu di
sambut suara petir yang sangat keras seolah mengejeknya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBaca kisah ini, bikin aku inget sm aku yg dulu.
BalasHapusLumayan anak rumahan jg sih, hehee..
Bagus ceritanya Nuri :)
Oyah, join blog aku ya http://meyyi29.blogspot.com/
Okesipp..tengkiu Nuri :)
hehe,,
Hapusoce mei,,
thanks..:)