Jumat, 27 Juli 2012
Kamis, 26 Juli 2012
AUDISI ANTOLOGI CERITA “ANDAI AKU JADI ... ”
30 Cerita Menarik dan Inspiratif Tentang Para Pemuja
Karkater Tayangan Di Layar Kaca (Film, Drama, Sinetron, Serial atau Telenovela)
Salam Para Penulis!
“Sumpah, aku tuh suka banget sama Spiderman.
Super hero yang cakep dan suka nolongin orang. Andai aku jadi Spider Man, akan
kutolong semua manusia yang lagi kesulitan.”
Rabu, 25 Juli 2012
Ingin Apa??
Pernah tidak kalian berpikir untuk terus berada
pada masa-masa liburan atau malah ingin selalu berada pada saat-saat kalian
disibukkan dengan aktivitas yang padat? Mungkin dari kalian ada yang menjawab
salah satu diantaranya atau bahkan keduanya. Yach,, kita selalu ingin
mendapatkan apa yang kita mau di saat yang tepat bukan? Tak lain dan tak bukan kita meliki
keinginan yang luar biasanya. Sampai terkadang kita salah menggunakan cara
untuk mendapatkannya. Namun, bukan itu yang ingin aku bahas saat ini, tapi
mengenai keinginan manusia yang terkadang membingungkan.
Selasa, 24 Juli 2012
Diskusi Langsung Bareng Pendeta
Banyak orang berpikir akan sulit untuk melakukan
hal-hal yang baginya luar biasa. Menganggap bahwa kita tak mampu melakukannya. Kita
selalu terkurung oleh sugesti yang membuat kita berhenti sebelum mencoba. Bagaimana
kita bisa tahu sesuatu itu sulit untuk dilakukan atau tidak, jika kita belum
mencoba?
Sabtu, 21 Juli 2012
Tukang Nyasar
Terlahir sebagai seorang anak yang memiliki pribadi pendiam ternyata tidak
selamanya menyenangkan. Kalian tahu, dengan sifat tersebut membuat kita sulit
beradaptasi dengan orang-orang baru dan cenderung lebih suka menyendiri
dibandingkan harus berada di tengah keramaian. Lebih memilih diam daripada
harus terus berceloteh gak karuan. Sangat tertutup dan cenderung lebih
sensitif. Ntah ini sebuah kelainan atau memang hal biasa. Meski kita
tahu bahwa dengan perbedaan dunia akan tampak lebih indah.
Minggu, 15 Juli 2012
Musuh VS Teman
“Ambil hal positif, sertai dengan pikiran
positif dan lakukan dengan positif, tak lain akan menelurkan hal yang positif
pula.”
Aku masih saja tak mengerti
dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Begitu banyak kesalahan-kesalahan
maupun keadaan yang menyimpang dari harapan. Pernahkah kalian berpikir mengapa
dunia begitu kejam dengan keadaan. Menuai kisah tak terenggut oleh kedamaian.
Bagaimana mungkin hidup bisa begitu kejam?
Selasa, 10 Juli 2012
Coretan Sepi
Sebenarnya gak tau sih mau ngomong apa di sini.
Tapi kata kebanyakan orang, kalau lagi mandet nulis, ngerasa gak ada bahan buat
ditulis dan lain sejenisnya, maka tuliskan saja apa yang lagi ada di benakmu
saat ini. Meskipun itu berisi curhatanmu yang lagi badmood nulis. Haha,
awalnya lucu juga denger nasihat ini, tapi setelah dipahami ada benernya juga
loh. Saat kita lagi gak tau mau menuliskan apa, rasa bosan itu juga ternyata
dapat dituliskan. Walhasil menjadi sebuah tulisan juga khan?
Rabu, 04 Juli 2012
Pemikiran Ekonomi Islam Abu A'la Al-Maududi
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Abul A'la Maududi, disamping sebagai
tokoh pergerakan yang banyak berbicara tentang politik, ia juga banyak
berbicara tentang ekonomi. Kepeduliannya terhadap problem umat dituangkan dalam
butir-butir pemikirannya tentang prinsip-prinsip Ekonomi Islam yang tertuang
dalam kumpulan risalahnya yang sudah dibukukan seperti Economic System of
Islam, Economic Problem of Man and It’s Islamic Solution, Way of Life dan
lain-lain.
Peranan Pers dalam Masyarakat Demokrasi
A. Pengertian pers
Pers memiliki dua posisi penting,
yaitu sebagai kegiatan media massa dan sebagai lembaga social. Sebagai lembaga
social, pers menampung segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Ini berarti
bahwa apa yang ingin disampaikan masyarakat dapat disalurkan melalui pers untuk
disampaikan kepada public. Media masa merupakan bagian tak terpisahkan di
masyarakat. Di Negara maju dan berkembang, kehadiran media masa merupakan
bagian dari lembaga social yang ada. Lembaga social yang merupakan wahana
komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik inilah kemudian dikenal
sebagai pers.
Perawi
Pendahuluan
Pengumpulan dan periwayatan hadits tidak bersifat umum,
tetapi dikumpul dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam
bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits
tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat
rumit yang telah ditetapkan oleh ulama dan yang mereka jelaskan secara lengkap
di dalam buku-buku seputar hadits.
Sumber dan Pengelolaan Data Informasi
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam organisasi banyak kita lihat
manfaat suatu sistem informasi bila digunakan sebaik mungkin. Peranan
manajemenlah yang menuntut penyebaran dan penggunaan sumber-sumber yang efesien
untuk mencapai suatu tujuan.
Dengan
demikian,
akan membantu fungsi menajemen dengan diterimanya suatu informasi dengan cepat
dan tepat. Maka diperlukan sistem informasi manajemen yang baik untuk mendukung
tujuan organisasi.
Imam yang Dibenci Ma'mum
Bab I
Pendahuluan
Tujuan saya dalam makalah ini ialah menyajikan
pembahasan mengenai imam yang dibenci oleh ma’mumnya. Dimana
dalampenjabarannya, terlebih dahulu saya sajikan seputar masalah imam. Namun,
makalah ini tetaplah memuat pembahasan sebatas imam yang dibenci ma’mumnya
seperti yang telah saya sebutkan di awal.
Basis Data
BAB I
BASIS DATA
1.1 Defenisi
Data adalah sekumpulan baris
fakta yang mewakili peristiwa yang terjadi pada organisasi atau pada lingkungan
fisik sebelum diolah ke dalam format yang bisa dimengerti dan digunakan
manusia. (Raymon McLeod, Jr ) Data
diambil dari bahasa latin, yang artinya “memberi”. Data adalah fakta yang
diberikan, darimana kenyataan tambahan dapat ditarik menjadi kesimpulan (C.J.
Date). Sedangkan menurut
Kenneth C. Laudon. Jane P. Louden ( 2010) Data yaitu kumpulan fakta-fakta kasar
yang menunjukan kejadian yang terjadi dalam organisasi atau lingkungan
fisik sebelum fakta tersebut diolah dan ditata mejadi bentuk yang
dapatdipahami.
Manajemen waktu
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ i
BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang penelitian................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................... 2
1.4 Asumsi Dan Batasan
Masalah.......................................................................... 3
1.5 Metode Pengamatan.......................................................................................... 3
1.6 Manfaat.............................................................................................................. 3
Islam di Indonesia
Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Ketika Malaka
mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan yang baru, banyak pedagang dari Arab, India
(Bengali), dan Persia
yang meninggalkan Pasai. Mereka
telah menjadi lapisan elit yang kaya berkat perdagangan yang mereka kuasai. Di
samping itu, terdapat para ulama yang sebagian besar berkebangsaan Arab. Mereka
inilah yang berperan mengajarkan agama Islam di lingkungan masyarakat di pusat
perdagangan yang tersebar di Asia Tenggara. Hubungan antara Majapahit dan
Kesultanan Malaka pada bagian kedua abad XV tidak hanya dalam pemerintahan,
tetapi juga perdagangan. Majapahit memperoleh pasokan barang-barang mewah dari
Kesultanan Malaka. Sebaliknya, Majapahit memberikan bahan-bahan makanan berupa
beras serta hasil pertanian lainnya. Malaka berperan penting dalam mempercepat
islamisasi di bandar-bandar sepanjang jalur perdagangan ke Majapahit. Ini
merupakan awal pertumbuhan komunitas Islam yang akan menyebar sampai ke
pedalaman Pulau Jawa.
Sejarawan telah memberikan beberapa pendapat
mengenai waktu masuknya Islam ke Indonesia. Beberapa pendapat tersebut adalah
sebagai berikut :
- Agama Islam telah masuk ke wilayah Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ketujuh Masehi dan dibawa para saudagar Arab yang berdagang di Tiongkok. Dari tanah Arab, para saudagar itu menuju Tiongkok melalui jalur Arab-Malabar-Nicobar-Kamboja-Aceh.
- Agama Islam masuk ke Indonesia, tepatnya di daerah Aceh, pada pertengahan abad ke-7 Hijriah (ke-12 M). Hal ini dapat dibuktikan melalui kedatangan seorang mubaligh bernama Abdullah Arief pada tahun 1151 M ke wilayah Aceh. Pada tahun 1205 M tercatat sebuah nama penguasa muslim bernama Raj Johan Syah yang menguasai wilayah sampai ke Semenanjung Melayu.
- Berdasarkan hasil seminar nasional tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-1 H (abad ke-7 M) secara langsung dari tanah Arab. Daerah yang pertama kali menjadi tempat masuknya Islam adalah pesisir Sumatra. Agama Islam disebarkan oleh para saudagar muslim dengan cara damai.
Proses Penyebaran Islam di Indonesia
Berdasarkan sumber sejarah, baik tulisan maupun
peninggalan fisik, proses penyebaran Islam di Indonesia adalah sebagai berikut.
- Para pedagang muslim mancanegara mendirikan permukiman semi permanen di sejumlah bandar penting Indonesia. Mereka mendirikan mesjid untuk keperluan kegiatan keagamaan. Saat berinteraksi dengan masyarakat pribumi, mereka mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.
- Pengenalan ajaran dan nilai-nilai Islam belum memperoleh tanggapan saat pengaruh kerajaan Hindu-Budha masih kuat. Meskipun demikian, para pedagang Islam tetap aktif berdakwah, bahkan melibatkan para mubaligh dari negeri asal mereka. Upaya itu menunjukkan hasil ketika pengaruh kerajaan Hindu-Budha mulai surut. Sejumlah permukiman muslim yang permanen bermunculan di sejumlah bandar penting, seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
- Berkembangnya permukiman muslim di pusat perdagangan menjadikan masyarakat muslim sebagai kekuatan ekonomi. Para pedagang muslim pribumi terlibat aktif dalam kegiatan perdagangan mancanegara. Kekuatan ekonomi belum beralih menjadi kekuatan politik selama kerajaan Hindu-Budha masih berpengaruh.
- Kekuatan ekonomi itu beralih menjadi kekuatan politik saat penguasa pribumi di bandar dagang menjadi muslim. Kondisi itu dipercepat dengan mundurnya pengaruh kerajaan Hindu-Budha. Puncak kekuatan politik Islam adalah munculnya sejumlah kerajaan Islam di Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia terjadi
melalui beberapa cara, yaitu :
- Melalui Perdagangan
- Melalui Perkawinan
- Melalui Tasawuf
- Melalui Pendidikan
- Melalui Kesenian
- Melalui Politik
Dalam menyebarkan agama Islam, ada golongan-golongan
yang berperan di dalamnya. Agama Islam pada awalnya dibawa oleh para pedagang
dari Arab, Persia, India dan Mesir, kemudian disebarkan dan dikembangkan oleh
para ulama dan mubaligh Indonesia, seperti :
- Dato’ri Bandang dan Dato Sulaeman yang menyebarkan agama Islam di Gowa dan Tallo, Sulawesi Selatan.
- Dato’ri Bandang bersama Tuan Tunggang’ri Parangan yang melanjutkan penyebaran agama Islam sampai ke Kutai, Kalimantan Timur.
- Para wali dengan sebutan wali songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Nama wali songo adalah nama suatu dewan mubaligh
di Jawa. Apabila salah satu anggota dewan wafat, dia digantikan oleh wali yang
lain berdasarkan musyawarah. Setiap wali mempunyai tugas melanjutkan penyiaran
Islam di Pulau Jawa. Berikut ini adalah nama-nama wali songo.
a. Maulana
Malik Ibrahim yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di
Gresik (dikenal dengan sebuatan Sunan Gresik)..
b. Sunan
Ampel yang semula bernama Raden Rakhmat berkedudukan di Ngampel (Ampel), dekat Surabaya.
c. Sunan
Bonang yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rakhmat dan berkedudukan
di Bonang, dekat Tuban.
d. Sunan
Drajat yang semula bernama Syarifuddin juga putra Raden Rakhmat yang
berkedudukan di Drajat dekat Sedayu (Surabaya).
e. Sunan
Giri yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit
Giri Gresik.
f. Sunan
Muria yang semula bernama Raden Umar Said yang berkedudukan di Gunung Muria di
daerah Kudus.
g.
Sunan Kudus yang semula bernama Jafar Sidiq yang berkedudukan di Kudus.
h. Sunan
Kalijaga yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak.
i. Sunan Gunung Jati yang semula bernama Syarif Hidayatullah yang berasal dari Samudera Pasai. Ia dapat merebut Sunda Kelapa Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.
i. Sunan Gunung Jati yang semula bernama Syarif Hidayatullah yang berasal dari Samudera Pasai. Ia dapat merebut Sunda Kelapa Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.
Selain para ulama, para pedagang dan para muslim
Cina juga memegang peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam.
Pengaruh Islam terhadap Peradaban Bangsa Indonesia
Secara
geografis, wilayah Indonesia
termasuk dalam kawasan Asia Tenggara. Masyarakat di wilayah ini telah memiliki peradaban yang tinggi sebelum
kedatangan Islam. Hal itu disebabkan karena wilayah Asia Tenggara merupakan
negara-negara yang memiliki kesamaan budaya dan agama.negara-negara tersebut
telah memiliki kontak dengan peradaban bangsa India. Kontak itu tidak hanya
terjadi dalam aspek peradabannya saja, tetapi juga meliputi agama dan
kepercayaan.
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah mengenal
tulisan yang diajarkan para penyebar agama Hindu dan Budha. Pengaruh itu telah
berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-7 M sampai abad ke-14 dan
ke-15 M. Pengaruh. Hindhuisme dan Budhaisme membawa prubahan besar, terutama
dalam sistem pemerintahan.
Pengaruh agama Hindhu dan Budha bagi masyarakat
Indonesia dapat dilihat dari banyaknya bangunan-bangunan suci untuk peribadatan,
seperti candi, ukiran, patung, dan relief. Ukiran dan relief yang terdapat di
dalam menggambarkan kreativitas bangsa Indonesia. Dalam bidang sastra, lahir
beberapa kitab semacam kitab suluk yang menceritakan perjalanan seorang sufi
dalam mendapatkan ilmu sejati. Contohnya adalah Kitab Dewa Ruci.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa bangsa
Indonesia sebelum menerima agama Islam telah mempunyai agama dan kepercayaan,
yaitu agama Budha, Hindhu serta animisme dan dinamisme. Di samping itu,
masyarakat Indonesia telah memiliki peradaban sebelum kedatangan agama Islam,
seperti peradaban magalithicum dan peradaban yang merupakan perpaduan antara
peradaban lokal dan peradaban Hindhu-Budha. Pada abad ke-7, Islam belum
menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama
Budha masih memegang peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan
sosial, politik, perekonomian dan kebudayaan. Pada awal abad ke-13 M, kerajaan
ini memasuki masa kemunduran. Dalam kondisi seperti ini, pedagang-pedagang
muslim memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan
menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Mereka tidak hanya
membangun perkampungan yang ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintah
yang dikehendaki. Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri adalah sebagai
berikut :
- Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam Samudra Pasai adalah kerajaan Islam
pertama di Indonesia. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar
awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil proses islamisasi di
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang muslim sejak abad
ke-7 M. Raja pertamanya adalah Malik as-Saleh.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan gelar
Malik as-Slaeh sebelum menjadi raja adalam Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk
Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah yang
kemudian memberinya gelar Sultan Malik as-Saleh. Adapun raja-raja yang
menggantikan kedudukannya adalah sebagai berikut :
- Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326 M)
- Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345 M)
- Mansur Malik az-Zahir (1345-1346 M)
- Ahmad Malik az-Zahir (1346-1383 M)
- Zainal Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M)
- Nahrasiyah
- Abu Zaid Malik az-Zahir
- Mahmud Malik az-Zahir (1455-1477 M)
- Zainal Abidin (1477-1500 M)
- Abdullah Malik az-Zahir (1500-1513 M)
- Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan Islam Samudra Pasai berlangsung sampai
dengan tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis
yang mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M, kerajaan ini direbut
oleh Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Raja Ali Mugayat Syah.
- Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15
M. Pendirinya dalah Ali Mugayat Syah. Ia meluaskan wilayahnya ke daerah Pidie
yang bekerja sama dengan Portugis yang kemudian menaklukkan Kerajaan Islam
Samudra Pasai tahun 1524 M.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam
adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Untuk menghadapi
tentara Portugis, ia bekerja sama dengan Kerajaan Turki Usmani dan
kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia.
Puncak kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terjadi
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya,
Kerajaan Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatra.
Ia memerintahkan dengan keras dalam menentang penjajahan Portugis. Setelah itu,
kedudukannya digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memerintah secara lebih
liberal. Pada masanya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam mengalami masa keemasan.
Akan tetapi, setelah kematiannya negara dipimpin oleh para penguasa perempuan
(1641-1699 M). Akibatnya, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran. Akhirnya, pada
abad ke-18 M, Kerajaan Aceh runtuh dan kebesarannya hanya tinggal kenangan.
- Kerajaan Demak
Kerajaan ini didirikan atas prakarsa para wali. Di
bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah
sebagai raja pertama Kerajaan Demak. Ia mendapat gelar Senopati Jimbul
Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Dalam menjalankan
pemerintahannya, Raden Patah dibantu oleh para wali, terutama dalam
persoalan-persoalan agama. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro
merupakan daerah asal (kekuasaan) Majapahit yang diberikan raja Majapahit
kepada Raden Patah. Daerah ini semakin lama berkembang menjadi daerah yang
ramai dan pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan para wali.
Masa pemerintahan Raden Patah berlangsung sejak
akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16 M. Raden Patah adalah anak raja
Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya
yang bernama Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor. Ketika menggantikan kedudukan
ayahnya, Pati Unus baru berusia 17 tahun pada tahun 1507 M.
Setelah menduduki jabatan sebagai raja,ia
merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin
memuncak ketika Malak ditaklukkan oleh Portugis tahun 1511 M. Serangan yang
dilakukannya mengalami kegagalan. Karena kerasnya ombak dan kuatnya pasukan
Portugis, ia kembali ke Demak tahun 1513 M.
Pati Unus digantikan oleh Sultan Trenggono, ia
kembali dilantik Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia
memerintah pada tahun 1524-1546 M. Pada masanya, agama Islam berkembang sampai
ke Kalimantan Selatan. Dalam penyerangan ke Blambangan, Sultan Trenggono
meninggal (1546 M). Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Prawoto. Pada masanya
terjadi kerusuhan sehingga ia terbunuh. Kedudukannya kemudian digantikan oleh
Joko Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang. Pada masa ini, Kerajaan
Islam Demak pindah ke Pajang.
- Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Demak. Raja pertamanya adalah Joko Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia
adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di Pajang. Setelah ia
mengambil alih kekuasaan dari tangan Aria Penangsang pada tahun 1546 M, seluruh
kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajang. Ia mendapat gelar Sultan Adiwijaya.
Pada masa pemerintahannya, ia berusaha memperluas
wilayah kekuasaannya ke pedalaman di arah timur hingga Madiun. Setelah itu, ia
menaklukkan Blora pada tahun 1554 M dan Kediri tahun 1577 M. Pada tahun 1581 M,
ia mendapat pengakuan dari para raja di Jawa sebagai raja Islam. Di masa
pemerintahannya, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan
Jepara mulai dikenal di pedalaman Jawa. Hal itu menyebabkan pengaruh islam
makin kuat di pedalaman Jawa.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya tahun 1587 M,
kedudukannya digantikan oleh Aria Panggiri, anak Sunan Prawoto. Sementara itu,
anak Sultan Adiwijaya, yaitu Pangeran Benawa diberi kekuasaan di Jipang. Akan
tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri dengan mendapat
bantuan dari Senopati Mataram. Usahanya itu berhasil dan ia memberikan tanda
terima kasih kepada Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, ia
menolak tawaran itu. Ia hanya meminta pusaka Kerajaan Pajang untuk dipindahkan
ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang berada di bawah perlindungan
Mataram dan kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.
- Kerajaan Mataram
Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa
Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja
sebenarnya telah terpenuhi. Dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti itu berarti
penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia
digantikan oleh puteranya bernama Seda Ing Krapyak yang memerinyah sampai tahun
1613 M. Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613-1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak-kontak
bersenjata antara Kerajaan Mataram dan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M, ia
digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara
dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para
ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian
diteruskan oleh Raden Kajoran tahun 1677-1678 M. Pemberontakan-pemberontakan
seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Mataram.
- Kerajaan Mataram
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam
pertama di daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia
diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat tahun 1568 M dalam usia 129
tahun. Kedudukannya sebagai Wali Songo membuat ia mendapat penghormatan dari
raja-raja di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri
sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran,
Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Kerajaan Pajajaran yang belum menganut
ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan
ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan,
Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon dan
Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan inilah
yang meruntuhkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan
oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu
wafat pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan
Girilaya. Sepeninggalnya, Kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang
putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau
Panembahan Anom. Penembahan Sepuh memimpin Kesultanan Kasepuhan yang bergelar
Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar
Badruddin.
- Kerajaan Banten
Setelah Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada
tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon. Kekuasaan diserahkan kepada putranya,
yaitu Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin kemudian menikah dengan puteri Demak
dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552 M. Ia meneruskan
usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung dan Sumatra
Selatan. Pada tahun 1527 M, ia berhasil menaklukkan Sunda Kelapa.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih
ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu, ia dianggap
sebagai raja Islam pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M,
kedudukannya digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Yusuf. Ia menaklukkan
Pakuan pada tahun 1579 M sehingga banyak bangsawan Sunda yang masuk Islam.
Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580
M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Muhammad yang masih muda belia. Selama
itu, kekuasaan dipegang oleh Qadi bersama empat pembesar istana lainnya.
Muhammad meninggal tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu, kedudukannya
digantikan oleh anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mafakhir Mahmud
Abdulkadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M dan mendapat gelar
Sultan dari Mekkah. Pada masa Sultan Abdul Fatah (1651-1659 M) terjadi beberapa
kali peperangan dengan VOC yang berakhir dengan perdamaian tahun 1659 M.
- Kerajaan Islam di Kalimantan
Penyebaran Islam di Kalimantan banyak dilakukan
oleh para mubaligh dari Jawa. Hal itu terjadi karena hubungan masyarakat antara
dua kepulauan itu sudah terjalin sejak masa pemerintahan Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Kutai. Oleh karena itu, para mubaligh pada masa berikutnya hanya
melanjutkan hubungan yang telah terjalin cukup lama itu. Di antara mubaligh
yang datang ke Kalimantan adalah Khatib Dayyan serta mubaligh dari Banjar,
yaitu Muhammad Arsyad al-Banjari yang menegakkan ajaran Islam di Kalimantan
pada abad ke-18 M.
Ketika Demak berkuasa, terutama pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M), terjadi konflik di Kerajaan Daha,
yaitu Pangeran Samudera dan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Samudera meminta
bantuan kepada Demak. Permohonan itu diterima dengan syarat, jika ia
memenangkan peperangan, ia harus masuk Islam. Ternyata, peperangan itu
dimenangkan oleh Pangeran Samudera. Ia pun masuk Islam.
Di Kalimantan Barat, yaitu di daerah Sukadana,
sejak tahun 1550 M telah berdiri kerajaan Islam. Sultan yang perama adalah
Penembahan Girikusuma (1591 M) dan yang kedua adalah Sultan Muhammad Safiuddin
(1677 M).
- Kerajaan Islam di Sulawesi
Di sulawesi terdapat beberapa kerajaan, di
antaranya adalah Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Kerajaan Gowa-Tallo
merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan. Kerajaan ini terletak di
semenanjung barat daya Pulau Sulawesi yang merupakan daerah strategis.
Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan
laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima
Islam dari Gresik. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Kerajaan Ternate
mengadakan persahabatan dengan Kerajaan
Gowa-Tallo. Babullah mengajak raja kerajaan tersebut untuk menerima
agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Dato’ri Bandang datang ke Kerajaan
Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Sultan Alauddin adalah raja
pertama yang memeluk Islam pada tahun 1605 M. Setahun kemudian, hampir seluruh
rakyat Gowa-Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang berjasa dalam menyebarkan ajaran
Islam di daerah itu adalah abdul Qadir Khatib Tunggal yang berasal dari
Minangkabau. Raja Gowa-Tallo sangat besar perannya dalam penyebaran Islam.
Bukan hanya rakyatnya yang menerima Islam, tetapi juga kerajaan-kerajaan di
sekitarnya, seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Wajo menerima Islam tahun
1610 M. Bone menerima Islam tahun 1611 M. Raja Bone pertama yang menerima Islam
bergelar Sultan Adam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masuknya
Islam ke wilayah Sulawesi menjadi sebab utama bersatunya kerajaan-kerajaan yang
ada di sana. Meskipun sudah masuk Islam, pertempuran antara satu kerajaan Islam
dengan kerajaan Islam yang lain masih terjadi. Meskipun demikian, Islam tetap
memberi arti penting bagi kemajuan peradaban masyarakat di Sulawesi.
Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Peranan itu dapat dilihat dari
pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia yang sangat luas. Hal itu menimbulkan
kesulitan untuk memisahkan antara kebudayaan lokal dan kebudayaan Islam.
Secara sosiokultural, pengaruh Islam terhadap
peradaban bangsa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa hal berikut :
- Pengaruh Adat Istiadat
Pengaruh peradaban Islam dalam adat istiadat di
Indonesia sering kita jumpai, seperti ucapan salam berupa kalimat ’alikum wa rahmatullah wa barakatuh yang
digunakan dalam berbagai forum resmi. Di samping itu, juga terdapat ucapan
kalimat-kalimat doa yang digunakan dalam rapat akbar, seperti istigasah, kubra,
tahlilan dan ucapan basmalah ketika akan memulai suatu pekerjaan atau acara.
- Pengaruh Kesenian
Pengaruh kesenian yang cukup menonjol, antara lain
irama kasidah, nasid, tilawatil qur’an dan lagu-lagu yang bernafaskan Islam.
Syair pujian yang mengagungkan nama-nama Allah juga sering didengungkan oleh
umat Silam di mesjid dan musala. Hal itu merupakan bukti adanya pengaruh ajaran
Islam terhadap kehidupan masyarakat Insonesia.
- Pengaruh Bangsa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga
tidak terlepas dari pengaruh bahasa Islam, yaitu bahasa Arab. Misalnya kata wajib berasal dari bahasa arab yaitu fardu, kata lahir berasal dari bahasa Arab zahir,
sedangkan akhir kata berasal dari
bahasa Arab akhirul kalam. Begitu
juga dengan nama. Masyarakat Indonesia memberi nama anak mereka dengan
nama Arab, seperti abdullah, Muhammad,
Ahmad, Abdul Aziz, Abdul Razak, Aminah, Khadijah dan Aisyah.
- Pengaruh Politik
Setelah
tersosialisasinya agama Islam, maka kepentingan politik dilaksanakan melalui
perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti pula dengan penyebaran agama Islam.
Pengaruh ini juga dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita
jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak, Banten dan Tidore.
Perkembangan Islam di Indonesia
Pada
abad ke-17 M, tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah
Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang
ke Indonesia
dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara
dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan Islam di
Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang
menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan
sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek
kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para Ulama
saat itu. Ketika penjajahan datang, mereka mengubah pesantren-pesantren menjadi
markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi
jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi
panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan
terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.
Potensi-potensi
tumbuh dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah.
Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan
Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad
melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang
akhirnya menggunakan strategi-strategi:
- Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
- Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Awal
abad ke-20 M, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas
budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat
membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi
memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam
tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari
Al-Qur’an dan hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu
juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi
oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan pun tidak seluruh masyarakat
melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin
pergerakan berasal dari golongan bangsawan.
Strategi
perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal
daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan
organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang
mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah
yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat
kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi
pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.
Tokoh
Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut
pada usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka
diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik
gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia.
Serikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan
Belanda. Tokoh-tokoh Serikat Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis,
yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang
bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Dakwah
Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya
Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman
tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian
berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang
anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Di
masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan
kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu
(Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap
umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan
Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama di pusat
dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan
akibatnya membuat umat dapat terbodohi.
Pemerintahan
pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan
membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih
mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk
menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu
rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang kontroversi dalam piagam
ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat
Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.
Menjelang
abad ke-21 M, proses dakwah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya
globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional
secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi
segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka
proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat
kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awalnya
masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang
sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa
kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota
pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya
berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia
bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan
terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk
muslim terbesar di dunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah
kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.
Referensi
Wahid, N. Abbas, Khazanah Sejarah Kebudayaan
Islam, Solo:PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Matroji, Sejarah,
Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008.
Surpriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Hamka, Prof.DR, Sejarah Umat Islam, Jakarta:Penerbit Bulan Bintang, 1976.
Hasymy, Prof. A, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Aceh : PT.
Alma’arif, 1993.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Mansur, Ahmad, Menemukan Sejarah, Bandung:Penerbit Mizan, 1996.
Ijtihad
A.
Pengertian
Ijtihad
Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri
al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
ﺑﺬل وﺳﻌﻪ وﻃﺎﻗﺘﻪ ﰱ ﻃﻠﺒﻪ ﻟﻴﺒﻠﻎ ﻣﺠﻬﻮدﻩ وﻳﺼﻞ إﱃ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ
“Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan
pencarian suatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.”[1]
Menurut al-Syaukani, arti etimologi
ijtihad adalah:
ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ اﺳﺘﻔﺮاغ اﻟﻮﺳﻊ ﰱ اي ﻓﻌﻞ
“Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa
saja.”[2]
Menurut Abu Zahrah, secara istilah,
arti ijtihad ialah:
ﺑﺪل اﻟﻔﻘﻴﻪ وﺳﻌﻪ ﰱ اﺳﺘﻨﺒﺎط اﻻﺣﻜﺎم اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ
“Upaya seorang ahli fikih dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci.”[3]
Menurut al-Amidi yang dikutip oleh
Wahbah al-Zuhaili, ijtihad ialah:
اﺳﺘﻔﺮغ اﻟﻮﺳﻊ ﰱ ﻃﻠﺐ اﻟﻈﻦ ﺑﺸﻰءﻣﻦ اﻻﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ
“Pengerahan segala kemampuan untuk
menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara’.”[4]
Secara etimologis kata ijtihad diambil dari kata dasar(mujarrad)nya al-jahd
atau al-juhd yang berarti al-masyaqqah yaitu kepayahan, kesulitan atau
kesungguhan.[5] Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau
at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan
al-ifti‘al dari kata dasarnya al-juhd, yaitu kemampuan.[6] Menurut as-Sa‘d at-Taftazani, sebagaimana
dikutip Nadiyah Syarif al-‘Umari, bahwa secara etimologis kata ijtihad
digunakan untuk menyebut pekerjaan yang berat dan sulit, bukan untuk pekerjaan
yang ringan dan mudah.[7] Sehingga istilah ini dipakai untuk sebutan
aktifitas penggalian hukum Islam dari sumber-sumber aslinya, karena aktifitas
ini memang menuntut suatu kesungguhan, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan secara terminologis, ijitihad adalah pengerahan potensi oleh
seorang ahli fiqh dalam rangka memperoleh hukum Syar‘i baik yang berupa hukum
aqli maupun naqli, atau qat‘i maupun zanni.[8] Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas, ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah
usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja
yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang.[9]
Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran
untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan
fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan
segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”[10]
Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mengatakan ijtihad (secara bahasa),
berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Ia mendefinisikan
ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu
dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang
hukum syar'i.[11]
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu
tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
B.
Dasar Ijtihad
Dasar hukum ijtihad dapat berasal dari al-Qur’an maupun hadits,
diantaranya yaitu:
Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat
59
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan
diantara kamu kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada allah (al-Qur'an dan sunnah nabi).
Firman Allah dalam Surat an-Nisa:83
Artinya: Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri[12] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[13]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Firman Allah Surat al-Anfal:41
Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampaan perang maka sesungguhnya setengah untuk Allah, Rosul, Kerabat rosul,
anak-anak yatim, orang-orang miskan dan ibnu sabil. Jika kamu beriamn kepada
Allah dan kepada apa yang kami terunkan kepada hamba kami muhammad dari hari
furqon yaitu bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa ata segala sesuatu.
Firman Allah Surat ar-Rum:21
Artinya : ... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Sabda Rasullullah Saw:
Artinya dari Mu'adz bin Jabal ketika
nabi Muhammad SAW mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau
bertanya kepada Mu'adz, “Apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu
perkara yang harus di putuskan?” Mua'dz menjawab, "Aku akan memutuskan
berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam Kitabullah". Nabi bertanya lagi,
"Bagaimana jika dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?"
Mu'adz menjawab, "Dengan berdasarkan sunnah Rasulullah". Nabi
bertanya lagi, "Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula
dalam sunnah Rasullullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan menjawab dengan
pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan", lalu
Mu'adz mengatakan," Rasullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan,
segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk
hal yang melegakan".[14]
Hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:
اذا ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﻓﺎﺻﺎب ﻓﻠﻪ اﺟﺮان واذا ﺣﻜﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﺛﻢ اﺧﻂﺄ ﻓﻠﻪ اﺟﺮ واﺣﺪ
"Bila seorang hakim akan
memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian
hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala
kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala
(pahala melakukan ijtihad).”[15]
C.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara
sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur
secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan
pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi
kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu
maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada
dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan
dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun, jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan al-Hadist,
pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
D. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan
al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a. Pada
dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu
ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses
berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa daripada ajaran Islam.
E. Hukum Ijtihad
Ulama
berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya
tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad
bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib
kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang
Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu
peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja
tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas
hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang
muslim yang memenuhi kriteria mujtahi yang diminta fatwa hukum atas suatu
peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan
selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua
mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya
berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka
gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum
berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak
atau belum terjadi. Keempat, hukum
ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qath’i, baik dalam
al-Qur’an maupun sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijma’.[16]
F.
Jenis-jenis
ijtihad
a. Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan
yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
b. Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan
atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang
belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat,
bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi) :
1.
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju
kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.
Membuktikan hukum definitif untuk yang
definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
c. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
1.
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih
(ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih
tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk
mencegah kemudharatan.
5.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di
masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
d. Mashlahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan
masalah yang tidak ada naskhnya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
e. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan
suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
f. Istishab
Adalah tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
g. Urf
Adalah tindakan menentukan
masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran
dan Hadis.
G.
Ijtihad : Sumber Dinamika
Dalam buku Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah ada
sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri merupakan mujtahid (ahli
ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas pada masalah-masalah yang belum
ditetapkan hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar maka akan
turun wahyu membenarkannya. Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk
meluruskan kesalahan tersebut. Secara umum, di kalangan para ulama menyepakati
ijtihad Rasulullah SAW dalam urusan-urusan kemashlahatan yang bersifat
keduniawian, pengaturan taktik dan strategi peperangan, dan keputusan-keputusan
yang berhubungan dengan persengketaan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat
mengenai ijtihad Rasulullah SAW dalam utusan hukum-hukum agama.[17]
Suatu hari, salah seorang sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan
shalat tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan junub. Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal
tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat. Untuk menengahi
persoalan itu, Rasulullah SAW lantas bersabda dalam rangka membenarkan
perbuatan Amr, "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya
dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala."
(HR Bukhari dan Muslim).
Ijtihad banyak digunakan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya Rasul,
tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian pula hadits pun tidak
bertambah. Sementara di sisi lain, problema yang timbul di tengah umat makin
bertambah, baik ragam maupun jumlah. Salah satu mekanisme ijtihad yang
dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dengan
mengumpulkan para sahabat guna bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap
permasalahan tertentu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan
berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak ditemukan nash-nya dalam
Alquran.
Ijtihad ini kian mengalami perkembangan setelah masa sahabat. Kemunculan
sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibn Shihad
az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai
hal tersebut. Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai masa
perkembangan paling pesat. Masa ini pula kemudian dikenal dengan periode
pembukuan sunah dan fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka yang
merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii
serta Imam Hanbali.
Akan tetapi, ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah abad keempat
Hijriyah. Muncul pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran
umat Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Selain itu,
tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal yang memiliki kemampuan seperti para
mujtahid sebelumnya. Selanjutnya,
perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum
tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di
antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan
qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Terhentinya
atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan
pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan
teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang
lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan
mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya
orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk
opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum
yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal
Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus
yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim
telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang
nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan
kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para
mujtahid terdahulu.
Tanpa
disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada
(ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid,
walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena
kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan
manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang
dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Ijtihad
diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan
dan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajara Islam,
mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad
juga adalah saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
H.
Syarat Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Para ulama membuat
norma-norma dan persyaratan seseorang yang dapat melakukan ijtihad yang secara
umum sulit dipenuhi, sehingga ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang berpendapat
bahwa pintu ijtihad sudah tertutup karena sudah tidak mungkin lagi menemukan
orang yang dapat memenuhi persyaratan sebagai mujtahid sepeninggal para ulama
mujtahid abad III H. Kalau dilacak sejarahnya, ternyata fatwa pintu ijtihad
sudah tertutup (insidad bab al-ijtihad) itu hanya dilontarkan perorangan saja,
bukan merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana klaim Imam ar-Rafi‘i (w.
623 H). Ia
berpendapat “bahwa semua orang sepertinya sudah sepakat bahwa sekarang ini
tidak ada lagi mujtahid”.[18]
Pendapat
itu disangkal oleh az-Zarkasyi (745-794 H) dan mayoritas ulama Hanabilah.[19]
Menurut hemat penulis, bahwa persyaratan ijtihad itu bukanlah doktrin yang harus terpenuhi secara
sempurna, artinya perlu modifikasi kembali, karena jika demikian justru akan
membuat hukum Islam itu tidak berkembang, sementara persoalan hukum akan terus
bermunculan mengiringi dinamika sosial masyarakat. Artinya, perlu reformulasi
fiqh ijtihad yang lebih memberikan peluang bagi dinamika hukum Islam, terutama
dalam merespon hukum-hukum muamalat yang sangat dinamis perkembangannya,
meskipun tidak keluar jauh dari koridor umum hukum Islam.
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh
para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
1.
Harus
mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
a.
Mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat.
b.
Mengetahui
sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
c.
Mengetahui
sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan
mutasyabih, dan sebagainya.
d.
Menguasai ilmu
tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
2.
Mengetahui
Assunah dan ilmu Hadits
3.
Mengetahui
bahasa arab
4.
Mengethui
tema-tema yang sudah merupakan ijma'
5.
Mengetahui usul
fiqih
6.
Mengetahui
maksud-maksud sejarah
7.
Mengenal
manusia dan alam sekitarnya
8.
Mempunyai sifat
adil dan taqwa
Syarat tambahan :
1. Mengetahui ilmu ushuluddin
2. Mengetahui ilmu mantiq
3. Mengetahui cabang-cabang fiqih
I.
Tingkatan-Tingkatan
Para Mujtahid
Para mujtahid mempunyai
tingkatan-tingkatan:
1.
Mujtahid mutlaq
atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk
ber-isbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits dengan menggunakan kaidah mereka
sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini
yang paling terkenal adalah imam madzhab yang empat.
2.
Mujtahid
muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan
guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam
Abu Hanifah
3.
Mujtahid fil
madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun
dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i
4.
Mujtahid tarjih
yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk
menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi
kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat,
misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali.
J. Kesimpulan
Dari beberapa defenisi di atas mengenai
ijtihad, maka dapat disimpulkan bahwa ijtihad (bahasa Arab : اجتهاد) dari kata
al-jahd atau al-juhd yang berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau
mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk
mencapai atau memperoleh sesuatu. Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya
pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang
didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Dasar dilakukannya sebuah ijtihad
adalahdari al-Qur’an dan hadits. Ijtihad dilakukan untuk memenuhi keperluan
umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu
tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Jika muncul persoalan yang
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran
dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran
dan Al Hadist.
Adapun hukum berijtihad bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut. Ijtihad memiliki beberapa jenis, diantaranya ialah ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah murshalah, Sududz Dzariah, istishab, dan ‘urf. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Dimana untuk menjadi mujtahid harus memenuhi banyak persyaratan yang dapat dibilang sulit. Dan mujtahid juga memiliki beberapa tingkatan.
Daftar Pustaka
Fazlur
Rahman, Islamic Methodology in History, Terj. Anas Mahyuddin, Membuka Pintu
Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1995.
Hanafie, MA.,Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII.
Drs.
Atang Abd. Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.
Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA.,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad asy-Syaukani,
Relevansinya bagi Perubahan Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Umari, Nadiyyah Syarif al-. al-Ijtihad
fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1986.
http://mmishbah.blogspot.com/2008/02/tentang-ijtihad.html
http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/kedudukani_ijtihad.htm
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/New/Nash%20dan%20Ijtihad.htm
[5] A.W.
Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14.
Surabaya: Pustaka Progresif. hlm. 217 dan 733. Dalam al-Qur’an al-juhd
disebutkan dalam tiga tempat, yaitu dalam surat an-Nahl: 38; an-Nur:53 dan;
Fatir: 42, yang semuanya menunjukkan arti ijtihad, yaitu mencurahkan segala
kesungguhan, kemampuan dalam bersumpah. Lihat Nadiyyah Syarif
al-‘Umari.1406/1986. al-Ijtihad fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah
ar-Risalah. hlm. 18.
[6] Ibn
Manzur. Lisan al-‘Arab al-Muhit. I: 521.
[7] Al-‘Umari.
al-Ijtihad .... hlm. 18-19.
[8] Ibid. hlm. 27.
[12] Ialah:
tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[13] Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah:
kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul
dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan
kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[18] Ibid. hlm. 225.
[19] Asy-Syaukani.
Irsyad al-Fukhul. hlm. 253.
Langganan:
Postingan (Atom)