Bab I
Pendahuluan
Tujuan saya dalam makalah ini ialah menyajikan
pembahasan mengenai imam yang dibenci oleh ma’mumnya. Dimana
dalampenjabarannya, terlebih dahulu saya sajikan seputar masalah imam. Namun,
makalah ini tetaplah memuat pembahasan sebatas imam yang dibenci ma’mumnya
seperti yang telah saya sebutkan di awal.
Kata imam turunan dari kata amma yang berarti ”menjadi ikutan”. Kata imam berarti ”pemimpin
atau contoh yang harus diikuti,” atau ” mendahului, memimpin.” Orang yang
menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan
ikutan. Kedududkan imam sama dengan khalifah, yaitu pengganti Rasul sebagai
pemelihara agama dan penanggung jawab urusan ummat.
Secara istilah, imam adalah ”seseorang yang
memegang jabatan umum dalam urusan agama dan urusan dunia sekaligus.”
Penyetaraan kata imam dengan kata khalifah karena disejajarkan dengan kedudukan
seorang imam shalat jama’ah dalam hal kepemimpinan yang harus diikuti.
Sebagaimama halnya sebutan khalifah, muncul dari fungsinya menggantikan
kepemimpinan Rasul bagi umat.
Para ulama menyebutkan bahwa makruh hukumnya
menjadi imam yang di benci oleh makmum. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu
Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang sholatnya tidak
melampaui telinga-telinga mereka, yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya
hingga kembali, seorang istri yang bermalam sedangkan suaminya murka kepadanya,
dan imam yang di benci kaumnya (HR.Tirmidzi 3611) di shohihkan oleh Al-Albani
dalam shohih wa dha’if sunan at-Tirmidzi.”
Setelah
selesai menyebutkan hal-hal ini semua secara garis besarnya, maka saya akan
memulai dengan apa yang telah saya tuju,
dengan meminta pertolongan Allah SWT. Baiklah saya mulai dengan pembahasan
seputar imam yang akan dilanjutkan mengenai imam yang dibenci ma’mumnya.
Bismillahirrahmanirrahim.
Bab II
Pengertian Imam
Sebutan gelar yang paralel dengan khalifah, dalam
sejarah pemerintahan islam adalah imam. Kata imam turunan dari kata amma yang berarti ”menjadi ikutan”. Kata
imam berarti ”pemimpin atau contoh yang harus diikuti,” atau ” mendahului,
memimpin.” Orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani
sebagai contoh dan ikutan. Kedududkan imam sama dengan khalifah, yaitu
pengganti Rasul sebagai pemelihara agama dan penanggung jawab urusan ummat.
Secara istilah, imam adalah ”seseorang yang
memegang jabatan umum dalam urusan agama dan urusan dunia sekaligus.” Penyetaraan
kata imam dengan kata khalifah karena disejajarkan dengan kedudukan seorang
imam shalat jama’ah dalam hal kepemimpinan yang harus diikuti. Sebagaimama
halnya sebutan khalifah, muncul dari fungsinya menggantikan kepemimpinan Rasul
bagi umat.
Kata imam digunakan oleh al-Qur’an di beberapa
tempat. Maka ada baiknya pula diperhatikan apakah kata imam yang digunakannya
mempunyai arti dan maksud yang sama seperti yang dikemukakan di atas. Kata imam
(bentuk plural) dipergunakan oleh al-Qur’an 7 kali, dan kata aimmat (bentuk plural) 5 kali dengan
arti dan maksud yang bervariasi sesuai konteks penggunaannya.
Dalam surat Yasin/36:12, kata imam berarti kitab
induk; dalam surat al-Baqarah/2:124, berarti nabi atau ikutan; dalam surat
al-Hijr/15:79, berarti jalan umum; dalam surat Hud/11:17, mengandung arti
pedoman; dalam surat al-Furqan/25:74, berarti ikutan; dan dalam surat
al-Ahqaf/46:12 berarti petunjuk. Bisa pula berarti pemimpin yang akan dipanggil
Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (surat
al-Isra’/17:71).
Arti dan maksud tersebut sesuai dengan arti dan
terjemahan yang terdapat dalam Kitab al-Qur’an dan terjemahnya. Departemen
agama, tidak jauh berbeda dengan penafsiran yang terdapat dalam kitab tafsir.
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang berarti “pemimpin”
khususnya, bisa digunakan untuk beberapa maksud. Yaitu pemimpin dalam arti
negative yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti
luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin
spiritual.
Dengan demikian, kata imam yang bermaksud
“pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum” bisa digunakan untuk sebutan bagi
pemimpin pemerintahan yang mengurus masalah dunia atau politik (sekuler) saja,
dan mengurus masalah agama juga secara sekaligus. Kemudian kata imam yang
bermaksud “pemimpin yang bersifat khusus yakni sebagai pemimpin spiritual” bias
berimplikasi politis karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Sebab, dalam
kenyataanya upaya-upaya untuk melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan
bermasyarakat, ajara agama (Islam) tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga
menyangkut kehidupan kolektif, urusannya bias berdimensi politis. Jelasnya
ulama yang mensejajarkan kata imam dengan kata khalifat dari segi fungsionalnya
tidak salah; dapat diterima.
Dalam konteks itu, Dr. Qamaruddin Khan
berpendapat, kata imam yang digunakan oleh al-Qur’an hanya digunakan dalam
pengertian pemimpin belaka; tidak digunakan dalam pengertian politis atau
spiritual. Artinya kata imam dalam al-Qur’an tidak memiliki implikasi
pengertian pemimpin politis ataupun pemimpin spiritual. Kata itu sama sekali
tidak memberi petunjuk tentang teori kenegaraan islam.
Pada mulanya penggunaan istilah imam lebih populer
di kalangan umat Islam Syiah. Imam dalam keyakinan mereka adalah suatu yang sakral
(ma’shum) sebagai salah satu dasar agama. Pengangkatannya berdasarkan wasiat
melalui nash syaria’at serta menempatkannya pada posisi Nabi. Kedudukan imam
dalam pandangan Syiah di samping berfungsi sebagai pemimpin spiritual yang
sacral juga berfungsi sebagai pemimpin politik.
Syarat-Syarat Menjadi Imam
Bagi orang yang hendak menjadi imam, hendaklah
memenuhi syarat-syarat tertentu yang kebanyakan bersifat relative menurut
keadaan ma’mum, yang ringkasannya sebagai berikut :
- ma’mum hendaknya tidak mengerti atau meyakini tentang batalnya shalat imam.
Contohnya, apabila ada dua
orang, masing-masing berijtihad tentang arah kiblat. yang satu berkeyakinan
bahwa kiblat ada di suatu arah, yang
berlainan dengan keyakinan kawannya. Maka masing-masing tidak boleh ma’mum kepada
yang lain. Karena masing-masing berkeyakinan bahwa kawannya salah arah
hadapannya, dan bahwa shalatnya menghadap kea rah tersebut tidak benar.
- Imam hendaknya bukan orang yang tak pandai membaca, padahal ma’mumnya pandai membaca atau Fasih baca'an Al-Qur'annya.
Yang dimaksud tak pandai
membaca di sini ialah orang yang bacaan al-Fatihahnya tidak bagus, di mana
terdapat cacat yang mengurangi suatu huruf atau tasydid ataupun semisalnya.
Tetapi, kalau ma’mumnya juga seperti itu, maka masing-masing boleh menjadi
imam. Orang yang menjadi imam harus orang
yang paling fasih bacaan al-qur'annya baik dari segi makhraj, lahjah dan
hafalannya dll.
”Yang menjadi imam shalat bagi
manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila
mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak
pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)
- Imam hendaknya bukan wanita, sedangkan ma’mumnya pria yang adil dan fawih (paham syari’at Islam)
”Janganlah sekali-kali wanita
dan orang berdosa menjadi imam bagi orang beriman, kecuali ia memaksa dengan
kekuasaan, atau cambuknya dan pedangnya yang ditakuti.” (Riwayat Ibnu Majah, status hadist dhaif)
Tapi, bila ma’mumnya semua
adalah wanita, maka masing-masing boleh menjadi imam atas yang lain. karena,
Nabi Saw bersabda : ”Jangan sekali-kali
wanita mengimani laki-laki.” (H.R. Ibnu Majah)
4.
Orang-orang
yang mengerti hadits nabi dan ajaran agama serta paling besar ketakwaannya.
5.
Lebih dahulu
hijrahnya, kalau tidak ada maka dipilih
6.
Orang yang
lebih tua usianya
Dari segi umur
maka harus dipilih adalah orang lebih tua dari yang lain karena mungkin orang
yang lebih tua itu lebih berpengalaman dari pada yang lebih muda. ”Orang yang berhak mengimami manusia adalah orang
yang paling tau(qari') tentang Kitabullah. Jika bacaan mereka sama, maka siapa
yang paling tahu tentang sunnah. Jika pengetahuannya mereka terhadap sunnah
sama saja, maka siapa di antara mereka yang paling dulu hijrah. Jika hijrah
mereka sama, maka siapa di antara mereka yang paling tua usianya.” (Diriwayatkan Muslim)
7.
Diutamakan
tuan rumah dari pada tamu
Jika seorang
yang bertamu , maka yang lebih utama menjadi imam adalah tuan rumah (orang yang
memiliki rumah) tsb karena tuan rumah itu lebih tahu mana tempat yang lebih
baik untuk ditempati lebih berhak kepada rumah yang ia miliki dari pada seorang
tamu yang hanya tinggal beberapa sa'at saja.
8.
Imam adalah
salah seorang dari mereka yang disenangi dalam komunitas tsb bukan yang
dibenci, tidak disukai atau ditolak.
"Dari Abdullah bin Amr ra nabi bersabda : ada 3
golongan yang tidak diterima shalatnya : (1) orang yang maju kedepan kaum untuk
menjadi imam, sedangkan mereka membencinya . (2) orang yang biasa mengakhirkan
shalat ( waktunya telah habis) (3) orang yang yang memperbudak
orang yang merdeka." Karena jika seorang imam itu dibenci oleh makmumnya maka
suasana hari yang tenang yang akan menimbulkan kekhusu'an dalam diri
seorang makmum itu tidak akan tercapai.
Disamping itu makmum suatu
saat akan menjadi imam hingga seorang makmum harus mempersiapkan
diri untuk menjadi imam. Di samping itu pula pada saat sebelum shalat maka ada
tingkah laku imam yang dapat kita kaji :
- Sebelum melakukan shalat imam harus memperhatikan jama'ahnya seperti memeriksa shaf, meluruskan barisan (shaf ) dll.
- Imam adalah manusia biasa sehingaa dimungkinkan untuk lupa, hal ini ada prosedur untuk mengingatkan atau mengganti imam oleh makmum, antara lain:
ü Jika
imam lupa maka makmum dengan segara wajib untuk engngat ka
ü Bila
imam melakukan kesalahan terutama baca'an maka makmum harus segermembenarka
ü Kalau
imam batal maka secara otomatis ia harus mundur, meskipun makmum tidak
tahu kalau imam tersebut batal ia harus mundur dengan baik-baik dan dengan
prosedur yang benar. Kemudian makmum yang paling depan menggantikan imam dan langsung
meneruskan apa yang kurang dari imam yang lama tanpa membuat kesalahan
baru.
Kedudukan Imam
Hadist berikut mengingatkan tentang kedudukan
imam. Sabda Nabi Saw : ”Sesungguhnya
dijadikannya seseorang sebagai imam itu hanyalah untuk diikuti ma’mum.” (Muttafaq
’Alaih)
Sebenarnya, antara imam dan ma’mum tidak mempunyai
hubungan khusus. Baik imam maupun ma’mum, bertanggung jawab atas shalatnya
masing-masing. Keterkaitan imam dan ma’mum hanyalah sebatas : (1) imam
merupakan pimpinan (komando) yang harus dipatuhi ma’mum dengan penuh
kedisiplinan; (2) shalat jamaah adalah lebih utama atau banyak pahalanya
dibandingkan dengan shalat sendiri : Al-Shalah
al-jamaah tafdhulu ’ala shalati al-fadzdzi; dan (3) shalat jamaah merupakan
kesadaran orang-orang yang beriman dalam rangka membina persatuan dan kesatuan
di kalangan kaum muslimin (ukhuwwah islamiyah).
Dalam hadist lain diungkapkan : ”Sesungguhnya dijadikannya seseorang sebagai
imam itu untuk diikuti ma’mum, maka jika ia mambaca al-Qur’an, perhatikanlah
dengan tenang.” (HR Ahamad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasai). Senada dengan
firman Allah : ”Dan apabila dibacakan
al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu mendapat rahmat. (Al-A’raf/7:204)
Dalam kaitannya dengan surat atau ayat-ayat
al-Qur’an yang dibacakan imam (dalam shalat jahr), maka ma’mum harus
mendengarkan dan memperhatikannya. Dalam shalat jahr (shalat Maghrib, Isya dan
Subuh), ma’mum tidak perlu membaca surat atau ayat-ayat al-Qur’an, termasuk
al-Fatihah, melainkan cukup dengan menyimaknya (mendengarkan dan
memerhatikannya dengan seksama). Sebab, jika bacaan imam slah, ma’mum harus
membetulkannya.
Mengingat sabda Nabi Saw : ”Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah.” (Muttafaq
’Alaih). Berdasarkan hadist ini, al-Fatihah merupakan rukun (sesuatu yang
harus ada) dalam shalat. Hal ini berlaku baik bagi shalat sendirian (munfarid)
muapun jamaah, baik imam maupun ma’mum.
Sehubungan dengan hadist Nabi Saw : al-Imam dhamin
tidaklah diartikan bahwa imam itu menjamin dosa, kesalahan, atau kekurangan
ma’mum, melainkan sekedar bertanggung jawab atas tugasnya sebagai imam, yaitu
memimpin jamaah untuk menunjukkan kesatuan orang-orang yang beriman dalam
rangka membina persatuan dan kesatuan di kalangan kaum Muslimin (ukhuwwah
islamiyah) berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Imam, sebagai orang yang mempunyai kelebihan baik
di bidang ilmu maupun pengalaman agama adalah orang yang harus diikuti oleh
ma’mum, termasuk orang yang karena masbuq (tertinggal), tidak sempat membaca
al-Fatihah, maka yang bersangkutan harus menambah rakaatnya untuk membaca
al-Fatihah (mengingat kedudukannya sebagai rukun) yang tidak ia ikuti bersama
imam. Juga sabda Nabi Saw : ”Jika kalian
berada di belakangku (sebagai ma’mum), maka janganlah kalian membaca apa pun
kecuali al-Fatihah.” (HR. Turmudzi)
Dengan demikian, shalat jamaah merupakan sunnah
Rasul yang harus ditegakkan, walaupun antara imam dan ma’mum bertanggung jawab
atas shalat yang dilakukan masing-masing.
Hak Prioritas Imam dan Hukum-Hukum
Khusus untuk Imam
- Hak Prioritas Menjadi Imam
Para fukaha berbeda
pendapatnya tentang orang yang lebih berhak menjadi imam. Menurut Imam Malik,
yang menjadi imam ialah yang paling pandai (afqahu), bukan yang paling fasih
bacaannya (aqra-u). Begitu pula pendapat Imam Syafi’i. Menurut Abu Hanifah,
Imam ats-Tsauri dan Imam Ahmad, yang menjadi imam ialah yang paling fasih
bacaannya.
Sebab perbedaan pendapat ialah
perbedaan mereka tentang mafhum kata-kata
Nabi Saw sebagai berikut : ”Yang mengimani
suatu kaum ialah yang paling pandai membaca Kittabullah. Kalau mereka sama-sama
dalam bacaan tersebut, maka haruslah yang paling mengetahui sunnah. Kalau
mereka sama-sama mengetahui, maka yang paling dulu hijrahnya. Kalau mereka
sama-sama dahulunya maka yang paling dahulu Islamnya. Seseorang tidak boleh
mengimani di daerah kekuasaan orang lain, dan tidak boleh duduk di rumah orang
lain ini untuk menjadi tanggungnya kecuali dengan seizinnya.”
Hadist tersebut disepakati
sahihnya. Akan tetapi masih diperselisihkan tentang mafhum-nya (pengertiannya). Ada yang mengartikan kata-kata ”yang
paling pandai membaca” (al-Aqra-u) dengan ”yang paling pandai” (al-Afqahu)
karena mereka menduga bahwa kebutuhan kepada kepandaian (fiqh) dalam mengimani
lebih mendesak daripada kebutuhan terhadap bacaan, karena sahabat yang pandai
membaca sudah barang tentu lebih pandai. Lain halnya dengan keadaan orang
banyak pada masa sekarang.
- Keimanan Kanak-Kanak
Keimanan kanak-kanak yang
belum dewasa, apabila pandai membaca, diperselisihkan oleh fukaha. Menurut
sebagian fukaha dibolehkan, karena masuk dalam umumnya hadist tersebut di atas,
dan juga karena hadist Amer bin Salamah r.a: ”Bahwa Amer bin Salamah mengimani
kaumnya, padahal dia masih kanak-kanak.”
Ada pula fukaha yang melarangnya
sama sekali. Yang lain lagi memperbolehkannya untuk shalat sunah, tetapi tidak
memperbolehkannya untuk shalat fardu. Begitulah pendapat yang diriwayatkan dari
Imam Malik. Seab, perbedaan pendapat ialah apakah seseorang dalam shalat yang
tidak wajib baginya dapat mengimani orang lain, di mana shalat itu sudah
menjadi wajib baginya (orang lain). sebab, dalam hal in niat imam dan ma’mum
berbeda-beda.
- Keimanan Orang Fasik
Para fukaha memperselisihkan
tentang keimanan orang fasik. Sebagian fukaha menolaknya sama sekali. Sebagian
lagi memperbolehkannya sama sekali. Fukaha lain memperbedakan, apakah
kefasikanya itu sudah dipastikan atau belum. Menurut mereka, kalau fasiknya
dapat dipastikan, maka ia harus mengulangi shalat yang sudah dikerjakan di
belakangnya. Kalau fasiknya hanya disangkakan saja, maka sebaiknya (mustahabb)
diulangi, sebagai tafsiran terhadap pendapat mazhab Maliki.
Di antara fukaha ada pula yang
memperbedakan apakah fasiknya itu ada alasanya (takwil) atau tidak memakai
alasan, seperti orang yang minum nabidz
(perasaan tamar) dan memegang alasan pendapat ulama-ulama Irak. Mereka
memperbolehkan shalat di belakang orang yang mempunyai alasan, dan tidak
memperbolehkannya di belakang orang yang tidak mempunyai alasan.
Perbedaan fukaha dalam soal tersebut
dapat terjadi karena soal ini adalah soal yang tidak disinggung-singgung dalam
syara’, sedang kias dalam soal ini saling berlawanan. Bagi golongan yang
berpendapat bahwa karena kefasikan tidak membatalkan sahnya shalat, dan apa
yang dibutuhkan oleh seorang ma’mum dari imamnya hanya kebenaran shalatnya
semata-mata, berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa imam menanggung ma’mum,
maka golongan tersebut memperbolehkan keimanan orang fasik.
Bagi orang yang mengkiaskan
keimanan kepada persaksian (syahadah), dan menganggap ada kemungkinan bahwa
orang fasik melakukan shalat yang slah, sebagaimana ada kemungkinan ia berbuat
kedustaan dalam persaksiannya, maka golongan tersebut tidak memperbolehkan
keimanannya. Karena itu sebagian fukaha memperbedakan, apakah fasiknya dengan
memakai takwil atau tidak. Agak mendekati dasar ini juga, alasan orang yang
membedakan tentang apakah fasiknya sudah dapat dipastikan, maka artinya ia
tidak dapat dibenarkan dalam penakwilannya. Golongan Zahiri dengan jelas
memperbolehkan keimanan orang fasik, karena keumuman kata-kata Nabi Saw : ”Mengimani sesuatu kaum, orang yang paling
pandai membaca dari mereka.”
Menurut mereka, hadist
tersebut tidak mengecualikan orang fasik dari golongan orang-orang bukan fasik.
Sebenarnya memakai dalil umum bukan pada tempatnya (bukan pada perkara yang
dituju) adalah lemah. Ada pula fukaha yang berpendapat, pakah fasiknya itu
mengenai syarat-syarat sahnya shalat, ataukah dalam hal-hal yang terletak di
luar shalt, berdasarkan suatu pendirian bahwa dari seseorang imam hanya
dimintakan terjadinya shalatnya dengan sah.
- Hal-Hal yang Khusus Untuk Imam
ü Ucapan Amin
Menurut Imam Malik, Ibn
al-Qasim dan fukaha Mesir berpendapat bahwa imam tidak membaca Amin setelah
selesai membaca Fatihah. Jumhur fukaha berpendapat bahwa imam mengucapkan
”Amin” seperti ma’mum juga. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik,
menurut riwayat fukaha Madinah. Perbedaan pendapat mereka disebabkan oleh
karena dalam soal ini ada dua hadist yang saling berlawanan lahirnya :
1. Hadist Abu Hurairah
r.a yang sudah disepakati sahihnya di mana ia berkata sebagai berikut: ”Berkata Rasulullah Saw: Jika imam
mengucapkan amin, maka ucapkan pula olehmu amin.”
2. Hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dari Abu Hurairah r.a pula, bahwa ia berkata
sebagai berikut: ”Berkata Rasulullah Saw
: Jika imam mengucapkan Ghairil magdlubi ’alaihim wa la ad-Dlallin, maka
ucapkanlah olehmu amin.”
ü Kapan Imam Memulai Takbir (ihram)
Menurut sebagian fukaha, ia
tidak boleh bertakbir kecuali sesudah selesainya qamat dan selesainya barisan
(shaf). Pendapat ini adalah dari Imam Malik, Imam Syafi’i dan segolongan
fukaha. Sebagian fukaha berpendapat bahwa waktu untuk bertakbir ialah sebelum
qamat selesai. Menurut mereka, yang lebih baik ialah bertakbir ketika muazzin berkata
: ”Qod qoomatisshalah (Shalat telah [hampir] berdiri [dimulai].” Mereka adalah
Imam Abu Hanifah, Imam at-Tsauri, dan Imam Zufar.
ü Pengingatan Kepada Imam
Ketika imam terhenti bacaanny,
maka menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan kebanyakan ulama, pengingatan itu
dibolehkan. Akan tetapi fukaha-fukaha Kufah tidak memperbolehkannya. Sebab
adanya perbedaan pendapat dalam hal ini ialah karena bermacam-macamnya hadist.
Sebab diriwayatkan dari Rasulullah sebagai berikut : ”Bahwa Rasulullah Saw ragu-ragu mengenai sesuatu ayat. Setelah selesai
ia kemudian berkata: Di mana Ubay, apa dia tidak ada di antara kamu?” Jadi,
Nabi Saw ingin diingatkan.
Diriwayatkan pula dari Rasulullah
Saw sebagai berikut : ”Berkata Rasulullah
Saw : Imam tidak boleh diingatkan.” Perselisihan mengenai soal ini terjadi
pada masa pertama Islam. Larangan mengingatkan terkenal pula dari sahabat Ali
r.a, sedang pendapat yang membolehkannya ialah Ibnu Umar r.a.
ü Tempat Imam
Sebagian fukaha
memperbolehkannya berada di tempat yang lebih tinggi daripada tempat ma’mum.
Sebagian fukaha melarangnya. Sebagian lagi, yaitu Imam Malik menganjurkan agak
tinggi sedikit. Sebab adanya perbedaan pendapat dlam hal ini ialah karena ada
dua hadist yang saling berlawanan.
1. Hadist yang sahih
sebagai berikut : ”Bahwa Nabi Saw
mengimani orang banyak di atas mimbar, untuk mengajarkan shalat kepada mereka.
Jika hemdak sujud, maka ia turun dari mimbar.”
2. Hadist riwayat Abu
Dawud sebagai berikut : ”Bahwa Huzaifah
mengimani orang banyak dari mastabah (tempat yang agak tinggi). Kemudian Ibnu
Mas’ud memegang bajunya dan ditariknya. Setelah selesai shalatnya, maka ia
berkata : Tidakkah engkau mengetahui bahwa sahabat-sahabat dilarang berbuat
demikian atau (menurut satu riwayat) perbuatan itu dilarang.”
ü Niat Mengimani Bagi Imam
Sebagian fukaha berepndapat
bahwa niatan itu tidak wajib bagi imam, karena hadist Ibnu Abbas r.a : ”Bahwa Ibnu Abbas berdiri di samping
Rasulullah sesudah ia (Rasul) mulai shalat.” menurut fukaha lain, imam itu
adalah penanggung dan memang harus demikian, karena imam menanggung sebagian
perbuatan-perbuatan shalat dari ma’mum-ma;mum. Ini menurut pendapat orang yang
berpendapat bahwa imam menanggung fardu atau sunnah untuk ma’mum-ma’mum.
- Tanggungan Imam Untuk Ma’mum
Para fukaha sepakat
pendapatnya, bahwa imam tidak menanggung fardu-fardunya shalat untuk ma’mum,
kecuali bacaan Qur’an. Dalam hal bacaan ini, para fukaha terbagi menjadi tiga
pendapat. Pertama, ma’mum
bersama-sama membaca dengan imam pada bacaan sirri (tidak kedengaran, suara sayup-sayup), dan tidak membaca
bersama-sama pada bacaan jahri
(bacaan dengan suara keras). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, hanya
saj ia memandang baik untuk membaca pada bacaan sirrii dari imam. Kedua, ma’mum tidak membaca sama sekali.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Ketiga, ma’mum membaca Fatihah dan surat lain pada shalat sirri, dan membaca Fatihah saja pada
shalat jahri. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Syafi’i.
Sebagian fukaha memperbedakan
dalam shalat jahri, apakah ma’mum
mendengar bacaan imam atau tidak mendengarnya. Apabila tidak mendengar bacaan
imam, maka ma’mum wajib membaca Qur’an dan kalau masih mendengar, maka ia
melarang membaca. Perbedaan antara mendengarkan dengan tidak mendengar berasal
dari Imam Ahmad bin Hanbal. Sebab terjadinya perbedaan pendapat ialah karena
bermacam-macamnya hadist dalam persoalan tersebut di atas, dan pembinaan
sebagiannya atas hadist-hadist yang lain. dalam hal ini ada empat hadist.
ü Kata-kata Nabi Saw : ”Tidak ada shalat kecuali dengan surat
pembuka Qur’an (Fatihah).”
ü Hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dan Abu Hurairah r.a sebagai berikut : ”Bahwa rasulullah pernah selesai dari shalat
di mana dia mengeraskan bacaannya. Maka bertanya dia : Siapa di antara kamu
tasi yang membaca bersama-sama saya. Seseorang kemudian berkata : ya, saya, ya
Rasulullah. Maka berkat Rasulullah : Saya berkata, mengapa saya disengketai
dalam Qur’an.”
ü Hadist Ubbadah bin
as-Shamit r.a : ”Berkata Ubbadah:
rasulullah Saw pernah shalat pagi dengan mengimami kami, maka bacaan terasa berat
olehnya. Setelah ia selesai, maka katanya: Saya melihat engkau membaca (Qur’an)
di belakang imam. Kata kami: Ya. Kata Rasulullah Saw: janganlah engkau kerjakan
(membaca), kecuali dengan induk Qur’an (Fatihah).”
ü Hadist Jabir r.a dari
Nabi Saw: ”Berkat Rasulullah: Siapa yang
mempunyai imam, maka bacaannya (imam) juga menjadi bacaannya (ma’mum).”
- Pengaruh Kerusakan Imam Terhadap Ma’mum
Para fukaha sepakat
pendapatnya, bahwa apabila sesuatu hadas menimpa imam dalam shalatnya, kemudian
ia memutuskan shalatnya, maka shalat ma’mum tidak rusak. Tetapi, mereka
berselisih pendapat tentang apabila imam shalat mengimani mereka sedang dalam
keadaan junub, dan mereka baru mengetahui keadaan demikian setelah shalat.
Menurut sebagian fukaha, shalat ma’mum tetap sah dan menurut fukaha lain tidak
sah shalatnya.
Sebagian fukaha lagi
memisah-misahkan, apakah imam mengetahui ke-junub-annya
ataukah ia lupa terhadapnya. Menurut mereka, jika ia mengetahui, maka rusaklah
shalat mereka, dan jika ia lupa, mak tidak rusak shalatnya. Golongan pertama
ialah Imam Syafi’i. Golongan kedua ialah Imam Abu Hanifah. Golongan ketiga
ialah Imam Malik.
Sebab terjadinya perbedaan
pendapat mereka ialah apakah terjadinya shalat ma’mum dengan benar bertalian
dengan benarnya shalat imam atau tidak. Bagi golongan yang mengatakan tidak
adanya pertalian, maka mereka mengatakan bahwa shalat ma’mum tersebut sah. Bagi
golongan yang mengatakan adanya pertalian, maka shalat mereka tidak sah.
Golongan yang memisah-misahkan
antara lupa dengan sengaja, mengambil lahir hadist yang tersebut di atas, yaitu
: ”Bahwa Nabi Saw mulai takbir pada salah satu shalat. Kemudian ia
mengisyaratkan kepada orang banyak agar mereka tetap tenang. Kemudian ia pergi
dan pulang kembali, dan pada badannya ada bekas-bekas air.” menurut lahirnya
hadist ini, para sahabat melanjutkan shalatnya. Imam Syafi’i berpendapat, kalau
sekiranya shalat ma’mum bertautan (dengan imam) tentu mereka memulai lagi
shalatnya untuk kedua kalinya.
IMAM
YANG DI BENCI OLEH MAKMUM
Para ulama menyebutkan bahwa makruh
hukumnya menjadi imam yang di benci oleh makmum. Dasarnya adalah hadits riwayat
Abu Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang sholatnya tidak
melampaui telinga-telinga mereka, yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya
hingga kembali, seorang istri yang bermalam sedangkan suaminya murka kepadanya,
dan imam yang di benci kaumnya (HR.Tirmidzi 3611) di shohihkan oleh Al-Albani
dalam shohih wa dha’if sunan at-Tirmidzi.”
“Dari
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Muadz pernah sholat Isya’ bersama
para shahabatnya dan ia memperlama sholat tersebut. Maka bersabdalah Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam: “Apakah engkau mau wahai Muadz menjadi seorang
pemfitnah? Jika engkau mengimami orang-orang maka bacalah (washamsyi
wadluhaaha), (sabbihisma rabbikal a’laa), (Iqra’ bismi rabbika), dan (wallaili
idzaa yaghsyaa).”( Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim).
Dalam lafadz Bukhori di sebutkan: “Seorang
lelaki menghadap kedua kebunnya (untuk menyiramnya) sedangkan malam telah larut,
kemudian dia menjumpai Muadz sedang sholat, maka meninggalkan penyiraman untuk
mengikuti Muadz sholat, sedang Muadz membaca surat Al-Baqoroh dan An-Nisa
kemudian lelaki itu pergi.”
Yang di maksud dengan fitnah di sini adalah
“Apakah engkau menyiksa sahabat-sahabatmu dengan sholat yang panjang? Dan
mengandung larangan membuat para makmum benci karena bacaan yang panjang. Memang
dijelaskan dalam fikih bahwa orang yang dibenci oleh mayoritas kaumnya
itu makruh menjadi imam salat, baik diangkat oleh penguasa atau tidak.
Akan tetapi hukum makruh itu khusus kepada orang
yang menjadi imam. Sedangkan makmum tidak terkena hukum makruh ini. Maksudnya,
makmum tidak makruh bermakmum kepada orang yang ia benci. Oleh karena itu, yang
baik tetap melakukan salat dengan berjamaah kendati yang menjadi imam adalah
orang yang ia benci.
Batasan-batasan yang di sebutkan oleh para
ulama di antaranya:
- Para makmum membenci imam karena alasan syar’i. Misalnya makmum membenci imam karena terlalu cepat sehingga makmum sulit mengikutinya atau tidak bisa melaksanakan sholat dengan sempurna. Atau sebaliknya imam membaca surat-surat yang panjang di luar kewajaran padahal banyak makmum yang sakit dan tua serta lemah. Begitu juga karena sang imam mempunyai sifat sombong, otoriter, dan tidak mau mendengar nasihat orang lain, ataupun karena sang imam mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik di luar sholat seperti merokok, dan perbuatan buruk lainnya.
- Di benci oleh mayoritas jama’ah imam tersebut di benci oleh banyak orang atau mayoritas. Jika yang membenci hanya segelintir orang, seperti satu atau dua orang maka kebencian itu tidak di anggap.
Ciri Imam Yang Dibenci Makmum Dan Orang Yang Terlarang
Menjadi Imam
- Orang fasiq yang ‘alim (pernah melakukan dosa besar, atau terus menerus dalam dosa kecil ) Sabda Nabi saw. “ Jangan sekali-kali perempuan menjadi Imam dari makmum laki-laki, dan orang pegunungan atas orang kota, orang berdosa terhadap orang. Mukmin yang saleh, kecuali jika dipaksa oleh penguasa yang ditakuti pedangnya atau cambuknya.” Namun tidak mengurangi ke absahan shalatnya, sebagaimana sabda Ibn Umar : ”Shalatlah kalian baik dibelakang orang baik atau orang yg. Buruk “ ( HR. Al-Darul Quthni dari Abi Hurairah)
- Pelaku bid’ah yang tidak sampai kepada murtad dengan bid’ahnya.
- Orang buta atau yag cacat lainnya, selama masih ada yang sehat.
- Orang yang tidak disukai oleh kaumnya, Sabda Nabi saw. ”Allah tidak akan menerima shalat yang diimami oleh orang yang dibenci mereka.” (HR. Abu Dawud, dan Ibn Majah dari Ibn Umar RA)
- Imam yang suka memanjangkan bacaannya melebihi sunnah Rasul saw.
- Menunggu Imam masuk, padahal waktu sudah masuk, karena tidak boleh selain dirinya yang menjadi Imam.
- Terlarang Imam orang yang lahn (cacat dalam berbicara), atau tidak fasih mengucapkan sebagian huruf al-Qur’an.
- Terlarang orang desa (pegunungan) mengimami orang kota (yang sudah berbudaya maju).
- Terlarang Imam posisinya lebih tinggi dari Makmum Hadits: “ Apabila seseorang mengimami kaum, maka jangan sekali-kali Imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari merek .” (HR. Abu Dawud ).
Bermakmum
Dengan Imam yang Tidak Baik Bacaannya
Diantara persyaratan seorang bisa menjadi imam
dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an dengan benar dan
memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya shalat. Persyaratan itu
bisa dianggap jika orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan dalam membaca Al Qur’an.
Tidaklah sah imamnya seorang yang ummi
(tidak bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah
imamnya seorang yang bisu terhadap orang yang bisa membaca Al Qur’an atau
terhadap orang yang ummi karena membaca adalah salah satu rukun didalam shalat.
Tidaklah sah makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an dibelakang orang yang
tidak pandai membacanya karena imam adalah penjamin dan yang bertanggungjawab
terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang
yang ummi.
Adapun imamnya seorang yang ummi untuk
orang yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan
para fuqaha. Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’
atau yang melantunkan dengan suatu lantunan yang tidak merubah arti maka ia
makruh menurut para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para
ulama Hanafi bahwa seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang
mengucapkan huruf siin menjadi tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka
ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki keimaman mereka
dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2149).
Jumhur ulama (para ulama Hanafi, Maliki
dan Hambali) menagatakan bahwa janganlah seorang makmum lebih kuat (mampu)
keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada imamnya. Tidak diperbolehkan
seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan seorang yang ummi tidak dalam
shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan seorang yang sudah baligh
bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan seorang yang mampu melakukan
ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak mampu melakukan keduanya.
Demikian pula tidak sah makmumnya seorang
yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti penderita enuresis. Tidak sah
makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang orang yang tampak auratnya
sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali sementara hal itu
dimakruhkan oleh Maliki.
Para ulama Hanafi menyebutkan sebuah
kaidah dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya keadaan imam walaupun seperti
keadaan makmumnya atau lebih diatasnya maka shalat mereka semua dibolehkan.
Akan tetapi jika imamnya dibawah kualitas makmum maka shalatnya imam sah dan
shalat makmumnya tidaklah sah. Dan jika imamnya ummi sementara makmumnya
seorang yang pandai membaca Al Qur’an atau imamnya bisu maka shalat imamnya
juga tidak sah.
Para ulama Hanafi telah memperluas
penerapan prinsip ini pada banyak permasalahan. Kadah ini diikuti oleh para
ulama Maliki dan Hambali sementara para ulama Syafi’i menentang mereka dibanyak
permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal II 1899)
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa
yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al Fathihah
dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain,
seperti orang yang al altsagh (merubah huruf ro’ menjadi ghoin), al arotti
(orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya) atau melagukan dengan
dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang mengkasrohkan huruf kaf pada
iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’ pada an’amta dan tidak mampu
memperbaikinya maka orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak
diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al Qur’an bermakmum kepadanya.
Dan diperbolehkan bagi setiap mereka
menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya karena keduanya
adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari mereka berdua
menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa memperbaiki
bacaannya sedikit pun. Sedangkan apabila seorang yang mampu memperbaiki
bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah begitu juga
dengan shalat orang yang bermakmum dengannya. (al Mughni juz II hal 411).
Dengan demikian tidak seharusnya seorang
imam memiliki kualitas bacaan yang buruk atau tidak benar didalam pengucapan
huruf-huruf al Qur’an baik ketika membaca Al Fatihah yang merupakan salah satu
rukun shalat atau surat-surat lainnya sementara dibelakangnya terdapat orang
yang pandai membaca Al Qur’an. Hal itu dikarenakan akan mempengaruhi kesahan
shalat dirinya atau shalat makmum yang lebih pandai darinya sebagaimana penjelasan
diatas.
Mufaraqah Dari Imam Sholat Yang Buruk
Bacaannya
Tentang niat mufaroqoh (memisahkan diri)
seorang makmum dari imam lalu dia menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena
adanya uzur atau tidak maka ini boleh meskipun makruh menurut para ulama
Syafi’i karena ia memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban atau
sunnah yang muakkad. Sedangkan menurut para ulama Hambali bahwa mufaroqoh
dibolehkan jika terdapat uzur. Sedangkan jika tidak terdapat uzur didalamnya
maka dalam hal ini terdapat dua riwayat, pertama : shalat orang yang mufaraqoh
itu tidak sah, pendapat inilah yang benar. Kedua : shalatnya sah.
Para ulama Syafi’i mengecualikan pada
shalat jum’at…
Diantara perkara-perkara yang dikatakan
uzur seperti : panjanganya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat
seperti tasyahhud awal, qunut—maka dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan
sunnah itu—atau sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu
yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, ketinggalan
rombongan, atau terdapat orang yang meninggalkan shaff lalu tidak ada orang
menggantikannya untuk berdiri disampingnya.
Dalil mereka adalah apa yang disebutkan
didalam ash shahihain,”Bahwa Muadz
melaksanakan shalat isya bersama para sahabatnya dan ia memanjangkan
(bacaannya) lalu terdapat seorang laki-laki yang keluar (dari shaff) dan
mengerjakan shalat. Kemudian Muadz mendatangi Nabi saw dan menceritakannya dan
Rasulullah saw pun marah dan mengingkari apa yang dilakukan Muadz dan beliau
saw tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu serta beliau saw tidak
memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”
Para ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh
seorang makmum melakukan salam sebelum imam meski hal itu makruh, akan tetapi
mereka tidak mempebolehkan melakukan mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki
mengatakan barangsiapa yang bermakmum dengan seorang imam maka tidak boleh
baginya melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II 1227).
Jadi mufaroqoh yang anda lakukan ketika
terdapat uzur termasuk bacaan imam yang tidak baik dalam al Fatihah
diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Meskipun hal itu
diperbolehkan akan tetapi apabila dilakukan terus menerus tentunya akan menjadi
perhatian para makmum lain yang ada di sekitar anda bisa jadi diantara mereka
terdapat orang-orang awam yang tidak memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan
shalat secara baik sehingga dikhawatirkan memunculkan fitnah karena
ketidaktahuan mereka.
Untuk itu ada baiknya anda mengingatkan
permasalahan ini kepada imam tersebut dengan cara yang penuh hikmah dan
bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara sembunyi antara anda dan
dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan memperbaiki bacaannya atau jika
tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada orang yang lebih baik bacaannya.
Jika nasehat atau peringatan yang anda
sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau dijalaninya sehingga orang itu tetap
saja bersikukuh untuk menjadi imam shalat-shalat fardhu di masjid anda
sementara kualitas bacaannya masih tidak baik (buruk) maka hendaklah anda
mencari masjid lain sekitar rumah anda yang bacaan imamnya baik meski hal itu
menjadikan berkurangnya jumlah makmum di masjid tempat anda. Dikarenakan sahnya
shalat seseorang didalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas
bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk menentukan
siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.
Akan tetapi apabila di sekitar rumah anda
tidak ada masjid selainnya atau ada namun jaraknya cukup jauh untuk ditempuh
maka diperbolehkan bagi anda untuk tetap bermakmum kepada imam di masjid anda
yang buruk bacaannya itu dikarenakan keterpaksaan.
Hukum Bermakmum Kepada Orang Fasik dan Pelaku Bid’ah
Pengertian fasik dan bid’ah
Secara bahasa fasik adalah keluar, adapun
yang di maksud istilah syar’I dari keluar di sini adalah keluar dari keta’atan
kepada Allah, mencangkup keluar secara keseluruhan termasuk juga kepada orang
kafir yang keluar dari keta’ayan kepada Allah ataupun terhadap orang mukmin
yang melakukan dosa besar. Fasik juga terbagi menjadi dua fasik yang
mengeluarkan pelakunya dari millah: “Dan adapun orang-orang yang fasik
(kafir) maka tempat mereka adalah jahannam (QS. As-Sajadah: 20)”
Dan yang tidak mengeluarkannya dari millah
seperti pelaku maksiat sebagai mana firman Allah subhanahu wata’ala: “Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats , berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan
haji.(QS. Al-Baqaroh: 197)”
Secara bahasa bid’ah adalah membuat
sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada, sebagai mana firman Allah subhanahu
wata’ala: “Allah Pencipta langit dan bumi (QS. Al-Baqoroh: 117)”
Apabila dikatakan fulan melakukan hal yang bid’ah maksudnya adalah yakni
mengadakan suatu jlan yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya.
Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu, bid’ah
yang merupakan suatu hal yang lazim yang hukumnya mubah dan bid’ah
dalam agama yang hukumnya haram, kemudian bid’ah dalam agama terbagi
menjadi dua yaitu, pertama, bid’ah qouliah dan I’tiqodiah. Kedua
bid’ah dalam ibadah seperti beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak di
syariatkan-Nya. Yang terjadi pada beberapa hal seperti yang terjadi dalam
aslu ibadah, tambahan dalam suatu ibadah, sifat ibadah, dan mengkhususkan waktu
dalam ibadah.
Hukum sholat di belakang orang fasik dan
pelaku bid’ah
Di bolehkan bagi seseorang menjadi makmum
di belakang orang yang tidak di kenal, atau di anggap fasik dan ahli bid’ah,
selama kefasikan atau bid’ah yang yang di lakukannya tidak mengeluarkannya dari
Islam. Sebagai mana sabda Rasulullah kepada Abu Dzar ra,tentang para pemimpin
yang jahat yang selalu mengakhirkan sholat di luar batas waktunya:
“Kerjakanlah sholat pada waktunya jika kamu mendapatkan sholat bersama mereka
maka sholatlah, karena sholat tersebut bagimu di hitung sebagai sholat sunnah
(HR. Muslim. 1497)”
Hadits ini di kuatkan dengan hadits Abu
Hurairah bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Para imam
itu sholat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka
dan apabila meraka salah maka kalian mendapatkan pahala sedangkan mereka
mendapatkan dosa (HR. Bukhori. 694). Ibnu Hajar asqolani menyebutkan bahwa
yang di maksud mendapatkan pahala di sini karena di kerjakan pada waktunya, ini
juga sebagai dalil bolehnya bermakmum pada orang yang fajir karena sesungguhnya
kesalahan (dosa) imam tidak akan berdampak pada makmum apabila ia benar.
Az-Zuhri berkata tidak melihat sholat di belakang pelaku dosa kecuali dalam
keadaan darurat yang tidak ada selain dia.
Bab III
Penutup
1. Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah saya paparkan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
ü Kata imam turunan
dari kata amma yang berarti ”menjadi
ikutan”. Kata imam berarti ”pemimpin atau contoh yang harus diikuti,” atau ”
mendahului, memimpin.”
ü
Syarat-syarat menjadi imam ialah : ma’mum hendaknya tidak
mengerti atau meyakini tentang batalnya shalat imam; Imam hendaknya bukan orang
yang tak pandai membaca, padahal ma’mumnya pandai membaca atau Fasih baca'an
Al-Qur'annya; Imam hendaknya bukan wanita, sedangkan ma’mumnya pria yang adil
dan fawih (paham syari’at Islam); Orang-orang yang mengerti hadits nabi dan
ajaran agama serta paling besar ketakwaannya; Lebih dahulu hijrahnya, kalau
tidak ada maka dipilih; Orang yang lebih tua usianya; Diutamakan tuan
rumah dari pada tamu; Imam adalah salah seorang dari mereka yang disenangi
dalam komunitas tsb bukan yang dibenci, tidak disukai atau ditolak.
ü
Imam yang dibenci ma’mumnya adalah imam yang tidak memiliki dasar
untuk menjadi imam yang baik dan tidak memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai
seorang imam yang baik.
2. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah
dipaparkan, imam yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan menjadi seorang
imam yang baik akan berdampak pada munculnya kebencian ma’mum kepada imamnya
tersebut. Oleh karena itu, diharapkan adanya pemenuhan syarat-syarat untuk
menjadi seorang imam yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim
karya Abu Bakr Jabir Al-Jazairi
Kitab Tauhid Dr. Shalih bin Fauzan
al-Fauzan. 24-25
Kitabut Tauhid Dr. Shalih bin Fauzan
al-Fauzan. 100-101
Tanya jawab ringan dan aktual seputar
sholat. Dr. Ahmad Zain
an-Najah 163-164
Fathul Bari. Syarh Shohih Bukhori. Ibnu
Hajar Atsqolani. Darr
Maktabah Ilmiyah Beirut Libanon. 238-239
Subulus salam Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shon’ani. 633-634
Tanya jawab ringan dan aktual seputar sholat. Dr.
Ahmad Zain an-Najah 164-165
Sentot, haryanto, Drs, psikologi
shalat, mitra pustaka jogyakartaa juli 2001
Asy Dyeh Muhammad bin Qosi Al
–Ghazaly, terjemah fat hul qorib,jilid I Al- Hidayah, Surabaya.
Hafidz bn Ajar Al Asgalani, Bulughul
Marom, Al –Hidayah, Surabaya
Saleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Ed.1, Cet.1, Jakarta :
Rajawali Pers,2008.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah. Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2002.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid. Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar