Sebaris senyum
tak lagi dapat kupancarkan dari bibirku. Seiring dengan terus bergantinya
bilangan waktu pun tak dapat membuatku untuk menebarkan senyum itu bak sebuah
bunga matahari yang sedang mekar dengan indahnya. Kucoba tuk menulis segurat
kepedihan ini diatas pasir berharap angin maaf dapat berhembus dan
menghilangkan kepedihanku, namun semua itu terasa sia-sia. Rasa ini seakan
meremukkan seluruh tulang badanku hingga seakan kutak lagi sanggup untuk
berdiri tegak bagai seorang maharani.
Kejadian
ini bermula tepat setahun yang lalu. Ketika hari liburan mulai menampakkan
sosoknya yang begitu ditunggu-tunggu banyak orang, terutama bagi orang yang
selama ini hari-harinya dipadati oleh banyak aktivitas. Begitu juga dengan
diriku yang telah menetapkan rencana liburan kali ini dalam list-ku. Liburan kali ini akan menjadi
hal yang akan sangat berkesan dan tidak akan terlupakan. Memang benar, malam itu adalah malam yang tak terlupakan bagiku. Bahkan
hingga kini...
Beberapa ratus meter dari tempat aku memulai perjalanan menuju sebuah villa
keluarga yang berada di daerah Puncak, aku merasa ada yang aneh dengan
perasaanku. Entah kenapa aku justru tidak tenang. Tidak seperti biasanya aku
merasakan kegelisahan seperti ini. Saat mendekati sebuah tikungan yang gelap,
pikiranku semakin menerawang tak jelas, kendali emosiku juga semakin tidak
stabil serta mobil yang kukendarai pun tak bisa kukendalikan dengan baik. Di
saat yang bersamaan, mataku mulai silau dengan sebuah cahaya terang dalam
kegelapan tersebut. Awalnya hanya berupa sebuah titik kuning kecil. Lama
kelamaan cahaya tersebut membesar dan semakin mendekatiku. Jantungku tersentak,
darahku terhenyak ketika menyadari bahwa tepat satu meter di depanku, sebuah
bus parawisata berpenumpang 15 orang itu melaju mendekatiku.
Mobilku terpelanting terbalik berulang-ulang meluluhlantakkan seisinya
tanpa ampun. Aku sendiri terhempas keluar mobil dengan bagian wajah terlebih
dulu mendarat di aspal mulus. Entah apa yang selanjutnya terjadi. Aku tak begitu
sadarkan diri, aku hanya merasakan seolah-olah darahku berhenti mengalir. Remuk
badanku semakin menggigit. Namun, ada hal yang kupikir lebih penting saat itu.
Rasa sakit tersaingi oleh rasa kekhawatiran terhadap keluargaku. Yach,,,
penumpangku saat itu adalah keluarga yang sangat kucintai. Ayah, ibu, dan kedua
adikku masih berada di dalam mobil yang telah berhenti berguling selama
beberapa menit. Mereka tentu merasakan sakit yang teramat. Dan aku tidak dapat
menolong mereka. Andai ku bisa memindahkan semua rasa sakit yang mereka alami
kerena ulahku seluruhnya kepadaku, tentu akan kulakukan. Namun, sungguh ku tak
berdaya.
Sayup-sayup kudengar suara-suara orang mengerumuniku. Tapi aku tak
mendengar dengan jelas ucapan mereka. Tak lama setelah itu, bunyi sirene yang
biasa kudengar di puskesmas dekat rumahku makin jelas mendekati telinga.
Setelah itu, tak ada lagi raungan dan getar suara yang kudengar, mataku
berpejam. Gelap…tak ada setitik cahayapun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar