Banyak orang berpikir akan sulit untuk melakukan
hal-hal yang baginya luar biasa. Menganggap bahwa kita tak mampu melakukannya. Kita
selalu terkurung oleh sugesti yang membuat kita berhenti sebelum mencoba. Bagaimana
kita bisa tahu sesuatu itu sulit untuk dilakukan atau tidak, jika kita belum
mencoba?
Kali ini aku ingin bercerita mengenai sebuah
pengalaman yang baru saja aku alami. Sesuatu yang berada di luar rencana, tak
pernah masuk dalam daftar hal-hal yang ingin aku wujudkan, bahkan tidak pernah
sekali pun terlintas di benakku sebelumnya. Aku tak pernah memikirkannya karena
mulanya aku menganggap itu tidaklah penting bagiku. Sejenak aku lupa bahwa
tidak ada yang sia-sia di muka bumi ini.
‘Diskusi langsung dengan pendeta’. Pernahkah
terpikirkan apa gunanya berdiskusi dengan seorang pendeta kristiani? Padahal
dengan para ulama sendiri saja kita jarang, bukan? Ini berawal dari
bergabungnya aku dengan sebuah komunitas yang ingin melihat seberapa besar
perkembangan di wilayahnya, Sumatera Utara. Hal ini ingin terealisasikan
melalui rencana penerbitan sebuah buku yang mengusung respon para tokoh penting
di Sumut.
Singkat cerita, aku mendapat tugas untuk
mengumpulkan naskah beberapa tokoh baik muslim maupun nonmuslim. Awalnya aku
masih tenang saja, tak ada kekhawatiran yang terbesit saat itu. Hingga akhirnya
aku merasa sedikit risau oleh sebab yang tak pasti. Aku sedikit tak tenang
ketika harus terlibat dengan orang-orang nonmuslim. Memulai itu sulit, benarkan
kawan? Karena sebelumnya tidak terbiasa berbicara dengan nonmuslim, terlebih
lagi mereka adalah para tokoh yang disegani, aku hanyalah seorang mahasiswi
yang kurang pengalaman, dll, inilah alasan-alasan yang muncul dibenakku saat
itu.
Namun sekali lagi kawan, kita tak akan tau jika
kita tak mencoba. Dengan basmillah ku maju selangkah. Awalnya memang
hanya untuk menemani seorang teman –karena ini bagiannya-, namun lama kelamaan
jadi tertantang. Kapan lagi bisa diskusi dengan pendeta yang bisa dibilang
kaumnya sendiri aja sulit buat bertemu dengannya. Dengan mengatasnamakan
Diskominfo, aku dan seorang temanku membuat janji dengan pendeta yang
bersangkutan. “Ketemu di kantor saya ya, Jln Pemuda no 7 Perisai Plaza lt 8,”
tuturnya memberi penjelasan melalui pesan singkat.
Pada waktu
yang telah ditentukan, aku dan seorang temanku meluncur ke sana. tak ku sangka,
ternyata perisai itu tempatnya aneh, seperti gedung tua. Karena sedikit meragu,
aku mencoba bertanya dengan salah seorang petugas di sana seputar tempat
tersebut. Aku terkejut mendengar jawabannya. Kau tau kawan, ternyata tempat tu
isinya merupakan tempat bermain booling dan sebuah gereja. Darahku seperti
berhenti mengalir saat itu. Bayangkan saja, penafsiranku adalah tokoh yang akan
kuajak diskusi merupakan seorang pendeta, kemungkinan besar aku akan menemuinya
di gereja, bukan? Terlebih lagi dia belum tau kalau aku adalah seorang muslim.
Owh Tuhan, aku lebih baik mundur dari pada harus masuk gereja hanya untuk
menemuinya. Bersamaan seperti ada bisikan yang aku dengar saat itu, ada apa
dengan sebuah gereja? Mengapa mengurungkan niat?
Saat itu tekad sudah terlanjur membara
mengeluarkan asap nekad. Sudah sampai di sini, tanggung kalau gak jadi.
Akhirnya aku ngeloyor masuk saja, langsung menaiki lift menuju lt 8. Ya ampun,
kau tau kawan, semua orang di situ sepertinya nonmuslim semua. Terlihat dari
raut wajah mereka, tak perlulah kuucapkan cirinya, kalian tentu lebih tau.
Beberapa orang memandang penuh tanya ke arah kami. aku tak lagi heran, sebab
aku sadar bahwa aku seorang muslim yang sedang berada di kawasan nonmuslim.
Dengan pakaianku yang memang mencirikan seorang muslim, tak ayal mereka
memandang seperti itu.
Sampainya di lt 8, suasananya tampak sepi. Gak
seramai perkantoran-perkantoran lain. Entahlah kawan, aku gak tau ini jenis
perkantoran apa. Mungkin jenis perkantoran khusus nonmuslim memang seperti ini.
Hanya ada ruang-ruang kaca di bagian pinggir ruangan besar hingga
memperlihatkan kelapangan di bagian tengahnya.
Aku makin bingung sebenarnya ini tempat apa. Setelah bertanya dengan
bagian loket, kami di antarkan ke sebuah ruangan. Dalam setiap langkah aku
berdoa agar itu bukanlah sebuah gereja. Bagian booling terlalui, aku melihatnya
dengan jelas. Benar, di sini ada tempat bermain booling. Tempat apa sebenarnya
ini, mengapa –maaf- gereja disandingkan dengan tempat bermain booling? Aneh
tapi nyata.
Alhamdulillah, ruangan yang dituju ternyata bukanlah sebuah
gereja, melainkan hanya sebuah ruangan yang memang mirip kantor pribadi. Tampak
orang yang mengantarkan kami hormat terhadap pendeta tersebut. Lagi-lagi aku
menyimpulkan bahwa pendeta ini merupakan
salah satu orang yang disegani di sini. Begitu bertemu, saling menyapa dan
akhirnya duduk bersama. Walau awal tampak kaku, seiring pembicaraan aku mulai
terbawa suasana. Tapi aku juga tidak melupakan bahwa dia adalah seorang
pendeta, yang artinya berbeda keyakinan denganku dari sisi agama. Ini membuatku
sedikit menjaga ucapan, takut-takut kalau mengeluarkan kata-kata yang tidak
seharusnya.
Selain itu, ada lagi yang membuat aku merasa perlu
berhati-hati, sebab aku adalah seorang muslim sedang ia adalah seorang
nonmuslim. Secara tidak langsung aku membawa nama agamaku, begitu pun dengan
dia. Ini membuatku berusaha keras menjaga pandangan baik mereka terhadap
agamaku. Aku tak ingin karena tingkahku yang mungkin tak lekat di hati pendeta
tersebut, merusak nama baik islam. Meskipun yang menjadi topik pembicaraan kami
saat itu adalah masalah umum, kemajuan sumut. Sama sekali tak menyangkut agama
masing-masing. Bayangkan, aku yang hanya seorang mahasiswi semester 4
berdiskusi mengenai perkembangan sumut, wilayah kami, dengan seorang pendeta
yang cukup disegani. Terakhir aku tau ia adalah salah satu perwakilan kristiani
dalam FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).
Kau tau kawan, beginilah indahnya perdamaian,
meskipun dengan umat agama lain. Kami sama sekali tak menyalahkan keyakinan
yang masing-masing kami anut, atau memperdebatkan mengapa harus memilih agama
tersebut. Di sini aku melihat betapa kami saling menghargai kepercayaan
masing-masing, istilahnya toleransi beragama. Tak ada sedikitpun
sentilan-sentilan yang menyinggung masalah itu. Kami damai. Dan seharusnya kita
semua begitu. Betapa indahnya jika kita bisa menjunjung tinggi kerukunan. Tanpa
harus menghancurkan agama satu sama lain. Ini indah kawan, kalian harus mencoba
agar dapat measakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar