“Manis, asem, asin, rame rasanya!!”
Aku
gak sedang membicarakan rasa permen yang dulu pernah hits banget ya,
apalagi buat promosiin permen baru. Aku lagi cerita rasa cinta (loh?). Kalau
boleh aku tambahin, pahit, kecut, juga terkadang hambar, melengkapi rasa yang
ada di Dinamika, salah satu organisasi intra kampus yang aku geluti hingga saat
ini. Kalau ditanya sama beberapa orang yang juga menggeluti sebuah organisasi,
sebenarnya mereka juga pasti merasakan hal yang sama. Tapi tentu aku gak bisa
menjelaskan secara terperinci perbedaannya, karena aku gak sedang/pernah
menjalani semua organisasi (gempor, gilaaak), tapi aku hanya memilih satu, LPM
Dinamika. Eits, jangan mendramatisir, ini bukan karena apa-apa, tapi karena
memang gak boleh pasang dua apalagi lebih. Hadeh, selingkuh itu memang udah
tabiatnya dilarang. (loh, koq kesana?)
Kalau
para pujangga tidak pernah kehabisan kata untuk mengurai makna cinta, aku malah
gak pernah kehabisan kata untuk mengurai kenangan di Dinamika (idih, bahasanya
ya). Sewaktu OPAC, aku memilih organisasi dengan melihat organisasi mana yang
pimpinannya paling cakep, dan akhirnya terpilihlah dinamika (tong sampah mana
tong sampah?). Karena terhipnotis dengan kecakepan sang pimpinan, aku sampe
gak dengerin apa yang dia omongin saat itu, kalau ternyata majalah ini
menelurkan berita kampus, dan bakal bergelut di bidang jurnalistik (Jiaaah,
bukan, sama sekali bukan karena itu, sumpe deh, gak semua yang loe baca ini
bener).
Berawal
dari obsesi aku untuk bisa bergabung dengan komunitas yang menghasilkan produk
majalah, sampe-sampe waktu itu gak peduli apakah itu majalah mau tentang
berita kampus atau majalah po*no sekalipun (toeng), yang penting aku bisa
bergabung dalam komunitas yang menghasilkan sebuah majalah. Nah, akhirnya
kecemplung lach di Dinamika. Tapi aku pikir ini malah jadi satu bonus.
Gak semua penulis adalah jurnalis, tapi semua jurnalis adalah penulis, setuju
gak?
Banyak
yang udah kita lalui bareng-bareng, berapa banyak tawa dan air mata yang tumpah
di sini. Semuanya karena Dinamika (jangan serius kali). Jadwal bentrok, waktu
mepet, bersitegang dengan pihak fakultas atau biro, narasumber yang beraneka
ragam, belum lagi dikejar deadine, dll, udah jadi makanan sehari-hari
buat anak Dinamika. Terlebih lagi larangan orang tua, semua anak Dinamika pasti
ngalami hal ini. Bicara masalah larangan orang tua, aku jadi teringat dengan
masa-masa dimana aku sering bersitegang dengan orang tuaku yang melarang aku di
Dinamika. Kuliah terbengkalai, kesehatan yang terabaikan, waktu yang sedikit
banget buat keluarga (idih, mank aku udah nikahan?), dan banyak hal lainnya
yang menjadi kekhawatiran orang tua.
Ada
satu kejadian saat aku sedang meliput sebuah demo yang terjadi di Biro Kampus. saat
itu keadaannya sangat ricuh dan sempat adu fisik, pendemo menutup semua akses
keluar masuk Biro –termasuk jalur tikus (toeng), yang menyebabkan aku dan
beberapa kru terjebak di dalamnya. Dan sialnya saat itu aku berpapasan dengan
salah satu antek-antek keluarga yang turut melarang aku di Dinamika. Spontan
aku kalap donk, bukan karena pendemo yang mulai saling menumpahkan darah, tapi
karena tertangkap basah sedang liputan. Karena panik, aku masukin ID card
ke mulut –rencananya- tapi gak jadi karena gak muat. Akhirnya aku masukin ke
dalam baju, karena gak punya kantong. Dan segala peralatan liputan lain,
seperti alat tulis dan Handphone –buat merekam- aku serahin ke orang
sebelah (kirain kru juga, rupanya pendemo, sial). Karena orang Indonesia selalu
untung dalam keadaan apapun, termasuk aku, jadi untungnya saat itu aku gak
sedang pake baju pers. Jadi, gak perlu pake acara buka baju, trus lempar ke
penonton (loh?).
Antek-antek keluarga: “Lagi ngapain nuri di sini?”
Aku: “hmm, anu, lagi anu,” (kalap banget waktu
itu)
Antek-antek keluarga: “apa? Panu? Ini bukan toko
obat, ini Birooo,”
Aku: “???, #gubrak”
Lebih
kurang gitu lach percakapannya. Walaupun udah bersilat lidah, tapi tetap
aja ketahuan. Satu hal yang terbesit saat itu adalah, aku malu, gak berani atau
apalah namanya untuk nunjukkin ID Dinamika. Keliling kampus saat liputan pake ID
card juga malu rasanya, diliatiiin gitu sama orang-orang. “Ich, tu orang
apa monyet?”, lebih kurang mereka bisik gitu lach (apa hubungannya?). Padahal
di situlah identitas yang seharusnya dijunjung tinggi seorang pers, termasuk
persma. Tapi itu dulu, sekarang udah gak (yang percaya, murtad!). Pasalnya,
setiap kali aku nunjukkin ID card, aku bisa lolos, baik ketika
menghadiri sebuah acara atau saat ketilang polisi (hahaha,, #ketawa setan. Yang
ini jangan ditiru ya).
Sampe-sampe sekarang orang tua aku gak ngelarang lagi
aku di Dinamika, salah satu alasannya karena ID card. Kalau ngeliat ID
card, seolah-olah mereka ngeliat uang segepok gitu makanya diem (gak deng).
Ceritanya waktu itu aku lagi sakit, diboncengin sama ayah buat berobat ke Klinik
Tong Fang. Di tengah jalan ada razia, ayah panik dan dia putar arah.
Beberapa saat kemudian dia bilang:
Ayah: “Seharusnya tadi nuri aja ya yang bawa
keretanya,”
Aku: “Koq gitu?” (dalam hati, “iya, abis itu kita
langsung nyemplung ke kuburan”)
Ayah: “Khan nuri punya kartu pers,”
Aku: “Gubrak”
Kalau tadinya ayah bener-bener ngelakuin
rencananya, trus ntar aku harus bilang apa ke pak polisinya? Mungkin
percakapannya bakal jadi kayak gini:
Polisi: “Selamat siang buk, mohon STNK-nya.”
Aku: Sambil menoleh kanan kiri trus bilang “Sapa
yang ibuk-ibuk, pak? Aku masih perawan ting-ting.”
Polisi: “Owh maaf, tante.”
Aku: Gigit sendal.
Polisi: ??? “Mohon STNK nya.”
Aku: Dengan bangga nyodorin kartu pers sambil
bilang, “Saya pers, pak. Sedang liputan.”
Polisi: “Maca’ cih? Tius bapak ne capa (sambil
nunjuk ke ayah)?” (polisinya alay rupanya)
Aku: #Nepok jidat!! Gak mungkin aku bilang, “Tadi
saya nemu bapak ini di jalan trus saya angkut aja.” atau “Saya juga gak tau,
bapak siapaaa?” (Astaghfirullah, bercanda)
Itu
cuma satu kejadian aja, juga satu alasan persetujuan mereka buat aku tetap stay
di Dinamika. Alasan lainnya, kasih tau gak yaaa? Mau tao aja atau mau tao bangeeet?
(kumat alaynya). Alasannya karena apa yang udah aku hasilkan berkat Dinamika. Mulai
dari majalah, bulletin, buku sampai link-link yang gak pernah aku duga. Semua
itu berkat Dinamika (asyeeek).
Seperti
yang aku katakan di awal, gak akan habis kata untuk bercerita tentang Dinamika.
Tapi yang aku tahu pasti bahwa Dinamika punya kesan tersendiri di hati para fansnya,
ech, kru maksudnya. Dan buat aku, gak
bisa dipungkiri kalau Dinamika udah berhasil ngerubah aku jadi wonder girl
(yang ini ciyus), setidaknya berlipat-lipat lebih kuat dari nuri yang dulu.
Terlepas dari itu semua, memang gak ada yang sempurna, masih banyak hal yang
perlu dibenahi. Satu hal yang aku tekankan adalah kita ini keluarga, bukan
‘seperti’ lagi, meski tanpa hubungan darah. Yang namanya keluarga, kalau udah
disatukan dengan kasih sayang semuanya bisa teratasi, insyaAllah.
Di
luar itu semua, aku berharap Dinamika tetap dapat menunjukkan eksistensinya
pada publik. Dan di balik candaan yang gak pernah luput menyelimuti kita, kita
harus tetap ingat bahwa kita punya tanggung jawab, bukan hanya pada diri kita,
tapi juga pada lebih kurang 6000 mahasiswa IAIN, dan memungkinkan juga pada
masyarakat di luar sana. So, tep semangat guys. Salam cetar, jos
gandos, halilintar atau apapun yang lagi nge-trend saat ini, tapi tetep,
SALAM PERSMA!! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar