Bumi kembali berputar pada porosnya mengikuti
aturan takdir. Sang surya masih enggan bersembunyi, namun aturanNya tak pernah
lari. Tapi, tenanglah, sang surya tetaplah sang surya, ia akan tetap bersinar
walau malam menjelang. Semburat garis jingga di tepi langit sore mulai
menyembur pelan menutup cakrawala, memamerkan indahnya pesona senja. Maghrib menjelang
diwarnai lantunan adzan. Pintu-pintu rumah warga tertutup rapat. Sepi mulai
menyelinap. Bagi umat muslim, segala aktivitas diberhentikan demi menjalankan
satu dari sekian perintahNya. Namun, yang terlihat tidaklah demikian.
Sebuah rumah yang dihuni oleh lima orang beragama
Islam, terdiri dari sepasang suami istri dan tiga orang anak laki-laki, dua
diantaranya telah baligh sedang satunya lagi masih berumur sekitar tiga tahun.
Ketika malam menjelang diwarnai lantunan adzan maghrib, di saat umat muslim
lainnya menjalankan ibadah shalat yang hanya memiliki sedikit rentang waktu,
mereka masih saja larut dalam tayangan televisi yang memukau. Seolah ingin
menarik mereka untuk masuk ke dalam layar televisi. Dan ini bukan kali pertama.
Hampir di setiap harinya hal ini selalu terjadi.
Sang kepala keluarga yang rutin berada di mesjid
terdekat untuk shalat berjamaah sebelum adzan menggema selalu mengingatkan
sebelum ia berangkat, namun selalu jua tak digubris. Walhasil, sepanjang adzan
berkumandang, siaran televisi masih bebas memanjakan penonton setianya. Ketika beberapa
pasang mata masih saja terbelalak tak berkedip di depan layar, si bungsu yang
masih berumur tiga tahun bergegas mematikan televisi. Layar televisi mendadak
gelap, tak memunculkan warna kecuali hitam. Sontak penonton kecewa, sembari
menatap marah si kecil yang masih berdiri tegak. Anak kecil itu lalu berkata,
”colat-colat, ndah atan” ucapnya celat namun dengan nada mantap.
Saudaraku, ini adalah satu
dari sekian kisah yang patut kita renungkan. Betapa kita telah lupa akan asal
kita, Sang Maha Pencipta. Nikmatnya dunia yang senantiasa membelai mesra telah
membuat kita melupakan kewajiban kita, lupa untuk apa kita diciptakan. Betapa
masih sucinya seorang anak kecil dibanding kita yang telah berlumur dosa, namun
masih saja membusungkan dada di atas bumi Allah SWT.
Saudaraku, saat mobil mewah
dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat
kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti
hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara
paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.
Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati
saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa
tenang meski terlalu sering melalaikan shalat, kita masih berdiri tegak dan
sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita,
meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar.
Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar
tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan
dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan
kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan
yang baru.
Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan
tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan
meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa
titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu
pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya.
Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan
sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain
mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak
mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan,
tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau
orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.
Tetapi juga saudaraku, tidak jarang
kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan
adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar di telinga.
Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang
Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak
pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar
nanti. Kita juga tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang
sholeh dan beriman. Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa
dengan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar