Sayup-sayup kudengar suara azan, namun tak menggubris.
Tanpa membuka kelopak mata, aku kembali terlelap meskipun tak sepenuhnya tak
sadar. Aku berada di posisi tengah, antara sadar dengan tidak. Hingga kumandang
azan tak lagi terdengar, aku masih saja bergelut dengan bantal guling di atas
ranjang. Rasanya aku ingin kembali dibawa untuk bermimpi. Dengan kesadaran yang
kupaksakan dan kelopak mata yang hanya setengah terbuka, ku turuni ranjang
melangkah keluar kamar menuju kamar mandi. Tak lupa ku berwudhu dan mengerjakan
ibadah subuh sebelum fajar mendulang.
Parah, sungguh parah... Setelah salam, tanpa do’a aku
kembali terlelap setengah sadar di atas sajadah. Wach,, anak gadis paling
pantang seperti itu,, yach khan?? Dan memang tidak boleh tidur lagi di pagi
hari. Walaupun hati kecilku berontak, namun tubuhku tak peduli, tak mau diajak
berkompromi. Rasanya berat minta ampun.
Waktu telah bertengger antara angka enam dan tujuh ketika
aku tersadar penuh. Masih tak percaya dengan apa yang kulihat, aku kembali
menatapnya dengan mata melotot. Ternyata benar, bisa-bisa aku terlambat sekolah
kalau tidak segera bergegas. Saat ini aku duduk di bangku XII sebuah Madrasah
Aliyah Negeri berbasis Internasional.
Karena basis itu, peraturan di sekolahku sangatlah ketat. Jika
terlambat, maka akan dipulangkan, kalaupun diizinkan masuk, minimal belajar di
luar kelas.
Aku segera bangkit membuka mukena yang masih ku kenakan
saat tertidur dan langsung meletakkannya pada rak tanpa dilipat. Kali ini aku
terpaksa mandi bebek (alias mandi kilat) dan tidak menyentuh sarapanku demi
meminimalisir waktu. Untungnya jarak antar rumah-sekolah tidaklah jauh,
ditambah lagi aku memiliki kendaraan motor dan satu lagi, jalanan menuju
sekolah jarang macet, jadi dalam perkiraan aku tidak akan terlambat.
Setibanya di depan sekolah, aku dikejutkan dengan pagar
sekolah yang telah terkunci. Kulirik jam tangan coklat kesayanganku telah
menunjukkan waktu pukul 07.10 WIB. Itu artinya aku sudah telat sepuluh menit
dari peraturan yang telah ditetapkan. Pantas saja pagar sekolah telah ditutup.
Tak jauh dari pagar, aku melihat satpam sekolah duduk di postnya sedang asyik
mengotak-atik radio tua buatan 1990-an. Aku mencoba memanggil-manggilnya, namun
sepertinya ia tidak mendengar. Aku tak mungkin mengeluarkan suara yang lebih
kencang ataupun dengan menekan klakson motorku, bisa-bisa itu akan memancing
perhatian guru dan aku bisa tertangkap basah telah melanggar peraturan sekolah.
Ku ambil batu kecil dan kulemparkan tepat ke arah satpam
itu. Puch,, batu itu menimpuk radionya. Walaupun memanggil dengan cara tidak
sopan, namun aku berhasil. Satpam itu terperangah kemudian menoleh ke arahku.
Dengan raut wajah penuh amarah, ia berjalan mendekatiku. Dari balik pagar aku
meminta maaf dan mencoba bernegoisasi agar diizinkan masuk. Namun, ia semakin
menegang. Emosinya terlihat semakin meluap-luap. Jika dibiarkan, suaranya yang
besar itu dapat memancing perhatian pihak sekolah. Tanpa pikir panjang, aku
mengeluarkan sebungkus rokok dari ranselku dan kusodorkan ke arahnya sambil
mengiba, “Tolonglah pak, hari ini saya ada ujian.” Melihat apa yang aku
berikan, wajahnya berubah 180 derajat. Sesaat ia melongokkan wajahnya ke kanan
dan kiri, kemudian membukakan pagar dan merebut sebungkus rokok dari tanganku.
“Cepat masuk,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Cara ini aku pelajari dari seorang seniorku dulu. Saat
itu tak sengaja melihatnya saat hendak ke ruang tata usaha. Ini memang salah,
tapi aku rasa inilah satu-satunya cara agar murid-murid yang terlambat seperti
aku dan seniorku itu dapat menerobos masuk. Karena ulah satpam sekolahku ini,
terdengar kabar bahwa ia telah berada di ambang pintu pemecatan. Kalau sudah
begini, siapa yang harus disalahkan? Satpam itu atau kami, murid-murid yang
suka terlambat?
Ini baru satu dari sekian banyak perbuatan nakal yang aku
lakukan. Yach,,, semasa itu, bisa dikatakan aku termasuk anak badung. Namun,
sebadung-badungnya diriku, aku tidak pernah meninggalkan ibadah salat wajib.
Ini pesan yang selalu dilontarkan ibuku kepadaku semasa ia masih hidup. Sejak ia
meninggalkanku tepatnya dua tahun enam bulan lima hari yang lalu akibat penyakit
tumor yang menyerang dengan ganas, aku menjadi seperti ini. Seakan ini
menyatakan pemberontakanku atas kepergian ibuku. Di rumah, hanya ia yang begitu
menyayangiku, yang lainnya memusuhiku. Aku seolah merasa tak mempunyai siapapun
di dunia ini selain dirinya.
***
“Yuki, ana mau ke kantin, anti mau ikut?” tanya Ida. Tanpa
memandangnya, aku segera menggelengkan kepala menandakan tidak. Ida segera
berlalu meninggalkanku yang sedang menyalin tugasnya di buku PRku. Selain menjadi
sahabat, terkadang Ida juga bisa menjadi adik, kakak, orang tua, ataupun
guruku. Aku mengenalnya saat masuk sekolah ini. Kebetulan saat itu ia adalah
teman sebangkuku. Kemudian kami akrab seiring waktu. Buatku Ida adalah anak
yang sangat baik. Ia juga pintar, ramah dan shalehah. Pakaiannya rapat menutup
aurat, wajahnya berseri walaupun berwarna gelap, perkataannya lembut menyayat,
dan sikapnya bagai malaikat. Sungguh hebat.
“Ini, ana tahu anti suka ini dan anti juga belum makan
khan?” Ucap Ida sekembalinya dari kantin sambil menyodorkan sebatang coklat dan
sebotol minuman. “Hari ini ana juga sengaja melebihkan bekal yang ana bawa
untuk anti, ana tahu anti tidak pernah sarapan pagi karena selalu bangun
kesiangan. Dan ana akan melakukannya untuk seterusnya. Jadi, anti harus makan
bersama ana, “ lanjutnya sambil membuka bekal dan memberikan suapan pertama untukku.
“Aku bukan anak kecil,“ jawabku. Namun, ia terus memaksa hingga aku tak bisa
menolak. Sambil menulis aku terus disuapinya. Kali ini dia bertingkah melebihi
ibuku.
Bukan itu saja, setiap kali kami mengobrol, Ida akan
menceramahiku. Perkataannya selalu mengandung makna ayat dan bersifat religius.
Sering kali aku kena damprat olehnya akibat sikapku yang salah di matanya. Aku merasa
semua yang aku lakukan memang selalu salah baginya, namun ia menasihatiku
dengan penuh kasih sayangnya. Dan aku akan patuh atas apa yang ia katakan.
Walau bagaimanapun apa yang ia katakan selalu membuat aku senang, meskipun itu
sebuah teguran.
Suatu kali saat guru yang bersangkutan tidak hadir, aku
masih ingat saat itu hari sabtu, Ida menceritakan kepadaku hal-hal yang ia
dapat dari liqo’-nya (sebuah pertemuan yang diadakan demi membahas hal-hal
keagamaan). Kali ini ia menjelaskan mengenai kewajiban menutup aurat. Awalnya aku
merasa biasa saja, sebab aku merasa telah menutup auratku, seluruh tubuh
kecuali wajah dan kedua telapak tangan, tak ada yang salah. Namun ternyata Ida
berbicara mengenai hal yang lebih dalam dari itu. Ia mengatakan bahwa pakaian
yang aku kenakan sesungguhnya belumlah sesuai. “Yang anti pakai ini namanya
kerudung, bukan jilbab. Jilbab ialah
sejenis kain
yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada,”
jelas Ida sembari memegang jilbab yang kukenakan,
ups,, kerudung maksudnya. “Kerudung anti terlalu pendek, nanti akan ana bawakan
yang lebih panjang untuk anti,” lanjutnya dengan senyuman. Bisakah kalian
membayangkan bagaimana perasaanku saat itu? Aku ingin sekali menolak
tawarannya, namun tidak tega.
Begitu pula ketika aku sedang kesulitan bahkan dapat
dikatakan depresi pelajaran, Ida-lah yang membantuku untuk menghadapainya.
Dengan sabar ia mengajariku materi yang sulit kupahami. Beruang kali aku
berontak, berulang kali pula ia menasihatiku. Anehnya aku akan luluh dengan
kata-katanya. Pernah suatu kali aku duduk bersama sekumpulan teman-teman cowok
di sekolah, lalu Ida datang dan membawaku pergi. Aku tahu saat itu ia ingin
melarang, namun ia tidak mngatakannya secara langsung, ia mengajakku untuk
menemaninya salat dhuha di mesjid sekolah. Ini bukan hanya sekali, ia berulang
kali mengajakku untuk menemaninya ke mesjid di waktu dhuha. Setelah selesai
menunaikan ibadah sunnah tersebut, kami sering sekali membicarakan banyak hal
di tempat itu hingga akhirnya tempat itu menjadi bagian yang paling aku sukai
di sekolah.
Lambat laun aku mulai terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan
yang sahabatku ini lakukan. Mulai dari ucapan, perbuatan, hingga penampilan.
Aku banyak belajar darinya. Aku yang bisa dikatakan jauh dari agama, kini mulai
memahami dan merasakan nikmatnya. Sungguh tak pernah terbayang sebelumnya
olehku bisa menjadi seperti ini. Jujur saja sebelum berjumpa dengan Ida dan
sepeninggal ibuku, aku termasuk orang-orang yang telah berputus asa. Buatku,
Ida manusia berhati malaikat yang Allah kirimkan untuk menolongku.
***
Waktu terus berjalan sesuai aturan-Nya, tak pernah meleset
sedikitpun. Malam menelan siang, begitu pula siang menelan malam. Mereka seakan
berkejar-kejaran. Tidak terasa masa Aliyah akan segera berlalu. Apakah itu
artinya waktu kebersamaan antara aku dan Ida juga akan berakhir? Meskipun aku tak berharap begitu, namun yang
ku tahu pasti kami tidak akan berjumpa sesering ini. Terlebih lagi setelah aku
tahu bahwa jalan kedepan yang akan kami jalani berbeda. Aku akan melanjutkan
pendidikan di sebuah Universitas, sedang Ida tidak melanjutkan pendidikannya,
tetapi akan bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Sayang seribu sayang
anak sepintar Ida harus berhenti sampai di sini. Namun, aku tak dapat melakukan
apapun untuknya.
Di ambang perpisahan, aku tersedu sedan dalam pelukannya.
Sungguh aku berat untuk melepasnya pergi. Masih banyak yang ingin aku pelajari
darinya dan terlalu banyak yang telah ia berikan kepadaku, sedang aku tak dapat
membalasnya. Aku rapuh, sungguh rapuh, aku merasa akan kehilangan orang yang
aku sayangi untuk kedua kalinya. Ida mencoba menenangkanku. Mengajakku
beristighfar berulang kali. Ku ikuti perintahnya hingga aku benar-benar tenang
setelah mengingat-Nya. Saat itulah teakhir kali aku menatapnya sebelum kami
berpisah.
***
Gelap berhasil menenggelamkan terang, bulan terlihat
lebih bulat dan terang saat itu. Sepi menyelinap mendatangkan keraguan. Tak ada
siapapun di ruang itu, hanya aku yang terdiam menatap layar ponsel yang telah
tiga tahun lebih setia mendampingiku. Sebuah pesan singkat memenuhi memori
handponeku, datang dari seorang teman lama yang juga teman aku dan Ida. Pesan
itu berisikan sebuah undangan resepsi pernikahan. Aku dikejutkan dengan nama yang
menjadi calon pengantin wanitanya. Ida Nurhasanah. Hatiku berlonjak, antara
bahagia, terharu, sedih, tak percaya dan kecewa, semua bercampur menjadi satu.
“Tidakkah ini terlalu cepat?” gumamku.
Sebulan setelah perpisahan itu, aku tidak lagi dapat menghubungi
Ida. Nomor ponselnya sudah tidak lagi aktif dan tidak seorangpun dari temanku
yang mengetahuinya. Ida juga tidak pernah lagi menghubungiku. Bahkan ia
sekeluarga telah pindah rumah. Kami diskomunikasi diakibatkan sebab yang tidak
kuketahui dengan pasti. Terakhir aku mendengar kabar dari salah satu
tetangganya bahwa ia telah bekerja dengan sebuah supermarket. Jika aku tidak
salah hitung, belum satu tahun yang lalu ia mengucapkan selamat tinggal
kepadaku. Dan kini ia akan segera menempuh hidup berkeluarga tanpa
memberitahuku secara langsung. Aku harus mendengar kabar ini dari orang lain.
Namun, aku membuang pikiran buruk dan tetap bersyukur pada-Nya karena aku masih
diberikan kesempatan untuk mengetahui hal ini.
Bersama teman-teman yang lain, aku pergi menghadiri undangan
itu. Setibanya di sana, beberapa papan ucapan bertuliskan nama sahabat lamaku
berdiri tegak. Degup jantungku semakin tak beraturan. Ia berdetak sesukanya,
bahkan lebih cepat. Kutarik nafas lebih dalam dari sebelumnya dan kulangkahkan
kaki memasuki wilayah pesta. Di ambang pintu, jelas ku lihat kedua orang tua
Ida dari balik keramaian. Kudekati mereka dan kusalami dengan penuh kehangatan.
Sebuah pelukan aku dapat dari ibunya, erat sekali. Kemudian mempersilahkanku
masuk setelah melepaskan pelukannya.
Aku memilih tempat di dalam rumahnya, duduk tepat di
depan pelaminan. Tak kudapati sahabatku duduk bersanding di sana. Mataku mulai
bekerja mencari-cari sesuatu hingga berhenti pada sebuah pintu kamar. Pintu itu
dihias sedemikian rupa, aku yakin itu adalah kamar pengantinnya. Tak sabar
melihat wajah bahagia sahabatku, dengan bantuan orang yang dikenal aku melongos
masuk ke kamar tersebut. Terlihat seseorang sedang dihias di depan meja hias.
Sungguh cantik parasnya bagaikan aktris Bollywood. Namun, menurutku lebih
cantik Idaku. Aku tertegun menatapnya dari pantulan cermin. Itu sahabatku.
Ternyata ia juga melihatku dari cermin, ia segera berbalik dan memelukku hangat
sembari menyebut namaku. Yach,, dia Idaku. “Bagus-bagus belajar ya Yuki,” pesannya
sembari melepaska pelukannya. “Setelah ini Ida akan pergi ikut suami ke
Rantau,” lanjutnya terbata.
Ada hal yang telah berubah yang membuatku tak dapat
mengenalinya. Ia melakukan hal yang paling ia hindari. Sungguh ia telah
melanggar perkataannya sendiri. Di acara yang sakral ini, ia melepas penutup
kepalanya, memamerkan indah rambutnya. Mengenakan busana selayar bertali satu
dengan paduan warna putih pink yang sangat mengetat menampakkan lekuk tubuhnya.
Astaghfirullah,, berulang kali aku mengucakannya dalam hati. Memohonkan ampun
untuk sahabatku. Bahkan bukan aku saja yang terkejut melihat ini, tetapi semua
teman-temanku yang hadir. Di belakang mereka mencibir Ida sehingga telingaku
terasa memanas. Aku tak tahan, sungguh tak tahan. Dalam hati aku bergeming,
“Sahabatku tercinta, benarkah ini dirimu? Tahukah kau selama ini aku
merindukanmu karena-Nya? Tapi kenapa kini ku seperti tak mengenalimu? Bahkan ku
seakan tak menemukan sosokmu! Kau berubah menjadi orang yang tak kukenal.
Sungguh ironis, kau lakukan apa yang selama ini kau katakan paling kau hindari
dan kau benci. Kau tahu sahabat, hati ini seperti terkikis habis berguyur
berdarah-darah melihatmu begini. Sakit sekali. Kini kau telah menjalani
kehidupan barumu. Do’aku selalu menyertaimu, sahabat. Semoga keridhoan-Nya
selalu menyertaimu dan keluargamu. Amin.”
Biodata Deskriptif
Nurie Syauqie adalah nama pena dari Nuri Aslami, lahir di
Medan, Sumatera Utara pada 19 Februari 1993. Anak kedua dari lima bersaudara
ini tercatat sebagai mahasiswi
Ekonomi Perbankan Syariah IAIN SU stambuk 2010. Menamatkan pendidikan di SD
Swasta IRA (1998), MTs Negeri 2 Medan (2004) dan MAN 2 Model Medan (2007). Saat ini menjadi reporter di Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) Dinamika IAIN SU. Tegur sapa bersamanya via e-mail: nuaie_syauqie@yahoo.com dan facebook: Nurie Syauqie.
Arya terharu saat membaca tulisanmu dinda..
BalasHapus:-D