Sinar menerobos paksa
celah-celah jendela rumah. Pertanda pagi berhasil memenangkan pertarungan
dengan malam. Memamerkan cerahnya hari ini. Langit ikut membiarkan awan putih
bergelantung bebas berarakan. Bau khas tanah hasil hujan semalam menguap
bersama dinginnya pagi. Memang benar pagi yang cerah, tapi tidak dengan
kondisiku yang lemah. Terseok aku membawa badan setengah sadar.
Ngilu bekas jatuh semalam
masih nakal bergandeng pada seluruh tulang. Lama aku terpekur di samping tempat
tidur. Sedang bayang-bayang aktivitas hari ini terBang bebas mengitari. Menambah
urat-urat syaraf berontak tak karuan. Baru aku tersadar, pagi ini aku punya
janji untuk ikut mengantarkan seseorang mondok di sebuah pesantren di Bogor. ABangku,
begitu aku menyebutnya, meskipun kami tak sedarah. Sebut saja ia Ilyas.
Waktu bertengger di bawah
angka enam. satu jam sebelum waktu yang dijanjikan. Sadar akan kondisi yang tak
memungkinkan, akhirnya aku menghubungi salah seorang teman untuk memberitahu
batalnya keikutsertaanku untuk mengantarnya. Tak butuh waktu lama, tubuhku
kembali beradu dengan kasur empuk. Bersamaan dengan itu, ponselku turut memberi
pertanda Lowbate. “Hadeh, sama saja dengan empunya,”
gumamku.
***
Waktu terus berjalan, semenit,
dua menit, sejam, dua jam. Namun, aku tetap terjaga. Mungkin karena tidak
terbiasa tidur di waktu pagi, padahal semalam aku baru bisa tidur saat larut.
Sibuk aku membolak-balik badan, berharap temukan posisi tidur yang nyaman,
kemudian terlelap damai. Namun lagi-lagi gagal, aku frustasi. Dengan tubuh
masih sempoyongan, aku Bangkit mengucapkan selamat tinggal pada kasur yang
masih saja memanggil. Beranjak membersihkan diri, berharap rasa sakit ikut
pergi.
Selepas itu, entah angin apa
yang memaksaku ingin memeriksa ponsel yang sedari tadi seolah berempati pada
kondisiku. Deringnya menyambut beberapa saat setelah aku mengaktifkannya
kembali. “Dek, kalau Kakak yang bawa
kereta gimana? Kakak ditinggal orang itu. Gak tau mau pergi sama siapa,”
pesan seorang teman yang tadi aku hubungi. Sebut saja ia Fita. Seorang teman
yang sudah aku anggap sebagai Kakak. Kak Fita dan Bang Ilyas sangat dekat. Kedekatan
itu merambat menjadi suatu hubungan yang tak terjelaskan. Kalau anak alay bilang, mereka saling jatuh cinta. #tsaahh..
Saat itu waktu menunjukkan
pukul 08.38 WIB. Lebih kurang satu jam sebelum jadwal keberangkatan pesawat
yang akan Bang Ilyas tumpangi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengiyakan.
Meskipun kutahu tidak akan terkejar, tapi setidaknya ada perjuangan. Jika pun gagal,
tentu tidak akan menyesal karena tidak berbuat sama sekali. Perjalanan dari
tempatku saat itu menuju bandara paling cepat tertempuh selama 45 menit dengan
motor. Kecuali ada keajaiban yang merubahnya.
Lemah tubuhku terabaikan
begitu saja. Kedekatan mereka selama ini seolah terus membayangiku tanpa ampun.
Bagaimana mungkin aku rela membiarkan Kak Fita dan Bang Ilyas berpisah begitu
saja. Tanpa ada kata perpisahan secara langsung? Tanpa senyuman terakhir
sebelum keberangkatan Bang ilyas? Tanpa moment
perpisahan di bandara antara dua insan yang tengah dimabuk asmara? Oh tidak..
Empat tahun lamanya Bang Ilyas akan pergi, setidaknya ada moment di mana Kak Fita, orang yang ‘dekat’ dengannya, mengantarkan
keberangkatannya. Melepasnya dengan senyuman yang mengartikan “Pergilah, aku akan baik-baik saja.”
#tsaahh.
Tak butuh waktu lama, aku
bergegas melaju bersama sepeda motor yang biasa menemaniku balapan. Sebelum
berangkat, sebuah pesan singkat mampir di ponselku, dari Kak Fita. “Tapi kayaknya gak sempet dek, sekarang udah
jam 9 kurang, Bang Ilyas berangkat jam 9.30.” Pesan itu jelas menggambarkan
keputusasaannya. Tapi aku tahu, dia masih sangat berharap. “Aku datang Kak,” gumamku.
Baru beberapa meter melaju
tubuhku sudah merasa panas dingin, terlebih lupa membawa jaket karena terlalu
terburu-buru. Namun, itu tak mengendorkan gas yang sudah terburu ditarik. Putar
arah hanya untuk mengambil jaket akan membuang waktu yang tersisa. Dalam
kondisi seperti ini, sedetik sangat berharga.
Di tengah perjalanan, dari
kejauhan aku melihat antrian panjang siap menghadang. Sial, jalanan macet. Jam
tanganku menunjukkan pukul 08.51 WIB. Aku terus berdoa semoga Tuhan memberi
jalan. Tak putus harapan, aku berusaha menyelip tak karuan, menerobos sempitnya
jalan yang dipenuhi dengan kendaraan. Setelah lebih kurang sepuluh menit
tersendat gelisah, akhirnya Tuhan memberi jawaban. Segera kutarik gas hingga
kecepatan 80 km/jam.
Di pinggir jalan, Kak Fita
tampak menunggu dengan gelisah. Kemudian ia mengambil alih kendali motor. Meskipun
aku sedikit khawatir, tapi aku membiarkannya. Pasalnya, Kak Fita membawa motor
cenderung lambat. Dengan sedikit waktu yang tersisa, aku berfirasat ini
berbahaya. Tapi dengan kondisiku yang belum stabil, aku pikir akan lebih baik
jika Kak Fita yang bawa kendali, terlebih dia memiliki kekuatan cinta yang
mungkin akan membantunya. Ya, kekuatan cinta, itulah yang sedang aku rasakan. Tanpa
perlu terkatakan, aku dapat melihatnya bersemayang dalam diri Kak Fita.
Susah payah ia membawa kendali
motor. Beberapa kali ia terlihat gemetar ketika menarik gas lebih kuat. Atau
mungkin karena kekuatan cinta yang semakin mengguncang tubuhnya. Sedang aku
menahan geram di boncengan. Pasalnya, bagiku Kak Fita membawa motor terlalu
lambat. Kecepatannya tak pernah melebihi 60 km/jam. setiap kali jarum
spidometer mendekati angka 60, aku seakan bersorak riang seperti suporter sepak
bola. Namun sayang, lagi-lagi Kak Fita mengurangi kecepatannya. Selalu begitu.
Aku kecewa, dan sepertinya Kak Fita juga. Belum lagi waktu seolah berjalan
begitu cepat. Aku berkali-kali menatap tajam jam tangan yang kukenakan, seolah
mengancam jika tidak memperlambat jalannya waktu. Tapi percuma, waktu tak mau
berkompromi. Aku hanya bisa berdoa. Semoga Tuhan memberi yang terbaik.
“Kakak bawa motornya pelan kali ya?” tanya Kak Fita. Aku langsung semangat mengiyakan
hingga tubuhku ikut mengangguk tak karuan. Berharap Kak Fita semakin menambah
kecepatannya. “Kakak takut gak ketemu,”
lanjutnya dengan suara parau. Aku ikut sedih, ingin rasanya mengambil alih
kendali motor dan membawanya terbang lalu seketika mendarat di bandara. Di
waktu genting seperti itu, imajinasiku semakin liar. “Masih ada waktu Kak, masih ada,” jawabku menyemangati.
Perjalanan masih panjang,
namun aku merasakan motorku berjalan semakin lambat hingga akhirnya benar-benar
berhenti total. Kulihat jam tangan, waktu bertengger tepat setengah sepuluh.
Gelisah, aku menatap Kak Fita dan bertanya, ”Ada
apa Kak? Sudah menyerahkah?” Sambil tersenyum kecut ia menunjuk penjual
bensin ‘ketengan’ di seberang jalan. #Gubrak, motorku gak bisa diajak kerja
sama. Aku bergegas menyeberang jalan untuk membeli bensin. Namun sayang, batang
hidung penjualnya tidak kelihatan. “Gak
niat jualan apa dia ya?” geramku. Akhirnya aku mengambil sendiri botol
bensin tersebut dan menuangkan sendiri ke motorku. Tidak, aku tidak mencuri.
Ada izin dari pemilik warung di sebelahnya yang mungkin dititipi. Aku juga
menitipkan uangnya di sana.
Motorku kembali melaju.
Sepertinya Kak Fita mulai terbiasa mengendalikannya. Namun kecepatannya masih
tidak lebih dari 60 km/jam. Lama aku mematung di boncengan, menyadari bahwa
waktu telah melewati jadwal keberangkatan Bang Ilyas. Time is over. Namun aku membiarkan Kak Fita terus berjuang mengejar
cintanya. Menikmati kekuatan cinta yang membawanya hingga melakukan sesuatu
yang menurut akal mustahil. Percayalah, aku nyata merasakan getaran itu.
***
Beberapa meter lagi sebelum
bandara, kami berpapasan dengan salah seorang teman yang mengantarkan keberangkatan
Bang Ilyas. Sebut saja ia Fahri. Seketika Kak Fita menghentikan laju motor,
begitu pula dengan Fahri. Saat itu, aku jelas melihat mata Kak Fita basah oleh
air mata. Dari wajahnya yang sembab, aku yakin ia menangis selama di
perjalanan.
“Mau kemana? Pesawatnya sudah terbang,” tutur Fahri. Aku menatap Kak Fita, air matanya
semakin deras membasahi pipi. Sejenak suasana menjadi hening. Aku dan Fahri,
sama-sama mengerti betapa Kak Fita menahan gejolak kekecewaan karena tidak
sempat bertemu dengan Bang Ilyas sebelum kepergiannya.
Saat itu aku sadar bahwa ini
bukan sebuah adegan drama yang biasa ditayangkan di televisi. Tak pernah
membayangkan jika situasi seperti ini benar-benar nyata. Jika di televisi
umumnya berakhir dengan Happy Ending,
di mana bandara menjadi saksi bertemunya kedua sejoli di detik-detik terakhir
keberangkatan, namun tidak dengan kisah yang aku saksikan sendiri. Bukan ingin
mendramatisir, tapi beginilah adanya. Setidaknya aku sadar bahwa kekuatan cinta
itu memang ada.
dek nur,,,dek nur,,, :)
BalasHapushaha,,
BalasHapusgk mewek bacana khan kak??
endingnya ada yang kurang,,,hahaha,,,
BalasHapusada lagunya lah" menunggu di sayup rindu"
BalasHapusgak mungkin nuri tuliskan juga "kak Fita baru dpt berhenti nangis setelah dikasih makan jengkol" khan kak?? hahaha..
BalasHapustsaah,, dek Gigih mulai sok puitis.. :P
BalasHapusnuri sompreeeeeetttt...bukan itu maksudnya T_T
BalasHapus