Tulisan
Ini Telah Diterbitkan dalam Buku Love Story (Perdana Publishing, 2013) dan Menjadi
Naskah Terbaik
Di luar masih basah, mungkin langit sedang menangis.
Entah karena terlalu bahagia atau sebaliknya. Entahlah, langit selalu punya
cerita sendiri yang terkadang sulit dimengerti. Tapi itu yang membuat aku
menyukainya, terlebih saat ia mulai menitihkan butiran-butiran bening ke bumi.
Hujan, entah sejak kapan aku mulai menyukainya.
Hari ini aku tidak berhasrat untuk keluar rumah, terlebih
sekedar bermain-main dengan rinai hujan. Bukan karena aku marah pada hujan,
tapi karena hari ini adalah hari libur. Sepertinya aku sudah lama tak
memanfaatkan hari libur untuk bersantai. Selalu saja ada jadwal meski di hari
libur. Karena itu, hari ini aku benar-benar ingin merasakan ‘libur yang
sesungguhnya’ sebelum aktivitas kembali menyita waktu.
Detik demi detik waktu terus berlalu, lama kelamaan aku
mulai merasa bosan. Mungkin karena tidak terbiasa berdiam diri di rumah. Semua
pekerjaan sudah dilakukan, tidak mungkin dikerjakan ulang demi menghabiskan
waktu. Akhirnya aku membuka Popo,
Laptop kesayanganku, dan mulai berkomunikasi dengan dunia luar lewat media online. Di zaman berkembangnya
teknologi, aku juga tidak ingin ketinggalan.
Lama aku menatap layar Popo, mengobrak-abrik apa saja yang aku anggap menarik. Hingga
akhirnya mataku tertuju pada sebuah pesan masuk di salah satu media online yang kuikuti. “Hai Dinda, bolehkah aku mengenalmu lebih
jauh? Sepertinya akan seru jika memiliki teman dari kota lain. Maaf jika
terkesan tidak baik.” Lebih kurang begitulah isi pesannya. Karena sedikit
penasaran akhirnya aku membuka profilnya. “Syauqie
Al Mubaraq, menetap di Pinrang, kelahiran Mei 1991, ... #bla,,bla,,bla...”
gumamku membaca identitasnya.
Aku yang biasanya selalu tidak memperdulikan orang-orang
yang tidak kukenal, kali ini malah berbeda. Mungkin karena aku sedang tidak
sibuk dan merasa bosan di hari libur tanpa aktivitas. “Sekedar untuk mengisi kekosongan,” pikirku. Akhirnya aku
menggubris pesan tersebut dan terjadilah sebuah percakapan ringan di antara
kami. Persepsi awalku bahwa ia hanyalah orang iseng terpatahkan begitu saja.
Tutur katanya begitu sopan, ia begitu terbuka dan sepertinya juga terlihat
baik. Mungkin ini alasan kenapa aku tidak merasa canggung berteman dengannya.
“Teman Dunia Mayaku”, begitu aku menyebutnya.
***
Lama waktu berselang sejak ‘pertemuan’ itu. Kini kami
menjadi teman yang saling melontar cerita setelah aktivitas yang kian menguras
tenaga. Melepas penat hasil kesibukan masing-masing. Bukan hanya lewat media online, namun kini kami juga saling
mengumbar cerita via telepon. Sekedar mengantisipasi jika media online sedang tak bersahabat.
Syauqie:
“Assalamu’alaikum Dinda, hari ini Syauqie hunting foto di Pantai Losari loh.
Bagaimana dengan Dinda?”
Aku:
“Wa’alaikum salam,, wah,, pasti seru donk ya?? Hari ini Dinda menghabiskan
waktu dengan liputan untuk majalah edisi terbaru..”
Syauqie:
“Dinda pasti capek ya? Istirahat ya Dinda, besok Syauqie hubungi lagi. Nice
dream Dinda. J”
Ini hanya sample
sederhana percakapan kami. Hanya saling mengumbar aktivitas hari ini lalu
ditutup dengan ucapan selamat tidur. Namun, tak jarang komunikasi kami terhenti
karena ketiduran akibat kelelahan dengan kesibukan seharian penuh. Lalu setelah
bangun, sambung lagi.
Terkadang aku berpikir mengapa bisa menjalin pertemanan
dengan orang yang tak dikenal, tidak pernah berjumpa, juga jauh di sana. Bahkan
aku tak sungkan mengumbar cerita yang mungkin tak terceritakan kepada teman
terdekat sekalipun. Aku yang biasanya sulit untuk bercerita tentang diriku, namun
tidak demikian ketika harus bercerita dengannya. Mungkin karena ia jauh, jadi
aku merasa nyaman untuk bercerita sebab semua ceritaku tak akan terbongkar begitu
saja. Atau mungkin juga karena ia sosok yang terbuka, selalu pandai memancing
orang lain untuk bercerita. Entahlah, tanpa kusadari kedekatan kami melebihi sekedar
hubungan pertemanan.
***
Hari itu hujan kala senja, betapa aku menikmati saat-saat
indah seperti itu di beranda rumah. Adakah langit sedang berbahagia? Hembusan
lembut angin membawa butiran-butiran bening nyaris membelai wajahku.
Memancingku untuk bermain bersama. Namun, aku urung, takut-takut jikalau
terlihat oleh orang rumah. Akhirnya aku hanya membiarkan salah satu tanganku
membentang, merasakan betapa lembutnya sentuhan Tuhan lewat ciptaan-Nya. Hujan
nyaris menyusupkan kesejukan tepat dihatiku. Aku makin jatuh cinta.
Dreeet,,
Dreeet,, getar hpku sontak
mengejutkan lamunan. Kuraih dan kulihat. “Owh,,
ternyata Syauqie,” gumamku. Lama kami bercekrama di bawah rinai hujan
senja. Hingga akhirnya,
Syauqie:
“Dinda, hari ini Dinda lagi seneng gak?”
Aku:
“Hmm, hari ini mood Dinda lumayan bagus sih, ada apa?”
Syauqie:
“Mau tanya sesuatu, boleh?”
Aku:
“Haha, bukannya dari tadi Syauqie nanya terus ya?”
Syauqie:
“Haha, bener juga ya Dinda.”
Aku:
“Hmm.”
Syauqie:
“Dinda...”
Aku:
“Hmm??”
Syauqie:
”Dinda suka gak sama Syauqie?”
Aku:
“Jiah, pasti narsisnya mulai kumat lagi deh ne.”
Syauqie:
“Walau narsis tapi ngangenin khan Dinda? Hehe.”
Aku:
“Idih, tu khan narsis.”
Syauqie:
“Haha, Tapi Syauqie serius Dinda. Dinda suka gak sama Syauqie?”
Aku:
“Haha, manknya napa Syauqie?”
Syauqie: “Karena Syauqie
suka sama Dinda.”
Aku:
#Gubrak.
Sejak saat itu, ia tidak lagi pernah canggung untuk
mengungkapkan perasaannya. Selalu menyelipkan kata-kata manisnya di sela-sela
obrolan, belum lagi perhatiannya yang begitu menghanyutkan. Selebihnya, kami
tetaplah sahabat. Ya, karena sebuah komitmen yang masih teguh aku pegang untuk
tidak menjalin hubungan dalam sebuah ikatan ‘pacaran’, hingga saat ini kami
hanyalah sahabat yang saling bertukar cerita. Tentu saja ia kecewa, hingga
beberapa saat setelah percakapan itu ia menghilang. Entah kemana. Aku sedikit
khawatir saat itu, takut terjadi sesuatu yang tidak berkenan. Bagaimana keadaanya,
apa yang sedang ia lakukan, apa yang ia rasakan, semua tentangnya, aku ingin
tahu. Aku berusaha mencari informasi tentangnya, namun nihil. Aku putus asa.
Tidak percaya kalau persahabatan kami terhenti begitu saja.
Selang beberapa minggu, lagi-lagi saat hujan sedang asyik
bermain bersama deru angin di kaki langit, aku dikejutkan oleh sebuah pesan
singkat yang dikirim oleh Syauqie via
media online. “Hai Dinda, apa kabar? Ndak kangen ya sama Syauqie? hehe.” Sontak
aku membeku tak percaya kalau ia akan datang lagi. Setelah itu, kami kembali berkomunikasi
seperti awal bertemu. Seakan kembali mengurai cerita yang hanya dimengerti oleh
kami. Tak sekali pun aku bertanya alasan menghilangnya ia, meski aku begitu
ingin. Seolah ia mengerti dengan nada pembicaraanku, tanpa diminta akhirnya ia
bercerita.
“Syauqie
pikir wajar jika patah hati ketika ditolak orang yang kita sayang. Syauqie
butuh waktu untuk menerima semuanya, Dinda. Awalnya Syauqie berpikir untuk
menjauh dan melupakan Dinda, tapi Syauqie ndak bisa. Syauqie bersedia walau hanya jadi
sahabatnya Dinda. Yang penting Syauqie bisa deket terus sama Dinda. Dinda masih
mau jadi sahabat Syauqie khan?”
Aku mencoba mencerna semua perkataannya saat itu, di balik
rinai hujan yang kian menderu. Benarkah masih ada orang yang berlapang dada
seperti ia? Atau ini hanya akal-akalannya saja? Entahlah, tapi aku pikir masih akan
aman jika kami masih bersahabat, karena kami dipisahkan oleh jarak. “Gak ada yang perlu dikhawatirkan,”
pikirku.
Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Entah ia,
tapi aku pikir mungkin karena begitu banyak persamaan di antara kami, juga
perbedaan yang selalu tertutupi oleh satu sama lain. Namun, tak jarang kami
harus beradu argumen hingga akhirnya harus menghentikan komunikasi barang
beberapa hari. Lalu membiarkan kerinduan menyatukan kami kembali. Begitu
seterusnya. Entah sampai kapan, aku dan ia, kami sama tak peduli.
***
Pagi itu terasa begitu hambar, sepertinya aku tengah
kehilangan sesuatu. Aku mencoba berpikir keras, apakah gerangan? Lamat-lamat
aku mulai menyadari, tak ada pesan penyambut pagi dari sahabatku, Syauqie. Tak seperti biasanya ia absen
pagi ini. Karena kesibukan yang telah menanti, sejenak aku lupa akan ia. Hingga
senja menjelang, tak ada satu kabar pun tentangnya. Tidak via telepon juga via
media online. Ia kembali menghilang. “Apakah ia marah padaku? Sepertinya tidak, kami tidak tengah bertengkar semalam,”
pikirku keras. Akhirnya aku mencoba menghubunginya, nihil.
Hari demi hari terus berlalu, hingga nyaris genab
menginjak sebulan. Aku mulai khawatir, berulang kali aku mencoba menghubunginya
lewat berbagai cara, namun tetap saja nihil. Tak ada kabar sama sekali, juga
dari kerabat dekatnya. Atau mereka sengaja menutupi? Entahlah. Aku berusaha
menepis, namun sia-sia. Bayang-bayangnya seperti hantu yang selalu mengusik
hari-hariku.
***
Memasuki masa liburan, kali ini aku sengaja memasang
tempat liburan di Sulawesi Selatan. Selain untuk mencarinya, aku memang sudah
sejak lama ingin berkunjung ke sana. Melepas rindu dengan beberapa kenalan yang
menetap di sana. Berharap kedatanganku di sana menghasilkan kabar baik. “Syauqie, bersiaplah untuk kejutan dariku,” ucapku lirih bersama terbangnya pesawat
yang aku tumpangi.
Bermodal beberapa kenalan, aku mulai mencarinya. Bertanya
kian kemari, berharap menemukan sedikit saja jejaknya. Namun, kembali nihil.
Seminggu lebih pencarianku tak menghasilkan apapun. Saat aku nyaris putus asa,
bayangnya kembali hadir, kali ini bersama mimpi. Dalam mimpiku, kami bertemu di
sebuah tempat yang sering ia ceritakan dulu, ia mengaku sangat suka menikmati
senja di tempat itu, Pantai Losari.
Dengan bantuan seorang teman, aku menelusuri setiap sudut
tempat itu. Berharap kami benar dapat dipertemukan di sana. Terik sinar
matahari tak menyurutkan langkahku untuk mencarinya. Hingga akhirnya mataku
menatap seorang lelaki yang mengenakan kaos bertuliskan “Anggara Art Studio”, sebuah
komunitas fotografer yang Syauqie ikuti. Ia memang bukan Syauqie, tapi darinya
aku mengetahui banyak tentang Syauqie. Terakhir aku tahu ia adalah Eko, sahabatnya
Syauqie.
“Syauqie
sudah meninggal dunia sekitar sebulan yang lalu, Dinda. Ia menderita kanker paru-paru stadium akut.
Maaf jika tidak memberitahumu, Syauqie yang memintaku untuk menyembunyikan ini
darimu. Ia tidak ingin melihatmu
mengkhawatirkannya,“ jelas Eko, sahabat Syauqie.
“Akun
yang digunakan Syauqie selama ini adalah akun yang khusus ia buat untuk
berkomunikasi denganmu, Dinda. Jauh sebelum kamu mengenalnya, ia sudah terlebih
dulu memperhatikanmu. Syauqie begitu mencintaimu, Dinda.” Lanjutnya.
Aku nyaris tak berdaya, seluruh tulangku serasa melemas.
Tanpa sadar aku sudah terisak, nafasku terasa
tersengal-sengal. Sesuatu telah menghujam jantungku begitu keras. Aku
seperti tak percaya dengan semua cerita Eko. Hingga akhirnya Eko membawaku ke
tempat peristirahatan terakhir Syauqie. Aku jelas melihat batu nisan itu
bertuliskan namanya. Bersamaan dengan itu, seakan semua kenangan kembali
bergulir dalam ingatanku. Saat awal kami saling mengenal, canda tawa yang kami
lewatkan bersama, narsisnya, perhatian-perhatiannya, pertengkaran-pertengkaran di
antara kami yang selalu terselesaikan oleh kerinduan, sampai berbagai tingkah
lakunya yang baru kusadari bahwa itu adalah sebuah isyarat terakhir darinya.
Yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa aku tidak sempat mengucapkan ‘selamat
jalan’ padanya.
“Dinda,
jika nanti Syauqie menghilang dan tidak kembali lagi. Maafkanlah Syauqie. Mohon
jangan bersedih dan jangan mencari Syauqie. Dinda tahu, Dinda begitu berharga
buat Syauqie. Jadi jangan menangis ya adek kecil.”
Biodata Deskriptif
Nurie
Syauqie adalah nama pena dari
Nuri Aslami. Kelahiran Medan, 19 Februari
1993. Berdomisili di jalan Purnawirawan No
17C Medan Estate. Anak kedua dari lima bersaudara ini tercatat sebagai mahasiswi Ekonomi Perbankan Syariah IAIN
SU stambuk 2010. Saat
ini menjadi reporter di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika IAIN SU. Wanita
yang menyukai baca tulis, editing dan
tadabbur al-Qur’an ini telah
menelurkan beberapa buku, diantaranya antologi Hujan
Di Atas Kubah Masjid (Menara Buku, 2010),
antologi Sketsa Ayah (Pustaka Jingga, 2012), antologi puisi Menguak
Tabir (Labsas, 2012) dan antologi The Moments
(Perdana Publishing, 2013). Tegur sapa bersamanya via e-mail: nuaie_syauqie@yahoo.com, facebook: Nurie Syauqie dan
twitter: @nurieSyauqie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar