Selasa, 14 Januari 2014

Bebas Berimajinasi



Masih ingat jelas dalam benakku saat masih duduk di bangku sekolah. Saat aku menjelma menjadi anak badung bersama kelima temanku. Ya, teman-teman lain menganggap kami sebuah geng, gengster,, haha.. karena kedekatan yang tak pernah diduga, akhirnya kami menamakan perkumpulan kami dengan sebutan Bahetake. Sebuah singkatan yang kepanjangannya hanya diketahui oleh kami berenam. Setiap kami memiliki ciri yang menjadi kekhasan dari masing-masing kami. Buatku, persahabatan kami penuh warna kebadungan anak remaja. Ya, kami selalu melakukan apa yang ingin kami lakukan tanpa harus banyak pertimbangan. Kami lakukan dan kami nikmati sensasinya. Ya, begitulah.

Kedekatan tersebut membuat kami selalu bersama. Melakukan hal-hal yang mungkin bagi teman-teman lain adalah hal bodoh. Bagiku tidak demikian, ini imajinatif. Dan tidak semua orang dewasa yang memahaminya. Kami suka melakukan hal yang tidak dilakukan orang lain. Hal-hal yang terkadang membuat kami sendiri terpukau. Tidak pernah membayangkan bahwa apa yang kami lakukan adalah hal yang tidak pernah terlupakan oleh kami, sampai kami berpisah sekalipun.
Biasanya sehabis jam olahraga, di mana teman-teman lain berkumpul di kantin sekolah, sedang kami membeli makanan dan berkumpul di tengah lapangan. Menikmati makanan kami dengan penuh tawa. Ngobrol ngawur kidul. Kami menikmati kebersamaan. Atau di jam kosong ketika guru mata pelajaran tidak hadir, biasanya teman-teman lain terpekur di dalam kelas dengan beragam aktivitas yang menurutku membosankan. Sedang kami keluar kelas menuju ‘tempat mangkal’ (di belakang kelas gedung lantai dua), membawa majalah-majalah penuh dengan gambar dan warna, tidak tertinggal buku lagu dan buku TTS. Kami bernyanyi bersama sambil menikmati sepoi angin yang berhembus menemani kebersamaan kami. Kami asyik di sana hingga jam pelajaran usai, tidak tahu kalau ternyata ada guru pengganti. Alhasil kami dipangil ke ruang BP untuk di sidang. Namun kebersamaan membuat kami tenang. Kami keluar kantor dengan menggandeng surat peringatan cabut jam pelajaran.
          Pernah juga saat guru-guru sibuk rapat di jam pelajaran, yang membuat seluruh kelas kosong guru dan hanya ditinggali tugas yang seabrek. Saat itu, aku bareng anak-anak Bahetake yang udah terkenal di seluruh sekolah mulai beraksi. Kami mengompori anak-anak kelas lain buat keluar kelas, cari permainan di luar. Saat itu, diambillah keputusan buat tanding bola kasti.
Suasana mulai ricuh, anak-anak yang gak ikut main mengambil bagian sebagai suporter. Awalnya guru gak ambil sikap. Kami semakin brutal. Hingga akhirnya salah satu pemain berlari terlalu kencang yang mengakibatkan ia menabrak pagar tanaman yang letaknya tepat di depan ruang guru rapat. Pagar rubuh dan merusak tanaman. Sedang bola berlari ke dalam ruang rapat seakan ingin mengadu. Seketika beberapa guru yang terkenal galak keluar ruangan dengan berkacak pinggang. Tanpa intruksi, kami berhamburan melarikan diri. Anehnya, guru-guru itu malah mengejar kami. Dari kejauhan aku melihat beberapa anak tertangkap basah. Alhasil, kami dihukum membersihkan seluruh lingkungan sekolah. hahaha..
Belum lagi keusilan kami sepulang sekolah. Biasanya kami tidak langsung pulang, malah menjelajah seisi sekolah kalau-kalau mendapat sesuatu yang menarik. Biasanya kami memasuki kelas-kelas lalu memeriksa laci meja. Biasanya ada saja hal-hal aneh di sana. Seperti misalnya kertas-kertas yang ternyata surat cinta yang mungin ditolak, mainan yang tertinggal atau sengaja ditinggal, atau buku pelajaran yang aku yakin sengaja mereka tinggalkan. Biasanya buku-buku itu kami rondoin, biar yang suka ninggalin buku kapok. Haha..
Masih ingat olehku saat itu kami berkeliling sekolah, kemudian menemukan kelas yang sepertinya baru saja menyelesaikan mata pelajaran kesenian. Mereka membuat karangan bunga dengan berbagai kreativitas. Layaknya anak belasan tahun yang selalu ingin tahu, kami mulai mengutak-atik hasil yang sudah jadi yang disimpan di lemari kelas yang tak terkunci. Aku pikir, tidak perlu memakan waktu dua les pelajaran untuk membuatnya. Dalam waktu singkat kami sudah membongkar karya mereka dan berhasil menyusunnya kembali. Lalu berfoto ria dengan hasil yang kami buat sendiri. Mungkin pemiliknya akan terkejut melihat karyanya bertengger lebih anggun di lemari kelas. Hahay...
Atau di jam istirahat, kami biasanya pergi ke gudang seni. Di sana menjadi ‘tempat mangkal’ kedua. Kebetulan kami dekat dengan beberapa guru seni yang suka nongkrong di sana. Di saat anak-anak lain dilarang masuk, kami malah bebas keluar masuk gudang seni. Kami bercengkrama sambil diajari memainkan berbagai alat musik. Tidak perlu terikat sebagai anggota seni, kami bebas mengikuti ekstrakulikuler tersebut. Mulai dari bermain musik, paduan suara, melukis, dll. Kami bebas mempelajarinya. Mungkin bagi guru seni, anak badung seperti kami adalah anak-anak kreatif yang kalau semakin dihambat akan semakin brutal. Mungkin...
Di sini aku bukan ingin mengumbar kebadunganku bersama anak-anak Bahekate. Tapi apa yang kami lakukan selama bersama menurutku adalah sesuatu yang bebas, tanpa hambatan siapapun. Jiwa-jiwa kami merdeka. Masih teringat jelas olehku, ketika jam istirahat atau jam pulang sekolah, kami sering duduk di taman sekolah. Memandangi langit biru dipenuhi awan-awan putih bersih. Membiarkan imajinasi bermain bebas. Dalam benak kami, setiap awan yang melayang membentuk sesuatu. kadang menyerupai binatang, bahkan terkadang membentuk wajah seseorang. Pernahkah kalian melihatnya?? Bukan hanya awan, tapi segala yang ada di sekitar kami, semuanya bisa menyerupai apa saja dalam benak kami. Dan anehnya, kami memiliki pemikiran yang sama. Di saat seperi ini, tawa bersama menjadi hal yang paling membahagiakan.
Berbeda dengan saat ini, semakin beranjak dewasa, aku merasa imajinasiku semakin terhambat oleh sesuatu yang bersifat formal. Kegiatanku sekan diatur. Lingkungan menuntutku melakukan segalanya sesuai aturan. Ini membuatku ingin berontak namun tak tersalurkan. Tak bisa dipungkiri, aku merindukan masa-masa bersama anak-anak Bahetake. Melakukan hal-hal gila lalu menertawakan kegilaan masing-masing. Kami seperti anak-anak di bawah umur yang belum dikenakan aturan formal seperti saat ini. Meskipun hingga saat ini kami masih saling komunikasi, namun tetap saja perpisahan menggoreskan jarak. Sungguh, aku merindukan mereka, sahabat Bahetake.
 
Janji Kita untuk Tetap Bersama
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar