Rabu, 04 Juli 2012

Pemikiran Ekonomi Islam Abu Ubaid


BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran yang muncul dari banyak tokoh/pemikir mengenai suatu hal yang berkaitan dengan sejarah sosial dalam pemikiran hukum islam adalah hasil dari interaksi tokoh tersebut dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, jika kita amati banyak hasil pemikiran seseorang yang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini memperkuat alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut.
Atho Mudzar mengatakan bahwa hal ini penting, sedikitnya karena dua hal. Pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya. Kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang untuk tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam.
Abu Ubaid merupakan salah seorang ahli ekonomi islam yang telah merumuskan banyak hal tentang kaidah-kaidah ekonomi islam dalam karya-karyanya. Diantaranya adalah Kitab Al-Amwal. Kitab al-Amwal dihasilkan sebagai gabungan dari isi buku-buku dari Kitab al-Kharaj dan Kitab al-Sadaqah (zakat). Kitab ini sering kali dijadikan rujukan dalam menganalisis masalah ekonomi, terutama tentang keuangan publik.
Di sini saya mencoba untuk menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al Amwal karya Abu Ubaid. Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka Kitab ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan "Fiqh ekonomi". Hal ini karena pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa al-Qur'an dan Hadist untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini.
Selain itu, tulisan ini juga menggunakan berbagai sumber terkait dalam melakukan analisi guna mendapatkan pernyataan terbaik dalam hukum ekonomi islam. Tentu saja dalam tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu Ubaid, Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya, serta yang paling penting adalah pemikiran-pemikiran dari Abu Ubaid terkait hukum ekonomi islam.






BAB II
PEMBAHASAN
A.   Biografi Abu Ubaid
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa Arab (ahli nahwu). Abu Ubaid, yang bernama lengkap al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi, lahir di Bahrah, propinsi Khurasan, sebelah barat laut Afganistan, pada tahun 154 Hijriah. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi makula suku Azad.[1]
Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, Abu Ubaid tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
B.   Latar Belakang Kehidupan dan Pendekatannya
Dari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M).[2]
Gottschalk (Adiwarman, 2004) menyebutkan bahwa dari segi latar belakang kehidupannya, Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa kehidupannya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik.[3] Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak menguasai bahasa tersebut.[4] Menurut Gottschalk, pemikiran Abu Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman Ibn Amr al Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.[5]
Adiwarman (2004) menyebutkan bahwa Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi system perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, umpan-balik dari teori sosio-ekonomi Islami, yang berakar dari ajaran Al-Quran dan Hadits, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.[6]
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan bahwa Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu). Sedangkan menurut Ibnu Rohubah, "Kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-¬Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara aku. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.
Awal pemikirannya dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari Kitab al-kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi 'in dan tabi' at-tabi’in. Abu Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan syarat-syarat etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi'i dan Hambali mengklaim bahwa Abu Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka.[7] Tetapi dalam Kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i maupun nama Ahmad Ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi'i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[8]
Sementara itu, tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzi[9] bahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abu Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi'i tanpa menyebut nama.[10]
C.   Karyanya
Kitab al-Amwal dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat tentang ”Hak  penguasa atas subjek (individu dalam masyarakat) dan hak subjek atas penguasa”. Bab ini memaparkan kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Ia juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur.
Kemudian dilanjutkan dengan bab yang berjudul jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitab dan Sunnah. Bab ini menjelaskan mengenai jenis-jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan dasar-dasar pemikirannya yang dibahas dalam kitab Allah serta Sunnah. Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti fa’i, bagian khumus dan shafi, serta pengalokasiannya, baik di masa Rasulullah saw maupun setelahnya. Oleh karena itu, pada bagian-bagian berikutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam bab ini ketika membahas tiga sumber utama penerimaan negara, yakni fa’i, khumus dan shadaqah., temasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepda masyarakat.
Bab-bab lainnya yang lebih tebal dari pembahasan bukunya Abu Yusuf membahas mengenai pengumpulan dan pembayaran (disbursement) dari tiga jenis penerimaan yang diidentifikasi dalam bab ke dua, yaitu: zakat (termasuk ushr), khumus yaitu 1/5 dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik dan fa’i yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya yang tidak termasuk kedalam kategori pertama dan kedua seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Tampak bahwa Kitab al- Amwal secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (Public Finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat Kitab ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua abad awal Islam. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[11]
Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep penting, yaitu :
1.      Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan zakat.
2.      A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.
3.      Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.
4.      Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.
Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan legistimasi sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil. [12]
            Walaupun merupakan sebuah kompendium yang mayoritas isinya adalah hadist Nabi, Kitab Al-Amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti pemerintahan khalifah Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan dan pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak.[13]
Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi saw, kesepakatan pada sahabat, tabi'in serta at-tabit tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat al-Fiqih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan telaah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abu Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu.
Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun.
Ibrahim al Harbi (murid dari Abu Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitab al-'Amwal adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas.[14] Namun begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abu Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.[15]
Walaupun Abu Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra'yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti.
Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak.[16] Abu Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur'an dan Hadis)[17], serta menghasilkan suatu peraturan/kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.
Referensi utama Abu Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur'an dan al-Hadist, baginya otoritas al-Qur'an adalah di atas al-hadits. Walaupun sebenarnya al-hadis adalah penjelasan dari al-Qur'an. Penjelasan dari para sahabat, tabi'in dan at-ta'bi at-tabi'in dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadist. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan hadist, secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad saw, itu yang lebih diutamakan.
Tingkat pemahaman Abu Ubaid terhadap keduanya (al-Qur'an dan Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nasikh wa al-Mansukh , fi al-qur'an al-aziz wumafihi min al-Qur’an was as sunan, gharib al-Qur'an, ma 'ani al-Qur'an, gharib al-Hadits, yang merupakan penjelasan (tafsir) dan interpretasi (ta'wil) dari al-Qur'an dan al-Hadits.
Abu Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra'yu. Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah `ijma al-`Rimmah (kesepakatan).[18] Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur'an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al¬Qur'an dan hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi mayashid asy-syari'ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (ul-muslahah al-'ammah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta 'amul (hukum adat atau tradisi).
Dalam kitab tersebut, ia tidak hanya sekedar melaporkan pendapat-pendapat orang lain, tetapi juga selalu mengakhirinya dengan menjalinkan masalah tersebut secara sistematis, mengungkapkan suatu preferensi atas sebuah pendapat dari beberapa pandangan yang dilaporkan atau memberikan pendapatnya sendiri dengan dukungan beberapa basis syariah tertentu atau dengan alasan-alasan rasional.
Misalnya, setelah melaporkan berbagai pendapat tentang besarnya zakat yang seharusnya diterima oleh seorang penerima zakat yang berhak, dia dengan keras menyatakan ketidaksetujuannya terhadap mereka yang meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) pada pemberian zakat tersebut. Hal yang terpenting baginya adalah keterpenuhan kebutuhan rakyat dan terselamatkannya masyarakat dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan ‘tidak terbatas’, bahkan jika hal tersebut harus dilakukan dengan pengeluaran uang yang amat besar pada sebuah kasus tertentu.
Beberapa orang meyakini bahwa Adam Smith dalam bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations, banyak dipengaruhi kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal dihadapan 1.000 kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (13/6), yang disampaikan Dr Adiwarman Karim dan sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat KH Maruf Amin, dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan jilid lima.


D.   Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1.     Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan Negara. Jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya sering kali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas Imam dalam memutuskan, untuk kepentingan publik, seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khams, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abu Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.[19]
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan. Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.[20]
Relevansinya di Indonesia
Dari penjelasan yang telah dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal, tampak jelas bahwa doktrinnya adalah pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip-prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Dengan kata lain, Abu Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara harus selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidakdisalah gunakan sehingga mengganggu serta mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
            Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu Ubaid juga sacara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
Namun, jika kita telaah pada saat sekarang ini, maka kita hanya mendapati apa yang diutarakan Ubu Ubaid hanyalah sebuah teori belaka, khususnya di Indonesia. Banyak kita lihat orang-orang yang berada di atas hanyalah mementingkan kesejahteraan golongannya saja tanpa memikirkan golongan lain. Memang pemerintah di Indonesia selalu menggembor-gemborkan pemeratan kekayaan, namun masih saja kita lihat yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin.
Kita bisa lihat bahwa Indonesia kuat akan korupsinya. Memakan uang rakyat telah menjadi hal yang lumrah. Hukum juga sudah patuh pada yang mempunyai uang. Jika saja pemikiran-pemikiran dalam Islam, seperti pemikiran Abu Ubaid dapat menjadi salah satu bahan pemikiran bangsa Indonesia, saya kira perlahan demi perlahan kita mampu memperbaiki kondisi negara kita.
2.     Sumber Penerimaan Keuangan Publik
Kitab al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian sekitar keuangan publik (public finance), analisis yang ia titik beratkan adalah pada praktek yang dilakukan Rasulullah dan Khalifaurasyidin, terutama Umar bin Khattab sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal. Baitul Mal setelah perang badar menurut pendapat yang diunggulkan (Qaul Rajih), karena pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang banyak dan pada waktu itu tempat penyimpanan kekayaan negara seperti ghanimah, shadaqah dan fa’i adalah mesjid.
Setelah melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber penerimaan keuangan publik pun bertambah, seperti kharaj, ‘ursy dan khumus. Mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam, namun yang perlu diketahui bahwa dalam Kitab al-Amwal banyak harta yang diserahkan kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin. Pertama adalah fa’i, yaitu berupa harta benda dan tanah yang mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah firman Allah dalam surah al-Hasyr:6, yang artinya:
“Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya”.
Kedua adalah harta shafi yang Rasulullah saw pilih dari ghanimah yang diberikan kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah saw, “Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”. Ketiga, adalah harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi. Menurut hadits yang diriwayatkan dari Abi ‘Aliyah, ia berkata: “Rasulullah saw mengumpulkan ghanimah dan beliau dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi menempatkannya bagian untuk Ka’bah, bagian untuk Baitullah, kemudian membagi sisa 1/5, untuk Nabi satu bagian, ahli kerabat satu bagian, anak yatim satu bagian, orang miskin satu bagian dan ibnu sabil satu bagian. Abi ‘Aliyah berkata yang Nabi jadikan satu bagian untuk Ka’bah adalah bagian Allah.”[21]
Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin-Khattab, ada tiga harta yang masuk dalam keuangan publik, yaitu: shadaqoh, fa’i dan khumus.
a.         Shadaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shadaqoh wajib yang disebut zakat harta seperti zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-buahan. Di mana dari zakat harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-quran, tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul[22] untuk dikeluarkan zakatnya.
Mengenai shadaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah, ayat-ayat Al-quran yang berhubungan dengan hal ini seperti:
“…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat ……” [Q.S. Al-Baqarah : 43]
“…… dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ……” [Q.S. At-Taubah : 103]
“…… dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (hendak dikeluarkan zakatnya) …… [Q.S. Al- An’am : 141]
Abu Ubaid dalam mendeskripsikan permasalahan sekitar sumber keuangan publik memang begitu luas dan mendalam. Namun, penulis dalam hal ini hanya mengutip sebagaian kecil saja dari pemikiran beliau pada permasalahn sekitar penerimaan keuangan Negara.
Namun yang perlu diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada ikhtilaf), yaitu apabila seseorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kambing. Konsekuensinya, bila seseorang memiliki salah satu di atas dari awal haul sampai akhir, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam Malik dan penduduk Madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal harta.[23]
b.        Fa’i
Fa’i menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali, sedang menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Sedang menurut versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan umat.[24] Bagian-bagian fa’i adalah:
·         Kharaj
Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin dengan jalan damai yang pemilknya menawarkan untuk mengolah tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.
·         Jizyah
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-muslim khusunya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah dan harta merdeka atau budak yang tinggal di wilayah pemerintahan Islam. Pada masa Rasullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah:
Ø  1 dinar atau
Ø  30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi’ [sapi umur 1 tahun]
Ø  40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinah
Ø  Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya.[25]
Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu penduduk Najran yang beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang setelah masuk Islam. Persamaan antara kharaj dan jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’i, perbedaannya jizyah itu atas kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat masuk Islam, dan kharaj tidak.
·         Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi, rikaz dan luqathah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghanimah, sesuai dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui penambangan dan harta yang terpendam (rikaz). Ketiga, khumus pada harta yang dipendam hal, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari as’sya’abi dimana seorang laki-laki menemukan 1000 dinar yang dipendam di luar kota, kemudian datang kepadanya Umar, dan Umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan pada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum muslimin. Namun yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar kepada harta benda yang dipendam. Pertama, bahwa harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukannya. Kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul Mal. Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.[26]
·         ‘usyr
Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh. Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu sesuatu yang diambil pada zakat tanaman  dan buah-buahan (Q.S. Al-An’am : 141).[27] Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk perniagaan.[28]
3.     Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan memegang erat kaitannya antara penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk kepentingan publik. Begitu pula Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal-nya begitu jelas dan transparan dalam membahas maslah keuangan publik terkait sekitar masalah penerimaan dan pembelanjaan.
            Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi orang yang berhak atas kekayaan publik. Dengan menukil pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Aslam, ia berkata, “Telah berkata Umar ra bahwa tidak seirang muslim kecuali hak atas harta menerima atau menolak, setelah itu Umar membacakan surah al-Hasyr:7-10 dan berkata Umar: ayat ini memuat semuanya (manusia) dan tidak tersisa seorang muslimkecuali ia mendapat hak akan harta itu (harta fa’i). Menurut riwayat Ibnu Syibah bahwa ketika Umar membentuk dewan membagi para istri Rasulullah saw yang dinikahi 12.000 dirham, bagian juwairiyah dan shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya fa’i dari Allah untuk Rasul-Nya) kaum muhajirin syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan kaum anshar yang syahid 4.000 dirham.” [29]
            Selanjutnya, bahwa zakat diambil dari mereka  yang kaya dan dikembalikan kepada mereka yang membutuhkan, yaitu delapan golongan yang disebut dalam al-Qur’an. Bagaimanpun pendistribusian harta dalam Islam itu sangat penting dimana Rasulullah telah memberi batasan, yaitu seseorang yang memikul tanggungan (hidup) kaumnya, seseorang yang tertimpa musibah besar dn memusnahkan harta bendanya dan seseorang yang tertimpa kemiskinan.
            Abu Ubaid pun mengkhususkan bab tersendiri mengenai persamaan manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya adalah komentar Abu Bakar ra, ketika datang kepadanya harta (fa’i/ghanimah) ia menjadikan (bagian) manusia sama, dan berkata: “Aku menginginkan terhindar dari meminta-minta dan memurnikan perjuangan (jihad) ku bersama Rasulullah saw, kelebihan mereka adalah di sisi Allah, adapun dalam hidup ini persamaan adalah hal yang baik.”[30]
            Dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khumus (khumus ghanimah, khumus barang tambang dan rikaz serta khumus lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah saw dan pendistribusiannya kapan dan untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah. Karena dana-dana publik merupakan kekayaan publik, maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik seperti kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya.
4.     Dikotomi Badui (masyarakat desa) ke masyarakat kota
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fa’i. Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban :
a.       Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim;
b.      Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka;
c.       Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya;
d.      melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties);
e.       memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.[31]
Singkatnya di samping keadilan, Abu Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fa’i seperti kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. Fa’i hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fa’i yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan.[32]
Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar penghargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden.
Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warga negara.
5.     Kepemilikan Publik[33]
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya menginginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir.
Pernyataan Abu Ubaid di atas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat Islam.
6.     Kepemilikan:Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian[34]
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima (tanah pribadi), pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja. Setelah itu, jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanah pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
a.       Iqtha',
Yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala negara.
Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki orang Islam maupun kafir. Umar ra mengirim surat kepada Abu Musa, Jika tanah itu bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-’iqtha tanah itu baginya”. Di sini jelas bahwa ‘iqtha itu terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah, jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada kepala Negara.
Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasullah meng-’iqtha-kan tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah ‘iqtha-kan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasullah meng-’iqtha-kan kepada Zubair.
Dari Muhammad bin Ubaidillah as-Tsaqafi keluar, disebutkan orang Nafi’ Abu Abdillah. Ia berkata kepada Umar ra, Sebelum kami memiliki tanah di Basrah yang tidak termasuk tanah kharaj dan tidak merugikan seseorang dari kaum muslimin. Jika engkau memandang perlu meng-’iqtha-kan, maka aku lakukan, aku hanya mengambil satu petakan untuk perlu meng-’iqtha-kan, maka lakukanlah, aku hanya mengambil satu petakan untuk kudaku saja”. Lalu Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, Jika tanah itu seperti yang diceritakan maka petakanlah baginya.”
Dari penjelasan di atas, mengenai ‘iqtha hendaknya pemerintah menurut Abu Ubaid tidak meng-’iqtha tanah kharaj. Alasannya karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif memberikan hasil dan menambah devisa negara. Dan di sisi lain dengan mempetakan tanah bukan kharaj dapat memberikan manfaat untuk bagi para pengembalaan hewan ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama pentingnya dengan masalah pertanian.
b.      Ihya' al-Mawat
Yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
Mengenai ihya al-Mawat ini, Abu Ubaid membagi menjadi tiga macam:
·         Seseorang datang ke tanah tersebut lalu mengelola dan mendiaminya, kemudian datang orang lain yang mempebaharui tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang itu disebut al-irrqi al-Zhalim; perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin memilikinya. Adapun yang berhak atas tanah itu adalah yang mengelola lebih awal, seperti hadis riwayat Abu Hisyam, Rasullah saw bersabda, Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zhalim”.
·         Kepala negara meng-’iqtha-kan kepada seseorang tanah mati dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha’, kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan mendiaminya sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini tidak ada yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang telah memperoleh tanah iqtha’ pada masa Rasullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada masa kekhalifahan Umar ra, dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata: Kalau bukan ‘iqtha dari Rasullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”.
·         Jika seseorang membangun tembok tanah apakah dengan iqtha dari pemerintah atau tidak kemudian meninggalkannya pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata: Pada sebagian hadist dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain utnuk mendiami tempat tersebut”.   Maka dari ketentuan Umar ini mengandung arti, jika telah melewati masa tiga tahun dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang memutuskan dan dibolehkan bagi kepala Negara untuk menyerahkan kepala yang lain, yang mampu dan bisa menempatinya.
c.       Hima (perlindungan)
Yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.[35]

7.     Fungsi Uang[36]
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik– sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam. Ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari Kitab al Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.
Penerapannya Saat ini
Ketika pemerintahan kita mengatakan bahwa negara sedang kekurangan dana. Sepintas penulis berpikir kasar mengapa pemerintah tidak mencetak uang sebanyak mungkin? Setelah menelaah, ternyata tentu tidak semudah itu. Inflasi akan menjadi alasan utama masalah ini. Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme penerbitan uang? Kita tahu bahwa penerbit uang dilakukan oleh Bank Indonesia bukan pemerintah, lalu bagaimana mengontrolnya?
Kisah penerbitan uang memiliki sejarahnya sendiri. Sebelum sistem uang sebagai alat tukar menukar ini diberlakukan, kita mengenal sistem barter. Hanya pertukaran antara barang dengan barang. Asal saling menguntungkan, transaksi bisa dilakukan. Tak jarang nilai pertukaran yang terjadi sebenarnya tidak fair namun tetap dilaksanakan karena urgensi kebutuhan yang harus segera terpenuhi.
Setelah peradaban semakin maju, manusia mulai mengenal emas dan memanfaatkannya sebagai standar kekayaan. Emas juga kemudian menjadi alat tukar karena nilainya yang diakui secara global. Emas disini berupa perhiasan atau produk-produk lainnya hasil buatan dari emas. Semakin lama orang mulai menyadari perhiasan semacam ini tidak praktis digunakan dalam transaksi. Dari sini orang mulai berinisiatif membuat uang. Awalnya uang koin yang juga terbuat dari emas dan nilai nya bergantung pada nilai emas itu sendiri. Contohnya di Arab yang mengenal uang dinar. Kemudian untuk membentuk nilai uang dalam ukuran yang lebih kecil digunakanlah koin yang terbuat dari logam lain, semisal logam perak yang paling banyak digunakan.
Seiring kemajuan zaman, manusia mulai memikirkan alat tukar yang lebih praktis. Tidak perlu harus dari emas namun nilainya tetap berpatokan pada emas. Muncullah uang kertas dan uang koin yang tidak terbuat dari emas atau perak. Namun uang tersebut dicetak dengan berpatokan pada nilai emas atau perak. Jadi untuk menerbitkan sejumlah uang maka penerbit uang harus mengkompensasikannya dengan emas. Sehingga nilai uang saat itu masih ditopang oleh emas. Satu catatan yang menarik bahwa selama dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang praktis tidak terjadi masalah moneter utamanya terkait inflasi.
Pada permulaan abad 20, ekonomi dunia semakin bertumbuh. Setiap negara memiliki mata uangnya masing-masing namun semuanya hampir seragam berpatokan pada emas. Amerika Serikat yang memiliki industri paling mapan sekaligus pemenang Perang Dunia menjadi acuan penetapan nilai tukar mata uang negara-negara di dunia.
Pada tahun 1944, ditahun dimana sistem Bretton Woods mulai disepakati, tercapai konsensus penetapan 35 dolar Amerika Serikat setara dengan satu ounce emas. Sehingga jika pemerintah ingin mencetak 35 dolar maka, pemerintah harus menyerahkan 1 troy ounce emas. Nilai mata uang sebenarnya cukup stabil pada era ini sampai pada tahun 1971 ketika Amerika mengalami masalah finansial yang serius. Saat itu, Amerika mengalami kekurangan uang karena harus menghadapi perang dingin, membiayai perang di Vietnam dan mendukung sekutunya Israel di Timur Tengah. Di tahun itu, harga resmi emas masih 38 dolar per ons.
Karena membutuhkan uang dalam jumlah besar, Presiden Nixon pun mengambil jalan pintas dengan keluar dari sistem Bretton Woods. Amerika Serikat pun tak lagi mematok dolarnya dengan emas. Kebijakan yang juga akhirnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebelumnya kita juga mematok rupiah dengan emas. Jadi jika ingin menerbitkan sejumlah uang maka pemerintah harus menyerahkan emas dengan nilai yang setara kepada Bank Indonesia.
Namun untuk saat ini, negara kita juga tak lagi menjalankan sistem Bretton Woods dalam penerbitan uangnya. Jadi, nilai rupiah kini tak lagi ditopang oleh emas. Jika ingin menambah peredaran uang dengan menerbitkan uang baru, maka pemerintah harus menerbitkan surat utang yang akan dijual kepada Bank Indonesia. BI akan membeli surat utang tersebut dengan uang yang baru ia terbitkan. Hanya saja surat utang tersebut tidak berisi kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan pengembalian uang kepada BI. Surat utang itu hanya berisi komitmen bahwa pemerintah dapat menjaga stabilitas ekonomi sebagai akibat dari penerbitan uang tersebut.
Begitulah kira-kira mekanisme sederhana penerbitan uang baru di Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Jika kita kaitkan dengan pemikiran Abu Ubaid tentang masalah uang, dimana ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Sangat disayangkan karena untuk saat ini indonesia tidak menggunakan pemikiran tersebut. Penulis menganggap bahwa ini menunjukkan betapa masih rapuhnya keadaan ini, terlebih lagi karena negara kita masih harus mengikuti kebijakan dari Amerika terkait masalah ini.
Jika membahas masalah fungsi uang, Abu Ubaid mengatakan bahwa uang memiliki dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik– sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Begitu pula di Indonesia, mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Namun di Indonesia, lebih rincinya uang yang dibedakan dalam dua kategori fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi turunan.
a.       Fungsi asli
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
·         Sebagai Alat Tukat
Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
·         Sebagai Satuan Hitung
Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
·         Sebagai Penyimpan Nilai
Uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
b.      Fungsi Turunan
Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain:
·         Uang sebagai alat pembayaran yang sah
Kebutuhan manusia akan barang dan jasa yang semakin bertambah dan beragam tidak dapat dipenuhi melalui cara tukar-menukar atau barter. Guna mempermudah dalam mendapatkan barang dan jasa yang diperlukan, manusia memerlukan alat pembayaran yang dapat diterima semua orang, yaitu uang.
·         Uang sebagai alat pembayaran utang
Uang dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa yang akan datang.
·         Uang sebagai alat penimbun kekayaan
Sebagian orang biasanya tidak menghabiskan semua uang yang dimilikinya untuk keperluan konsumsi. Ada sebagian uang yang disisihkan dan ditabung untuk keperluan di masa datang.
·         Uang sebagai alat pemindah kekayaan
Seseorang yang hendak pindah dari suatu tempat ke tempat lain dapat memindahkan kekayaannya yang berupa tanah dan bangunan rumah ke dalam bentuk uang dengan cara menjualnya. Di tempat yang baru dia dapat membeli rumah yang baru dengan menggunakan uang hasil penjualan rumah yang lama.
·         Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi
Apabila nilai uang stabil orang lebih bergairah dalam melakukan investasi. Dengan adanya kegiatan investasi, kegiatan ekonomi akan semakin meningkat.
8.     Zakat
a.      Hubungan antara Zakat dan Politik (Kekuasaan)[37]
Menurut Ugi (2004), karakter politis zakat adalah karakter yang menjadikan zakat sebagai institusi keuangan publik. Namun, ia merupakan institusi keuangan publik yang khas karena ia memiliki karakter religius. Meskipun pada masa Nabi, kedua karakteristik zakat itu disatukan, namun setelah Nabi wafat, ada fenomena di mana keduanya diperlakukan secara terpisah. Adalah peran Abu Bakar yang menjelaskan kedua karakteristik zakat dan meskipun melalui usahanya karakteristik religius dan polisi zakat ditetapkan.[38]
Masalah apakah zakat dibayarkan kepada pemerintah dan bukan kepada Nabi, muncul pada masa khalifah Abu Bakar ketika beberapa kabilah Arab menolak membayarkan zakatnya setelah wafatnya Nabi. Qardhawi (2004) menyebutkan bahwa alasan mereka menolak membayar zakat setelah Nabi wafat karena mereka menganggap perjanjian mereka dengan Nabi tentang kewajiban syahadat, shalat dan zakat telah batal dengan wafatnya orang yang dalam perjanjian. Hal itu disebabkan sikap kabilah-kabilah itu bermacam-macam. Di antaranya ada yang megakui nabi-nabi palsu, ada yang tidak mengakui syariat Islam dan menghindari kewajiban shalat dan zakat semuanya, ada pula yang mengakui shalat dan sayriat-syariat Islam lainnya tetapi masih ragu-ragu menerima zakat. Hal tersebut di atas dikarenakan mereka baru memeluk Islam dan masih terpengaruh oleh kehidupan badui mereka, bukan karena belum mengerti zakat. Atas dasar itu, Imam Abu Sulaiman Khattabi dan lainnya menggolongkan mereka “pembangkang” bukan “murtad”, walaupun mereka juga tidak mengakui zakat itu wajib setelah Nabi wafat.[39]
Ugi (2004) menyebutkan bahwa ketika Umar keberatan dengan keputusan Abu Bakar, dia tidak berdebat dengan Abu Bakar atas dasar kekaburan posisi zakat, karena karakter zakat, paling tidak sebagai institusi keagamaan, telah dipahami oleh mayoritas sahabat selama masa kehidupan Nabi. Persoalan yang tidak disetujui Umar sesungguhnya adalah kebijakan Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Namun ketika Abu Bakar menjelaskan pandangannya, ketidaksetujuan Umar sebelumnya, kemudian sirna.
Abu Ubaid (Ugi, 2004) menjelaskan berkaitan dengan pengumpulan zakat, hak pemerintah untuk melaksanakan kekuatan politisnya, bagaimanapun juga, hanya terbatas pada bentuk kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan tidak pada kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Selanjutnya Ugi (2004) menyebutkan bahwa bentuk harta yang tidak tampak (amwal batiniyah) merupakan jenis harta yang mudah disembunyikan oleh pemiliknya, yang pada masa Abu Bakar termasuk uang yakni emas dan perak. Sejauh berkaitan dengan harta yang tersembunyi, pemerintah tidak memiliki hak politik untuk memaksa orang membayar jenis kekayaan ini. Karena berkebalikan dengan harta yang tampak yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.
Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid berkaitan dengan harta tersembunyi, tidak ada riwayat apakah Nabi dan Khalifah setelahnya menerapkan kekuasaan politik terhadapnya atau tidak.
Sunnah telah membedakan antara keduanya. Tidaklah kalian melihat bahwa Nabi kadang mengirim pengumpu zakat (mushaddiq) ke (para pemilik) binatang ternak dan mengambil darinya baik dengan rela (rida) atau terpaksa (kurh). Hal yang sama juga dilakukan oleh para pemimpin negara setelah beliau. Dan atas dasar ini, Abu Bakar memerangi mereka yang tidak mau (membayar) zakat binatang ternak. Tidak ada pentunjuk bahwa Nabi dan khalifah-khalifah setelahnya memaksa orang membayar zakat uang (sadaqat al-samit). Sebaliknya, mereka (masyarakat muslim) lebih membayarnya tanpa paksaan, sebagaimana ia diamanahkan kepada mereka untuk membayarnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami dengan cukup jelas bahwa zakat memiliki 2 (dua) karakter yang berbeda. Karakter politis zakat, menjadi alasan pemerintah atau penguasa politik dalam melakukan upaya untuk menjamin zakat dapat dijalankan dengan baik, khususnya pada harta yang tampak (amwal zahiriyah). Sedangkan karakter religius zakat lebih memberikan penekanan kepada kesadaran dari masing-masing individu muslim untuk membayar zakat dari hartanya yang tidak tampak (amwal batiniyah).
Pemerintah tidak memiliki otoritas untuk memaksa para muzakki agar membayar zakat atas segala jenis harta yang tidak tampak (amwal batihiyah). Abu Bakar dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga karakter zakat, khususnya karakter politisnya. Abu Bakar telah mengambil keputusan yang tepat dalam hal memerangi para pembangkang zakat. Jika Abu Bakar tidak memerangi para pembangkang zakat, maka karakter politis zakat akan punah, sehingga zakat hanya dipandang sebagai sebuah kewajiban invidivu dan penyalurannya dapat dilakukan secara invidivu juga.
b.      Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat
Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana pemerintah bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik zakat yang pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai menghilang secara perlahan namun pasti. Pada saat ini, banyak umat muslim yang tidak membayarkan zakatnya kepada pemerintah atau pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal tersebut telah terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat itu, umat muslim mulai berselisih pendapat perihal pembayaran zakat kepada pemerintah. Sebagian ada yang tetap membayarkannya kepada pemerintah dan sebagian lainnya membagikannya sendiri kepada para mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal halaman 562, Abu Ubaid meriwayatkan:
عن إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن ابن يسرين قال : كانت الصدقة ترفع أو تدفع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، أو من أمر به، وإلى أبي بكر أو من أمر به، أو إلى عمر، أو من أمر به، وإلى عثمان أو من أمر به، فلما قتل عثمان اختلفوا، فكان منهم من يدفها إليهم، ومنهم من يقسمها وكان ممن يدفعها اليهم ابن عمر.
Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar bin Khattab atau kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar bin Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman bin Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.
Adiwarman (2004) meyebutkan bahwa dalam karyanya Kitab al-Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara (pemerintah), yakni fa’i, khums dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Ugi (2004) menyebutkan bahwa setelah khalifah keempat, situasi diperburuk oleh berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembayaran zakat kepada pemerintah, Abu Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab Al-Amwal dengan judul “Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama tentang Masalah ini.”
Dalam hal ini Ibn Umar dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu’awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.
Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang (pembayaran) zakat. Dia menjawab, “Bayarkan kepada pengumpul zakat (‘umal)”, tetapi mereka menjawab “Kadang orang-orang Syam (yakni pendukung Mua’wiyah) berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni pendukung Ali) berkuasa.” Dia (yakni Ibn Umar) menjawab: “Bayarkan kepada mayoritasnya”.
Namun dalam kasus lain, Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar memberikan jawaban yang berbeda pula perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Saya berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya: “Apakah kami harus membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk untuk kami (‘ummalina). Dia (Ibn Umar menjawab: “Ya”. Kemudian dia (orang yang bertanya itu) mengatakan: “Para kolektor yang ditunjuk untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan: “Ziyad (bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim (untuk mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab: “Jangan membayarkan zakatmu kepada non-Muslim”.
Pada awalnya Ibn Umar secara tegas menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.
Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkannya.
Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus, sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai.
c.       Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, pengelolaan zakat dilakukan dengan menunjuk seorang utusan yang dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada suatu suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’az bin bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu’az disamping sebagai seorang da’i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.
Abu Ubaid dalam karyanya Kitab Al-Amwal halaman 493, menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan praktek penarikan zakat pada masa Rasulullah saw. Abu Ubaid menyebutkan:
حدثنا أبو الأسود عن ابن لهيعة عن خَالد بن يزيد عن يحيى بن عبد الله بن صيفي عن أبي معبد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ، حين بعثه إلى اليمن قال إنيى أبعثك إلى أهل كتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله. فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم صدقة أموالهم . فإن أقرّوا بذلك فخذ مهم واتق كرائم أموالهم، وإياك ودعوة المظلوم، فإنه ليس لها دون الله حجاب.
Sedangkan dalam riwayat lain, Abu Ubaid mengutip pada halaman 493:
فأعلم أن الله قد افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.
Dalam hadits yang dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah, akan tetapi ia (Mu’az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).
Kata “تؤخذ ” (tu`khadzu) pada hadits di atas berarti “diambil”, hal ini menegaskan kembali bahwasanya zakat itu tidak dibayarkan akan tetapi diambil dari para muslim yang tergolong wajib zakat (kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman). Sedangkan pada kata “فترد” (fa turaddu) yang berarti “lalu dikembalikan”, hal tersebut menerangkan bahwa zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya) di antara mereka (penduduk Yaman) disalurkan atau didistribusikan kembali kepada golongan fakir-miskin di antara mereka (penduduk Yaman) pula.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:
Al-Amwal hal. 596:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut. (Al-Qaradhawi, 1995)
Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.
d.      Pertimbangan Kebutuhan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio-ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam.[40]
e.       Relevansinya di Indonesia
Pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang zakat adalah penerapan dan pengelolaan zakat yang diprakteknya pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa tersebut adalah adanya peran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik dalam pengelolaan zakat, pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan publik, dan pola distribusi zakat.
Secara prinsip pengelolaan zakat pada masa tersebut dapat diaplikasikan pada masa kini, khususnya pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan zakat merupakan peran pemerintah dalam hal menjamin pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi diperlukan beberapa perbaikan dan penyelarasan, serta pengawasan dalam praktek zakat di lapangan. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, diharapkan pola dan system pengelolaan zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian umat muslim yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia.
Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi sekaligus masalah buat kita. Dengan jumlah yang cukup besar, umat muslim di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembayaran zakat. Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, tentunya sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia tidak pernah luput dari permasalahan-permasalahan yang pada umumnya dialami oleh negara berkembang, yaitu masalah kemiskinan.
Sebagai negara demokrasi, pemerintah telah dengan serius memperhatikan kebutuhan-kebutuhan umat muslim Indonesia dan memfasilitasi beberapa kebijakan dalam rangka memberikan kemudahan atas pelaksanaan ajaran agama Islam. Di antara kebijakan tersebut adalah kebijakan tentang zakat yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 581 Th. 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 Th. 1999 tersebut. Undang-undang tersebut dirancang sebagai upaya perbaikan pengelolaan zakat di Indonesia.
Dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan zakat, tugas dan tanggung jawab pemerintah tidak otomatis hilang. Pemerintah diharapkan dengan aktif mengontrol dan memberikan peringatan bagi lembaga-lembaga zakat yang tidak mengelola zakat dengan baik. Meskipun undang-undang telah dibuat, permasalahan tentang pengelolaan zakat, khususnya lembaga-lembaga pengelola zakat masih akan timbul, seperti persaingan antara Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berbasis lembaga swadaya masyarakat dan lembaga yang dibentuk pemerintah Badan Amil Zakat (BAZ).
Permasalahan lain yang adalah system pengelolaan yang kurang professional dan transparan. Akibatnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga zakat berkurang dan akhirnya akan menimbulkan penyaluran zakat secara individual atau langsung tanpa perantara lembaga zakat. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap distribusi zakat yang tumpang tindih, di mana pembagian zakat kepada para mustahiq tidak merata dan tepat sasaran. Tidak merata dan tidak tepat sasaran artinya akan terdapat mustahiq yang tidak mendapatkan bagian dari zakat, atau bahkan ada mustahiq yang mendapatkan zakat dari dua sumber yang berbeda pada waktu yang bersamaan.
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, diperlukan peran pemerintah dalam penertiban lembaga-lembaga zakat yang ada di Indonesia. Penertiban dapat dilakukan dalam beberapa aspek, diantaranya adalah aspek manajemen, laporan penghimpunan dan penyaluran, akuntabilitas laporan, wilayah operasi lembaga dan koordinasi diantara lembaga-lembaga zakat.
Penghimpunan zakat di Indonesia sangat bergantung kepada tingkat kesadaran umat muslim dalam membayar zakat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi dari lembaga zakat untuk membangun kesadaran dari umat muslim. Di antara strategi tersebut adalah membentuk kepercayaan umat muslim untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga-lembaga zakat. Kepercayaan dapat dibentuk melalui beberapa cara, di antaranya adalah dengan memberikan laporan yang akuntabilitas dan transparan kepada para pembayar zakat (muzakki). Kepercayaan juga dapat dibangun dengan pola dan sistem pelayanan yang berkualitas dan professional, dengan memberikan beberapa kemudahan dan fasilitas kepada para muzakki dalam hal pembayaran zakat dan monitoring penyalurannya.
Distribusi zakat yang adil dan merata dapat menentukan pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Pemerintah diharapkan untuk menertibkan lembaga-lembaga zakat dengan membatasi jumlah lembaga zakat pada suatu daerah tertentu. Kemudian, setiap lembaga zakat diberikan batas wilayah operasinya, sehingga pemberdayaan zakat akan lebih terkoordinir dan terfokus pada wilayah oleh lembaga zakat tertentu. Diantara lembaga zakat yang telah menerapkan pembagian wilayah operasi zakat adalah lembaga zakat Rumah Zakat dengan program ICD (Integrated Community Development) pada beberapa daerah yang termasuk wilayah operasinya.
Dengan banyaknya jumlah lembaga zakat di Indonesia, diperlukan sebuah konsep management networking dalam rangka koordinasi setiap lembaga zakat. Hal tersebut sangat penting, karena melalui koordinasi antar lembaga zakat dapat didapat daerah atau lembaga zakat yang mengalami surplus zakat, sehingga dapat dilakukan distribusi silang (cross distribution) kepada daerah atau lembaga zakat yang mengalami kekurangan zakat (defisit).
9.     Ekspor Impor
Pemikiran Abu Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional, cukai bahan makanan pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai.
a.      Tidak Adanya Nol Tarif
Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan telah dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa pengecualian. Sebab, kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri mereka. Dari Abdurrahman bin Maqil, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ziyad bin Hudair, Siapakah yang telah kalian pungut cukai barang impornya? Ia berkata, “Kami tidak pernah mengenakan cukai atas Muslim dan Mua-hid. Saya bertanya, Lantas, siapakah orang yang telah engkau kenakan cukai atasnya? Ia berkata, “Kami mengenakan cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka telah memungut barang impor kami apabila kami masuk dan mendatangi negeri mereka”.
Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah, dimana beliau mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain, Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah memeluk agama Islam. Isi surat tersebut adalah “Binatang ternak mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor mereka tidak boleh dipungut cukai atasnya”.
Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk surat kepada Adi bin Arthaah yang isinya adalah “Biarkanlah bayaran fidyah manusia. Biarkanlah bayaran makan kepada ummat manusia. Hilangkanlah bayaran cukai barang impor atas ummat manusia. Sebab, ia bukanlah cukai barang impor. Akan tetapi ia merupakan salah satu bentuk merugikan orang lain”. Sebagaimana firman Allah, “Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. Hud:85)
Dari uraian di atas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliah. Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah dan agama Islam. Lalu, datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat dari usyur (2.5%). Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Saya telah dilantik Umar menjadi petugas bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor dari para pedagang kafir harbi sebanyak usyur (10%), barang impor pedagang ahli dzimmah sebanyak setengah dari usyur (5%), dan barang impor pedagang kaum muslimin seperempat dari usyur (2.5%)”.
b.      Cukai Bahan Makanan Pokok
Untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan pokok, cukai yang dikenakan bukan 10% tetapi 5% dengan tujuan agar barang impor berupa makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, ia berkata, “Umar telah memungut cukai dari kalangan pedagang luar; masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran cukai sebanyak setengah dari usyur (5%). Hal ini bertujuan supaya barang impor terus berdatangan ke negeri madinah. Dan dia telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak usyur (10%)”.
c.       Ada Batas Tertentu untuk Cukai
Yang menarik, tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Ada batas-batas tertentu dimana kalau kurang dari batas tersebut, maka cukai tidak akan dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi (dia adalah petugas cukai di perbatasan Mesir pada saat itu) bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya, yang isinya adalah:
“Barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli zimmah, maka pu-ngutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap diberlakukan sehingga sampai satu tahun”.
Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus dirharn di dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq, Sufyan telah menggugurkan kewajiban membayar cukai apabila barang impor ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirharn. Menurut Abu Ubaid, seratus dirharn inilah ketentuan kadar terendah pengumpulan cukai atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.[41]
d.      Penerapannya Saat Ini
Kita tahu bahwa Perdagangan Internasional adalah perdagangan antarnegara yang melintasi batas-batas suatu negara. Jauh sebelum teori perdagangan internasional ditemukan di Barat. Islam telah menerapkan konsep-konsep perdagangan internasional. Abu Ubaid bin Salam bin Miskin bin Zaid al-Azdi adalah salah satu yang telah menyoroti praktik perdagangan internasional, khususnya impor dan ekspor.
Jika kita amati dari penjelasan di atas, ada hal yang menarik di sana. Cukai merupakan salah satu bentuk merugikan orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut perdagangan bebas (free trade), bahwa tidak boleh ada tarif barrier pada suatu negara. Barang dagangan harus bebas masuk dan keluar dari suatu negara. Dengan kata lain, bea masuknya nol persen. Tetapi dalam konsep Islam, tidak ada sama sekali yang bebas, meskipun barang impor itu adalah barang kaum muslimin. Untuk barang impor kaum muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2.5%. Sedangkan non muslim, dikenakan cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah melakukan perdamaian dengan Islam) dan 10% untuk kafir harbi (Yahudi dan nasrani). Jadi, tidak ada prakteknya sejak dari dahulu, bahwa barang suatu negara bebas masuk ke negara lain begitu saja.







BAB III
PENUTUP
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa Arab (ahli nahwu). Dari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Karyanya yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab dari Abu Ubaid ini merupakan suatu karya yang lengkap yang berbicara seputar keuangan negara dalam Islam. Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan Rasulullah saw, wawasan pengetahuannya serta isi, format, dan metodologi Kitab al-Amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari Pemikir Ekonomi Mazhab Klasik.
 Pandangan-pandangan Abu Ubaid merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan hak dan kewajiban masyarakat, menjadikan keadilan sebagai prinsip utama dalam menjalankan roda kebijakan pemerintah, serta menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim. Abu Ubaid mengatakan bahwa penerimaan negara (fai', khumus, shadaqah dan zakat) wajib dikelola negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat.
















DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2004, 2006, 2008.
Amalia, DR. Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta:Gramata Publishing. 2010.
Perwataatmadja, Karnaen. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Diktat kuliah pada Fakultas Syari'ah. Jakarta, 2000/2001.1993.
Al Qasim, Abu Ubaid. Kitab al Amwal, Beirut: Dar al Fikr. 1988.
Mudzar, HM. Atho. Pendekatan:Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam. Artikel pada Mimbar Hukum. Jakarta:Departemen Agama. 1992.
Siddiqi, M. Nejatullah. Islamic Economic Thought Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought. Malaysia:Longman. 1992.
Hans, Gottschalk. Abu Ubaid al Qasim bin Salam : Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Dar Islam 13. Dalam tulisan Cengiz Kallek. 1936.
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz Zakat). Jakarta:Pustaka Litera AntarNusa. 2004.
Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan Pertama. Yogyakarta:Pusat Studi Zakat (PSZ). 2004.
Al Ramhurmudzi, Hasan bin Abdul Rahman. Al Muhaddith al Fasill bain al Ruwi wa al Wa 'i. Beirut. 1971.
Al Awdiy, Rifa'at. Min al Turast al Iqtishad li al Muslimin, Kuliah Tijarah-Jami'ah al Azhar. Mekah:Mathba'ah Rabithah al `Alam al Islami, t.t.
Nasution,Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Cet. ke-4. Jakarta:PT. Bulan Bintang. 1973.
Dzazuli. Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar). Bandung:Orba Shakti. 1991, 1994.
Saddam, Muhammad. Ekonomi Islam. Jakarta:Taramedia. 2003.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam:Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta:Karim Business Consulting. 2001.
Khair, Abdul. The Role of Goverment in an Islamic Economy. Kuala Lumpur:Noordeen. 1991.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta:UI Press. 1985.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN Jogja, Ekonomi Islam, Jakarta:RajaWali Pres. 2009.
Muhammad Ibnu Muhammad. Thabaqat al-Hanabilah. Kairo. 1952.
Tajuddin Abdul Wahab ibn Ali al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra. Vol.II. Beirut:Dar al-Ma’rifa, t.t.
Huda, Harul. Ekonomi Makro Islam. Jakarta:Grafindo.2009.
Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn Tsabit al-Khatib al-Baghdadi. Tarikh Baghdad. Beirut:Dar al-Fikr, t.t. Vol. 12.
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi. Siyar A’lam al-Nubala. Beirut:t.p. 1981-1985. Vol. 10.
Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM IPB dalam shariaeconomicforum, 2012.
Arsyad, Nastir. Ilmuan Muslim Sejarah. Bandung:Mirzan. 1989.


[1] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006,hal  242.
[2] M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992.
[3] Hans Gottschalk, Abu Ubaid al Qasim bin Salam ; Studie zur Geschicte der Arabischen Biographie, dalam Der Islam 23, 1936, dalam tulisan Cengiz Kallek, hal. 264.
[4] Ibid, hal. 92 dan 96.
[5] Ibid, hal. 272.
[6] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raya Grafindo Persada. 2006. Hal. 259.
[7] Lihat antara lain Tajuddin Abdul Wahab ibn Ali al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, (Beirut:Dar al-Ma’rifa,t.t.), hal. 154 dan 158; Muhammad ibn Muhammad Ya’la, Thabaqat al-Hanabilah, (Kairo:t.p., 1952), hal. 259)
[8] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Kitab al-Amwal(Beirut:t.p., 1989), hal. 103, 128, 151, 172, 249, 467, 520, 584, 603 dan 620.
[9] Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzi, al-Muhaddits al-Fasil bain al-Rawi wal Wa’i (Beirut: t.p., 1971), hal 250-251.
[10] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Op.Cit., hal 138-141; lihat juga Tajuddin Abdul Wahab ibn Ali al-Subki, Op.Cit, hal. 159.
[11] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[12]Adiwarman Karim Azwar, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta: Karim Business Consulting, 2001. Hal. 124.
[13] Ibid. Hal. 126.
[14] Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn Tsabit al-Khatib al-Baghdadi. Tarikh Baghdad (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), vol. 12. Hal. 502 dan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala (Beirut: t.p., 1981-1985), vol. 10. Hal. 502.
[15] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Kitab al-Amwal(Beirut:t.p., 1989), hal. 307, 323 dan 401.
[16] Ibid. Hal. 667 dan 692.
[17] Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Op. Cit. Hal. 649-650.
[18] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raya Grafindo Persada. 2004. Hal. 272.
[19] Ibid. Hal. 273
[20] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 251-253
[21] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam. Kitab al-Amwal. Beirut:t.p., 1989, hal. 19
[22] Ibid. Hal. 20-21.
[23] Ibid. Hal. 414.
[24] Ibid. Hal. 23.
[25] Ibid hal. 31-32.
[26] Ibid. Hal. 353.
[27] Ibid. Hal. 243.
[28] Ibid. Hal. 23.
[29] Ibid. Hal. 237.
[30] Ibid. Hal. 277.
[31] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 275
[32] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006. Hal. 254.
[33] http://kismawadi.blogspot.com/2010/04/biografi-dab-konsep-pemikiran-abu-ubaid.html
[34] Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit. Hal. 255-256
[35] DR. Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2010, hal. 152-154
[36] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 279-280.
[37] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006.
[38] Ugi Suharto. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan Pertama. Pusat Studi Zakat (PSZ).Yogyakarta.
[39] Yusuf Qardhawi. 2004. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz Zakat). Pustaka Litera AntarNusa. Jakarta.
[40] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 278-279.
[41] Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM IPB dalam shariaeconomicforum, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar