Sabtu, 21 Juli 2012

Tukang Nyasar


Terlahir sebagai seorang anak yang memiliki pribadi pendiam ternyata tidak selamanya menyenangkan. Kalian tahu, dengan sifat tersebut membuat kita sulit beradaptasi dengan orang-orang baru dan cenderung lebih suka menyendiri dibandingkan harus berada di tengah keramaian. Lebih memilih diam daripada harus terus berceloteh gak karuan. Sangat tertutup dan cenderung lebih sensitif. Ntah ini sebuah kelainan atau memang hal biasa. Meski kita tahu bahwa dengan perbedaan dunia akan tampak lebih indah.
Begitu pula dengan menjadi 'anak rumahan’, bukan? Keseharian waktunya hanya dihabiskan di dalam rumah. Melakukan sesuatu yang selalu dibatasi oleh dinding-dinding putih yang selalu membisu. (Itu Kalau dinding rumahnya warna putih ya. Warna dalam tulisan bisa disesuaikan dengan warna rumah masing-masing. :D) Ujung-ujungnya akan terasa kaku ketika dihadapkan dengan ‘dunia luar’. Takut melakukan ini dan itu. Kalaupun mencoba melakukan suatu kegiatan yang ‘tak biasa’, maka akan menemukan banyak kendala dan kesalahan. Aku kira ini hal wajar bagi mereka, ‘anak rumahan’.
Aku kira hal yang paling menonjol ketika seorang ‘anak rumahan’ keluar dari ‘sarangnya’ adalah dia akan sulit melakukan sebuah perjalanan seorang diri. Tentu saja dia tidak mengetahui jalan mana yang harus dilalui untuk sampai ke tempat tujuannya. Secara selama ini di rumah saja, kalau pun keluar pakai supir yang selalu standby mengantarkan kemana pun dia pergi. Nah, aku punya sedikit cerita mengenai hal ini. Seorang anak yang mencoba melepaskan gelarnya sebagai ‘anak rumahan’, namun ternyata malah mendapatkan gelar baru sebagai ‘tukang nyasar’ yang kemudian melanglang buana keliling kota tempat dia tinggal. Anggaplah namanya Riri. Selamat membaca!!
***
Saat itu hari begitu terik, dengan malas Riri keluar dari rumahnya dengan menggunakan sepeda motor matic kesayangannya yang diberi nama Uki. Sejak Riri memutuskan untuk menghilangkan gelar ‘anak rumahan’ yang selama ini telah melekat padanya, Uki-lah yang senantiasa menemani Riri melanglang buana. Hari itu Riri berjanji akan menemani temannya mencari sebuah percetakan yang murah.
“Mau kemana kita hari ini No?” tanya Riri pada temannya, Retno. “Kita cari percetakan yang murah ya. Aku mau cetak banner buat kedai bakso mamakku ne,” jawab Retno. “Asyek, nanti aku dapat makan bakso gratis donk,” tutur Riri penuh harap. “Ya, baksonya doang sebiji,” jawab Retno sambil tertawa.
Pergilah mereka berkeliling Kota Medan yang saat itu menjadi kota mereka tinggal. Setelah berkeliling gak jelas, akhirnya sampailah mereka di daerah lapangan merdeka atas anjuran sebuah percetakan di daerah Pancing. Di salah satu persimpangan lampu merah, mereka tampak kebingungan karena mereka tidak melihat satupun percetakan berdiri di sana.
“Yang mana No?” tanya Riri sambil mengipas-ngipaskan tangannya, mungkin panas sangat mengganggu mesin pendingin dalam tubuhnya. “Mana aku tau, khan kau yang bawa jalan dari tadi,” jawab Retno dengan ringannya. “Bah, macam mananya kau ini. khan kau yang mau cari,” cetus Riri sambil menjalankan motornya.
Roda motor Riri terus berputar tanpa tahu kapan akan berhenti lagi. Teruuus saja, sampai dia benar-benar tidak mengenal sekelilingnya. Sedang di boncengan Retno asyik memainkan hp-nya tanpa menyadari kalau mereka telah berjalan terlalu jauh.
“No, dimana kita ini?” tanya Riri lagi. “Hmm, terusan Lapangan Benteng ne kayaknya,” jawab Retno lagi-lagi dengan ringannya kemudian kembali bermain hp. Mendengar jawaban Retno, Riri merasa sedikit lega. “Setidaknya Retno taulah jalan ne,” pikirnya.
Hari semakin sore. Diam kembali menyelinap di antara mereka. Motor terus melaju kencang, sesekali melambat dan beberapa kali nyaris menabrak. Riri telah basah oleh keringat di bagian-bagian tertentu. Beberapa kali ia memandangi garis penunjuk isi minyak karena sudah mencapai batas akhir. Tak berapa lama, setelah merasa nyeri dibagian bokong karena terlalu lama berada di atas motor, akhirnya Retno melemparkan pandangannya.
“Ri, dimana ini?” kini giliran Retno yang bertanya dengan gusar. “Tadi khan kau bilang terusan Lapangan Benteng wak. Cemananya?” jawab Riri santai. “Aku gak tau ini dimana,” ucap Retno bertambah panik. “Waduh, jadi dari tadi kau ngapain di boncengan? Tidur?” cetus Riri dengan suara yang lebih keras sambil membuka kaca helmnya. “Tin,Tiiiiiiin.” Beberapa kendaraan menjerit karena motor Riri tiba-tiba berhenti di tengah jalan karena ‘kehausan’.
***
(Di lain waktu)
Riri kembali melakukan sebuah perjalanan dengan Uki. Kali ini ia bersama seorang temannya yang lain bernama Teti. Mereka ingin makan ke sebuah tempat di Jalan Tamrin yang kata kebanyakan orang enak. Mereka bela-belain ke sana meskipun tempatnya lumayan jauh dari kampus mereka. Saat itu mereka sedang pergantian dosen di kampus, jadi daripada nunggu dosen yang dua jam lagi baru datang, mereka berpikir lebih baik cari makan dulu. Saat itu waktu memang telah memasuki jam makan siang.
Gas motor mulai ditarik, roda berjalan sesuai prosedur. Kali ini Riri kembali memegang kendali. Dia yakin benar mengetahui jalan menuju tujuannya. Selip sana selip sini karena perut juga sudah melilit. Tak lama kemudian, mereka sampai di tempat tujuan. Tak ada masalah. Tepat seperti perkiraan Riri dalam waktu lebih kurang setengah jam mereka sampai di sebuah rumah makan yang dituju.
“Ri, kau mau pesan apa,” tanya Teti melihat Riri yang sedari tadi tidak juga memesan makanannya. Karena Riri adalah seorang ‘anak rumahan’ yang baru bermigrasi menjadi ‘anak luaran’, maka sudah tentu ia bingung apa yang ingin di pesannya, terlebih lagi membaca daftar menu yang kebanyakan sama sekali asing baginya. Sudah empat kali pelayan pria berseragam yang bertugas melayani mereka bertanya pada Riri makanan apa yang akan dipesannya, namun Riri belum juga menjatuhkan pilihan.
Dan akhirnya Riri berkata, ”Enaknya aku makan apa yang tet?” “Makan sop buntut aja mbak,” cetus pelayan tersebut ketika Teti nyaris membuka mulutnya hendak menjawab. “Biar gemuk,” lanjut pelayan itu sambil nyengir. Antara menghina, kesal menunggu lama atau memang ingin mengusulkan menu andalannya, aku yakin salah satunya benar. Akhirnya Riri mengiyakan usulan dari si pelayan.
Satu jam sudah mereka berada di rumah makan tersebut, semua hidangan juga sudah ludes. Riri mengajak Teti untuk kembali ke kampus. Di parkiran, Riri melemparkan pandang ke sekitar. Matanya menjelajah seperti mencari sesuatu hingga akhirnya dia berkata, “Tet, kau tau jalan pulang dari sini?” “Ya gak lach ri, aku khan bukan orang medan. Mank kenapa? Jangan bilang kau gak tau ya,” tutur Teti panjang lebar dengan wajah ragu. “Gak, cuma nanya aja,” jawab Riri mencoba ngeles.
Uki melaju dengan perlahan. Sedang di atasnya, Riri tampak mulai gusar karena tidak tahu jalan pulang. Semula ia berpkir akan mudah mencari jalan pulang dengan mengandalkan alur jalan saat pergi. Ternyata di luar dugaan. Sedang Teti, duduk santai di boncengan tanpa menyadari bahwa mungkin dia akan ‘berkeliling medan’ bersama Riri.
Roda terus melaju. Riri memandangi setiap tikungan yang dilewati dan beberapa kali telah memilih tikungan sesuai instingnya. Yach, Riri hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang benar. Riri seperti sedang berada dalam sebuah permainan ‘memilih jalan mana yang benar’. Namun tak semudah sebuah permainan yang jika sudah ‘mentok’ dapat ditinggalkan. Ini mempertaruhkan keselamatan dirinya dan juga teman yang dibawanya.
Sudah lebih dari satu jam ia berkeliling. Hatinya bertambah gusar ketika dering hpnya berkali-kali berbunyi. “Ini pasti info kalau dosen udah masuk. Ish, mana dosennya killer kali lagi,” gumam Riri. Teti yang tidak mengambil mata kuliah tersebut nyantai aja di belakang tanpa menyadari bahwa teman di sampingnya sudah sangat gelisah. Riri mempercepat laju motornya meskipun belum mengetahui jalan yang sebenarnya. Bahkan untuk sekedar bertanya dengan penduduk sekitar saja tak lagi terpikirkan olehnya. Sampai akhirnya ia mengenali daerah ia berada, Simpang Sukarame. Tanpa ragu, dengan senyum puas Riri memerintahkan Uki untuk melaju terus.
Satu jam lebih sudah Uki melaju tanpa berbelok. Namun, semakin lama melaju, semakin Riri tak mengenali sekitarnya. “Ri, ini dimana? Koq gak sampe-sampe?” tanya Teti mulai khawatir. “Tadi khan kita di simpang sukarame Tet. Kalau terus aja seharusnya aksara,” jawab Riri ikut khawatir. “Tapi koq lama kali ya ri? Nanti nyasar kita?” Teti kembali bertanya. “Aku pun gak tau Tet. Coba kau baca dulu banner-banner itu, dimana kita sekarang. Aku rabun jadi gak nampak,” jawab Riri. “Bentar ya aku lihat. Ya ampun Ri, udah sampe amplas kita. Nyasar kita Ri,” cerocos Teti panik. Gubrak.
***
(ini yang terakhir)
“Ces, aku pinjam buku catatan Akuntansi-mu lach, kemaren khan aku gak masuk,” pinta Riri pada temannya, Cesi, via seluler. “Kau tu ya, di situ tugas mau dikumpul baru heboh. Aku udah di rumah, kau ambil aja di rumahku,” tutur Cesi. “Nyantai lach kau ces. Ya udah dimana rumahmu?” tanya Riri. “Nanti aku sms-in aja,” ucap Cesi. “Oke deh, thanks ya ces, ngences,” canda Riri sambil cengengesan dan kemudian mematikan panggilan keluarnya tanpa peduli jeritan Cesi dari seberang.
Riri bergegas keluar bersama Uki meski saat itu petang sudah menjelang dan langit tampak mendung. Alamat rumah Cesi sebenarnya tidak begitu jauh dari rumah Riri, karena itu dia memperkirakan kalau sebelum magrib tiba sudah dapat kembali ke rumah. “Ayo Ki, lets go,” ucapnya pada Uki. Mungkin kalau Uki bisa bicara mungkin dia akan berkata, “Pergi aja sendiri.”
Dengan sekali bertanya dengan penduduk sekitar, dalam waktu lebih kurang setengah jam Riri sudah bertengger di depan rumah Cesi. Dua kali Uki menjerit, Cesi sudah nongol di pintu rumahnya dengan membawa sebuah buku. “Cepat kau fotocopy Ri, udah mau ujan ne. Ntar keujanan pula kau,” ucap Cesi mengawali. “Iya buq. Tapi fotocopynya dimana ya?” tanya Riri. “Di genteng, yach di tempat fotocopy lach Ri,” canda Cesi. “Itu juga aku tau. Maksud aku tempat fotocopynya dimana?” tutur Riri sambil memajukan bibirnya. “Haha, terus aja, ntar nampak tu di sebelah kiri, gak jauh koq,” ucap Cesi menjelaskan sambil menunjuk sebuah jalan.
Tak berapa lama Riri sudah berada di depan rumah Cesi. Uki kembali menjerit dua kali mengundang Cesi keluar dari rumahnya. Kemudian Riri berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Dia tampak terburu-buru karena hujan sudah mulai turun. Langit juga sudah tampak gelap. Di simpang tiga, Riri terlihat bingung, dia lupa jalan mana yang tadi dilaluinya. Beberapa menit ia terdiam dalam kebingungan hingga akhirnya ia dikejutkan oleh suara keras dari petir seperti memaksanya untuk cepat memilih. Duaaaarrrrr. Semula ia membelokkan Uki ke kanan, namun kemudian berbalik ke simpang kiri.
Rintik hujan sudah mulai turun, semakin lama semakin deras. Semburan air yang sangat deras membuat matanya begitu perih memaksanya untuk berteduh. “Coba tadi bawa helm dan mantel, bisa diterobos ne ujan,” gumamnya kesal. Ia berteduh di depan sebuah apotek di salah satu persimpangan jalan. Ia melemparkan pandangannya ke sekeliling. “Sepertinya masih jauh,” Riri kembali bergumam melihat ia tidak mengenali daerah sekitarnya.
Saat itu waktu masih bertengger ke angka enam. Namun langit sudah tampak sangat gelap.  Seorang lelaki paruh baya memakai kaos oblong putih dipadu dengan celana training biru dan sendal jepit orange menghampirinya. “Bapak ini sangat lusuh dan sedikit aneh,” pikirnya. “Basah ya?” sapanya sambil cengengesan. “Iya,” jawab Riri singkat. Kemudian dia diam Riri pun diam. Pria itu masih berdiri di sampingnya hingga sekian lama. “ Simpang Aksara masih jauh gak ya pak?” tanya Riri ragu. “Masih jauh lach,” jawabnya lagi cengengesan sambil menunjuk arah jalan terus.
Riri kembali memutar pandangan. Setiap kendaraan berjalan kencang hingga terkadang memercikkan air yang dipijaknya. Saat itu sudah masuk waktu maghrib. Namun, hujan bukan mereda tapi malah semakin deras. Riri tampak semakin gusar. Setiap pasang mata meliriknya tajam seperti ingin memberitahu sesuatu. Sedang pria tua itu masih berada di sebelahnya. Riri memperhatikan penampilannya sendiri, namun tak ada masalah, hanya basah saja. “Mungkin mereka kasihan melihat gadis bertubuh imut sepertiku basah kuyup,” pikir Riri.
Tak lama kemudan Riri nekad menerobos derasnya hujan. Memaksa Uki untuk berbasah-basah ria bersamanya. Riri benar-benar merasa takut sendirian dalam keadaan seperti ini. Namun derasnya hujan membuat Riri menyerah. Matanya begitu perih tersiram derasnya hujan hingga tak sanggup terbuka. Akhirnya ia kembali berteduh di persimpangan lainnya yang ramai oleh orang-orang yang juga senasib dengannya, terjebak hujan.
“Pak, ini dimana ya?” tanya Riri ketika benar-benar tak mengenali sekelilingnya pada seorang lelaki di sebelahnya. “Ini di Bayangkara dek,” jawabnya singkat. “Apa pak? Bayangkara?” ucap Riri terkejut. “Iya, emang adek mau ke mana?” lelaki itu balik bertanya. “Ke Tembung pak,” jawab Riri lemas. Ya ampun dek, salah jalur lach. Udah jauh kali adek jalan. Ini kalau ke kiri  arah ke Belawan, kalau terus arah ke Kota Medan dan kalau ke kanan arah ke Karakatau,” tutur lelaki itu panjang lebar.
Riri terdiam dan bergumam dalam hati, “Ya ampun, padahal bapak yang tadi bilang jalan terus. Ternyata benar dugaanku kalau bapak tadi itu orang gila. Pantas aja aneh. Nyasar lagi aku dibuatnya. Apes, apes.” Riri tertunduh lesu di sambut suara petir yang sangat keras seolah mengejeknya.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Baca kisah ini, bikin aku inget sm aku yg dulu.
    Lumayan anak rumahan jg sih, hehee..
    Bagus ceritanya Nuri :)
    Oyah, join blog aku ya http://meyyi29.blogspot.com/
    Okesipp..tengkiu Nuri :)

    BalasHapus