Rabu, 04 Juli 2012

Tas'ir

Bab I
Pendahuluan
Perekonomian merupakan salah satu saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal –tanpa ada pelanggaran, monopoli misalnya– maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak fair, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
Pemerintah Islam, sejak Rasulullah SAW di Madinah concern pada masalah keseimbangan harga ini, terutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing-masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi. Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut, makalah ini mengkaji penetapan harga oleh negara dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomi.








Bab II
Pembahasan
AT-TAS’IR
  1. Pengertian
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir ( ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ = harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.
Dikatakan,  Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.[1]  Jika dikatakan,  As arû wa sa arû, artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu.[2] Oleh karena itu, tasîr secara bahasa berarti taqdîr as-siri (penetapan/penentuan harga).[3]
Adapun menurut pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian. Menurut Imam  Ibnu Irfah (ulama Malikiyah) :
هو تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
“Tas’ir adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah dirham tertentu.”[4]
Menurut Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :
أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
“Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.”[5]
Menurut Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
التسعير أن يسعر الإمام أو نائبه على الناس سعراً ويجبرهم على التبايع به
“Tas’ir adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya atas masyarakat dan Imam memaksa mereka untuk berjual beli pada harga itu.”[6]
Menurut Imam Syaukani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فينمع من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة
“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan atau pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.”[7]
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا السلع إلا بسعر كذا فينمعوا من الزيادة عليه حتى لا يغلوا الأسعار أو النقصان عنه حتى لا يضاربوا غيرهم، أي ينمعون من الزيادة أوالنقص عن السعر لمصلحة الناس
“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat.”[8]
Dari berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
  1. Dasar Hukum at-Tas’ir
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Adapun dalam hadits Rasulullah saw dijumpai beberapa hadits, yang dari logika hadits itu dapat diinduksi bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah.
Hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan penetapan harga adalah sebuah riwayat dari Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu dikatakan:
ﻏﻼ ﺍﻠﻤﺴﻌﺭ ﺍﻠﻘﺎﺑﻄ ﺍﻠﺑﺎﺴﻄ ﺍﻠﺭﺯﺃﻖ ﻭﺇﻧﻰ ﻷﺭﺠﻭ ﺍﻦ ﺃﻠﻘﻰ ﷲ ﻭﻠﻴﺱ ﺃﺤﺪ ﻴﻄﻠﺑﻨﻰ ﺑﻤﻈﻠﻤﺔ ﻔﻰ ﺪﻢ ﻭﻻ ﻤﺎﻞ(ﺮﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺧﺎﺮﻯ ﻭﻤﺴﻠﻢ ﻭﺃﺑﻭ ﺪﺍﻭﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﻤﺎﺠﻪ ﻭﺍﻠﺘﺮﻤﺬﻯ ﻭﺍﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺤﻨﺑﻞ ﻭﺍﺑﻦ ﺤﺑﺎﻦ ﻋﻦ ﺍﻠﺴﻌﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﺍﻠﻧﺎﺱ ﻳﺎﺮﺴﻭﻞ ﷲ ﻏﻼ ﺍﻠﺴﻌﺮ ﻔﺴﻌﺮﻠﻨﺎ ﻔﻘﺎﻞ ﺮﺴﻭﻞ ﷲ ﺼﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﺃﻦ ﷲ ﻫﻭ ﺃﻨﺱ ﺑﻦ ﻤﺎﻠﻚ)
“Pada zaman Rasulullah saw, terjadi pelonjakan harga dipasar, lalu sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata: ya Rasulullah, harga-harga dipasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah saw, menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang diantara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta dan nyawa.[9]
Dalil lainnya, hadits Nabi saw :
لا يبيع حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
“Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”
Dari hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi pelonjakan harga.[10]
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.[11]
Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah saw, itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai dengan hokum ekonomi apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik. Oleh sebab itu  dalam keadaan demikian Rasulullah saw, tidak mau campur tangan membatasi harga komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat zalim terhadap para pedagang. Padahal, Rasulullah saw tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat zalim kepada sesama manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut para pakar fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan itu menzalimi para pedagang.
  1. Macam-Macam Tas’ir :
Para ulama fiqh membagi tas’ir kepada dua macam, yaitu :
Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah para pedagang. Dalam harga seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya sesuai dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya. Pemerintah, dalam harga yang berlaku secara alami ini, tidak boleh campur tangan, karena campur tangan pemerintah dalam kasus seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
Kedua, harga suatu komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal  dan keuntungan bagi para pedagang dan keadaan ekonomi masyarakat. Penetapan harga dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Menurut Abd. Karim Ustman, pakar fiqh dari Mesir, dalam perilaku ekonomi, harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang tersedia banyak di pasar, karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan konsumen terdapat keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang tersedia sedikit, sedangkan permintaan konsumen banyak, maka dalam hal ini akan terjadi fluktuasi harga. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, menurutnya, pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Cara yang boleh menstabilkan harga itu adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditi dimaksud dan menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang cukup banyak di pasar, tetapi harga melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan tujuan menjualnya setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini pemerintah berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Ada beberapa rumusan at-tas’ir al-jabari yang dikemukakan para ulama. Ulama Hambali mendefenisikan at-tas’ir al’jabari dengan:
ﺃﻥ ﻴﺳﻌﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺳﻌﺭﺃ ﻮﻴﺟﺒﺭﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺗﺒﺎﻴﻊ ﺒﻪ
“upaya pemerintah dalam menetapkan harga suatu komoditi, serta memberlakukannya dalam transaksi jual beli warganya”
Imam as-Syaukani (1172-1250 H/  1759-1834 M), tokoh usul fiqh, mendefenisikannya dengan:
ﺃﻥ ﻴﺄﻣﺮ ﺍﻠﺴﻠﻄﺎﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﺃﻥ ﻻ ﻴﺑﻴﻌﻭﺍ ﺃﻣﺘﻌﺘﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﺴﻌﺭ ﻣﻌﻠﻭﻢ ﻠﻣﺻﻠﺤﺔ
”Intruksi pihak penguasa kepada para pedagang agar mereka tidak menjual barang dagangannya, kecuali sesuai dengan ketentuan harga yang telah ditetapkan pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bersama”
Kedua defenisi ini tidak membatasi komoditi apa saja yang harganya telah ditentukan oleh pemerintah. Ada juga defenisi lain yang senada dengan defenisi-defenisi di atas, hanya saja mereka membatasi komoditinya pada barang-barang dagangan yang bersifat konsumtif. Misalnya, Ibn ‘Urfah al-Difki, pakar fiqh Maliki, mendefenisikan at-tas’ir al-jabari dengan:
ﺘﺤﺪ ﻴﺪ ﺍﻠﺤﺎﻛﻢ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﻠﺑﺎﻴﻊ ﺍﻠﻤﺄﻛﻭﻞ
“Penetapan harga oleh pihak penguasa terhadap komoditi yang bersifat konsumtif”
Akan tetapi, Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus, sependapat dengan ulama Hanabilah dan as-Syaukani di atas, karena kedua defenisi itu tidak membatasi jenis produk yang boleh ditetapkan harganya oleh pemerintah. Bahkan ad-Duraini lebih memperluas cakupan tas’ir al-jabari. Sesuai dengan perkembangan keperluan masyarakat. Menurutnya, ketetapan pemerintah itu tidak hanya terhadap komoditi yang digunakan dan diperlukan masyarakat, tetapi juga terhadap manfaat dan jasa pekerja yang diperkukan masyarakat. Misalnya, apabila sewa rumah nail dengan tiba-tiba dari harga biasanya atau harga naik secara tidak wajar.
Sesuai dengan kandungan defenisi-defenisi diatas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah pihak pemerintah, setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duaraini, apa pun bentuk komoditi dan keperluan warga suatu Negara, untuk kemaslahatan mereka pihak pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis, sehingga pihak produsen dan konsumen tidak dirugikan.  
  1. Pendapat para Ulama tentang at-Tas’ir
  1. Pendapat Yang Tidak Setuju Dengan Tas'ir
Apabila kenaikan harga barang di pasar disebabkan ulah para speculator dengan cara menimbun barang (ihtikar), sehingga barang di pasar menipis dan harga di pasar melonjak dengan tajam, maka keadaan seperti ini para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum campur tangan pemerintah dalam menetapkan harga komoditi itu.
Ulama Zahiriyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, sebagian ulama Hanabaliah dan Imam as-Syaukani berpendapat bahwa dalam situasi dan kondisi apapun penetapan harga itu tidak dapat dibenarkan, dan jika dilakukan juga hukumnya haram. Menurut mereka, baik harga itu melonjak naik disebabkan ulah para pedagang maupun disebabkan hukum alam, tanpa campur tangan para pedagang, maka segala bentuk campur tangan dalam penetapan harga tidak dibolehkan. Alasan mereka adalah firman Allah swt dalam surat an-Nisa,4:29 yang menyatakan bahwa:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu...”
Dan  juga sabda Rasulullah saw yang berbunyi :
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli).[12]
Menurut mereka, apabila pemerintah ikut campur dalam menetapkan harga komoditi, berarti unsur terpenting dari jual beli (bahkan oleh para ulama dikatakn sebagai rukun), yaitu kerelaan hati kedua belah pihak, telah hilang. Ini berarti pihak pemerintah telah berbuat sesuatu yang bertentangan degan kehendak ayat di atas, sekaligus pihak penguasa telah berbuata zalim kepada pihak penjual/pengeluar.
Selanjutnya, para ulama fiqh yang mengharamkan penetapan harga itu menyatakan bahwa dalam suatu transaksi terdapat dua pertentangan kepentingan, yaitu kepentingan konsumen dan kepentingan produsen. Pihak pemerintah tidak boleh memenangkan atau berpihak kepada kepada kepentingan satu pihak dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Itulah sebabnya, menurut mereka, ketika para sahabat meminta Rasulullah saw untuk mengedalikan harga yang terjadi dipasar, beliau menjawab bahwa kenaikan harga itu urusan Allah, dan tidak dibenarkan seseorang ikut campur dalam masalah itu dan jika ada yang campur tangan maka ia telah berbuat zalim. Di sisi lain, jika penetapan harga diberlakukan, maka tidak mustahil para pedagang akan enggan menjual barang dagangan dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya menimbun barang oleh para pedagang, karena harga yang ditetapkan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Jika ini terjadi, pasar akan lebih kacau dan berbagai kepentingan akan terabaikan.
  1. Pendapat Setuju Dengan Tas'ir
Pendapat ini dikemukakakan oleh ulama Hanafiyah, sebagian besar ulama Hanabaliah, seperti Ibn Qudamah (541-620 H/ 1147-1223 M), Ibn Taimiyah (661-728 H/ 1262-1327 M), dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M) dan mayoritas pendapat ulama Malikiyah. Ulama Hanafiyah yang membolehkan pihak pemerintah bertindak menetapkan harga yang adil (mempertimbangkan kepentingan pedagang dan pembeli), ketika terjadinya fluktuasi harga disebabkan ulah para pedagang. Alasan mereka adalah pemerintah dalam syari’at Islam berperan dan berwenang untuk mengatur kehidupan masyarakat  demi tercapainya kemaslahatan mereka. Hal ini Imam Abu Yusuf (113-182 H/ 731-789 M) mengatakan bahwa: Segala kebijakan penguasa harus mengacu kepada kemaslahatan warganya”. Oleh sebab itu, jika pemerintah melihat bahwa pihak pedagang telah melakukan manipulasi harga, pihak pemerintah boleh turun tangan untuk mengaturnya dan melakukan penetapan harga komoditi yang naik itu.
Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, membagi bentuk penetapan harga itu kepada dua macam, yaitu: penetapan harga yang bersifat zalim, dan penetapan harga yang bersifat adil. Penetapan harga yang bersifat zalim, menurut mereka adalah penetapan harga yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan keadaan pasar dan tanpa mempertimbangkan kemaslahtan para pedagang. Menurut mereka, apabila harga suatu komoditi melonjak naik disebabkan terbatasnya barang dan banyaknya permintaaan, maka dalam hal ini pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Apabila pemerintah ikut menetapkan harga dalam keadaan seperti ini, maka pihak pemerintah telah melakukan suatu kezaliman terhadap para pedagang. Inilah yang dimaksud Rasulullah saw dalam sabdanya di atas.
Penetapan harga yang dibolehkan, bahkan diwajibkan, adalah ketika terjadinya pelonjakan harga yang cukup tajam disebabkan ulah para pedagang. Apabila para pedagang terbukti mempermainkan harga, sedangkan hal itu menyangkut kepentingan orang banyak, maka menurut mereka dalam kasus seperti ini penetapan harga itu menjadi wajib bagi pemerintah, karena mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan kelompok yang terbatas. Akan tetapi, sikap pemerintah dalam penetapan harga itupun harus adil, yaitu dengan memperhitungkan modal, biaya transportasi, dan keuntungan para pedagang.
Alasan mereka adalah sebuah riwayat tentang kasus Samurah Ibn Jundab yang tidak mau menjual pohon kurmanya kepada seorang keluarga Ansar. Pohon kuram Samurah ibn Jundab ini tumbuh dengan posisi miring ke kebun seorang keluarga Ansar. Apabila Samurah ingin memetik buah atau membersihkan pohon kurmanya itu, ia harus masuk perkebunan keluarga Ansar ini, padahal dikebun Ansar itu sendiri banyak tanaman. Jika Samurah masuk ke kebun itu pasti ada tanaman yang rusak terinjak Samurah. Akhirnya orang Ansar ini mengadukan persoalan ini kepada Rasulullah sa. Dan Rasulullah menanggapinya dengan menyuruh Samurah menjual pohon kuramanya yang tumbuh miring kek kebun Ansar itu kepada orang Ansar itu. Tetapi Samurah enggan. Lalu Nabi Menyuruhnya untuk menyedekahkan saja satu batang pohon kuram itu, Samurah juga enggan. Akhirnya Rasulullah memerintahkan orang Ansar ini untuk menebang pohon kurma itu, seraya berucap kepada Samurah bahwa:
ﺇﻨﻤﺎ ﺃﻨﺕ ﻤﻀﺎﺭ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺨﺎﺭﻯ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺴﻌﻳﺪ ﺍﻠﺨﺪﺭﻯ)
“Kamu ini orang yang memneri mudharat orang lain.[13]
Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, inti dari kasus ini adalah kemudharatan yang diderita orang Ansar ini, disebabkan sikap egois Samurah yang memaksakan pemanfaatan hak miliknya. Dalam kasus jual beli, para pedagang telah melakukan permainan harga sehingga merugikan masyarakat banyak. Oleh sebab itu, menurut mereka sesuai dengan teori Qiyas, lebih pantas dan sangat logis jika kemudharatan orang banyak dalam kasus penetapan harga dihukumkan sama dengan kasus Samurah dengan seorang Ansar di atas. Karena pohon kuram Samurah harus ditebang demi kepentingan seorang Ansar, dan tindakan pemerintah membatasi harga atas dasar kepentingan masyarakat banyak adalah lebih logis dan relevan. Cara seperti ini oleh para pakar Usul Fiqh disebut sebagai qiyas aulawiy (analogi yang paling utama). Alasan laian yang mereka kemukakan adalah menganalogikan at-tas’ir al-jabari dengan kebolehan hakim memaksa seseorang yang berutang tapi enggan membayarnya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
ﻤﻄﻞ ﺍﻠﻐﻨﻲ ﻆﻠﻡ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺨﺎﺭﻯ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻭﺍﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺤﻨﺑﻞ ﻭﺍﺑﻭ ﺪﺍﻭﺪ)
Orang kaya yang enggan membayar utangnya adalah zalim”[14]
Hadits ini juga membicarakan pertentangan kepentingan pribadi, yaitu kepentingan pribadi yang memberi utang dan kepentingan pribadi yang berutang. Ketika orang yang berutang dianggap mampu membayar utangnya, tetapi ia enggan membayarnya, maka Rasulullah saw menyatakan sebagai zalim. Oleh sebab itu, para pakar fiqh sepakat menyatakan bahwa hakim berhak memaksa orang yang berutang itu menjual hartanya untuk membayar utangnya itu. Dalam kasus at-tas’ir al-jabari inipun demikian halnya. Apabila para pedagang mempermainkan harga, berarti mereka juga berbuat zalim kepada para konsumen, padahal kepentingan konsumen lebih dominan disbanding kepentingan para pedagang itu.
Di samping itu, Imam al-Ghazali (450-505 H/ 1085-1111 M), mengqiyaskan kebolehan penetapan harga dari pihak pemerintah ini kepada kebolehan pemerintah untuk mengambil harta orang-orang kaya untuk memenuhi keperluan angkatan bersenjata, karena angkatan bersenjata berfungsi penting dalam pengamanan Negara dan warganya. Menurutnya, apabila untuk kepentingan angkatan bersenjata harta orang-orang kaya boleh diambil, tanpa imbalan, maka penetapan harga yang disebabkan ulah para pedagang lebih logis untuk dibolehkan, setelah memperhitungkan modal, biaya tansfortasi, dan keuntungan para pedagang itu. Logika al-Gozali ini, dalam Usul Fiqh, disebut dengan qiyas aulawiy.

Menurut para ulama fiqh, syarat-syarat at-tas’ir al-jabari adalah:
  • Komoditi atau jasa itu sangat diperlukan masyarakat banyak.
  • Terbukti bahwa para pedagang melakukan kesewenang-wenagan dalam menentukan harga komoditi dagangan mereka.
  • Pemerintah itu adalah pemerintah yang adil.
  • Pihak pemerintah harus melakukan studi kelayakan pasar dengan menunjukan para pakar ekonomi.
  • Penetapan harga itu dilakukan dengan terlebih dahulu mempertimbangakn modal dan keuntungan para pedagang.
  • Ada pengawasan yang berkesinambungan dari pihak penguasa terhadap pasar, baik yang menyangkut harga maupun yang menyangkut stok barang, sehingga tidak terjadi penimbunan barang oleh para pedagang. Untuk pengawasan secara berkesinambungan ini pihak penguasa harus membentuk suatu badan yang secara khusus bertugas untuk itu.
  1. Urgensi Penetapan Harga
Menurut Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi: “Penentuan harga mempunyai dua bentuk; ada yang boleh dan ada yang haram. Tas’ir ada yang zalim, itulah yang diharamkan dan ada yang adil, itulah yang dibolehkan.” [15] Penetapan harga yang tak adil dan haram, berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang. Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Qardhawi menyatakan bahwa jika penentuan harga dilakukan dengan memaksa penjual menerima harga yang tidak mereka ridai, maka tindakan ini tidak dibenarkan oleh agama. Namun, jika penentuan harga itu menimbulkan suatu keadilan bagi seluruh masyarakat, seperti menetapkan Undang-undang untuk tidak menjual di atas harga resmi, maka hal ini diperbolehkan dan wajib diterapkan.[16]
Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah sebagaimana pada penjelasan di atas yaitu penetapan harga diberlakukan apabila ada kedzaliman dalam penentuan harga atau karena ada ketimpangan harga yang kiranya diperlukan adanya tas’ir. Dan sah jika untuk kemashlahatan bersama. Menurut Qardhawi, jika pedagang menahan suatu barang, sementara pembeli membutuhkannya dengan maksud agar pembeli mau membelinya dengan harga dua kali lipat harga pertama. Dalam kasus ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga oleh pemerintah. Pihak yang berwenang wajib menetapkan harga itu. Dengan demikian, penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang menjual harga yang sesuai demi tegaknya keadilan sebagaimana diminta oleh Allah.[17] Sedang menurut Ibnu Taimiyah, ”Harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran”.[18]
Tak dapat dielakkan lagi bahwa penetapan harga sangat penting dan dibutuhkan sekali pada saat terjadi monopoli, ketimpangan atau kedzaliman dalam penentuan harga pada suatu pasar.









Bab III
Penutup
Simpulan
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan.  Lalu dibentuk menjadi kata as-si'r dan jamaknya as'ar  yang artinya harga (sesuatu). Dari berbagai definisi para ahli, sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
Mengenai penetapan harga sendiri, sebagian ulama mengharamkannya dan sebagian lain membeolehkannya. Penetapan harga (tas’ir) pada suatu perdagangan dan bisnis  diperbolehkan jika di dalamnya terdapat kemungkinan adanya manipulasi sehingga berakibat naiknya harga. Berbagai macam metode penetapan harga tidak dilarang oleh Islam dengan ketentuan sebagai berikut; harga yang ditetapkan oleh pihak pengusaha/pedagang tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu tidak dengan mengambil keuntungan di atas normal atau tingkat kewajaran. Tidak ada penetapan harga yang sifatnya memaksa terhadap para pengusaha/pedagang selama mereka menetapkan harga yang wajar dengan mengambil tingkat keuntungan yang wajar (tidak di atas normal). Harga diridai oleh masing-masing pihak, baik pihak pembeli maupun pihak penjual. Harga merupakan titik keseimbangan antara kekuatan permintaan dan penawaran pasar yang disepakati secara rela sama rela oleh pembeli dan penjual. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka pemerintah atau pihak yang berwenang harus melakukan intervensi ke pasar dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan baik terhadap pihak pedagang/pengusaha maupun terhadap pihak konsumen.




Daftar Pustaka
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press : Jakarta, 2000. yang diterjemahka oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari  Daurul Qiyam wal Akhlam  fil Iqtishadil Islami.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press. 2003.
Budi Utomo, Setiawan. Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2003.

Ifham Sholihin, Ahmad. Buku Pintar: Ekonomi Syariah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2010.

Chapra, DR. M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta : Gema Insani Press. 2000.
Muhammad Sulaiman, Ph.D., Aizuddinur Zakaria. Jejak Bisnis Rasul. Jakarta: PT Mizan Republika. 2010.
Asmuni, Drs., H. Penetapan Harga dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi. http://pa-balikpapan.net/index.php (diakses tanggal 24 April 2010)
Utomo Setiawan, Budi. Pematokan Harga oleh Pemerintah. http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/pematokan-harga.htm. (diakses tanggal 3 Desember 2008)
Mustika, Falery. At-Tas'ir (Pematokan Harga), http://www.mail-archive.com/aroen99society@yahoogroups.com/msg02707.html. (diakses tanggal 5 November 2006)


[1] Al-Minawi, At-Taârif, I/405, Dar al-Fikr al-Muashirah-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.
[2] Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, IV/365, Dar Shadir, Beirut, cet. I. tt
[3] Ibid; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415 H.
[4] Muhammad bin Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35
[5] Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38
[6] Al-Bahuti, Syarah Muntaha Al-Iradat, II/26
[7] Imam Syaukani, Nailul Authar, V/335
[8] Taqiyuddin An-Nabhani , An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 199.
[9] HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Hibban.
[10] Ahmad Irfah, ibid., hlm. 9
[11] Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 291. Pendapat ini adalah juga pendapat gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 76-77. Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm. 429.
[12] HR Ibn Majah
[13] HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri.
[14] HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, dan Abu Dawud.
[15] DR. Yusuf Qardhawi.Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta : Gema
Insani, 1997) h.257
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ir.Adiwarman Karim, SE,MA.Ekonomi Mikro Islam (Jakarta : Penerbit III
T Indonesia, 2003) h. 224

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus