Bab I
Pendahuluan
Perekonomian
merupakan salah satu saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh
akan mampu menjamin
kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan
pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada
makanisme pasar yang mampu menciptakan
tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi
antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam
keadaan wajar dan normal –tanpa ada pelanggaran, monopoli misalnya– maka harga
akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak fair, maka
keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat
secara umum.
Pemerintah
Islam, sejak Rasulullah SAW di Madinah
concern pada masalah keseimbangan harga ini, terutama pada bagaimana
peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah
ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya
negara menetapkan harga. Masing-masing
golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi. Berdasarkan
perbedaan pendapat para ulama tersebut, makalah ini mengkaji penetapan harga
oleh negara dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomi.
Bab II
Pembahasan
AT-TAS’IR
- Pengertian
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran
yang artinya menyalakan. Secara
etimologi kata at-tas’ir ( ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ) seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ
= harga) yang berarti penetapan harga. Kata as-si'r ini digunakan di pasar untuk menyebut
harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan
menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.
Dikatakan, Sa arat
asy-syay a
tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu
yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.[1]
Jika dikatakan, As arû wa sa arû, artinya mereka telah bersepakat atas
suatu harga tertentu.[2] Oleh karena itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr
as-si‘ri (penetapan/penentuan harga).[3]
Adapun
menurut pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian. Menurut Imam
Ibnu Irfah (ulama Malikiyah) :
هو
تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
“Tas’ir
adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa
kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah dirham tertentu.”[4]
Menurut
Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :
أن
يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
“Tas’ir
adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual
barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.”[5]
Menurut
Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
التسعير
أن يسعر الإمام أو نائبه على الناس سعراً ويجبرهم على التبايع به
“Tas’ir
adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya atas masyarakat
dan Imam memaksa mereka untuk berjual beli pada harga itu.”[6]
Menurut
Imam Syaukani :
هو
أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا
يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فينمع من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة
“Tas’ir
adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur
urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang
dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan atau
pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.”[7]
Menurut
Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
هو
أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا
يبيعوا السلع إلا بسعر كذا فينمعوا من الزيادة عليه حتى لا يغلوا الأسعار أو
النقصان عنه حتى لا يضاربوا غيرهم، أي ينمعون من الزيادة أوالنقص عن السعر لمصلحة
الناس
“Tas’ir
adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur
urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang
dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah
atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga
itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau
mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat.”[8]
Dari
berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah
definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama,
penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai
pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai
substansi kebijakan.
- Dasar Hukum at-Tas’ir
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Adapun dalam hadits Rasulullah saw dijumpai beberapa hadits, yang dari logika hadits itu dapat diinduksi bahwa penetapan
harga itu dibolehkan. Faktor
dominan yang menjadi landasan hukum
at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama fiqh
adalah al-maslahah al-mursalah.
Hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan
penetapan harga adalah sebuah riwayat dari Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu
dikatakan:
ﻏﻼ
ﺍﻠﻤﺴﻌﺭ ﺍﻠﻘﺎﺑﻄ ﺍﻠﺑﺎﺴﻄ ﺍﻠﺭﺯﺃﻖ ﻭﺇﻧﻰ ﻷﺭﺠﻭ ﺍﻦ ﺃﻠﻘﻰ ﷲ ﻭﻠﻴﺱ ﺃﺤﺪ ﻴﻄﻠﺑﻨﻰ ﺑﻤﻈﻠﻤﺔ ﻔﻰ ﺪﻢ ﻭﻻ
ﻤﺎﻞ(ﺮﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺧﺎﺮﻯ ﻭﻤﺴﻠﻢ ﻭﺃﺑﻭ ﺪﺍﻭﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﻤﺎﺠﻪ ﻭﺍﻠﺘﺮﻤﺬﻯ ﻭﺍﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺤﻨﺑﻞ ﻭﺍﺑﻦ ﺤﺑﺎﻦ ﻋﻦ ﺍﻠﺴﻌﺮ
ﻔﻘﺎﻞ ﺍﻠﻧﺎﺱ ﻳﺎﺮﺴﻭﻞ ﷲ ﻏﻼ ﺍﻠﺴﻌﺮ ﻔﺴﻌﺮﻠﻨﺎ ﻔﻘﺎﻞ ﺮﺴﻭﻞ ﷲ ﺼﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﺃﻦ ﷲ ﻫﻭ ﺃﻨﺱ ﺑﻦ
ﻤﺎﻠﻚ)
“Pada
zaman Rasulullah saw, terjadi pelonjakan harga dipasar, lalu sekelompok orang
menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata: ya Rasulullah, harga-harga
dipasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah
saw, menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan
menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan
Allah dan jangan seseorang diantara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim
dalam soal harta dan nyawa.”[9]
Dalil
lainnya, hadits Nabi saw
:
لا
يبيع حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
“Janganlah
orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan memberi
rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”
Dari hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga
menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal
ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi
pelonjakan harga.[10]
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu
contohnya : penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga
yang lebih tinggi dari harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat
membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa
mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan
keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.[11]
Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang
terjadi di zaman Rasulullah saw, itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang
dari para pedagang, tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai
dengan hokum ekonomi apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik.
Oleh sebab itu dalam keadaan demikian
Rasulullah saw, tidak mau campur tangan membatasi harga komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat zalim terhadap
para pedagang. Padahal, Rasulullah saw tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat
zalim kepada sesama
manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut
para pakar fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang,
maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga, karena
perbuatan itu menzalimi para pedagang.
- Macam-Macam Tas’ir :
Para
ulama fiqh membagi tas’ir
kepada
dua macam, yaitu :
Pertama, harga
yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah para pedagang. Dalam
harga seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya sesuai dengan harga
yang wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya. Pemerintah, dalam harga yang
berlaku secara alami ini, tidak boleh campur tangan, karena campur tangan
pemerintah dalam kasus seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
Kedua, harga
suatu komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi para pedagang dan keadaan
ekonomi masyarakat. Penetapan
harga dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Menurut
Abd. Karim Ustman,
pakar fiqh dari Mesir,
dalam perilaku ekonomi, harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang
tersedia banyak di pasar, karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan
konsumen terdapat keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang tersedia
sedikit, sedangkan permintaan konsumen banyak, maka dalam hal ini akan terjadi
fluktuasi harga. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, menurutnya, pihak
pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Cara yang boleh
menstabilkan harga itu adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditi dimaksud
dan menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang
cukup banyak di pasar, tetapi harga melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu
melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah
para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan tujuan menjualnya
setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini pemerintah
berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Ada
beberapa rumusan at-tas’ir al-jabari yang dikemukakan para ulama. Ulama Hambali
mendefenisikan at-tas’ir al’jabari dengan:
ﺃﻥ
ﻴﺳﻌﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺳﻌﺭﺃ ﻮﻴﺟﺒﺭﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺗﺒﺎﻴﻊ ﺒﻪ
“upaya pemerintah dalam menetapkan
harga suatu komoditi, serta memberlakukannya dalam transaksi jual beli
warganya”
Imam
as-Syaukani
(1172-1250 H/ 1759-1834 M), tokoh usul
fiqh, mendefenisikannya dengan:
ﺃﻥ
ﻴﺄﻣﺮ ﺍﻠﺴﻠﻄﺎﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﺃﻥ ﻻ ﻴﺑﻴﻌﻭﺍ ﺃﻣﺘﻌﺘﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﺴﻌﺭ ﻣﻌﻠﻭﻢ ﻠﻣﺻﻠﺤﺔ
”Intruksi pihak penguasa kepada
para pedagang agar mereka tidak menjual barang dagangannya, kecuali sesuai
dengan ketentuan harga yang telah ditetapkan pemerintah dengan tujuan
kemaslahatan bersama”
Kedua
defenisi ini tidak membatasi komoditi apa saja yang harganya telah ditentukan
oleh pemerintah. Ada juga defenisi lain yang senada dengan defenisi-defenisi di
atas, hanya saja mereka membatasi komoditinya pada barang-barang dagangan yang
bersifat konsumtif. Misalnya, Ibn ‘Urfah al-Difki, pakar fiqh Maliki, mendefenisikan at-tas’ir
al-jabari dengan:
ﺘﺤﺪ
ﻴﺪ ﺍﻠﺤﺎﻛﻢ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﻠﺑﺎﻴﻊ ﺍﻠﻤﺄﻛﻭﻞ
“Penetapan harga oleh pihak
penguasa terhadap komoditi yang bersifat konsumtif”
Akan
tetapi, Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus, sependapat
dengan ulama Hanabilah
dan as-Syaukani
di atas, karena kedua defenisi itu tidak membatasi jenis produk yang boleh
ditetapkan harganya oleh pemerintah. Bahkan ad-Duraini lebih memperluas cakupan
tas’ir al-jabari. Sesuai dengan perkembangan keperluan masyarakat. Menurutnya,
ketetapan pemerintah itu tidak hanya terhadap komoditi yang digunakan dan
diperlukan masyarakat, tetapi juga terhadap manfaat dan jasa pekerja yang
diperkukan masyarakat. Misalnya, apabila sewa rumah nail dengan tiba-tiba dari
harga biasanya atau harga naik secara tidak wajar.
Sesuai
dengan kandungan defenisi-defenisi diatas, para ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah pihak
pemerintah, setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam
menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para
pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duaraini, apa pun
bentuk komoditi dan keperluan warga suatu Negara, untuk kemaslahatan mereka
pihak pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis, sehingga
pihak produsen dan konsumen tidak dirugikan.
- Pendapat para Ulama tentang at-Tas’ir
- Pendapat Yang Tidak Setuju Dengan Tas'ir
Apabila kenaikan harga barang di pasar disebabkan ulah para speculator
dengan cara menimbun barang (ihtikar), sehingga barang di pasar menipis dan harga di pasar melonjak dengan tajam, maka
keadaan seperti ini para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum campur tangan pemerintah dalam
menetapkan harga komoditi itu.
Ulama
Zahiriyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, sebagian ulama Hanabaliah dan Imam as-Syaukani berpendapat bahwa dalam
situasi dan kondisi apapun penetapan harga itu tidak dapat dibenarkan, dan jika
dilakukan juga hukumnya haram. Menurut mereka, baik harga itu melonjak naik
disebabkan ulah para pedagang maupun disebabkan hukum alam, tanpa campur tangan para
pedagang, maka segala bentuk campur tangan dalam penetapan harga tidak
dibolehkan. Alasan mereka adalah firman Allah swt dalam surat an-Nisa,4:29 yang
menyatakan bahwa:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka
di antara kamu...”
Dan juga sabda Rasulullah saw
yang berbunyi :
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Menurut mereka, apabila pemerintah ikut campur dalam menetapkan
harga komoditi, berarti unsur terpenting dari jual beli (bahkan oleh para ulama
dikatakn sebagai rukun), yaitu kerelaan hati kedua belah pihak, telah hilang.
Ini berarti pihak pemerintah telah berbuat sesuatu yang bertentangan degan
kehendak ayat di atas, sekaligus pihak penguasa telah berbuata zalim kepada
pihak penjual/pengeluar.
Selanjutnya,
para ulama fiqh yang mengharamkan penetapan harga itu menyatakan bahwa dalam
suatu transaksi terdapat dua pertentangan kepentingan, yaitu kepentingan
konsumen dan kepentingan produsen. Pihak pemerintah tidak boleh memenangkan
atau berpihak kepada kepada kepentingan satu pihak dengan mengorbankan
kepentingan pihak lain. Itulah sebabnya, menurut mereka, ketika para sahabat
meminta Rasulullah saw untuk mengedalikan harga yang terjadi dipasar, beliau
menjawab bahwa kenaikan harga itu urusan Allah, dan tidak dibenarkan seseorang
ikut campur dalam masalah itu dan jika ada yang campur tangan maka ia telah
berbuat zalim. Di sisi
lain, jika penetapan harga diberlakukan, maka tidak mustahil para pedagang akan
enggan menjual barang dagangan dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya
menimbun barang oleh para pedagang, karena harga yang ditetapkan tidak sesuai
dengan keinginan mereka. Jika ini terjadi, pasar akan lebih kacau dan berbagai
kepentingan akan terabaikan.
- Pendapat Setuju Dengan Tas'ir
Pendapat ini dikemukakakan oleh ulama Hanafiyah, sebagian
besar ulama Hanabaliah, seperti Ibn Qudamah (541-620 H/ 1147-1223 M), Ibn
Taimiyah (661-728 H/ 1262-1327 M), dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/
1292-1350 M) dan mayoritas pendapat ulama Malikiyah. Ulama Hanafiyah yang
membolehkan pihak pemerintah bertindak menetapkan harga yang adil (mempertimbangkan
kepentingan pedagang dan pembeli), ketika terjadinya fluktuasi harga disebabkan
ulah para pedagang. Alasan mereka adalah pemerintah dalam
syari’at Islam berperan dan berwenang untuk mengatur kehidupan masyarakat demi tercapainya kemaslahatan mereka. Hal ini
Imam Abu Yusuf (113-182 H/ 731-789 M) mengatakan bahwa: “Segala kebijakan penguasa harus
mengacu kepada kemaslahatan warganya”. Oleh sebab itu, jika
pemerintah melihat bahwa pihak pedagang telah melakukan manipulasi harga, pihak
pemerintah boleh turun tangan untuk mengaturnya dan melakukan penetapan harga komoditi
yang naik itu.
Ibn
Qudamah, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, membagi bentuk penetapan
harga itu kepada dua macam, yaitu: penetapan harga yang bersifat zalim, dan
penetapan harga yang bersifat adil. Penetapan harga yang bersifat zalim,
menurut mereka adalah penetapan harga yang dilakukan pemerintah tidak sesuai
dengan keadaan pasar dan tanpa mempertimbangkan kemaslahtan para pedagang.
Menurut mereka, apabila harga suatu komoditi melonjak naik disebabkan
terbatasnya barang dan banyaknya permintaaan, maka dalam hal ini pemerintah
tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Apabila pemerintah ikut menetapkan
harga dalam keadaan seperti ini, maka pihak pemerintah telah melakukan suatu
kezaliman terhadap para pedagang. Inilah yang dimaksud Rasulullah saw dalam
sabdanya di atas.
Penetapan
harga yang dibolehkan, bahkan diwajibkan, adalah ketika terjadinya pelonjakan
harga yang cukup tajam disebabkan ulah para pedagang. Apabila para pedagang
terbukti mempermainkan harga, sedangkan hal itu menyangkut kepentingan orang
banyak, maka menurut mereka dalam kasus seperti ini penetapan harga itu menjadi
wajib bagi pemerintah, karena mendahulukan kepentingan orang banyak daripada
kepentingan kelompok yang terbatas. Akan tetapi, sikap pemerintah dalam
penetapan harga itupun harus adil, yaitu dengan memperhitungkan modal, biaya
transportasi, dan keuntungan para pedagang.
Alasan mereka adalah sebuah riwayat tentang kasus Samurah
Ibn Jundab yang tidak mau menjual pohon kurmanya kepada seorang keluarga Ansar.
Pohon
kuram Samurah ibn Jundab ini tumbuh dengan posisi miring ke kebun seorang
keluarga Ansar. Apabila Samurah ingin memetik buah atau membersihkan pohon
kurmanya itu, ia harus masuk perkebunan keluarga Ansar ini, padahal dikebun
Ansar itu sendiri banyak tanaman. Jika Samurah masuk ke kebun itu pasti ada
tanaman yang rusak terinjak Samurah. Akhirnya orang Ansar ini mengadukan
persoalan ini kepada Rasulullah sa. Dan Rasulullah menanggapinya dengan
menyuruh Samurah menjual pohon kuramanya yang tumbuh miring kek kebun Ansar itu
kepada orang Ansar itu. Tetapi Samurah enggan. Lalu Nabi Menyuruhnya untuk
menyedekahkan saja satu batang pohon kuram itu, Samurah juga enggan. Akhirnya
Rasulullah memerintahkan orang Ansar ini untuk menebang pohon kurma itu, seraya
berucap kepada Samurah bahwa:
ﺇﻨﻤﺎ
ﺃﻨﺕ ﻤﻀﺎﺭ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺨﺎﺭﻯ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺴﻌﻳﺪ ﺍﻠﺨﺪﺭﻯ)
Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, inti
dari kasus ini adalah kemudharatan yang diderita orang Ansar ini, disebabkan
sikap egois Samurah yang memaksakan pemanfaatan hak miliknya. Dalam
kasus jual beli, para pedagang telah melakukan permainan harga sehingga
merugikan masyarakat banyak. Oleh sebab itu, menurut mereka sesuai dengan teori
Qiyas, lebih pantas dan sangat logis
jika kemudharatan orang banyak dalam kasus penetapan harga dihukumkan sama
dengan kasus Samurah dengan seorang Ansar di atas. Karena pohon kuram Samurah
harus ditebang demi kepentingan seorang Ansar, dan tindakan pemerintah membatasi
harga atas dasar kepentingan masyarakat banyak adalah lebih logis dan relevan.
Cara seperti ini oleh para pakar Usul Fiqh disebut sebagai qiyas aulawiy (analogi yang paling utama). Alasan laian yang mereka
kemukakan adalah menganalogikan at-tas’ir al-jabari dengan kebolehan hakim
memaksa seseorang yang berutang tapi enggan membayarnya. Dalam hal ini
Rasulullah saw bersabda:
ﻤﻄﻞ
ﺍﻠﻐﻨﻲ ﻆﻠﻡ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺨﺎﺭﻯ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻭﺍﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺤﻨﺑﻞ ﻭﺍﺑﻭ ﺪﺍﻭﺪ)
Hadits ini juga membicarakan pertentangan
kepentingan pribadi, yaitu kepentingan pribadi yang memberi utang dan
kepentingan pribadi yang berutang. Ketika orang yang berutang dianggap mampu
membayar utangnya, tetapi ia enggan membayarnya, maka Rasulullah saw menyatakan
sebagai zalim. Oleh sebab itu, para pakar fiqh sepakat menyatakan bahwa hakim
berhak memaksa orang yang berutang itu menjual hartanya untuk membayar utangnya
itu. Dalam kasus at-tas’ir al-jabari inipun demikian halnya. Apabila para
pedagang mempermainkan harga, berarti mereka juga berbuat zalim kepada para
konsumen, padahal kepentingan konsumen lebih dominan disbanding kepentingan
para pedagang itu.
Di samping itu, Imam al-Ghazali (450-505 H/
1085-1111 M), mengqiyaskan kebolehan penetapan harga dari pihak pemerintah ini
kepada kebolehan pemerintah untuk mengambil harta orang-orang kaya untuk
memenuhi keperluan angkatan bersenjata, karena angkatan bersenjata berfungsi
penting dalam pengamanan Negara dan warganya. Menurutnya, apabila untuk kepentingan
angkatan bersenjata harta orang-orang kaya boleh diambil, tanpa imbalan, maka
penetapan harga yang disebabkan ulah para pedagang lebih logis untuk
dibolehkan, setelah memperhitungkan modal, biaya tansfortasi, dan keuntungan para
pedagang itu. Logika al-Gozali ini, dalam Usul Fiqh, disebut dengan qiyas
aulawiy.
Menurut
para ulama fiqh, syarat-syarat at-tas’ir al-jabari adalah:
- Komoditi atau jasa itu sangat diperlukan masyarakat banyak.
- Terbukti bahwa para pedagang melakukan kesewenang-wenagan dalam menentukan harga komoditi dagangan mereka.
- Pemerintah itu adalah pemerintah yang adil.
- Pihak pemerintah harus melakukan studi kelayakan pasar dengan menunjukan para pakar ekonomi.
- Penetapan harga itu dilakukan dengan terlebih dahulu mempertimbangakn modal dan keuntungan para pedagang.
- Ada pengawasan yang berkesinambungan dari pihak penguasa terhadap pasar, baik yang menyangkut harga maupun yang menyangkut stok barang, sehingga tidak terjadi penimbunan barang oleh para pedagang. Untuk pengawasan secara berkesinambungan ini pihak penguasa harus membentuk suatu badan yang secara khusus bertugas untuk itu.
- Urgensi Penetapan Harga
Menurut
Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi: “Penentuan
harga mempunyai dua bentuk; ada yang boleh dan ada yang haram. Tas’ir ada yang zalim,
itulah yang diharamkan dan ada yang
adil, itulah yang dibolehkan.” [15] Penetapan harga yang tak adil dan haram, berlaku atas naiknya
harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya
kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari
kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual
barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan
tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.”
Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar
dari pasar. Qardhawi menyatakan bahwa jika penentuan harga dilakukan dengan memaksa penjual
menerima harga yang tidak mereka
ridai, maka tindakan ini tidak dibenarkan oleh agama. Namun, jika penentuan harga itu menimbulkan
suatu keadilan bagi seluruh masyarakat,
seperti menetapkan Undang-undang untuk tidak menjual di atas harga resmi, maka hal ini
diperbolehkan dan wajib diterapkan.[16]
Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah sebagaimana
pada penjelasan di atas yaitu penetapan harga diberlakukan apabila ada
kedzaliman dalam penentuan harga atau karena ada ketimpangan harga yang kiranya
diperlukan adanya tas’ir. Dan sah jika untuk kemashlahatan bersama. Menurut Qardhawi, jika pedagang menahan
suatu barang, sementara
pembeli membutuhkannya dengan maksud agar
pembeli mau membelinya dengan harga dua kali
lipat harga pertama. Dalam kasus
ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga oleh pemerintah. Pihak yang
berwenang wajib menetapkan harga
itu. Dengan demikian, penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang menjual harga yang sesuai demi
tegaknya keadilan sebagaimana
diminta oleh Allah.[17] Sedang menurut Ibnu Taimiyah, ”Harga
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran”.[18]
Tak dapat dielakkan lagi bahwa penetapan harga sangat
penting dan dibutuhkan sekali pada saat terjadi monopoli, ketimpangan atau
kedzaliman dalam penentuan harga pada suatu pasar.
Bab III
Penutup
Simpulan
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran,
yang artinya menyalakan. Lalu dibentuk menjadi kata as-si'r dan
jamaknya as'ar yang artinya harga (sesuatu). Dari
berbagai definisi para ahli,
sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut
selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang
mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran
kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
Mengenai penetapan harga sendiri, sebagian ulama
mengharamkannya dan sebagian lain membeolehkannya. Penetapan harga (tas’ir)
pada suatu perdagangan dan bisnis
diperbolehkan jika di dalamnya terdapat kemungkinan adanya manipulasi sehingga
berakibat naiknya harga. Berbagai macam metode penetapan harga tidak dilarang
oleh Islam dengan ketentuan
sebagai berikut; harga yang ditetapkan oleh pihak pengusaha/pedagang
tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu tidak dengan
mengambil keuntungan di atas normal atau tingkat kewajaran. Tidak ada penetapan harga yang sifatnya
memaksa terhadap para pengusaha/pedagang
selama mereka menetapkan harga yang wajar dengan
mengambil tingkat keuntungan yang wajar (tidak di atas normal). Harga diridai oleh
masing-masing pihak, baik pihak pembeli maupun
pihak penjual. Harga merupakan titik keseimbangan antara kekuatan permintaan dan penawaran pasar
yang disepakati secara rela sama
rela oleh pembeli dan penjual. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka pemerintah atau pihak
yang berwenang harus melakukan
intervensi ke pasar dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan baik terhadap pihak
pedagang/pengusaha maupun terhadap pihak
konsumen.
Daftar Pustaka
Qardhawi,
Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press : Jakarta, 2000.
yang diterjemahka oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari Daurul
Qiyam wal Akhlam fil Iqtishadil Islami.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press. 2003.
Budi Utomo, Setiawan. Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta:
Penerbit Gema Insani Press, 2003.
Ifham Sholihin, Ahmad. Buku Pintar: Ekonomi Syariah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Muhammad
Sulaiman, Ph.D., Aizuddinur Zakaria. Jejak Bisnis Rasul. Jakarta: PT Mizan Republika.
2010.
Asmuni, Drs., H. Penetapan Harga
dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi. http://pa-balikpapan.net/index.php (diakses tanggal 24
April 2010)
Utomo Setiawan, Budi. Pematokan Harga oleh Pemerintah. http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/pematokan-harga.htm. (diakses tanggal 3 Desember 2008)
Mustika, Falery. At-Tas'ir (Pematokan Harga), http://www.mail-archive.com/aroen99society@yahoogroups.com/msg02707.html. (diakses tanggal 5 November 2006)
[1] Al-Minawi,
At-Ta’ârif,
I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar
al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.
[3] Ibid; Ar-Razi,
Mukhtâr ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru.
1995 M-1415 H.
[4] Muhammad bin Qasim Al-Anshari,
Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35
[5] Zakariya Al-Anshari, Asnal
Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38
[6] Al-Bahuti, Syarah Muntaha
Al-Iradat, II/26
[7] Imam Syaukani, Nailul Authar,
V/335
[8] Taqiyuddin An-Nabhani , An-Nizham Al-Iqtishadi fil
Islam, hlm. 199.
[10] Ahmad Irfah, ibid., hlm. 9
[11] Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm.
291. Pendapat ini adalah juga pendapat
gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 76-77. Lihat
Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm.
429.
[12] HR
Ibn Majah
[15] DR. Yusuf
Qardhawi.Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta : Gema
Insani,
1997) h.257
[18] Ir.Adiwarman
Karim, SE,MA.Ekonomi Mikro Islam (Jakarta : Penerbit III
T
Indonesia, 2003) h. 224
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus