Rabu, 04 Juli 2012

Ijma'

Ijma’
  1. Definisi Ijma’
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan ummat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid dari ummat Islam pada waktu kejadian itu terjadi dan mereka sepakat atas hokum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hokum mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwasanya hokum tersebut merupakan hokum syara’ mengenai kejadian itu.
Dalam definisi itu hanyalah disebutkan sesudah wafat Rasulullah Saw karena pada masa hidup Rasulullah, beliau merupakan rujukan pembentukan hokum Islam satu-satunya, sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syara’ dan tidak pula terbayangkan adanya kesepakatan karena kesepakatan tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang.
  1. Rukun Ijma’
Dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’, dimana menurut syara’ ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaan yang empat, yaitu :
  1. Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, di mana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainnya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya ditemukan seorang mujtahid, maka secara syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah Saw karena hanya beliau sendirilah mujtahid waktu itu.
  2. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan ummat Islam terhadap hukumsyara’ mengenai suatu kasus/peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri Makkah dan Madinah saja, atau para mujtahid negeri Irak saja, atau mujtahid negeri Hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunnah, bukan mujtahid golongan syi’ah sepakat atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesepakatan khusus ini tidaklah sah ijma’ menurut syara’. Karena ijma’ itu tidak bias terjadi kecuali dengan kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian. Selain mujtahid tidak masuk penilaian.
  3. Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentangpendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya, baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri dan setelah pendapat-pendapat itu dikumpulkan barulah ternyata kesepakatan pendapat mereka atau mereka mengemukakan pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu kongres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atas satu hokum mengenainya.
  4. bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hokum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat, karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyyah yang pasti dan mengikat.
  1. Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat itu telah terpenuhi, misalnya dengan diadakan perhitungan pada suatu masa di antara masa-masa sesudah Rasulullah Saw wafat terhadap semua mujtahid ummat Islam menurut perbedaan negerinya, kebangsaannya, dan kelompoknya, kemudian kepada mereka dihadapkan suatu kejadian untuk diketahui hokum syar’inya dan masing-masing mujtahid itu mengemukakan pendapatnya mengenai hukumnya melalui perkataan atau perbuatan, baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudian mereka semua sepakat atas satu hokum mengenai peristiwa ini, maka hokum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’i yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang. Selanjutnya para mujtahid pada masa berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa ini sebagai objek ijtihad, karena hokum yang telah ditetapkan mengenai kejadian itu berdasarkan ijma’ ini merupakan suatu hokum syar’i yang qath’i, yang tidak ada peluang untuk menentangnya maupun untuk menghapuskannya.
Dalil atas kehujjahan ijma’ adalah sebagai berikut :
  1. Sebagaimana dalam al-Qur’an allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya, Allah SWT juga memerintahkan mereka untuk mentaati ulil amri di antara mereka. Allah SWT berfirman :
ﻳﺎﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻣﻨﻮﺍ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭﺍﻭﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulilamri di antara kamu…” (QS. An-Nisa’ : 59)
Lafazh ‘Al-Amr’ berarti : urusan dan iaadalah umm yang meliputi urusan keagamaan dan urusan duniawi. Ulil amri duniawi adalah para raha, para amir dan penguasa, sedangkan ulil amri keagamaan adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian mufassir, terutama Ibnu ‘Abbas menafsirkan kata ulil amri dalam ayat ini dengan ulama. Sebagian ulama lainnya menafsirkannya dengan para amir dan penguasa.
Yang jelas, tafsirnya dalah meliputi semuanya dan meliputi kewajiban mentaati kepada setiap kelompok tersebut sesuai dengan bidangnya.
Apabila ulil amri dalam bidang hokum syari’at Islam,yaitu para mujtahid sepakat atas suatu hokum maka wajib diikuti dan dilaksanakan hokum mereka berdasarkan nash al-Qur’an. Oleh karena inilah, maka Allah SWT berfirman :
ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻗﻖ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﻳﺘﺒﻊ ﻏﻴﺮ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻧﻮﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻮ ﻭﻧﺼﻠﻪ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺳﺎﺀﺕ ﻣﺼﻴﺮﺍ
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami akan biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam dan neraka Jahanna adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)
  1. Bahwasanya hokum yang telah disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid ummat Islam pada hakekatnya adalah hokum ummat Islam yang diwakili oelh para mujtahid mereka. Sejumlah hadits telah dating dari Rasulullah Saw juga sejumlah atsar dari sahabat yang menunjukkan terhadap kemakshuman (terpeliharanya) ummat dari kesalahan. Di antaranya ialah sabda Rasulullah Saw :
ﻻ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﺍﻣﺘﻰ ﻋﻠﻰ ﺧﻄﺎﺀ
“Ummatku tidak berkumpul atas kesalahan.”
Juga sabda beliau :
ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺍﻠﻠﻪ ﻟﻴﺠﻤﻊ ﺍﻣﺘﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻀﻼ ﻟﺔ
“Allah tidak akan menghimpunummatku atas kesesatan.”
Juga sabdanya lagi :
ﻣﺎ ﺭﺁﻩ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺴﻦ
“Apa yang dipandang oleh ummatku sebagai kebaikan, maka ia di sisi Allah adalah baik.”
Hal itu agaknya disebabkan bahwa kesepakatan semua mujtahid atas suatu hokum mengenai satu kejadian, padahal mereka berlainan pandangan dan lingkungan yang mengelilingi mereka dan terpenuhinya sejumlah sebab bagi perbedaan pendapat mereka merupakan dalil bahwasanya kesatuan kebenaran itulah yang menghimpun kalimat mereka dan mengalahkan hal-hal yang menyababkan mereka berbeda pendapat.
  1. Bahwasanya ijma’ atas suatu hokum syar’i haruslah didasarkan atas sandaran yang syar’i, karena sesungguhnya seorang mujtahid Islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya.
Apabila dalam ijtihadnya tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman nash dan pengetahuan yang menunjukkan atasnya. Apabila dalam suatu kejadian terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas pengambilan hokumnya dengan lantaran qiyas terhadap sesuatu yang ada nashnya atau menerapkan kaidah-kaidah syari’at dan prinsip-prinsip umumnya, atau dengan menggunakan dalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syari’at, seperti istihsan, istishab, atau dengan memelihara urf, atau dengan mashalih mursalah.
Apabila ijtihad seorang mujtahid harus bersandar kepada dalil syar’i, maka kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hokum mengenai suatu peristiwa merupakan dalil adanya sandaran syar’i yang menunjukkan secara pasti terhadap hokum ini, karena kalau sekiranya sesuatu yang mereka jadikan sandaran itu merupakan dalil zhanni, niscaya menurut kebiasaan mustahil timbul kesepakatan, Karena dalil zhanni adalah lapangan bagi perbedaan pendapat akal secara pasti.
Sebagaimana ijma’ atas suatu hukummengenai suatu kejadian berdasarkan pentakwilan nash atau penafsirannya, juga ia dapat didasarkan atas illat hokum suatu nash serta menjelaskan sifat yang berhubungan dengannya.
  1. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Sekelompok ulama, di antara mereka dalah an-Nazhzham dan sebagian ulama Syi’ah, berkata : sesungguhnya ijma’ yang telah jelas rukun-rukunnya itu tidak mungkin terjadi menurut adapt kebiasaan, karena sulitnya mewujudkan rukun-rukunnya itu. Hal itu agaknya disebabkan bahwa tidak ditemukan suatu ukuran yang dengan itu bisa diketahui apabila seseorang telah mencapai tingkat rujukan untuk menetapkan bahwa orang ini adalah seorang mujtahid atau bukan seorang mujtahid. Dengan demikian, mengetahui para mujtahid atau bukan mujtahid adalah sulit.
Seandainya diperkirakan bahwa orang-perorang dari para mujtahid di dunia Islam pada waktu terjadinya suatu peristiwa diketahui, maka memperhatikan pendapat mereka semua dalam suatu peristiwa melalui suatu cara yang menunjukkan keyakinan atau mendekati keyakinan itu adalah sulit, karena mereka itu berpencaran di berbagai benua yang berlainan, di berbagai negeri yang berjauhan, di samping mereka berlainan kebangsaan dan marganya, sehingga tidak mudah jalan untuk mencapai mereka semuanya, dan mengambil pendapat mereka secara kolektif. Tidak mudah pula untuk mengutip pendapat masing-masing dari mereka dengan suatu system yang dapat dipertanggungjawabkan.
Seandainya dipastikan bahwa masing-masing mujtahid diketahui dan memungkinkan untuk memperhatikan pendapat-pendapat mereka melalui suatu system yang dapat dipertanggungjawabkan, maka apakah yang dapat menjamin bahwa mijtahid yang menampilakan pendapatnya mengenai suatu peristiwa akan tetap berpegang pada pendapatnya hingga pendapat-pendapat mujtahid lainnya diambil. Apakah yang dapat menghalangi kemunculan syubhat kepadanya, kemudian ia merujuk dari pendapatnya sebelum pendapat para mujtahid lainnya diambil. Padahal persyaratan bagi terjadinya ijma’ itu tetapnya kesepakatan para mujtahid semuanya, pada suatu waktu atas satu hokum mengenai suatu peristiwa.
Di antara hal yang menguatkan bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi adalah bahwasanya juka ijma’ itu terjadi, maka harus disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’I itu harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Dalil yang dijadikan sandaran oleh para pembuat ijma’ (mujmi’un) itu jika dalil itu qath’i maka termasuk mustahil menurut adapt untuk tersembunyi. Karena bagi ummat Islam tidaklah tersembunyi bagi mereka dalil syar’i yang qath’i sampai mereka memerlukan kembali para mujtahid dan ijma’ mereka, juka dalil itu zhanni, maka mustahil menurut adapt untuk terbit ijma’ karena dalil zhanni tidak bisa tidak, menjadi objek pertentangan.
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-ahkam menukil dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal : “Saya mendengar ayah saya berkata : “ Apa yang diakui oleh seseorang bahwa hal itu adalah ijma’, maka hal itu adalah dusta. Barang siapa mengaku adanya ijma’, maka dia adalah pendusta. Barangkali orang-orang telah bertentangan tentang apa yang dia ketahui, tetapi dia tidak akan bias menyelesaikan,maka hendaklah ia katakana : “kami tidak mengetahui orang-orang berbeda pendapat”.
Jumhur ulama berpendapat bahwasanya ijma’ it dapat terjadi menurut adapt. Mereka berkata : ssungguhnya pendapat yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’ adalah merupakan hal yang nyata. Sekalipun dikemukakan dalil atas kemungkinan terjadinya.
Mereka menyebutkan beberapa contoh bagi sesuatu yang ditetapkan oleh ketetapan ijma’, seperti kekhalifahan Abu Bakar, keharaman lemak babi, pembagian warisan sperenam bagi nenek perempuan, terhalangnya anak laki-laki dari anak laki-laki dari pewarisan sebab adanya anak laki-laki dan lain sebagainya dari hokum-hukum juziyah (bagian) dan kuliyah (global).
Pendapat yang saya pilih bahwasanya ijma’ dengan definisinya dan rukunnya seperti yang telah saya jelaskan adalah tidak mungkin terjadi secara adapt, apabila persoalannya diserahkan kepada person-person ummat Islam dan bangsa-bangsanya. Ijma’ itu dapat terjadi apabila dipimpin oleh pemerintahan-pemerintahan Islam yang beraneka ragam. Jadi, setiap pemerintahan Islam dapat menentukan syarat-syarat, yang dengan kesempurnaannya seseorang dapat sampai ke derajat ijtihad dan memperbolehkan ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syart-syarat tersebut. Dan dengan ini setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahidnya dan pendapat-pendapat mereka tentang peristiwa apapun. Maka apabila setiap pemerintah Islam telah memperhatikan pendapat para mujtahid sepakat pada setiap pemerintahan Islam atas suatu hokum mengenai suatu peristiwa, maka inilah yang dinamakan ijma’. Dan hokum yang telah disepakati menjadi hokum syara’ yang wajib ditaati oelh ummat Islam seluruhnya.
  1. Kemungkinan Terjadinya Ijma’ Dalam Kenyataan.
Apakah ijma’ itu dapat terwujud secar nyata menurut pengertian tersebut pada masa-masa sesudah Rasulullah Saw wafat? Jawabnya “Tidak!”. Orang-orang yang mau melihat kepada peristiwa-peristiwa yang para sahabat telah menetapkan hukumnya mengenai peristiwa-peristiwa itu dan keputdan itu dianggap sebagai ijma’, maka akan menjadi jelas bahwa tidak pernah terjadi ijma’ dengan pengertian tersebut dan apa yang terjadi hanyalah merupakan kesepakatan dari orang-orang yang hadir dari kalangan ahli ilmu pengetahuan dan pendapat terhadap suatu hokum dalam kasus yang dikemukakan. Pada hakekatnya ini adalah hokum yang keluar dari musyawarah jama’ah, bukan dari pendapat masing-masing orang.
Menurut satu riwayat, bahwasanya Abu Bakar ra apabila kepadanya dihadapkan orang-orang yang bersengketa dan ia tidak menemukan sesuatu yang akan ia putuskan di antara mereka baik di dalam kitab Allah maupun Rasul-Nya, maka ia mengumpulkan tokoh-tokoh ummat Islam dan orang-orang terbaik dari kaum mereka, kemudian ia mengajak mereka bermusyawarah, lalu apabila mereka bersepakat, maka ia pun melaksanakan kesepakatan itu.
Tidak diragukan lagi bahwa tokoh-tokoh ummat Islam dan orang-orang terbaik dari mereka yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ra pada waktu dihadapkan persengketaan tidaklah merupakan keseluruhan tokoh-tokoh ummat Islam dan orang-orang yang terbaik dari mereka. Karena di antara mereka terdapat sejumlah orang yang cukup banyak berada di Makkah, Syam, Yaman, dan di medan pertempuran. Tidak pernah disebutkan bahwa Abu Bakar ra menangguhkan penyelesaian terhadap persengketaan sehingga ia memperhatikan pendapat seluruh mujtahid di kalangan sahabat di berbagai negeri, akan tetapi ia melaksanakan hokum yang disepakati oleh orang-orang yang hadir, karena sesungguhnya mereka adalah jama’ah, dan pendapat jama’ah lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat perseorangan.
Demikian pula yang pernah dilakukan oleh Umar ra dan inilah yang disebut ole fuqaha’ sebagai ijma’. Pada hakekatnya ia hanyalah pembentukan hokum Islam oleh jama’ah, bukan perorangan. Dan hal ini tidaklah ditemukan kecuali pada masa sahabat dan sebagian masa dinasti Umayyah di Andalusia, ketika mereka membentuk organisasi ulama pada abad kedua hijriyah, di mana mereka bermusyawarah mengenai pembentukan hokum Islam. Dalam biografi sebagian ulama Andalusia seringkali disebutkan bahwa ia termasuk di antara ulama peserta musyawarah itu.
Adapun sesudah masa sahabat, selain masa senggang pada saat Daulah Umayyah berkuasa di Andalusia, maka ijma’ tidak terjadi. Ijma’ dari sebagian besar para mujtahid untuk menetapkan suatu hokum Islam tidak pernah terealisir. Pembentukan hokum Islam tidak muncul dari kelompok ulama, akan tetapi setiap individu dari para mujtahid bersikap mandiri dalam ijtihadnya di negerinya dan di lingkungannya.
Dengan demikian, pembentukan hokum Islam adalah bersifat individual, bukan berdasarkan musyawarah. Kadangkala pendapat-pendapat itu bersesuaian dan kadangkala bertentangan. Paling jauh yang mampu dikatakan oleh seorang faqih adalah “Tidak diketahui adanya pertentangan pendapat mengenai hokum peristiwa itu”.

  1. Macam-Macam Ijma’
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkannya, maka ia ada dua macam, yaitu :
  1. Ijma’Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hokum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hokum. Maksudnya bahwa setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atai tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
  2. Ijma’ Sukuti. Yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui fatwa atau suatu putusan hokum,dan sisa  dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.
Adapun macam yang pertama, yaitu ijma’ sharih, maka itulah ijma yang haqiqi dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam mahzab jumhur ulama. Sedangkan macam yang kedua yaitu ijma’ sukuti, maka ia adalah ijma’ I’tibari (anggapan), karena sesungguhnya orang yang diam saja tidak ada kepastian bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma’ dank arena inilah maka ia masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah, dan bahwa ijma’ tersebut tidak lebih dari keadaannya sebagai pendapat sebagian  dari individu para mujtahid.
Ulama Hanafiyyah berpenapat bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah, apabila terdapt suatu ketetapan bahwa mujtahid yang bersikap diam telah dihadapkan kasus kepadanya dan dikemukakan kepadanya pendapat orang yang mengemukakan pendapatnya mengenai kasus ini, dan ada waktu senggang yang cukup untuk mengkaji dan membentuk pendapat namun ia diam saja, di samping itu juga tidak ditemukan adanya suatu kecurigaan bahwa ia diam karena merasa takut atau karena dibujuk, atau karena tidak mampu, atau karena mengejek. Karena sesungguhnya sikap diamnya seorang mujtahid dalam posisi memberi fatwa, memberikan penjelasan dan membentuk hokum Islam setelah lewat kesempatan untuk mengkaji dan mempelajarinya, di samping tidak ada hal yang menghalang-halanginya untuk mengemukakan pendapatnya, merupakan suatu dalil atas persetujuannya kepada pendapat yang telah dikemukakan, sebab kalau sekiranya ia menentang, maka tidak cukup baginya berdiam diri saja.
Pendapat yang saya nilai lebih unggul adalah pendapat jumhur ulama. Karena seorang mujtahid yang diam, diamnya itu diliputi oleh sejumlah kondisi dan kesamaran, di antaranya yang bersifat psikologis dan ada kaanya tidak bersifat psikologis, padahal tidak mungkin meneliti seluruh kondisi dan kesamaran dan kepastian bahwa ia diam saja sebagai persetujuan dan keridhaan terhadap pendapat yang dikemukakan. Orang yang diam saja tidak mempunyai pendapat dan kepadanya tidak bias dinisbatkan pendapat yang menyetujui atau pendapat yang menentang. Kebanyakan yang terjadi yang disebut dengan ijma’ ialah berasal dari ijma’ sukuti.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi bahwa ia mempunyai dalalah qath’i terhadap hukumnya atau dalalah zhanni, maka ijma’ juga ada dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya. Inilah ijma’ sharih, maksudnya bahwa hukumnyadipastikan dan tidak ada jalan ntuk memutuskan hokum yang berlainan dengannya dalam kasus itu, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’ yang sharih atas hokum syara’ mengenai kasus itu.
2.      Ijma’ yang zhanni dalalahnya atas hukumnya, yaitu ijma’ sukuti, dalam arti bahwa hukumnya diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari kedudukannya sebagai objek bagi ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan keseluruhan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar