KEADILAN
A. Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil yang berarti benar dan patut atau tidak
berat sebelah. Keadilan sudah menjadi kebutuhan setiap manusia. Di sana ada
tuntutan hak yang sama untuk diperlakukan adil. Seorang anak ingin diperlakukan
sama dengan saudara-saudara lainnya oleh orang tuanya. Misalnya dalam hal
kesempatan pendidikan, berkomunikasi internal keluarga, kesamaan dalam memiliki
asset dsb. Rakyat menuntut hak atas pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan
kerja, dari pemerintah, dsb. Masih banyak contoh lainnya termasuk hak karyawan
untuk diperlakukan adil oleh perusahaan.
Tidak jarang karyawan melakukan protes terhadap kebijakan
perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah karena karyawan diperlakukan tidak
adil oleh pimpinan perusahaan. Di tingkat puncak, karyawan bisa diperlakukan
tidak adil dalam hal proses rekrutmen dan seleksi, kesempatan belajar,
kebijakan kompensasi dan peluang karir. Di tingkat unit, ketidakadilan yang
terjadi dalam bentuk perlakuan antarindividu, ketimpangan pengakuan prestasi,
diskriminasi penugasan, perbedaan peluang berpendapat, bias dalam solusi
konflik antarindividu, dsb. Berbagai faktor yang mungkin sebagai penyebabnya
meliputi:
1. Belum
adanya budaya atau sistem nilai tentang pentingnya keadilan dalam organisasi
secara eksplisit. Kalau benar sudah ada, namun belum diterapkan secara merata
di kalangan karyawan. Kemauan dan dukungan kuat dari manajemen puncak dalam
mengembangkan budaya organisasi kurang maksimum.
2. Kepemimpinan
yang lemah baik di tingkat manajemen puncak maupun di tingkat unit kerja. Hal
ini ditunjukkan oleh ketidaktegasan dalam mengambil keputusan, segan menerima
aduan para karyawan, senang dengan pujian dari karyawan, bias dalam mengatasi
konflik, dan cenderung otokratis.
3. Keterbatasan
sumberdaya atau aset untuk memfasilitasi proses pekerjaan dan tuntutan
karyawan. Dengan demikian setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan
prioritas namun kerap membuat para karyawan diperlakukan tidak adil.
4. Belum
adanya prosedur operasional yang standar termasuk dalam hal pemberian
penghargaan dan hukuman karyawan. Keputusan untuk itu lebih berdasarkan pada
jastifikasi sang pimpinan yang acap bersifat subyektif.
Ketika ketidakadilan masih saja terjadi maka sama saja
pimpinan perusahaan membiarkan lingkungan kerja yang kurang sehat. Akibat
berikutnya, motivasi kerja karyawan semakin menurun dan dapat mengakibatkan
kinerja mereka juga menurun. Tentu saja akan mengganggu aktifitas bisnis dan
kinerja perusahaan.
Oleh karena itu, maka dibutuhkan reposisi kepemimpinan
yang menyeluruh. Posisi kepemimpinan perlu diperkuat dalam hal pemahaman sistem
nilai organisasi khususnya tentang pentingnya rasa keadilan bagi karyawan.
Pimpinan perusahaan harus terdorong untuk semakin
memahami konsep diri dan mengelola dirinya terutama dalam menerapkan prinsip
keadilan. Untuk itu budaya organisasi perlu dibuat dan sebaiknya yang mudah
dipahami dan dikembangkan oleh semua elemen organisasi. Sistem umpan balik
dalam mengendalikan organisasi utamanya yang menyangkut kasus ketidakadilan
dinilai sangat perlu dalam rangka penyehatan internal organisasi.
B. Konsep Keadilan
Menurut Henry Fayol, keadilan
merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Keadilan terkait dengan moral karyawan. Keadilan harus ditegakkan mulai dari
atasan karena atasan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil
akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan
pada bawahannya.
Para karyawan akan
memberikan kesetiaan bila pihak manajer juga bersikap adil dan baik pada
karyawannya. Sebaliknya, jika manajer bersikap sewenang-wenang, maka jangan
harap para karyawan akan bertahan lama di organisasi. Mereka bisa langsung
keluar dari perusahaan atau menuntut ke pengadilan bila kasusnya serius.
Beberapa ahli (Miceli dkk., 1991; Minton dkk.,
1994) mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan,
yaitu outcome, prosedur, dan sistem. Di sini penilaian keadilan tidak hanya
tergantung pada besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada
cara menentukannya dan sistem atau kebijakan di balik itu.
Keadilan yang berkaitan dengan outcome sering
disebut sebagai keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut
tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu
memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati, pemberian
upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran (Surbakti,
1993). Karenanya, para ahli ekonomi menilainya sebagai keadilan pertukaran
(komutatif). Bahkan, ekonom terkenal Adam Smith (lihat Keraf, 1995, 1996)
menyatakan bahwa hakikat keadilan adalah keadilan komutatif.
Antara keadilan distributif dan keadilan
komutatif terdapat perbedaan dan persamaan. Di dalam proses distribusi akan tampak
ada dua pihak, yaitu pembagi dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan
lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Sementara itu dalam proses
pertukaran kedua pihak seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari
sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran
jasa dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama
memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang.
Persamaan prinsip keadilan distributif dengan
keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang
digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila
masukan (input) keduanya setara. Permasalahannya, bila masukan kedua pihak
berbeda sangat jauh, kesetaraan antara kedua pihak itu juga akan sulit
tercapai. Meskipun demikian perbedaan yang besar itu masih dapat dilihat
persamaan prinsipnya bila pada keadilan komutatif menekankan aturan no harm dan
no intervention (Keraf, 1995, 1996). Artinya, pertukaran akan mirip distribusi
karena pihak yang kuat (input besar) tidak berusaha mempengaruhi, merusak,
maupun mencaplok pihak yang lemah.
Keadilan distributif sering digunakan untuk
melihat kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Di sini tampak jelas bahwa
tanggung jawab negara terhadap rakyat dinilai lebih besar dibandingkan dengan
rakyat terhadap negara. Oleh karena itu, negara harus mendistribusikan sumber
daya yang dikuasai kepada rakyat secara adil. Pada batas ini prinsip keadilan
distributif memang lebih menonjol diterapkan. Namun, ketika rakyat dituntut
berbagai tanggung jawab seperti membayar berbagai macam pajak, prinsip keadilan
komutatif menjadi lebih menonjol.
Keadilan prosedural terkait dengan berbagai
proses dan perlakuan terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut.
Ada kasus yang menarik berkaitan dengan keadilan prosedural (Lind & Tyler,
1988). Suatu ketika para pelanggar lalu lintas tingkat rendah dibebaskan dari
segala hukuman atau denda bila mereka mendatangi pengadilan. Dengan kata lain,
bagi pelanggar yang datang untuk diadili maka mereka akan bebas dari
hukumannya. Alasan hakim sederhana, pelanggar yang datang sudah kehilangan
waktu dan biaya perjalanan. Kerugian ini dianggap cukup sebagai hukuman.
Ternyata para pelanggar merasa diperlakukan tidak adil, meskipun mereka menerima
putusan itu. Ketidakadilan yang dimaksud itu tidak terletak pada hasil putusan,
tetapi pada proses pemutusan perkaranya. Di sinilah kiranya salah satu
perbedaan keadilan distributif dengan prosedural.
Ada tiga komponen pokok dalam keadilan prosedural
(Greenberg, 1996; Gilliland, 1994), yaitu sifat aturan formal dari prosedur
yang berlaku, penjelasan terhadap prosedur dan pengambilan keputusan, serta
perlakuan interpersonal. Konsep keadilan ini banyak berkembang dari kasus-kasus
pemogokan pekerja serta intervensi psikologi dalam kasus tersebut. Meskipun
komponen pertama secara objektif lebih hakiki, dalam berbagai kasus (lihat
Gilliland, 1994; Tyler, 1989, 1994) justru komponen kedua dan ketiga porsinya
berperan lebih besar dalam menilai keadilan prosedural. Di sini terbukti adanya
faktor psikologis yang sangat menonjol dalam menilai keadilan. Sifat aturan
formal pada umumnya merupakan sesuatu yang telah baku dan dapat diterima apa
adanya sebagai sesuatu yang dianggap natural. Pada sisi lain, penjelasan dan
perlakuan interpersonal dapat mempengaruhi orang untuk menilai prosedur
tersebut hingga tampak lebih adil (lihat Cialdini, 1994; Turner, 1991). Dengan
kata lain, looking fair dapat dianggap lebih penting daripada being fair.
Berbeda dengan keadilan distributif dan prosedural,
kajian keadilan sistemik lebih langka, apalagi dari sudut pandang psikologi.
Meskipun demikian, sistem yang dimaksud dapat dikatakan merupakan pola-pola
yang digunakan mendasari prosedur dan distribusi atau pertukaran. Sistem setara
dengan kebijakan umum yang kemudian direalisasikan sekaligus sebagai dasar
dalam menentukan prosedur dan pengaturan outcome. Pembagian status kerja dalam
perusahaan, misalnya, dapat dikatakan sebagai sistem karena di dalam setiap
tingkatan ada prosedur dan distribusi yang berbeda. Pembagian tersebut
dilaksanakan sesuai dengan kemampuan perusahaan dan pertimbangan kebijakan
lain.
Dengan kata lain, keadilan sistem berkait erat dengan
struktur yang ada. Karena itu, kriteria keadilan ini cenderung stabil sejalan
dengan struktur yang berlaku. Kriteria yang dimaksud antara lain dikemukakan
oleh Leventhal (dalam Greenberg, 1996; Lind & Tyler, 1988) yang meliputi:
(1) konsisten dari waktu ke waktu dan satu orang ke orang lainnya, (2) tidak
bias, (3) disusun berdasar data atau informasi yang akurat, (4) correctability
tinggi terhadap kesalahan, (5) representatif, serta (6) berdasar standar etika
dan moral.
C. Keadilan dalam Islam
1.
Pengertian Adil
Al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma
untuk menyebut keadilan, yaitu; al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân.[1] Al-‘adl
berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika
hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”. Al-qisth berarti
“bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan
adanya “persamaan”. Al-qisth lebih umum dari al-‘adl.[2] Karena itu, ketika
al Qur’an
menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang
digunakan. Allah SWT berfirman:
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan),
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...[3]
Al-mîzân berasal dari akar kata wazn (timbangan). Al-Mîzân dapat
berarti “keadilan”. Al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan. Allah SWT berfirman:
2.
Makna-Makna
Keadilan
Keadilan memiliki beberapa makna,
antara lain: Pertama, adil berarti “sama”. Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan
yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak.
Allah SWT berfirman:
“Apabila kamu
memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya
dengan adil...”[5]
Manusia memang tidak seharusnya
dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-miskin, lelaki-perempuan, pejabat-rakyat dan
sebagainya harus diposisikan setara. Demikian pula pesan terakhir yang disampaikan
Rasulullah ketika haji Wada’. Di saat itu Rasulullah menegaskan bahwa
manusia tidak boleh dibedakan dari status sosial. Diferensiasi dari perspektif
status sosial hanya akan melahirkan sinisme kemanusiaan. Islam, melalui
Rasulullah, menegaskan bahwa ukuran kemuliaan manusia terletak pada kualitas
ketakwaannya kepada Allah.[6]
Kedua, adil berarti “seimbang”. Allah SWT berfirman:
Wahai manusia, apakah
yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan
tubuhmu seimbang).[7]
Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari
kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan
(keadilan).
Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak
itu pada setiap pemiliknya”. Adil dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai
wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’
al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh ada satu hal yang dapat merusak permainan
catur, jika seseorang menempatkan gajah di tempat raja,” demikian ungkapan
sebuah adagium. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan
sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Semua wujud tidak memiliki hak
atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa
rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat
meraihnya. Allah disebut qaa’iman bi al qisth
(yang menegakkan keadilan). Allah SWT berfirman:
Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orangorang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan
Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[8]
Keadilan Allah juga akan dirasakan
setiap makhluk. Allah tidak pernah berbuat zalim
kepada hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
Dan Tuhanmu
tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya.[9]
3.
Perintah
Berbuat Adil
Banyak ayat al-Qur’an yang
memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman:
Berlaku
adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.[10]
Dijelaskan dalam ayat ini, bahwa
keadilan itu sangat dekat dengan ketakwaan.
Orang yang berbuat adil berarti orang yang bertakwa. Orang yang tidak
berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak bertakwa. Hanya orang adillah (berarti
orang yang bertakwa) yang bisa mensejahterakan
masyarakatnya.
Keadilan bagi seorang Muslim berarti
menghilangkan rasa lapar, rasa haus dan sebagainya.
Dengan kata lain keadilan di tengah masyarakat menghendaki terwujudnya
sikap empat kepada orang lain.[11]Dalam
ayat lain, Allah SWT berfirman:
Katakanlah,
"Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)"[12]
Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.[14]
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benarbenar
menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri ataupun ibu bapakmu dan keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah
lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan
menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.[15]
Dan kalau ada
dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang
berlaku adil.[16]
4.
Keadilan dalam Ekonomi
Islam tidak menghendaki adanya
ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara
lain) monopoli
(al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Tidak
menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa.[17]
“Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu
diberi laknat.”[18] “Siapa saja
yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi
takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.”
Larangan demikian
juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Apa saja harta
rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada
kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah.
Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya.[19]
Umar bin al-Khattab (khalifah Islam
ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh sahabatnya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah
dan haram. Umar berkata:
“Orang yang
membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan
yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika
ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan
lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka
pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”[20]
Dalam kaca mata Umar, pemerintah
wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan
ekonomi. Ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga
banyak pihak yang dirugikan secara ekonomis, pemerintah tidak bias tinggal
diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Membiarkan dan atau
menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri. Islam mengajarkan ekonomi kerakyatan. Ekonomi
kerakyatan menekankan pemerataan kemakmuran di tengah rakyat banyak. Islam
mengkritik praktek kapitalisme yang mana kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh
sekelompok masyarakat. Demikian pula kritikan
yang ditujukan pada sosialisme, Islam mengkritik
praktek ekonomi ini karena dipandang setiap individu tidak diberi kesempatan
untuk melakukan melakukan ekspresi ekonomi secara independen.[21]
Jabatan pemimpin adalah amanat yang berat, karena ia tergantung pada
keadilan mutlak yang telah ditanamkan pondasinya oleh Islam dalam masyarakat
muslim, oleh karena itu kedudukan pemimpin yang adil di sisi Allah sangat
tinggi, karena ia menduduki urutan pertama dalam tujuh golongan yang akan
diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali nauganNya,
sebagaimana sabda Rasulullah :
“Tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada
naugan kecuali naunganNya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah
kepada Allah az, orang yang hatinya selalu terpaut kepada masjid, dua orang
yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar
kecintaan kepada Allah, seorang lelaku yang diajak berbuat serong oleh wanita
cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan orang yang
bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu
apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah di
waktu sepi lalu air matanya berlinang” [22]
STABILITAS JABATAN KARYAWAN
Stabilitas karyawan sangat perlu dijaga,
karena akan menentukan kelangsungan operasional perusahaan. Apabila tingkat
berhenti dan masuknya karyawan tinggi, kemungkinan kontinuitas proses konversi
dapat terganggu, disertai makin tinggi biaya untuk rekrutmen dan pelatihan bagi
karyawan-karyawan baru.
Menurut Henry Fayol, pimpinan
perusahaan harus berusaha agar mutasi dan keluar masuknya karyawan tidak
terlalu sering, karena akan mengakibatkan ketidakstabilan organisasi,
biaya-biaya semakin besar, dan perusahaan tidak mendapat karyawan yang
berpengalaman. Pimpinan perusahaan harus berusaha agar setiap karyawan betah
bekerja sampai masa pensiunnya. Jika karyawan sering berhenti, manajer perlu menyelidiki penyebabnya.
Kestabilan karyawan terwujud karena adanya
disiplin kerja yang baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan. Manusia sebagai
makhluk sosial yang berbudaya
memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi,
perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam
bekerja.
Adapun cara dalam menjaga
stabilitas karyawan adalah sebagai berikut:
1. Menanamkan komitmen karyawan terhadap perusahaan
Komitmen adalah suatu rasa identifikasi, keterlibatan,
dan loyalitas/ kesetiaan atau derajat, atau sifat hubungan dari seseorang
terhadap perusahaan yang ditunjukkan dengan memihak kepada tujuan perusahaan,
berminat untuk mempertahankan keanggotaan dalam perusahaan tersebut dan
kepercayaan akan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan
perusahaan. Kesetiaan dan loyalias karyawan terhadap perusahaan akan
menimbulkan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab dapat menciptakan gairah dan
semangat kerja. Untuk meningkatkan loyalias karyawan terhadap perusahaan, pihak
pimpinan harus mengusahakan agar karyawan merasa senasib dengan perusahaan.
Salah satu cara untuk meningkatkan loyalitas karyawan terhadap perusahaan
adalah dengan memberikan kesempatan untuk memiliki saham perusahaan. Loyalitas
juga dapat ditimbulkan dengan cara pemberian gaji yang cukup, perhatian
terhadap kebutuhan rohani dan hal positif lainya.
2. Gaji yang cukup
Setiap perusahaan seharusnya memberikan gaji yang cukup
kepada karyawannya. Jumlah yang dibayarkan kepada karyawan tanpa menimbulkan kerugian
pada perusahaan. Makin besar gaji yang diberikan semakin tercukupi kebutuhan
mereka. Masalah besarnya gaji harus benar-benar diperhatikan, terutama bagi
karyawan yang mempunyai tanggung jawab yang besar. Gaji tambahan berupa
tunjangan-tunjangan lain berupa jatah beras, perawatan kesehatan, fasilitas
perumahan dan sebagainya.
3. Meningkatkan semangat kerja karyawan
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memperhatikan
dan memelihara semangat kerja karyawannya. Banyak pemimpin berkepentingan
dengan semangat karyawan. Mereka menyetujui kebijaksanaan yang berhubungan
dengan peningkatan semangat kerja, karena dengan semangat kerja yang tinggi
tujuan perusahaan yang diemban oleh seorang pemimpin akan tercapai. Gairah dan
semangat kerja sudah menjadi modal perusahaan untuk meningkatkan prodiktivitas.
Jika gairah dan semangat kerja terabaikan, maka banyak persoalan yang akan
bermunculan.
4. Memberikan pendidikan dan pelatihan
Pendidikan dimaksudkan untuk membina kemampuan atau
mengembangkan kemampuan berfikir para pegawai, meningkatkan kemampuan
mengeluarkan gagasan-gagasan para pegawai sehingga mereka dapat menunaikan
tugas kewajibannya dengan sebaik-baiknya (Widjaja, 1995 : 75). Pendidikan
adalah proses pengembangan sumber daya manusia (Susilo Martoyo, 1994:56).
Pelatihan adalah suatu proses yang meliputi serangkaian
tindakan (upaya) yang dilaksanakan dengan sengaja dalam bentuk pemberian
bantuan kepada tenaga kerja yang diberikan oleh tenaga professional kepelatihan
dalam satuan waktu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja peserta
dalambidang pekerjaan tertentu guna meningkatkan efektifitas dan produktifitas
dalam suatu organisasi (Oemar, 2000 : 10).
5. Lingkungan kerja yang menyenangkan
Bila memungkinkan setiap perusahaan hendaknya menyediakan
fasilitas yang menyenangkan bagi perusahaan. Fasilitas yang menyenangkan bukan
dalam pengertian sempit, fasilitas di sini dalam pengertian luas sehingga
termasuk balai pengobatan, tempat ibadah, kamar kecil yang bersih dan
sebagainya. Apabila perusahaan mampu meningkatkan fasilitas dan lingkungan
kerja yang kondusif, maka karyawan akan berfikir kreatif dan penuh inisiatif
yang akan berujung pada stabilitas karyawan.
6. Kekhususan
Karyawan membutuhkan spesifikasi.
Informasi spesifik secara lengkap dengan tata cara pelaksanaan yang baik dan
terarah sangat membantu stabilitas kinerja, sekaligus memperbaiki kekurangan.
Manajer tak perlu sibuk memandori dan karyawan tahu keinginan perusahaan, ini
menunjang kreativitas. Hal ini bisa dicapai dengan manajemen Job Description
(pembagian bidang kerja, tugas pokok dan fungsi, kewenangan, dll) yang baik.
Point ini dapat pula diwujudkan dengan penempatan orang yang tepat pada
posisi/jabatan yang sesuai bidang keahliannya (right man in the right job)
.
7. Konsistensi
Informasi sebaiknya tidak saling bertentangan.
Misalnya penilaian berkala baik, tapi penilaian tahunan buruk. Inkonsistensi
yang seperti ini dapat meresahkan dan menganggu kinerja. Pada point ini sistem
monitoring dan evaluasi perusahaan harus mempunyai arah capaian/standart
kinerja dan target yang jelas. Hal ini akan mempermudah perusahaan dalam
melihat perkembangan kemajuan yang telah dicapai dan data laporan yang akurat.
Sehingga dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang
baik.
8. Komunikasi
yang efektif
Manajer harus mampu menciptakan komunikasi efektif untuk
menumbuhkan persamaan persepsi dengan karyawan. Jika pernyataan/instruksi
manajer tidak dimengerti atau diterima sepotong-sepotong, sasaran tak akan
tercapai. Komunikasi efektif sangat berperan vital dalam penciptaan
suasana kerja yang sehat. Instruksi atasan yang jelas dan benar harus dapat
dipahami oleh karyawan. Pada saat terdapat masalah, harus disecepatnya diselesaikan.
Bila terdapat unsur-unsur konflik baik vertikal (manajer–karyawan)
maupun horizontal (sesama karyawan) dalam suatu perusahaan dibiarkan
berlarut, sangat berpotensi mengganggu stabilitas iklim kerja.
9. Niat
baik dan kerjasama
Manajer perlu menunjukkan niat baik dan
kerjasama. Karyawan yang ikut memberikan ide dalam menetapkan sasaran atau
standar kinerja, berarti telah mengemukakan kehendak dan kebutuhannya. Karyawan
tersebut akan berusaha mencapainya, karena dia tahu apa yang dia mau.
10.
Dll
Pergantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari
organisasi adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Ada
kalanya pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar
pergantian karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik
dari segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk
memanfaatkan peluang Dalam arti luas, “turnover diartikan sebagai aliran para
karyawan yang masuk dan keluar perusahaan” (Ronodipuro dan Husnan, 1995: 34).
Sedangkan Mobley (1999: 13), megemukakan bahwa batasan umum tentang pergantian
karyawan adalah : “berhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi dengan
disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan”.
Beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya turnover, antara lain:
1. Usia
Maier (1971) mengemukakan bahwa pekerja muda
memiliki tingkat turnover yang
lebih tinggi daripada pekrja-pekerja yang lebih tua. Hubungan yang signifikan
antar intensi turnover dan usia adalah hubungan negatif. Artinya,
semakin tinggi usia seseorang, maka akan semakin rendah intensi turnovernya
(Dalam Mobley, 1986).
2. Lama kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya korelasi
negatif antara masa kerja dengan intensi turnover, yang berarti semakin
lama masa kerja maka akan semakin rendah turnovernya (Prihastuti, 1992).
Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat
(Parson, dkk, 1985). Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal
merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan memicu terjadinya turnover tersebut.
3. Tingkat pendidikan dan inteligensi
Mowday, dkk (1982) berpendapat bahwa tingkat pendidikan
berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover. Dalam hal ini, Maier
(1971) membahas pengaruh inteligensi terhadap turnover. Dikatakan bahwa
mereka yang memiliki tingkat inteligensi tidak terlalu tinggi akan memandang
tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa
gelisah terhadap tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman.
Sebaliknya, mereka yang memiliki inteligensi lebih tinggi
akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton.mereka akan
lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat
pendidikannya terbatas, karena tingkat inteligensinya yang terbatas pula
(Handoyo, 1987).
4. Keikatan terhadap perusahaan
Penelitian yang dilakukan Hom, dkk (1979); Michaels dan
Spector (1982); Arnold dan Fieldman (1982); dan Steel dan Ovalle (1984)
menemukan bahwa keikatan terhadap perusahaan memiliki korelasi negatif dan
signifikan terhadap intensi turnover. Berarti semakin tinggi ikatan
seseorang terhadap perusahaan akan semakin kecil ia mempunyai intensi untuk
berpindahpekerjaan dan perusahaan, begitu pula sebaliknya.
5. Kepuasan kerja
Penelitian yang dilakukan Mowday (1981); Michaels dan
Spector (1982); Arnold dan Fieldman (1982) menunjukkan bahwa tingkat turnover
dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang. Mereka menemukan bahwa semakin
tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya maka akan semakin kuat dorongannya
untuk melakukan turnover.
Ketidakpuasan yang menjadi penyebab terjadinya turnover
memiliki banyak aspek, di antaranya adalah ketidakpuasan terhadap manajemen
perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi dan
hubungan interpersonal.
6. Budaya perusahaan
Menurut Tani (dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia,
1990), budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang
mempengaruhi pemikiran, perasaan, pembicaraan dan tindakan manusia yang bekerja
dalam perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka, menentukan
dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-haridan dapat membuat
individu tersebutmerasa senang menjalankan tugasnya.
Robbins (1998) menyatakan bahwa budaya perusahaanyang
kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara
langsung mengurangi turnover. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama
sebuah perusahaansangat dipegang teguh dantertanampada seluruh karyawannya.
Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut, dan semakin besar
komitmen terhadapnya, maka semakin kuat budaya perusahaan tersebut.
Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas,
kesetiaan dan komitmen terhadap perusahaan pada para karyawanya, yang akan
mengurangi keinginan untuk meninggalkan perusahaan.
KESIMPULAN
Keadilan berasal dari kata adil yang berarti benar dan patut atau tidak
berat sebelah. keadilan
merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Keadilan terkait dengan moral karyawan. Keadilan harus ditegakkan mulai dari
atasan karena atasan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil
akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan
pada bawahannya.
Seorang pimpinan
perusahaan harus berusaha agar mutasi dan keluar masuknya karyawan tidak
terlalu sering, karena akan mengakibatkan ketidakstabilan organisasi,
biaya-biaya semakin besar, dan perusahaan tidak mendapat karyawan yang
berpengalaman. Pimpinan perusahaan harus berusaha agar setiap karyawan betah
bekerja sampai masa pensiunnya. Jika karyawan sering berhenti, manajer perlu menyelidiki penyebabnya dan mnemukan
solusi tertept sehingga menciptakan stabilitas karyawan.
Beberapa cara dalam
menjaga stabilitas karyawan:
1.
Menanamkan komitmen karyawan terhadap
perusahaan
2.
Gaji yang cukup
3.
Meningkatkan semangat kerja karyawan
4. Memberikan pendidikan dan pelatihan
5.
Lingkungan kerja yang nyaman
6.
Kekhususan
7. Konsistensi
8. Komunikasi yang efektif
9. Niat baik dan kerja sama
10. Dll.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyu, Adji. Ekonomi.
Jakarta: Erlangga. 2007.
Hasibuan, Malayu. Manajemen. Bandung: PT Bumi Aksara.
2001.
Keraf, A.S. Pasar
Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius.
1996.
Surbakti, R. Demokrasi Ekonomi: Keadilan dan Kerakyatan. 1993.
Siahaan, H.M. & Purnomo, T. (eds.). Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia. Surabaya: Surabaya
Pos dan
Yayasan Keluarga
Bhakti.
Hani Handoko, T. Manajemen Personalia dan
Sumber daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. 2000.
Danim, Sudarwan. Motivasi Kepimpinan dan
Efektivitas Kelompok. Jakarta : Penerbit
Rineka Cipta. 2004.
Nitisemito, Alex S. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Cetakan Sembilan. Edisi Ketiga.
Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia. 1996.
Saydam, Gouzali. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit
PT Toko Gunung Agung. 1996.
Siagian, Sondang P. Kiat Meningkatkan Produktivitas
Kerja. Jakarta : Rineka Cipta. 2002.
Tohardi, Ahmad. Pemahaman Praktis Manajemen
Sumber Daya Manusia. Bandung
: Penerbit Mandar Maju. 2002.
Zainun, Buchari. Manajemen dan Motivasi. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Balai Aksara.
2004.
Kast, F.E. Rosenzwieg, J.E. Organisasi dan
Manajemen. Terjemahan. Jakarta : Bumi Aksara. 1990.
Kerlinger, F. N. Asas-Asas Penelitian
Behavioral. Terjemahan. Yogyakarta : UGM Press. 1992.
Mobley, W.H. Pergantian Karyawan : Sebab,
Akibat dan Pengendaliannya. Terjemahan. Jakarta : PT Pustaka Binaman
Pressindo. 1986.
www.wikipedia.com
gsn-soeki.com
[2]
Lihat pula istilah-istilah itu dalam
kamus Al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2007).
[3]
QS. An-Nisa’/ 4: 135.
[4]
QS. Ar-Rahman/ 55: 7.
[5]
QS. Al-Nisa'/ 4: 58.
[7] QS.
Al-Infithar/ 82: 6-7.
[8]
QS. Ali-Imran/ 3: 18.
[9] QS.
Fushshilat/ 41: 46.
[12] QS.
Al-A’raf/ 7: 29.
[13] QS.
Al-Nahl/ 16: 90.
[14] QS.
An-Nisa’/ 4: 58.
[15]
QS. An-Nisa’/ 4: 135.
[16] QS.
Al-Hujarat/ 49: 9.
[17] HR.
Muslim
[18] HR.
Muslim
[19]
QS. Al-Hasyr/ 59: 7.
[20] HR.
Ibnu Majah.
[21]
Islam mengakui hak milik perorangan
atas alat-alat produksi. Namun Islam amat menjaga agar harta jangan menumpuk
pada sekelompok orang. Gunanya tentu agar keadilan selalu ditegakkan.
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas
Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum, Politik
dan Ekonomi (Bandung: Mizan, 1993), h. 180.
[22] Muttafaq alaih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar