Rabu, 04 Juli 2012

Keadilan dan Stabilitas Jabatan Karyawan

KEADILAN
A.    Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil yang berarti benar dan patut atau tidak berat sebelah. Keadilan sudah menjadi kebutuhan setiap manusia. Di sana ada tuntutan hak yang sama untuk diperlakukan adil. Seorang anak ingin diperlakukan sama dengan saudara-saudara lainnya oleh orang tuanya. Misalnya dalam hal kesempatan pendidikan, berkomunikasi internal keluarga, kesamaan dalam memiliki asset dsb. Rakyat menuntut hak atas pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dari pemerintah, dsb. Masih banyak contoh lainnya termasuk hak karyawan untuk diperlakukan adil oleh perusahaan.
Tidak jarang karyawan melakukan protes terhadap kebijakan perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah karena karyawan diperlakukan tidak adil oleh pimpinan perusahaan. Di tingkat puncak, karyawan bisa diperlakukan tidak adil dalam hal proses rekrutmen dan seleksi, kesempatan belajar, kebijakan kompensasi dan peluang karir. Di tingkat unit, ketidakadilan yang terjadi dalam bentuk perlakuan antarindividu, ketimpangan pengakuan prestasi, diskriminasi penugasan, perbedaan peluang berpendapat, bias dalam solusi konflik antarindividu, dsb. Berbagai faktor yang mungkin sebagai penyebabnya meliputi:
1.         Belum adanya budaya atau sistem nilai tentang pentingnya keadilan dalam organisasi secara eksplisit. Kalau benar sudah ada, namun belum diterapkan secara merata di kalangan karyawan. Kemauan dan dukungan kuat dari manajemen puncak dalam mengembangkan budaya organisasi kurang maksimum.
2.         Kepemimpinan yang lemah baik di tingkat manajemen puncak maupun di tingkat unit kerja. Hal ini ditunjukkan oleh ketidaktegasan dalam mengambil keputusan, segan menerima aduan para karyawan, senang dengan pujian dari karyawan, bias dalam mengatasi konflik, dan cenderung otokratis.
3.         Keterbatasan sumberdaya atau aset untuk memfasilitasi proses pekerjaan dan tuntutan karyawan. Dengan demikian setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan prioritas namun kerap membuat para karyawan diperlakukan tidak adil.
4.         Belum adanya prosedur operasional yang standar termasuk dalam hal pemberian penghargaan dan hukuman karyawan. Keputusan untuk itu lebih berdasarkan pada jastifikasi sang pimpinan yang acap bersifat subyektif.
Ketika ketidakadilan masih saja terjadi maka sama saja pimpinan perusahaan membiarkan lingkungan kerja yang kurang sehat. Akibat berikutnya, motivasi kerja karyawan semakin menurun dan dapat mengakibatkan kinerja mereka juga menurun. Tentu saja akan mengganggu aktifitas bisnis dan kinerja perusahaan.
Oleh karena itu, maka dibutuhkan reposisi kepemimpinan yang menyeluruh. Posisi kepemimpinan perlu diperkuat dalam hal pemahaman sistem nilai organisasi khususnya tentang pentingnya rasa keadilan bagi karyawan.
Pimpinan perusahaan harus terdorong untuk semakin memahami konsep diri dan mengelola dirinya terutama dalam menerapkan prinsip keadilan. Untuk itu budaya organisasi perlu dibuat dan sebaiknya yang mudah dipahami dan dikembangkan oleh semua elemen organisasi. Sistem umpan balik dalam mengendalikan organisasi utamanya yang menyangkut kasus ketidakadilan dinilai sangat perlu dalam rangka penyehatan internal organisasi.
B.     Konsep Keadilan
Menurut Henry Fayol, keadilan merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan terkait dengan moral karyawan. Keadilan harus ditegakkan mulai dari atasan karena atasan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan pada bawahannya.
Para karyawan akan memberikan kesetiaan bila pihak manajer juga bersikap adil dan baik pada karyawannya. Sebaliknya, jika manajer bersikap sewenang-wenang, maka jangan harap para karyawan akan bertahan lama di organisasi. Mereka bisa langsung keluar dari perusahaan atau menuntut ke pengadilan bila kasusnya serius.
Beberapa ahli (Miceli dkk., 1991; Minton dkk., 1994) mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu outcome, prosedur, dan sistem. Di sini penilaian keadilan tidak hanya tergantung pada besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada cara menentukannya dan sistem atau kebijakan di balik itu.
Keadilan yang berkaitan dengan outcome sering disebut sebagai keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati, pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran (Surbakti, 1993). Karenanya, para ahli ekonomi menilainya sebagai keadilan pertukaran (komutatif). Bahkan, ekonom terkenal Adam Smith (lihat Keraf, 1995, 1996) menyatakan bahwa hakikat keadilan adalah keadilan komutatif.
Antara keadilan distributif dan keadilan komutatif terdapat perbedaan dan persamaan. Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang.
Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara. Permasalahannya, bila masukan kedua pihak berbeda sangat jauh, kesetaraan antara kedua pihak itu juga akan sulit tercapai. Meskipun demikian perbedaan yang besar itu masih dapat dilihat persamaan prinsipnya bila pada keadilan komutatif menekankan aturan no harm dan no intervention (Keraf, 1995, 1996). Artinya, pertukaran akan mirip distribusi karena pihak yang kuat (input besar) tidak berusaha mempengaruhi, merusak, maupun mencaplok pihak yang lemah.
Keadilan distributif sering digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Di sini tampak jelas bahwa tanggung jawab negara terhadap rakyat dinilai lebih besar dibandingkan dengan rakyat terhadap negara. Oleh karena itu, negara harus mendistribusikan sumber daya yang dikuasai kepada rakyat secara adil. Pada batas ini prinsip keadilan distributif memang lebih menonjol diterapkan. Namun, ketika rakyat dituntut berbagai tanggung jawab seperti membayar berbagai macam pajak, prinsip keadilan komutatif menjadi lebih menonjol.
Keadilan prosedural terkait dengan berbagai proses dan perlakuan terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut. Ada kasus yang menarik berkaitan dengan keadilan prosedural (Lind & Tyler, 1988). Suatu ketika para pelanggar lalu lintas tingkat rendah dibebaskan dari segala hukuman atau denda bila mereka mendatangi pengadilan. Dengan kata lain, bagi pelanggar yang datang untuk diadili maka mereka akan bebas dari hukumannya. Alasan hakim sederhana, pelanggar yang datang sudah kehilangan waktu dan biaya perjalanan. Kerugian ini dianggap cukup sebagai hukuman. Ternyata para pelanggar merasa diperlakukan tidak adil, meskipun mereka menerima putusan itu. Ketidakadilan yang dimaksud itu tidak terletak pada hasil putusan, tetapi pada proses pemutusan perkaranya. Di sinilah kiranya salah satu perbedaan keadilan distributif dengan prosedural.
Ada tiga komponen pokok dalam keadilan prosedural (Greenberg, 1996; Gilliland, 1994), yaitu sifat aturan formal dari prosedur yang berlaku, penjelasan terhadap prosedur dan pengambilan keputusan, serta perlakuan interpersonal. Konsep keadilan ini banyak berkembang dari kasus-kasus pemogokan pekerja serta intervensi psikologi dalam kasus tersebut. Meskipun komponen pertama secara objektif lebih hakiki, dalam berbagai kasus (lihat Gilliland, 1994; Tyler, 1989, 1994) justru komponen kedua dan ketiga porsinya berperan lebih besar dalam menilai keadilan prosedural. Di sini terbukti adanya faktor psikologis yang sangat menonjol dalam menilai keadilan. Sifat aturan formal pada umumnya merupakan sesuatu yang telah baku dan dapat diterima apa adanya sebagai sesuatu yang dianggap natural. Pada sisi lain, penjelasan dan perlakuan interpersonal dapat mempengaruhi orang untuk menilai prosedur tersebut hingga tampak lebih adil (lihat Cialdini, 1994; Turner, 1991). Dengan kata lain, looking fair dapat dianggap lebih penting daripada being fair.
Berbeda dengan keadilan distributif dan prosedural, kajian keadilan sistemik lebih langka, apalagi dari sudut pandang psikologi. Meskipun demikian, sistem yang dimaksud dapat dikatakan merupakan pola-pola yang digunakan mendasari prosedur dan distribusi atau pertukaran. Sistem setara dengan kebijakan umum yang kemudian direalisasikan sekaligus sebagai dasar dalam menentukan prosedur dan pengaturan outcome. Pembagian status kerja dalam perusahaan, misalnya, dapat dikatakan sebagai sistem karena di dalam setiap tingkatan ada prosedur dan distribusi yang berbeda. Pembagian tersebut dilaksanakan sesuai dengan kemampuan perusahaan dan pertimbangan kebijakan lain.
Dengan kata lain, keadilan sistem berkait erat dengan struktur yang ada. Karena itu, kriteria keadilan ini cenderung stabil sejalan dengan struktur yang berlaku. Kriteria yang dimaksud antara lain dikemukakan oleh Leventhal (dalam Greenberg, 1996; Lind & Tyler, 1988) yang meliputi: (1) konsisten dari waktu ke waktu dan satu orang ke orang lainnya, (2) tidak bias, (3) disusun berdasar data atau informasi yang akurat, (4) correctability tinggi terhadap kesalahan, (5) representatif, serta (6) berdasar standar etika dan moral.
C.     Keadilan dalam Islam
1.      Pengertian Adil
Al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu; al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân.[1] Al-‘adl berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”. Al-qisth berarti “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Al-qisth lebih umum dari al-‘adl.[2] Karena itu, ketika al Qur’an menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang digunakan. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...[3]
Al-mîzân berasal dari akar kata wazn (timbangan). Al-Mîzân dapat berarti “keadilan”. Al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman:
Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan).[4]
2.      Makna-Makna Keadilan
Keadilan memiliki beberapa makna, antara lain: Pertama, adil berarti “sama”. Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman:
“Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...”[5]
Manusia memang tidak seharusnya dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-miskin, lelaki-perempuan, pejabat-rakyat dan sebagainya harus diposisikan setara. Demikian pula pesan terakhir yang disampaikan Rasulullah ketika haji Wada’. Di saat itu Rasulullah menegaskan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dari status sosial. Diferensiasi dari perspektif status sosial hanya akan melahirkan sinisme kemanusiaan. Islam, melalui Rasulullah, menegaskan bahwa ukuran kemuliaan manusia terletak pada kualitas ketakwaannya kepada Allah.[6]
Kedua, adil berarti “seimbang”. Allah SWT berfirman:
Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang).[7]
Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).
Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”. Adil dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh ada satu hal yang dapat merusak permainan catur, jika seseorang menempatkan gajah di tempat raja,” demikian ungkapan sebuah adagium. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah disebut qaa’iman bi al qisth (yang menegakkan keadilan). Allah SWT berfirman:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orangorang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[8]
Keadilan Allah juga akan dirasakan setiap makhluk. Allah tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya.[9]
3.      Perintah Berbuat Adil
Banyak ayat al-Qur’an yang memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman:
Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.[10]
Dijelaskan dalam ayat ini, bahwa keadilan itu sangat dekat dengan ketakwaan. Orang yang berbuat adil berarti orang yang bertakwa. Orang yang tidak berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak bertakwa. Hanya orang adillah (berarti orang yang bertakwa) yang bisa mensejahterakan masyarakatnya.
Keadilan bagi seorang Muslim berarti menghilangkan rasa lapar, rasa haus dan sebagainya. Dengan kata lain keadilan di tengah masyarakat menghendaki terwujudnya sikap empat kepada orang lain.[11]Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)"[12]
Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan)[13]
Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[14]
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benarbenar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[15]
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang berlaku adil.[16]
4.      Keadilan dalam Ekonomi
Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa.[17] “Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat.”[18] “Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.”
Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.[19]
Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh sahabatnya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Umar berkata:
“Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”[20]
Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang dirugikan secara ekonomis, pemerintah tidak bias tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Membiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri. Islam mengajarkan ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan menekankan pemerataan kemakmuran di tengah rakyat banyak. Islam mengkritik praktek kapitalisme yang mana kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh sekelompok masyarakat. Demikian pula kritikan yang ditujukan pada sosialisme, Islam mengkritik praktek ekonomi ini karena dipandang setiap individu tidak diberi kesempatan untuk melakukan melakukan ekspresi ekonomi secara independen.[21]
Jabatan pemimpin adalah amanat yang berat, karena ia tergantung pada keadilan mutlak yang telah ditanamkan pondasinya oleh Islam dalam masyarakat muslim, oleh karena itu kedudukan pemimpin yang adil di sisi Allah sangat tinggi, karena ia menduduki urutan pertama dalam tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali nauganNya, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naugan kecuali naunganNya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah az, orang yang hatinya selalu terpaut kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar kecintaan kepada Allah, seorang lelaku yang diajak berbuat serong oleh wanita cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan orang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah di waktu sepi lalu air matanya berlinang” [22]
STABILITAS JABATAN KARYAWAN
Stabilitas karyawan sangat perlu dijaga, karena akan menentukan kelangsungan operasional perusahaan. Apabila tingkat berhenti dan masuknya karyawan tinggi, kemungkinan kontinuitas proses konversi dapat terganggu, disertai makin tinggi biaya untuk rekrutmen dan pelatihan bagi karyawan-karyawan baru.
Menurut Henry Fayol, pimpinan perusahaan harus berusaha agar mutasi dan keluar masuknya karyawan tidak terlalu sering, karena akan mengakibatkan ketidakstabilan organisasi, biaya-biaya semakin besar, dan perusahaan tidak mendapat karyawan yang berpengalaman. Pimpinan perusahaan harus berusaha agar setiap karyawan betah bekerja sampai masa pensiunnya. Jika karyawan sering berhenti, manajer perlu menyelidiki penyebabnya.
Kestabilan karyawan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan. Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam bekerja.
Adapun cara dalam menjaga stabilitas karyawan adalah sebagai berikut:
1.      Menanamkan komitmen karyawan terhadap perusahaan
Komitmen adalah suatu rasa identifikasi, keterlibatan, dan loyalitas/ kesetiaan atau derajat, atau sifat hubungan dari seseorang terhadap perusahaan yang ditunjukkan dengan memihak kepada tujuan perusahaan, berminat untuk mempertahankan keanggotaan dalam perusahaan tersebut dan kepercayaan akan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Kesetiaan dan loyalias karyawan terhadap perusahaan akan menimbulkan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab dapat menciptakan gairah dan semangat kerja. Untuk meningkatkan loyalias karyawan terhadap perusahaan, pihak pimpinan harus mengusahakan agar karyawan merasa senasib dengan perusahaan. Salah satu cara untuk meningkatkan loyalitas karyawan terhadap perusahaan adalah dengan memberikan kesempatan untuk memiliki saham perusahaan. Loyalitas juga dapat ditimbulkan dengan cara pemberian gaji yang cukup, perhatian terhadap kebutuhan rohani dan hal positif lainya.


2.      Gaji yang cukup
Setiap perusahaan seharusnya memberikan gaji yang cukup kepada karyawannya. Jumlah yang dibayarkan kepada karyawan tanpa menimbulkan kerugian pada perusahaan. Makin besar gaji yang diberikan semakin tercukupi kebutuhan mereka. Masalah besarnya gaji harus benar-benar diperhatikan, terutama bagi karyawan yang mempunyai tanggung jawab yang besar. Gaji tambahan berupa tunjangan-tunjangan lain berupa jatah beras, perawatan kesehatan, fasilitas perumahan dan sebagainya.
3.      Meningkatkan semangat kerja karyawan
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memperhatikan dan memelihara semangat kerja karyawannya. Banyak pemimpin berkepentingan dengan semangat karyawan. Mereka menyetujui kebijaksanaan yang berhubungan dengan peningkatan semangat kerja, karena dengan semangat kerja yang tinggi tujuan perusahaan yang diemban oleh seorang pemimpin akan tercapai. Gairah dan semangat kerja sudah menjadi modal perusahaan untuk meningkatkan prodiktivitas. Jika gairah dan semangat kerja terabaikan, maka banyak persoalan yang akan bermunculan.
4.      Memberikan pendidikan dan pelatihan
Pendidikan dimaksudkan untuk membina kemampuan atau mengembangkan kemampuan berfikir para pegawai, meningkatkan kemampuan mengeluarkan gagasan-gagasan para pegawai sehingga mereka dapat menunaikan tugas kewajibannya dengan sebaik-baiknya (Widjaja, 1995 : 75). Pendidikan adalah proses pengembangan sumber daya manusia (Susilo Martoyo, 1994:56).
Pelatihan adalah suatu proses yang meliputi serangkaian tindakan (upaya) yang dilaksanakan dengan sengaja dalam bentuk pemberian bantuan kepada tenaga kerja yang diberikan oleh tenaga professional kepelatihan dalam satuan waktu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja peserta dalambidang pekerjaan tertentu guna meningkatkan efektifitas dan produktifitas dalam suatu organisasi (Oemar, 2000 : 10).


5.      Lingkungan kerja yang menyenangkan
Bila memungkinkan setiap perusahaan hendaknya menyediakan fasilitas yang menyenangkan bagi perusahaan. Fasilitas yang menyenangkan bukan dalam pengertian sempit, fasilitas di sini dalam pengertian luas sehingga termasuk balai pengobatan, tempat ibadah, kamar kecil yang bersih dan sebagainya. Apabila perusahaan mampu meningkatkan fasilitas dan lingkungan kerja yang kondusif, maka karyawan akan berfikir kreatif dan penuh inisiatif yang akan berujung pada stabilitas karyawan.
6.      Kekhususan
Karyawan membutuhkan spesifikasi. Informasi spesifik secara lengkap dengan tata cara pelaksanaan yang baik dan terarah sangat membantu stabilitas kinerja, sekaligus memperbaiki kekurangan. Manajer tak perlu sibuk memandori dan karyawan tahu keinginan perusahaan, ini menunjang kreativitas. Hal ini bisa dicapai dengan manajemen Job Description (pembagian bidang kerja, tugas pokok dan fungsi, kewenangan, dll) yang baik. Point ini dapat pula diwujudkan dengan penempatan orang yang tepat pada posisi/jabatan yang sesuai bidang keahliannya (right man in the right job) .
7.      Konsistensi
Informasi sebaiknya tidak saling bertentangan. Misalnya penilaian berkala baik, tapi penilaian tahunan buruk. Inkonsistensi yang seperti ini dapat meresahkan dan menganggu kinerja. Pada point ini sistem monitoring dan evaluasi perusahaan harus mempunyai arah capaian/standart kinerja dan target yang jelas. Hal ini akan mempermudah perusahaan dalam melihat perkembangan kemajuan yang telah dicapai dan data laporan yang akurat. Sehingga dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang baik.
8.      Komunikasi yang efektif
Manajer harus mampu menciptakan komunikasi efektif untuk menumbuhkan persamaan persepsi dengan karyawan. Jika pernyataan/instruksi manajer tidak dimengerti atau diterima sepotong-sepotong, sasaran tak akan tercapai. Komunikasi efektif sangat berperan vital dalam penciptaan suasana kerja yang sehat. Instruksi atasan yang jelas dan benar harus dapat dipahami oleh karyawan. Pada saat terdapat masalah, harus disecepatnya diselesaikan. Bila terdapat unsur-unsur konflik baik vertikal (manajer–karyawan) maupun horizontal (sesama karyawan) dalam suatu perusahaan dibiarkan berlarut, sangat berpotensi mengganggu stabilitas iklim kerja.
9.      Niat baik dan kerjasama
Manajer perlu menunjukkan niat baik dan kerjasama. Karyawan yang ikut memberikan ide dalam menetapkan sasaran atau standar kinerja, berarti telah mengemukakan kehendak dan kebutuhannya. Karyawan tersebut akan berusaha mencapainya, karena dia tahu apa yang dia mau.
10.  Dll
Pergantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar pergantian karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik dari segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang Dalam arti luas, “turnover diartikan sebagai aliran para karyawan yang masuk dan keluar perusahaan” (Ronodipuro dan Husnan, 1995: 34). Sedangkan Mobley (1999: 13), megemukakan bahwa batasan umum tentang pergantian karyawan adalah : “berhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan”.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover, antara lain:
1.      Usia
Maier (1971) mengemukakan bahwa pekerja muda memiliki tingkat turnover  yang lebih tinggi daripada pekrja-pekerja yang lebih tua. Hubungan yang signifikan antar intensi turnover dan usia adalah hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi usia seseorang, maka akan semakin rendah intensi turnovernya (Dalam Mobley, 1986).
2.      Lama kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya korelasi negatif antara masa kerja dengan intensi turnover, yang berarti semakin lama masa kerja maka akan semakin rendah turnovernya (Prihastuti, 1992). Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat (Parson, dkk, 1985). Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan memicu terjadinya turnover tersebut.
3.      Tingkat pendidikan dan inteligensi
Mowday, dkk (1982) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover. Dalam hal ini, Maier (1971) membahas pengaruh inteligensi terhadap turnover. Dikatakan bahwa mereka yang memiliki tingkat inteligensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah terhadap tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman.
Sebaliknya, mereka yang memiliki inteligensi lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton.mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena tingkat inteligensinya yang terbatas pula (Handoyo, 1987).
4.      Keikatan terhadap perusahaan
Penelitian yang dilakukan Hom, dkk (1979); Michaels dan Spector (1982); Arnold dan Fieldman (1982); dan Steel dan Ovalle (1984) menemukan bahwa keikatan terhadap perusahaan memiliki korelasi negatif dan signifikan terhadap intensi turnover. Berarti semakin tinggi ikatan seseorang terhadap perusahaan akan semakin kecil ia mempunyai intensi untuk berpindahpekerjaan dan perusahaan, begitu pula sebaliknya.
5.      Kepuasan kerja
Penelitian yang dilakukan Mowday (1981); Michaels dan Spector (1982); Arnold dan Fieldman (1982) menunjukkan bahwa tingkat turnover dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang. Mereka menemukan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya maka akan semakin kuat dorongannya untuk melakukan turnover.
Ketidakpuasan yang menjadi penyebab terjadinya turnover memiliki banyak aspek, di antaranya adalah ketidakpuasan terhadap manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi dan hubungan interpersonal.
6.      Budaya perusahaan
Menurut Tani (dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia, 1990), budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, pembicaraan dan tindakan manusia yang bekerja dalam perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka, menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-haridan dapat membuat individu tersebutmerasa senang menjalankan tugasnya.
Robbins (1998) menyatakan bahwa budaya perusahaanyang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi turnover. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah perusahaansangat dipegang teguh dantertanampada seluruh karyawannya. Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut, dan semakin besar komitmen terhadapnya, maka semakin kuat budaya perusahaan tersebut.
Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan dan komitmen terhadap perusahaan pada para karyawanya, yang akan mengurangi keinginan untuk meninggalkan perusahaan.







KESIMPULAN
Keadilan berasal dari kata adil yang berarti benar dan patut atau tidak berat sebelah. keadilan merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan terkait dengan moral karyawan. Keadilan harus ditegakkan mulai dari atasan karena atasan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan pada bawahannya.
Seorang pimpinan perusahaan harus berusaha agar mutasi dan keluar masuknya karyawan tidak terlalu sering, karena akan mengakibatkan ketidakstabilan organisasi, biaya-biaya semakin besar, dan perusahaan tidak mendapat karyawan yang berpengalaman. Pimpinan perusahaan harus berusaha agar setiap karyawan betah bekerja sampai masa pensiunnya. Jika karyawan sering berhenti, manajer perlu menyelidiki penyebabnya dan mnemukan solusi tertept sehingga menciptakan stabilitas karyawan.
Beberapa cara dalam menjaga stabilitas karyawan:
1.      Menanamkan komitmen karyawan terhadap perusahaan
2.      Gaji yang cukup
3.      Meningkatkan semangat kerja karyawan
4.      Memberikan pendidikan dan pelatihan
5.      Lingkungan kerja yang nyaman
6.      Kekhususan
7.      Konsistensi
8.      Komunikasi yang efektif
9.      Niat baik dan kerja sama
10.  Dll.





DAFTAR PUSTAKA
Wahyu, Adji. Ekonomi. Jakarta: Erlangga. 2007.
Hasibuan, Malayu. Manajemen. Bandung: PT Bumi Aksara. 2001.
Keraf, A.S. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius. 1996.
Surbakti, R. Demokrasi Ekonomi: Keadilan dan Kerakyatan. 1993.
Siahaan, H.M. & Purnomo, T. (eds.). Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia. Surabaya: Surabaya Pos dan Yayasan Keluarga Bhakti.
Hani Handoko, T. Manajemen Personalia dan Sumber daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. 2000.
Danim, Sudarwan. Motivasi Kepimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. 2004.
Nitisemito, Alex S. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Sembilan. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia. 1996.
Saydam, Gouzali. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit PT Toko Gunung Agung. 1996.
Siagian, Sondang P. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : Rineka Cipta. 2002.
Tohardi, Ahmad.  Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung : Penerbit Mandar Maju. 2002.
Zainun, Buchari. Manajemen dan Motivasi. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Balai Aksara. 2004.
Kast, F.E. Rosenzwieg, J.E. Organisasi dan Manajemen. Terjemahan. Jakarta : Bumi Aksara. 1990.
Kerlinger, F. N. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Terjemahan. Yogyakarta : UGM Press. 1992.
Mobley, W.H. Pergantian Karyawan : Sebab, Akibat dan Pengendaliannya. Terjemahan. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo. 1986.
www.wikipedia.com
gsn-soeki.com



[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), h. 110-133.
[2] Lihat pula istilah-istilah itu dalam kamus Al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2007).
[3] QS. An-Nisa’/ 4: 135.
[4] QS. Ar-Rahman/ 55: 7.
[5] QS. Al-Nisa'/ 4: 58.
[6] Ibnu Hisyam, Sirah an Nabawiyah (Cairo: Dar at Taufiqiyah, 1975).
[7] QS. Al-Infithar/ 82: 6-7.
[8] QS. Ali-Imran/ 3: 18.
[9] QS. Fushshilat/ 41: 46.
[10] QS. Al-Ma-idah/5: 8.
[11] M. Amien Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), h. 113.
[12] QS. Al-A’raf/ 7: 29.
[13] QS. Al-Nahl/ 16: 90.
[14] QS. An-Nisa’/ 4: 58.
[15] QS. An-Nisa’/ 4: 135.
[16] QS. Al-Hujarat/ 49: 9.
[17] HR. Muslim
[18] HR. Muslim
[19] QS. Al-Hasyr/ 59: 7.
[20] HR. Ibnu Majah.
[21] Islam mengakui hak milik perorangan atas alat-alat produksi. Namun Islam amat menjaga agar harta jangan menumpuk pada sekelompok orang. Gunanya tentu agar keadilan selalu ditegakkan. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi (Bandung: Mizan, 1993), h. 180.
[22] Muttafaq alaih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar