Rabu, 04 Juli 2012

Harta


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Harta adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia, harta memang mutlak diperlukan manusia karena dengan harta manusia akan dihormati, dengan harta manusia bisa makan dan memberi makan anak dan istri, dengan harta manusia bisa membeli dan memiliki apa saja yang ia inginkan di dunia. Dan tanpa harta manusia seringkali dilecehkan, dihinakan, bahkan sampai ada orang yang gila dan bunuh diri karena tidak mempunyai harta.
Allah swt telah menjadikan harta sebagai sebagai sesuatu yang indah dalam pandangan manusia. Manusia diberi tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap harta. Harta di dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitasdan tiang kehidupan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), Dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menukarnya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dikupas mengenai masalah harta seputar kepentingannya dalam kehidupan manusia.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut al mal yang berasal dari kata ﻣﺎل _ ﻳﻤﻴﻞ _ ﻣﻴﻼ
Yang berarti condong, cenderung dan miring. Dari pengertian semantik ini dipahami sesuatu itu dinamakan harta bila dapat dikumpulkan untuk dimiliki baik bagi kepentingan individu, keluarga maupun masyarakat.[1]
كل ما يقتض ويحوزه الانسان بالفعل سواء اكان عينا او منفعة كذهب ا و فضة او حيوا ن او نبات او منا فع الشئ كالركوب وا لبس والسكن
 “Sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa benda yang tampak seperti emas,perak,binatang,tumbuh-tumbuhan,maupun (yang tidak tampak).yakni manfa’at seperti kendaraan,pakaian dan tempat tinggal.”[2]
 Sesuatu yang tidak dikuasai menusia tidak bisa dinamakan harta menurut bahasa, seperti burung diudara, ikan di dalam laut, pohon di hutan dan barang tambang di bumi.
Secara terminologis, menurut Ulama’ Hanafiyah, harta ialah:

مايميل اليه طبع الانسان ويمكن ادخره الى وقت الحجة. اوكان مايمكن حيازته واهرازه وينتفع به ﻋﺎدﻩ
 “Sesuatu yang di gandrungi tabi’at manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga di butuhkan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki,disimpan,dan dapat di manfa’atkan .“ [3]

Menurut Hanafiyah, harta mesti dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak dapat disebut harta. Menurut Hanafiyah , manfaat tidak termasuk harta tetapi termasuk milik.
ﻟﻤﺎلﻫﻮﮐﻞﻣﺎﻟﻪﻗﻴﻤﺔﻳﻠﺰمﺑﻀﻤﺎﻧﻪ ا
“Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak dan melenyapkannya.” (Jumhur ulama selain Hanafiyah)[4]
Kata mal berarti sesuatu yang dikumpulkan dan dimiliki, yaitu harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat. Faruqi mendefenisikan harta sebagai suatu benda atau kekayaan yang memberikan faedah yang dapat memuaskan jasmani dan rohani atau kebutuhan hidup.  Kata mal dalam al-Quran disebut sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah, suatu jumlah yang cukup banyak menghiasi sepertiga surah-surah al-Quran. Jumlah ini belum termasuk kata-kata yang semakna dengan mal, seperti rizq, mata’, qintar dan kanz (perbendaharaan).[5]
Harta dalam pandangan para fuqaha bersendi pada dua unsur, yaitu ‘ainiyah, yakni harta itu merupakan benda, ada wujudnya dalam kenyataan. Dan ‘urf, yakni harta itu dipandang harta oleh manusia, baik oleh semua manusia ataupun soleh sebagian mereka, dapat diberi atau tidak dapat diberi.[6]
2.2 Harta Ditinjau dari Perspektif Islam
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian (Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
‘’Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah’’ (HR Ahmad).
‘’Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain’’(HR Thabrani)
‘’jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki’’ (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).[7]
Menurut penelitian Yahaya bin Josoh M. Phil dalam desertasinya yang berjudul Konsep Mal dalam al-Quran, menyimpulakan bahwa konsep harta dalam al-Quran mencakup hal-hal di bawah ini.
1.      Harta adalam milik Allah, karena segala sumber daya alam dari langit dan bumi, disediakan oleh Allah yang Maha Pencipta yang mengaturnya untuk patuh terhadap sunnatullah, agar dapat diproduksi menjadi harta yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia.
2.      Pengumpulan harta dapat dilakukan dengan usaha mengeksplorasi sumber daya alam, usaha perdagangan dan pemberian harta dari orang lain dengan jalan yang tidak ditentukan oleh aturan Islam.
3.      Pemilikan harta individu terletak dalam batas-batas kepentingan anggota masyarakat, karena pada harta yang dikumpulkan oleh individu terdapat hak-hak orang lain.
4.      Kebebasan mengumpulkan dan memanfaatkan harta adalah pada barang-barang yang halal dan baik, dan tidak melanggar batas-batas ketentuan Allah.
5.      Harta harus dimanfaatkan untuk fungsi sosial dengan prioritas awal dimulai dari individu, anggota keluarga dan masyarakat.
6.      Pemanfaatan harta haruslah pada prinsip kesederhanaan dalam arti tidak sampai pada batas penghamburan harta epada hal-hal yang tidak penting dan mubazir, dan tidak pula sampai pada batas-batas kekikiran yang mengakibatkan terjadinya penimbunan harta.
7.      Harta dapat dikembangkan dengan usaha-usaha yang elah ditentukan syara’ dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
8.      Harta di sisi Allah tidak akan ada manfaatnya, apabila kewajiban menaati perintah Allah dilalaikan, karena harta hanyalah sekedar sarana untuk mendekatkan diri dan mencapai keridhaan-Nya di dunia dan akhirat.[8]

2.3  Harta yang Halal, Haram dan Syubhat
Al-Quran menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan Allah swt untuk kepentingan dan kebahagiaan manusia. Kendati demikian bukan berarti manusia bebas untuk menikmatinya. Ada aturan-aturan yang telah digariskan Allah dalam kitab-Nya tentang pengelolaan dan pemanfaatan isi alam baik dalam bentuk perintah maupun larangan.
Peraturan-peraturan itu berguna untuk membatasi manusia yang cenderung memiliki sifat tamak dan rakus, tidak pernah merasa puas terhadap harta yang pada gilirannya dapat mencelakakan dirinya sendiri. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits nabi yang menunjukkan kecenderungan negatif manusia tersebut. Dapatlah dikatakan, aturan-aturan itu penting agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsu dan mampu memilah dan memilih mana yang penting, berguna dan mana pula yang sekedar hiasan semata.
Ditinjau dari kaca mata hukum Islam, harta itu ada yang bendanya (a’in) halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram (dilarang mengumpulkan, mengkonsumsi dan memproduksinya). Di antara dua kategori tersebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas kehalalannyadan keharamannya). Dalam wilayah bisnis, kategori halal dan aram ini juga berlaku. Rafiq Isa Beekun menyebutnya dengan Halan and Haram Business Areas.
Dari sisi mendapatkan atau memperolehnya demikian juga ada yang halal, haram dan syubhat. Kategorisasi ini berangkat dari hadits Rasul yang artinya:
“Yang halal itu teah jelas dan yang haram itu juga jelas, dan di antara keduanya dalah hal-hal yang syubhat. Barang siapa yang bergelimang pada hal-hal yang syubhat diibaratkan seseorang yang mengembalakan kambingnya di pinggir jurang.”
Pernyataan hadits di atas yang menyebutkna bahwa sesuatu yang halal itu jelas, begitu pula yang haram, berpijak pada satu kenyataan bahwa al-Quran dan hadits sebagia sumber hukum Islam telah memberikan keterangan-keterangan yang rinci dan tegas menyangkut kategori tersebut. Berbeda dengan yang syubhat, keterangannya tidak begitu jelas, namun apakah ia dikategorikan pada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang ada.
Menarik untuk dicermati adalah metode yang dilakukan al-Quran dalam mengungkap dan menjelaskan harta yang halal dan haram. Ketika menyebut hal-hal yang diharamkan al-Quran menggunakan bahasa yang rinci dan tegas. Contohnya pada surah al-Maidah:3.
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama selai nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang terjatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan diharamkan bagimu menyembelih untuk berhala.”
Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal yang dihalalkan, al-Quran menggunakan bahasa yang global, seperti firman Allah di bawah ini:
“Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang tedapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.”
Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam menentukannya. Jika tidak dijelaskan, dipastikan manusia akan berbeda dalam menentukan mana yang haram dan mana yang tidak haram karena manusia akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya. Ternyata jumlah harta yang haram itu sedikit, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasinya.
Ini berbeda ketika Allah menjelaskan harta-harta yang halal. Apabila Allah juga merincinya di samping jumlahnya yang sangat banyak sehingga al-Quran menjadi jauh lebih tebal dan tidak fleksibel, hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi manusia sendiri. Kesulitan ini bisa saja dalam mengidentifikasi harta-harta yang halal dan lebih gawat lagi ketika muncul produk-produk baru yang tentu saja tidak disentuh al-Quran. Muncullah persoalan baru tentang hukumnya. Dengan demikian metode yang ditempuh al-Quran ketika menjelaskan harta yang haram maupun yang halal adalah dalam kerangka memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia.
Menyangkut yang syubhat sebenarnya di sini ada keleluasan manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah hanya memberikan isyarat, bermain-main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala kambing yang mengembalakan kambingnya di tepi jurang, sehingga besar kemungkinan akan jatuh ke dalamnya. Artinya, bermain-main dengan harta yang syubhat dapat menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan.[9]

2.4 Kedudukan Harta dan Fungsinya
Harta mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia. Hartalah yang dapat menunjang segala kegiatan manusia, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia (papan, sandang dan pangan).
Harta bukan satu-satunya yang diandalkan dalam mewujudkan pembangunan (material, spiritual), karena masih ada faktor lain yang ikut menentukan, seperti kemauan keras, keikhlasan, kejujuran dan seperangkat ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh masing-masing kegiatan. Harta termasuk ke dalam lima kebutuhan pokok manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta.
Kemudian seseorang diberi kesempatan oelh Allah memiliki harta, banyak atau sedikit, seseorang tidak boleh sewenang-wenang dalam menggunakan (memfungsikan) hartanya itu. Kebebasan seseorang untuk memiliki dan memanfaatkan hartanya adalah sebatas yang dibenarkan oleh syara’. Di samping untuk kepentingan pribadi, juga harus ada melimpah kepada pihak lain, seperti menunaikan zakat, memberikan infaq dan sadaqah untuk kepentingan umum dan untuk orang-orang yang memerlukan bantuan, seperti fakir miskin dan anak yatim. Hal ini berarti bahwa harta itu juga berfungsi sosial.[10]
Firman Allah dalam surah azd-Dzariyat:19, yang berbunyi:
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Dalam hadits Nabi saw disebutkan,
“Sesungguhnya pada setiap harta (seseorang), ada hak (orang lain) selain zakat. (HR. Tirmidzi)
Ditinjau dari syariah Islam, fungsi harta sangat banyak diantaranya :
a.       Harta berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdah).
b.      Untuk meningkatkan keimanan atau ketakwaan kepada Allah swt, sebab kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran.
c.       Harta berfungsi untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya, sebagaimana firman Allah:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa:9)
d.      harta berfungsi sebagai penyeimbang antara kehidupan dunia dan akhirat, Nabi saw bersabda :
“Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karenamaslah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat. (HR. Al-Bukhari)
e.       Harta berfungsi sebagai sarana harta modal pokok untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena ilmu tanpa modal akan terasa sulit, misalnya seseorang tidak bisa berkuliah di perguruan tinggi bila tidak memiliki biaya.
f.       Harta juga berfungsi untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan, seperti adanya pembantu dan tuan, adanya orang miskin dan kaya yang saling membutuhkan sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
g.      Untuk menumbuhkan silaturrahmi.[11]

2.5  Jalan-Jalan Memperoleh Harta
Sebelum menjelaskan mengenai jalan-jalan memperoleh harta, penulis akan terlebih dahulu akan menyebutkan sebab-sebab kepemilikan harta, yaitu:
1.      Ihraz almubahat (penguasaan harta bebas), yakni cara pemilkan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain.
2.      Al-Tawallud (anak pinak atau berkembang biak), yakni setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik.
3.      Al-khalafi (penggantian), yakni penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama.
4.      Al-‘Aqd (akad), yakni pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad.[12]

Merujuk al-Quran, akan ditemukan paling tidak tiga cara pengumpulan harta, yaitu:
1.      Ekplorasi sumber daya alam, adalah produksi yang memungut langsung bahan-bahan alamiah yang ada di prmukaan dan perut bumi. Tentu saja ini membutuhkan usaha manusia untuk menguaknya. Tanpa usaha manusia, harta itu akan tetap tersimpan dan tidak dapat termanfaatkan dengan baik. Eksplorasi sumber daya alam mengisyaratkan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dimiliki manusia.
2.      Usaha perdagangan, dalam al-Quran topik ini diungkap dengan kata tijarah atau perdagangan yang berarti menebarkan modal untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan yang disebut dalam al-Quran dengan kata tijarah diungkapkan sebanyak 8 kali dan kata bai’un yang bermakna jual beli disebut sebanyak 6 kali. Banyaknya ayat-ayat al-Quran yang mengungkap kata ini menunjukkan bahwa usaha perdagangan sebagai salah satu cara utama dalam pengumpulan harta.
3.      Pemberian orang lain, dari al-Quran terdapat isyarat pemberian harta dari orang lain dengan jalan-jalan yang dibenarkan syariat merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan harta. Pemberian harta dari orang lain dapat berbentuk zakat, sadaqah, infaq, ganimah, jiziyah, fa’i, warisan dan sebagainya. Ini bukan berarti kebolehan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.[13]
2.6 Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam
Konsep kepemilikan dalam Islam mempunyai perbedaan dengan paham-paham konvensional. Ciri khas konsep Islam tentang kepemilikan ini adalah pada kenyataaan bahwa dalam Islam legitimasi hak milik tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, seperti juga jumlah matematik tergantung pada tanda aljabar yang dikaitkan padanya.
Konsep kepemilikan dalam Islam jelas berbeda dengan kapitalisme dan komunisme, karena tidak satu pun dari keduanya itu berhasil dalam menempatkan individu selaras dengan kedudukan sosialnya. Hak milik pribadi merupakan dasar kapitalisme, dimana penghapusannya merupakan sasaran pokok ajaran sosialis. Pemilikan kekayaan yang tidak terbatas dalam kapitalisme pasti tidak luput dari kecaman bahwa ia turut bertanggung jawab akan kesenangan pembagian kekayaan dan pendapatan secara mencolok, karena dalam perkembangan ekonomi sesungguhnya hampir di mana saja ia telah meningkatkan kekuasaan dan pengaruh perserikatan perusahaan, di mana perusahaan yang memonopili harga dan produksi, dan perusahaan memiliki hak memonopoli. Hak milik yang tidak ada batasannya ini telah membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.di sini erjadi kedaulatan konsumen, dan ketidaksesuaian sistem harga dan tujuan mencari keuntungan.
Sedangkan sistem komunisme yang diatur atas dasar kolektivisme atau segala sesuatunya adalah milik negara menyebabkan dihapuskannya milik pribadi. Walaupun perencanaan bersifat totaliter yang digunakan dalam konsep hak milik kolektif dapat membantu untuk meniadakan pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak kekurangan-kekurangan yang lain, tetapi hal ini tidak bebas dari keterbatasan-keterbatasan tertentu yang bersifat serius, yaitu mengenai soal intensif dan soal kebebasan pribadi.
Dalam komunisme, jalur perkembangan ekonomi yang sebenarnya elah membuat manusia menjadi mesin produksi. Demikian pula fasisme menjamin adanya mata pencaharian bagi individu tetapi terlebih dulu menghancurkan kesatuannya yang mandiri dengan meleburnya dalam cakupan nasional yang mekanis. Masyarakat harus banyak berkorban bersama-sama.
Islam memberikan keseimbangan antara hal-hal berlawanan yang telah terlalu dilebih-lebihkan. Tidak hanya dengan mengakui hak milik pribadi tetapi juga dengan menjamin pendistribusian kekayaan yang seluas-luasnya dan paling bermanfaat melalui lembaga-lembaga yang didirikannya, dan melalui peringatan-peringatan moral. Hal ini akan menjadi jelas jika kita menjelaskan secara lebih konprehensif ketentuan-ketentuan pokok dan ketentuan-ketentuan syariat mengenai hak milik kekayaan dan metode penggunaannya.[14]
Menurut pandangan Islam, hak kepemilikan terhadap harta dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: hak milik pribadi (al-milkiyah al-fardiyah), hak milik umum (al-milkiyah al-‘amah) dan hak milik negara (al-milkiyah ad-daulah). Pembagian tiga kelompok jenis hak milik terhadap harta ini semata-mata didasarkan ketentuan nash-nash syara’ yang telah menempatkan pembagian tersebut.[15]

2.7 Kewajiban Terhadap Harta
Mengenai pembelanjaan harta, Islam mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, Islam mengharamkan bermegah-megah dan berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena sifat ini cenderung kepada penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis dari harta tersebut.
Islam mengajarkan ada kewajiban-kewajiban tertentu manusia terhadap harta, baik terhadap hartanya sendiri maupun harta orang lain. Kewajiban terhadap harta sendiri dapat berbentuk:
1.      Pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial atau masyarakat. Dalam kaca Islam, harta atau uang adalah modal,tidak boleh dibiarkan “idle” melainkan untuk investasi yang menghasilkan kesejahteraan umat dengan peningkatan produksi dan kesempatan kerja.
2.      Dalam tigkat tertentu, seseorg yang memiliki harta berlebih harus menginfakkan hartanya baik melalui institusi zakat, infaq, sodaqoh, wakaf dan sebagainya.
3.      Seseorang yang memiliki harta harus dapat menjamin dan menjaga harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi orang  lain.
Terhadap harta orang lain, setiap orang harus ikut memeliharanya dari segala kerusakan dan keamanannya. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong apakah melalui institusi sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai-menggadai, dimana terjadi pemindahan hak pemanfaatan bukan hak milik dari seseorang kepada yang menyewa atau yang meminjam. Pada saat itulah penyewa aau peminjam kewajiban untuk memelihara harta tersebut sebaik-baiknya.[16]
Al-quran melarang mengembangkan harta dengan cara menyengsarakan masyarakat dan juga memakan harta manusia dengan tidak sah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:188)
Di antara pokok-pokok penting dalam pengembangan harta adalah sebagai berikut :
1.      Menghindari sentralisasi modal.
2.      Mengembangkan yayasan-yayasan kemanusiaan dengan orientasi kemasyrakatan.
3.      Menguatkan ikatan persaudaraan dan kemasyarakatan melalui zakat dan infaq.
Menurut Islam, harta pada hakikatnya adalah milik Allah swt, namun karena Allah telah menurunkan kekuasaan-Nya atas harta tersebut kepada manusia, maka ia diberi kewenangan untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Sebab ketika seseorang memeiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk memanfaatkan dan dikembangkan. Namun demikian dalam hal ini dia terikat dengan hukum-hukum syara’, dan tidak bebas mengelola secara mutlak.[17]










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1)      Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
2)      Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang
3)      pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu: (a).  Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”; (b). Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”; (c).  ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).






Daftar Pustaka
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997.
Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001.
Hasan, M.Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Grafindopersada. 2004.
Fadhil, Dr. Nur Ahmad dan Akmal T, Drs. Azhari. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Hijri Pustaka Utama. 2001.
Ash-Shiddieqy, Prof  T.M. Hasbi. Pengantar Fikih Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang. 1989.
Sahrani, m.m., m.H, Drs. Sohari dan Abdullah,m.m, Dra. H. Ru’fah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia. 2011.
Masa’adi,M.Ag, Drs. Ghufron A. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Triyuwono, Iwan dan As’udi, Moh. Akuntansi Syariah. Jakarta: Salemba Empat. 2001.
Djakfar, SH.,M.Ag, Dr. H. Muhammad. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Malang: Penerbit UIN Malang Press. 2007.
Solahuddin,M. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.


[1] Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 70.
[2] Rahmat Syafei, fiqih muamalah,(Bandung:Gaya Pustaka Setia), h.21.
[3]Hendi Suhendi,fiqih muamalah,(Jakarta:Raja Grafindo Persada), h.9.

[4] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Grafindopersada, 2004), h. 56.
[5] Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h.70-71.
[6] Prof T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fikih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 151.
[7]. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, h. 9.
[8] Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 71.
[9] Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 75-78.
[10] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Grafindopersada, 2004), h. 58-61.
[11] Drs. Sohari Sahrani, m.m., m.H dan Dra. H. Ru’fah Abdullah,m.m, dalam Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia,2011), h. 26.
[12] Drs. Ghufron A. Masa’adi,M.Ag dalam Fiqih Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), h. 56-62
[13] Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 78-81.
[14] Iwan Triyuwono dan Moh. As’udi dalam buku Akuntansi Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), h. 45-46.
[15] M. Solahuddin, S.E., M. Si, dalam bukunya Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 66.
[16] Dr. Nur Ahmad Fadhil dan Drs. Azhari Akmal T, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h. 82-83.
[17] Dr. H. Muhammad Djakfar, SH.,M.Ag, dalam bukunya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, (Malang: Penerbit UIN Malang Press, 2007), h. 51-53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar