Rabu, 04 Juli 2012

Dia Penolongku


* Dimuat dalam Buku Antologi Cerpen "Di Atas Kubah Mesjid"

  Sayup-sayup kudengar suara azan, namun tak menggubris. Tanpa membuka kelopak mata, aku kembali terlelap meskipun tak sepenuhnya tak sadar. Aku berada di posisi tengah, antara sadar dengan tidak. Hingga kumandang azan tak lagi terdengar, aku masih saja bergelut dengan bantal guling di atas ranjang. Rasanya aku ingin kembali dibawa untuk bermimpi. Dengan kesadaran yang kupaksakan dan kelopak mata yang hanya setengah terbuka, ku turuni ranjang melangkah keluar kamar menuju kamar mandi. Tak lupa ku berwudhu dan mengerjakan ibadah subuh sebelum fajar mendulang.
            Parah, sungguh parah... Setelah salam, tanpa do’a aku kembali terlelap setengah sadar di atas sajadah. Wach,, anak gadis paling pantang seperti itu,, yach khan?? Dan memang tidak boleh tidur lagi di pagi hari. Walaupun hati kecilku berontak, namun tubuhku tak peduli, tak mau diajak berkompromi. Rasanya berat minta ampun.
Waktu telah bertengger antara angka enam dan tujuh ketika aku tersadar penuh. Masih tak percaya dengan apa yang kulihat, aku kembali menatapnya dengan mata melotot. Ternyata benar, bisa-bisa aku terlambat sekolah kalau tidak segera bergegas. Saat ini aku duduk di bangku XII sebuah Madrasah Aliyah Negeri berbasis Internasional.  Karena basis itu, peraturan di sekolahku sangatlah ketat. Jika terlambat, maka akan dipulangkan, kalaupun diizinkan masuk, minimal belajar di luar kelas.
Aku segera bangkit membuka mukena yang masih ku kenakan saat tertidur dan langsung meletakkannya pada rak tanpa dilipat. Kali ini aku terpaksa mandi bebek (alias mandi kilat) dan tidak menyentuh sarapanku demi meminimalisir waktu. Untungnya jarak antar rumah-sekolah tidaklah jauh, ditambah lagi aku memiliki kendaraan motor dan satu lagi, jalanan menuju sekolah jarang macet, jadi dalam perkiraan aku tidak akan terlambat.
Setibanya di depan sekolah, aku dikejutkan dengan pagar sekolah yang telah terkunci. Kulirik jam tangan coklat kesayanganku telah menunjukkan waktu pukul 07.10 WIB. Itu artinya aku sudah telat sepuluh menit dari peraturan yang telah ditetapkan. Pantas saja pagar sekolah telah ditutup. Tak jauh dari pagar, aku melihat satpam sekolah duduk di postnya sedang asyik mengotak-atik radio tua buatan 1990-an. Aku mencoba memanggil-manggilnya, namun sepertinya ia tidak mendengar. Aku tak mungkin mengeluarkan suara yang lebih kencang ataupun dengan menekan klakson motorku, bisa-bisa itu akan memancing perhatian guru dan aku bisa tertangkap basah telah melanggar peraturan sekolah.
Ku ambil batu kecil dan kulemparkan tepat ke arah satpam itu. Puch,, batu itu menimpuk radionya. Walaupun memanggil dengan cara tidak sopan, namun aku berhasil. Satpam itu terperangah kemudian menoleh ke arahku. Dengan raut wajah penuh amarah, ia berjalan mendekatiku. Dari balik pagar aku meminta maaf dan mencoba bernegoisasi agar diizinkan masuk. Namun, ia semakin menegang. Emosinya terlihat semakin meluap-luap. Jika dibiarkan, suaranya yang besar itu dapat memancing perhatian pihak sekolah. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan sebungkus rokok dari ranselku dan kusodorkan ke arahnya sambil mengiba, “Tolonglah pak, hari ini saya ada ujian.” Melihat apa yang aku berikan, wajahnya berubah 180 derajat. Sesaat ia melongokkan wajahnya ke kanan dan kiri, kemudian membukakan pagar dan merebut sebungkus rokok dari tanganku. “Cepat masuk,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Cara ini aku pelajari dari seorang seniorku dulu. Saat itu tak sengaja melihatnya saat hendak ke ruang tata usaha. Ini memang salah, tapi aku rasa inilah satu-satunya cara agar murid-murid yang terlambat seperti aku dan seniorku itu dapat menerobos masuk. Karena ulah satpam sekolahku ini, terdengar kabar bahwa ia telah berada di ambang pintu pemecatan. Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Satpam itu atau kami, murid-murid yang suka terlambat?
Ini baru satu dari sekian banyak perbuatan nakal yang aku lakukan. Yach,,, semasa itu, bisa dikatakan aku termasuk anak badung. Namun, sebadung-badungnya diriku, aku tidak pernah meninggalkan ibadah salat wajib. Ini pesan yang selalu dilontarkan ibuku kepadaku semasa ia masih hidup. Sejak ia meninggalkanku tepatnya dua tahun enam bulan lima hari yang lalu akibat penyakit tumor yang menyerang dengan ganas, aku menjadi seperti ini. Seakan ini menyatakan pemberontakanku atas kepergian ibuku. Di rumah, hanya ia yang begitu menyayangiku, yang lainnya memusuhiku. Aku seolah merasa tak mempunyai siapapun di dunia ini selain dirinya.
***
“Yuki, ana mau ke kantin, anti mau ikut?” tanya Ida. Tanpa memandangnya, aku segera menggelengkan kepala menandakan tidak. Ida segera berlalu meninggalkanku yang sedang menyalin tugasnya di buku PRku. Selain menjadi sahabat, terkadang Ida juga bisa menjadi adik, kakak, orang tua, ataupun guruku. Aku mengenalnya saat masuk sekolah ini. Kebetulan saat itu ia adalah teman sebangkuku. Kemudian kami akrab seiring waktu. Buatku Ida adalah anak yang sangat baik. Ia juga pintar, ramah dan shalehah. Pakaiannya rapat menutup aurat, wajahnya berseri walaupun berwarna gelap, perkataannya lembut menyayat, dan sikapnya bagai malaikat. Sungguh hebat.
“Ini, ana tahu anti suka ini dan anti juga belum makan khan?” Ucap Ida sekembalinya dari kantin sambil menyodorkan sebatang coklat dan sebotol minuman. “Hari ini ana juga sengaja melebihkan bekal yang ana bawa untuk anti, ana tahu anti tidak pernah sarapan pagi karena selalu bangun kesiangan. Dan ana akan melakukannya untuk seterusnya. Jadi, anti harus makan bersama ana, “ lanjutnya sambil membuka bekal dan memberikan suapan pertama untukku. “Aku bukan anak kecil,“ jawabku. Namun, ia terus memaksa hingga aku tak bisa menolak. Sambil menulis aku terus disuapinya. Kali ini dia bertingkah melebihi ibuku.
Bukan itu saja, setiap kali kami mengobrol, Ida akan menceramahiku. Perkataannya selalu mengandung makna ayat dan bersifat religius. Sering kali aku kena damprat olehnya akibat sikapku yang salah di matanya. Aku merasa semua yang aku lakukan memang selalu salah baginya, namun ia menasihatiku dengan penuh kasih sayangnya. Dan aku akan patuh atas apa yang ia katakan. Walau bagaimanapun apa yang ia katakan selalu membuat aku senang, meskipun itu sebuah teguran.
Suatu kali saat guru yang bersangkutan tidak hadir, aku masih ingat saat itu hari sabtu, Ida menceritakan kepadaku hal-hal yang ia dapat dari liqo’-nya (sebuah pertemuan yang diadakan demi membahas hal-hal keagamaan). Kali ini ia menjelaskan mengenai kewajiban menutup aurat. Awalnya aku merasa biasa saja, sebab aku merasa telah menutup auratku, seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan, tak ada yang salah. Namun ternyata Ida berbicara mengenai hal yang lebih dalam dari itu. Ia mengatakan bahwa pakaian yang aku kenakan sesungguhnya belumlah sesuai. “Yang anti pakai ini namanya kerudung, bukan jilbab. Jilbab ialah sejenis kain yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada,” jelas Ida sembari memegang jilbab yang kukenakan, ups,, kerudung maksudnya. “Kerudung anti terlalu pendek, nanti akan ana bawakan yang lebih panjang untuk anti,” lanjutnya dengan senyuman. Bisakah kalian membayangkan bagaimana perasaanku saat itu? Aku ingin sekali menolak tawarannya, namun tidak tega.
Begitu pula ketika aku sedang kesulitan bahkan dapat dikatakan depresi pelajaran, Ida-lah yang membantuku untuk menghadapainya. Dengan sabar ia mengajariku materi yang sulit kupahami. Beruang kali aku berontak, berulang kali pula ia menasihatiku. Anehnya aku akan luluh dengan kata-katanya. Pernah suatu kali aku duduk bersama sekumpulan teman-teman cowok di sekolah, lalu Ida datang dan membawaku pergi. Aku tahu saat itu ia ingin melarang, namun ia tidak mngatakannya secara langsung, ia mengajakku untuk menemaninya salat dhuha di mesjid sekolah. Ini bukan hanya sekali, ia berulang kali mengajakku untuk menemaninya ke mesjid di waktu dhuha. Setelah selesai menunaikan ibadah sunnah tersebut, kami sering sekali membicarakan banyak hal di tempat itu hingga akhirnya tempat itu menjadi bagian yang paling aku sukai di sekolah.
Lambat laun aku mulai terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang sahabatku ini lakukan. Mulai dari ucapan, perbuatan, hingga penampilan. Aku banyak belajar darinya. Aku yang bisa dikatakan jauh dari agama, kini mulai memahami dan merasakan nikmatnya. Sungguh tak pernah terbayang sebelumnya olehku bisa menjadi seperti ini. Jujur saja sebelum berjumpa dengan Ida dan sepeninggal ibuku, aku termasuk orang-orang yang telah berputus asa. Buatku, Ida manusia berhati malaikat yang Allah kirimkan untuk menolongku.
***
Waktu terus berjalan sesuai aturan-Nya, tak pernah meleset sedikitpun. Malam menelan siang, begitu pula siang menelan malam. Mereka seakan berkejar-kejaran. Tidak terasa masa Aliyah akan segera berlalu. Apakah itu artinya waktu kebersamaan antara aku dan Ida juga akan berakhir?  Meskipun aku tak berharap begitu, namun yang ku tahu pasti kami tidak akan berjumpa sesering ini. Terlebih lagi setelah aku tahu bahwa jalan kedepan yang akan kami jalani berbeda. Aku akan melanjutkan pendidikan di sebuah Universitas, sedang Ida tidak melanjutkan pendidikannya, tetapi akan bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Sayang seribu sayang anak sepintar Ida harus berhenti sampai di sini. Namun, aku tak dapat melakukan apapun untuknya.
Di ambang perpisahan, aku tersedu sedan dalam pelukannya. Sungguh aku berat untuk melepasnya pergi. Masih banyak yang ingin aku pelajari darinya dan terlalu banyak yang telah ia berikan kepadaku, sedang aku tak dapat membalasnya. Aku rapuh, sungguh rapuh, aku merasa akan kehilangan orang yang aku sayangi untuk kedua kalinya. Ida mencoba menenangkanku. Mengajakku beristighfar berulang kali. Ku ikuti perintahnya hingga aku benar-benar tenang setelah mengingat-Nya. Saat itulah teakhir kali aku menatapnya sebelum kami berpisah.
***
Gelap berhasil menenggelamkan terang, bulan terlihat lebih bulat dan terang saat itu. Sepi menyelinap mendatangkan keraguan. Tak ada siapapun di ruang itu, hanya aku yang terdiam menatap layar ponsel yang telah tiga tahun lebih setia mendampingiku. Sebuah pesan singkat memenuhi memori handponeku, datang dari seorang teman lama yang juga teman aku dan Ida. Pesan itu berisikan sebuah undangan resepsi pernikahan. Aku dikejutkan dengan nama yang menjadi calon pengantin wanitanya. Ida Nurhasanah. Hatiku berlonjak, antara bahagia, terharu, sedih, tak percaya dan kecewa, semua bercampur menjadi satu. “Tidakkah ini terlalu cepat?” gumamku.
Sebulan setelah perpisahan itu, aku tidak lagi dapat menghubungi Ida. Nomor ponselnya sudah tidak lagi aktif dan tidak seorangpun dari temanku yang mengetahuinya. Ida juga tidak pernah lagi menghubungiku. Bahkan ia sekeluarga telah pindah rumah. Kami diskomunikasi diakibatkan sebab yang tidak kuketahui dengan pasti. Terakhir aku mendengar kabar dari salah satu tetangganya bahwa ia telah bekerja dengan sebuah supermarket. Jika aku tidak salah hitung, belum satu tahun yang lalu ia mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Dan kini ia akan segera menempuh hidup berkeluarga tanpa memberitahuku secara langsung. Aku harus mendengar kabar ini dari orang lain. Namun, aku membuang pikiran buruk dan tetap bersyukur pada-Nya karena aku masih diberikan kesempatan untuk mengetahui hal ini.
Bersama teman-teman yang lain, aku pergi menghadiri undangan itu. Setibanya di sana, beberapa papan ucapan bertuliskan nama sahabat lamaku berdiri tegak. Degup jantungku semakin tak beraturan. Ia berdetak sesukanya, bahkan lebih cepat. Kutarik nafas lebih dalam dari sebelumnya dan kulangkahkan kaki memasuki wilayah pesta. Di ambang pintu, jelas ku lihat kedua orang tua Ida dari balik keramaian. Kudekati mereka dan kusalami dengan penuh kehangatan. Sebuah pelukan aku dapat dari ibunya, erat sekali. Kemudian mempersilahkanku masuk setelah melepaskan pelukannya.
Aku memilih tempat di dalam rumahnya, duduk tepat di depan pelaminan. Tak kudapati sahabatku duduk bersanding di sana. Mataku mulai bekerja mencari-cari sesuatu hingga berhenti pada sebuah pintu kamar. Pintu itu dihias sedemikian rupa, aku yakin itu adalah kamar pengantinnya. Tak sabar melihat wajah bahagia sahabatku, dengan bantuan orang yang dikenal aku melongos masuk ke kamar tersebut. Terlihat seseorang sedang dihias di depan meja hias. Sungguh cantik parasnya bagaikan aktris Bollywood. Namun, menurutku lebih cantik Idaku. Aku tertegun menatapnya dari pantulan cermin. Itu sahabatku. Ternyata ia juga melihatku dari cermin, ia segera berbalik dan memelukku hangat sembari menyebut namaku. Yach,, dia Idaku. “Bagus-bagus belajar ya Yuki,” pesannya sembari melepaska pelukannya. “Setelah ini Ida akan pergi ikut suami ke Rantau,” lanjutnya terbata.
Ada hal yang telah berubah yang membuatku tak dapat mengenalinya. Ia melakukan hal yang paling ia hindari. Sungguh ia telah melanggar perkataannya sendiri. Di acara yang sakral ini, ia melepas penutup kepalanya, memamerkan indah rambutnya. Mengenakan busana selayar bertali satu dengan paduan warna putih pink yang sangat mengetat menampakkan lekuk tubuhnya. Astaghfirullah,, berulang kali aku mengucakannya dalam hati. Memohonkan ampun untuk sahabatku. Bahkan bukan aku saja yang terkejut melihat ini, tetapi semua teman-temanku yang hadir. Di belakang mereka mencibir Ida sehingga telingaku terasa memanas. Aku tak tahan, sungguh tak tahan. Dalam hati aku bergeming, “Sahabatku tercinta, benarkah ini dirimu? Tahukah kau selama ini aku merindukanmu karena-Nya? Tapi kenapa kini ku seperti tak mengenalimu? Bahkan ku seakan tak menemukan sosokmu! Kau berubah menjadi orang yang tak kukenal. Sungguh ironis, kau lakukan apa yang selama ini kau katakan paling kau hindari dan kau benci. Kau tahu sahabat, hati ini seperti terkikis habis berguyur berdarah-darah melihatmu begini. Sakit sekali. Kini kau telah menjalani kehidupan barumu. Do’aku selalu menyertaimu, sahabat. Semoga keridhoan-Nya selalu menyertaimu dan keluargamu. Amin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar