Rabu, 04 Juli 2012

Islam di Indonesia

Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Ketika Malaka mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan yang baru, banyak pedagang dari Arab, India (Bengali), dan Persia yang meninggalkan Pasai. Mereka telah menjadi lapisan elit yang kaya berkat perdagangan yang mereka kuasai. Di samping itu, terdapat para ulama yang sebagian besar berkebangsaan Arab. Mereka inilah yang berperan mengajarkan agama Islam di lingkungan masyarakat di pusat perdagangan yang tersebar di Asia Tenggara. Hubungan antara Majapahit dan Kesultanan Malaka pada bagian kedua abad XV tidak hanya dalam pemerintahan, tetapi juga perdagangan. Majapahit memperoleh pasokan barang-barang mewah dari Kesultanan Malaka. Sebaliknya, Majapahit memberikan bahan-bahan makanan berupa beras serta hasil pertanian lainnya. Malaka berperan penting dalam mempercepat islamisasi di bandar-bandar sepanjang jalur perdagangan ke Majapahit. Ini merupakan awal pertumbuhan komunitas Islam yang akan menyebar sampai ke pedalaman Pulau Jawa.
Sejarawan telah memberikan beberapa pendapat mengenai waktu masuknya Islam ke Indonesia. Beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Agama Islam telah masuk ke wilayah Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad  ketujuh Masehi dan dibawa para saudagar Arab yang berdagang di Tiongkok. Dari tanah Arab, para saudagar itu menuju Tiongkok melalui jalur Arab-Malabar-Nicobar-Kamboja-Aceh.
  2. Agama Islam masuk ke Indonesia, tepatnya di daerah Aceh, pada pertengahan abad ke-7 Hijriah (ke-12 M). Hal ini dapat dibuktikan melalui kedatangan seorang mubaligh bernama Abdullah Arief pada tahun 1151 M ke wilayah Aceh. Pada tahun 1205 M tercatat sebuah nama penguasa muslim bernama Raj Johan Syah yang menguasai wilayah sampai ke Semenanjung Melayu.
  3. Berdasarkan hasil seminar nasional tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-1 H (abad ke-7 M) secara langsung dari tanah Arab. Daerah yang pertama kali menjadi tempat masuknya Islam adalah pesisir Sumatra. Agama Islam disebarkan oleh para saudagar muslim dengan cara damai.


Proses Penyebaran Islam di Indonesia
Berdasarkan sumber sejarah, baik tulisan maupun peninggalan fisik, proses penyebaran Islam di Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Para pedagang muslim mancanegara mendirikan permukiman semi permanen di sejumlah bandar penting Indonesia. Mereka mendirikan mesjid untuk keperluan kegiatan keagamaan. Saat berinteraksi dengan masyarakat pribumi, mereka mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.
  2. Pengenalan ajaran dan nilai-nilai Islam belum memperoleh tanggapan saat pengaruh kerajaan Hindu-Budha  masih kuat. Meskipun demikian, para pedagang Islam tetap aktif berdakwah, bahkan melibatkan para mubaligh dari negeri asal mereka. Upaya itu menunjukkan hasil ketika pengaruh kerajaan Hindu-Budha mulai surut. Sejumlah permukiman muslim yang permanen bermunculan di sejumlah bandar penting, seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
  3. Berkembangnya permukiman muslim di pusat perdagangan menjadikan masyarakat muslim sebagai kekuatan ekonomi. Para pedagang muslim pribumi terlibat aktif dalam kegiatan perdagangan mancanegara. Kekuatan ekonomi belum beralih menjadi kekuatan politik selama kerajaan Hindu-Budha masih berpengaruh.
  4. Kekuatan ekonomi itu beralih menjadi kekuatan politik saat penguasa pribumi di bandar dagang menjadi muslim. Kondisi itu dipercepat dengan mundurnya pengaruh kerajaan Hindu-Budha. Puncak kekuatan politik Islam adalah munculnya sejumlah kerajaan Islam di Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia terjadi melalui beberapa cara, yaitu :
  1. Melalui Perdagangan
  2. Melalui Perkawinan
  3. Melalui Tasawuf
  4. Melalui Pendidikan
  5. Melalui Kesenian
  6. Melalui Politik
Dalam menyebarkan agama Islam, ada golongan-golongan yang berperan di dalamnya. Agama Islam pada awalnya dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, India dan Mesir, kemudian disebarkan dan dikembangkan oleh para ulama dan mubaligh Indonesia, seperti :
  1. Dato’ri Bandang dan Dato Sulaeman yang menyebarkan agama Islam di Gowa dan Tallo, Sulawesi Selatan.
  2. Dato’ri Bandang bersama Tuan Tunggang’ri Parangan yang melanjutkan penyebaran agama Islam sampai ke Kutai, Kalimantan Timur.
  3. Para wali dengan sebutan wali songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Nama wali songo adalah nama suatu dewan mubaligh di Jawa. Apabila salah satu anggota dewan wafat, dia digantikan oleh wali yang lain berdasarkan musyawarah. Setiap wali mempunyai tugas melanjutkan penyiaran Islam di Pulau Jawa. Berikut ini adalah nama-nama wali songo.
a. Maulana Malik Ibrahim yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik (dikenal dengan sebuatan Sunan Gresik)..
b. Sunan Ampel yang semula bernama Raden Rakhmat berkedudukan di Ngampel (Ampel), dekat Surabaya.
c. Sunan Bonang yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rakhmat dan berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
d. Sunan Drajat yang semula bernama Syarifuddin juga putra Raden Rakhmat yang berkedudukan di Drajat dekat Sedayu (Surabaya).
e. Sunan Giri yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit Giri Gresik.
f. Sunan Muria yang semula bernama Raden Umar Said yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
g. Sunan Kudus yang semula bernama Jafar Sidiq yang berkedudukan di Kudus.
h. Sunan Kalijaga yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak.
i. Sunan Gunung Jati yang semula bernama Syarif Hidayatullah yang berasal dari Samudera Pasai. Ia dapat merebut Sunda Kelapa Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.
Selain para ulama, para pedagang dan para muslim Cina juga memegang peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam.
Pengaruh Islam terhadap Peradaban Bangsa Indonesia
Secara geografis, wilayah Indonesia termasuk dalam kawasan Asia Tenggara. Masyarakat di wilayah ini telah memiliki peradaban yang tinggi sebelum kedatangan Islam. Hal itu disebabkan karena wilayah Asia Tenggara merupakan negara-negara yang memiliki kesamaan budaya dan agama.negara-negara tersebut telah memiliki kontak dengan peradaban bangsa India. Kontak itu tidak hanya terjadi dalam aspek peradabannya saja, tetapi juga meliputi agama dan kepercayaan.
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah mengenal tulisan yang diajarkan para penyebar agama Hindu dan Budha. Pengaruh itu telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-7 M sampai abad ke-14 dan ke-15 M. Pengaruh. Hindhuisme dan Budhaisme membawa prubahan besar, terutama dalam sistem pemerintahan.
Pengaruh agama Hindhu dan Budha bagi masyarakat Indonesia dapat dilihat dari banyaknya bangunan-bangunan suci untuk peribadatan, seperti candi, ukiran, patung, dan relief. Ukiran dan relief yang terdapat di dalam menggambarkan kreativitas bangsa Indonesia. Dalam bidang sastra, lahir beberapa kitab semacam kitab suluk yang menceritakan perjalanan seorang sufi dalam mendapatkan ilmu sejati. Contohnya adalah Kitab Dewa Ruci.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa bangsa Indonesia sebelum menerima agama Islam telah mempunyai agama dan kepercayaan, yaitu agama Budha, Hindhu serta animisme dan dinamisme. Di samping itu, masyarakat Indonesia telah memiliki peradaban sebelum kedatangan agama Islam, seperti peradaban magalithicum  dan peradaban yang merupakan perpaduan antara peradaban lokal dan peradaban Hindhu-Budha. Pada abad ke-7, Islam belum menyebar luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, karena pengaruh agama Budha masih memegang peranan di Kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan sosial, politik, perekonomian dan kebudayaan. Pada awal abad ke-13 M, kerajaan ini memasuki masa kemunduran. Dalam kondisi seperti ini, pedagang-pedagang muslim memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Mereka tidak hanya membangun perkampungan yang ekonomis, tetapi juga membentuk struktur pemerintah yang dikehendaki. Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri adalah sebagai berikut :
  1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil proses islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang muslim sejak abad ke-7 M. Raja pertamanya adalah Malik as-Saleh.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan gelar Malik as-Slaeh sebelum menjadi raja adalam Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik as-Saleh. Adapun raja-raja yang menggantikan kedudukannya adalah sebagai berikut :
  1. Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326 M)
  2. Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345 M)
  3.  Mansur Malik az-Zahir (1345-1346 M)
  4. Ahmad Malik az-Zahir (1346-1383 M)
  5. Zainal Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M)
  6. Nahrasiyah
  7. Abu Zaid Malik az-Zahir
  8. Mahmud Malik az-Zahir (1455-1477 M)
  9. Zainal Abidin (1477-1500 M)
  10. Abdullah Malik az-Zahir (1500-1513 M)
  11. Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan Islam Samudra Pasai berlangsung sampai dengan tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M, kerajaan ini direbut oleh Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Raja Ali Mugayat Syah.

  1. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M. Pendirinya dalah Ali Mugayat Syah. Ia meluaskan wilayahnya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis yang kemudian menaklukkan Kerajaan Islam Samudra Pasai tahun 1524 M.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Untuk menghadapi tentara Portugis, ia bekerja sama dengan Kerajaan Turki Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia.
Puncak kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya, Kerajaan Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatra. Ia memerintahkan dengan keras dalam menentang penjajahan Portugis. Setelah itu, kedudukannya digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memerintah secara lebih liberal. Pada masanya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam mengalami masa keemasan. Akan tetapi, setelah kematiannya negara dipimpin oleh para penguasa perempuan (1641-1699 M). Akibatnya, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran. Akhirnya, pada abad ke-18 M, Kerajaan Aceh runtuh dan kebesarannya hanya tinggal kenangan.
  1. Kerajaan Demak
Kerajaan ini didirikan atas prakarsa para wali. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama Kerajaan Demak. Ia mendapat gelar Senopati Jimbul Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raden Patah dibantu oleh para wali, terutama dalam persoalan-persoalan agama. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah asal (kekuasaan) Majapahit yang diberikan raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini semakin lama berkembang menjadi daerah yang ramai dan pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan para wali.
Masa pemerintahan Raden Patah berlangsung sejak akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16 M. Raden Patah adalah anak raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor. Ketika menggantikan kedudukan ayahnya, Pati Unus baru berusia 17 tahun pada tahun 1507 M.
Setelah menduduki jabatan sebagai raja,ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malak ditaklukkan oleh Portugis tahun 1511 M. Serangan yang dilakukannya mengalami kegagalan. Karena kerasnya ombak dan kuatnya pasukan Portugis, ia kembali ke Demak tahun 1513 M.
Pati Unus digantikan oleh Sultan Trenggono, ia kembali dilantik Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546 M. Pada masanya, agama Islam berkembang sampai ke Kalimantan Selatan. Dalam penyerangan ke Blambangan, Sultan Trenggono meninggal (1546 M). Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Prawoto. Pada masanya terjadi kerusuhan sehingga ia terbunuh. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Joko Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang. Pada masa ini, Kerajaan Islam Demak pindah ke Pajang.
  1. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Demak. Raja pertamanya adalah Joko Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di Pajang. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari tangan Aria Penangsang pada tahun 1546 M, seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajang. Ia mendapat gelar Sultan Adiwijaya.
Pada masa pemerintahannya, ia berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke pedalaman di arah timur hingga Madiun. Setelah itu, ia menaklukkan Blora pada tahun 1554 M dan Kediri tahun 1577 M. Pada tahun 1581 M, ia mendapat pengakuan dari para raja di Jawa sebagai raja Islam. Di masa pemerintahannya, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara mulai dikenal di pedalaman Jawa. Hal itu menyebabkan pengaruh islam makin kuat di pedalaman Jawa.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya tahun 1587 M, kedudukannya digantikan oleh Aria Panggiri, anak Sunan Prawoto. Sementara itu, anak Sultan Adiwijaya, yaitu Pangeran Benawa diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri dengan mendapat bantuan dari Senopati Mataram. Usahanya itu berhasil dan ia memberikan tanda terima kasih kepada Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, ia menolak tawaran itu. Ia hanya meminta pusaka Kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang berada di bawah perlindungan Mataram dan kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.
  1. Kerajaan Mataram
Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh puteranya bernama Seda Ing Krapyak yang memerinyah sampai tahun 1613 M. Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613-1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak-kontak bersenjata antara Kerajaan Mataram dan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M, ia digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran tahun 1677-1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Mataram.
  1. Kerajaan Mataram
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat tahun 1568 M dalam usia 129 tahun. Kedudukannya sebagai Wali Songo membuat ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Kerajaan Pajajaran yang belum menganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang meruntuhkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Girilaya. Sepeninggalnya, Kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Penembahan Sepuh memimpin Kesultanan Kasepuhan yang bergelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar Badruddin.
  1. Kerajaan Banten
Setelah Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon. Kekuasaan diserahkan kepada putranya, yaitu Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin kemudian menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552 M. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung dan Sumatra Selatan. Pada tahun 1527 M, ia berhasil menaklukkan Sunda Kelapa.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai raja Islam pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Yusuf. Ia menaklukkan Pakuan pada tahun 1579 M sehingga banyak bangsawan Sunda yang masuk Islam.
Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Muhammad yang masih muda belia. Selama itu, kekuasaan dipegang oleh Qadi bersama empat pembesar istana lainnya. Muhammad meninggal tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu, kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M dan mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Pada masa Sultan Abdul Fatah (1651-1659 M) terjadi beberapa kali peperangan dengan VOC yang berakhir dengan perdamaian tahun 1659 M.
  1. Kerajaan Islam di Kalimantan
Penyebaran Islam di Kalimantan banyak dilakukan oleh para mubaligh dari Jawa. Hal itu terjadi karena hubungan masyarakat antara dua kepulauan itu sudah terjalin sejak masa pemerintahan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kutai. Oleh karena itu, para mubaligh pada masa berikutnya hanya melanjutkan hubungan yang telah terjalin cukup lama itu. Di antara mubaligh yang datang ke Kalimantan adalah Khatib Dayyan serta mubaligh dari Banjar, yaitu Muhammad Arsyad al-Banjari yang menegakkan ajaran Islam di Kalimantan pada abad ke-18 M.
Ketika Demak berkuasa, terutama pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M), terjadi konflik di Kerajaan Daha, yaitu Pangeran Samudera dan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Demak. Permohonan itu diterima dengan syarat, jika ia memenangkan peperangan, ia harus masuk Islam. Ternyata, peperangan itu dimenangkan oleh Pangeran Samudera. Ia pun masuk Islam.
Di Kalimantan Barat, yaitu di daerah Sukadana, sejak tahun 1550 M telah berdiri kerajaan Islam. Sultan yang perama adalah Penembahan Girikusuma (1591 M) dan yang kedua adalah Sultan Muhammad Safiuddin (1677 M).
  1. Kerajaan Islam di Sulawesi
Di sulawesi terdapat beberapa kerajaan, di antaranya adalah Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan. Kerajaan ini terletak di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi yang merupakan daerah strategis.
Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Kerajaan Ternate mengadakan persahabatan dengan Kerajaan  Gowa-Tallo. Babullah mengajak raja kerajaan tersebut untuk menerima agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Dato’ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Sultan Alauddin adalah raja pertama yang memeluk Islam pada tahun 1605 M. Setahun kemudian, hampir seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam di daerah itu adalah abdul Qadir Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau. Raja Gowa-Tallo sangat besar perannya dalam penyebaran Islam. Bukan hanya rakyatnya yang menerima Islam, tetapi juga kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Wajo menerima Islam tahun 1610 M. Bone menerima Islam tahun 1611 M. Raja Bone pertama yang menerima Islam bergelar Sultan Adam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masuknya Islam ke wilayah Sulawesi menjadi sebab utama bersatunya kerajaan-kerajaan yang ada di sana. Meskipun sudah masuk Islam, pertempuran antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam yang lain masih terjadi. Meskipun demikian, Islam tetap memberi arti penting bagi kemajuan peradaban masyarakat di Sulawesi.

Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Peranan itu dapat dilihat dari pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia yang sangat luas. Hal itu menimbulkan kesulitan untuk memisahkan antara kebudayaan lokal dan kebudayaan Islam.
Secara sosiokultural, pengaruh Islam terhadap peradaban bangsa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa hal berikut :
  1. Pengaruh Adat Istiadat
Pengaruh peradaban Islam dalam adat istiadat di Indonesia sering kita jumpai, seperti ucapan salam berupa kalimat ’alikum wa rahmatullah wa barakatuh yang digunakan dalam berbagai forum resmi. Di samping itu, juga terdapat ucapan kalimat-kalimat doa yang digunakan dalam rapat akbar, seperti istigasah, kubra, tahlilan dan ucapan basmalah ketika akan memulai suatu pekerjaan atau acara.
  1. Pengaruh Kesenian
Pengaruh kesenian yang cukup menonjol, antara lain irama kasidah, nasid, tilawatil qur’an dan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Syair pujian yang mengagungkan nama-nama Allah juga sering didengungkan oleh umat Silam di mesjid dan musala. Hal itu merupakan bukti adanya pengaruh ajaran Islam terhadap kehidupan masyarakat Insonesia.
  1. Pengaruh Bangsa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga tidak terlepas dari pengaruh bahasa Islam, yaitu bahasa Arab. Misalnya kata wajib berasal dari bahasa arab yaitu fardu, kata lahir berasal dari bahasa Arab zahir, sedangkan akhir kata berasal dari bahasa Arab akhirul kalam. Begitu juga dengan nama. Masyarakat Indonesia memberi nama anak mereka dengan nama  Arab, seperti abdullah, Muhammad, Ahmad, Abdul Aziz, Abdul Razak, Aminah, Khadijah dan Aisyah.
  1. Pengaruh Politik
Setelah tersosialisasinya agama Islam, maka kepentingan politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti pula dengan penyebaran agama Islam. Pengaruh ini juga dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak, Banten dan Tidore.
Perkembangan Islam di Indonesia
Pada abad ke-17 M, tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para Ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mereka mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.
Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
  • Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
  • Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Awal abad ke-20 M, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al-Qur’an dan hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan pun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin pergerakan berasal dari golongan bangsawan.
Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.
Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia. Serikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan Belanda. Tokoh-tokoh Serikat Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Di masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.
Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang kontroversi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.
Menjelang abad ke-21 M, proses dakwah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awalnya masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk muslim terbesar di dunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.



Referensi
Wahid, N. Abbas,  Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Matroji, Sejarah, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008.
Surpriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Hamka, Prof.DR, Sejarah Umat Islam, Jakarta:Penerbit Bulan Bintang, 1976.
Hasymy, Prof. A, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Aceh : PT. Alma’arif, 1993.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Mansur, Ahmad,  Menemukan Sejarah,  Bandung:Penerbit Mizan, 1996.

1 komentar: