Rabu, 04 Juli 2012

Di Balik Kehidupan


Fajar pancarkan aroma kesegaran. Menyambut riang datangnya pagi yang membawa kecerahan bagi para penikmatnya. Pantulan cahaya terlihat jelas pada embun yang menetes pelan hingga nyaris tak bersuara, membentuk warna-warna pelangi yang indah. Disambut kicauan merdu burung-burung yang menghiasi atap biru dunia. Kubuka jendela kamarku lebar-lebar, membiarkan kesejukan angin berhembus mengisi seluruh lorong kamar yang sengaja kudesain bernuansa ala Korea.

Banyak orang mengatakan semangat pagi akan menjadi semangat kita dalam satu hari penuh. Benar atau tidak, aku mencobanya dimulai hari ini. Semua masalah yang telah terjadi di hari-hari suram sebelumnya takkan mampu menghalangiku dan aku takkan membiarkannya untuk itu. Aku selalu melakukan apa yang aku sukai dan berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, inilah salah satu sifatku yang paling tajam. Tapi jangan salah, aku sangat penyayang.

Setelah berbenah diri dengan kaus biru bercorak ala korea dibalut jaket berwarna hitam dipadu dengan jeans yang sengaja dirobek di lutut bagian kanannya, tak ketinggalan sepatu hitam liris biru bertali dan mempersiapkan segala yang kubutuhkan dalam ransel hitam corak garis putih di seluruh bagiannya dengan ukuran yang cukup besar membuat tubuhku sedikit tertutup olehnya, ku langkahkan kaki meninggalkan kamar kesayanganku berharap suatu saat nanti ku dapat kembali-tentu saja menjadi pemilik tunggalnya, menuruni anak tangga dengan lincah, tak lupa menancapkan niat agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.

Tak ku sangka walaupun aku telah berusaha bangun pagi-pagi sekali, namun, tetap saja akulah orang yang paling terakhir keluar kamar dibandingkan semua anggota keluargaku. Mereka semua telah menungguku untuk sarapan pagi, kecuali ayahku, sebab ia sedang menjalankan bisnisnya di luar kota. Yah, inilah suasana pagi di istanaku. Ups, bukan. Istana orang tuaku. Tapi, seperti akulah rajanya disini. Semua yang ku inginkan selalu ku dapatkan dengan mudah. Keluargaku memang orang yang berada. Jadi, wajar jika aku telah terbiasa hidup berkecukupan atau bahkan sampai berlebihan.

Namun, kali ini ada yang berbeda dari sorot indera penglihatan mereka. Sesuatu yang sulit ku sebutkan. Tanpa ingin merusak suasana indah di pagi hari, aku tak begitu memperdulikannya. Mengucapkan selamat pagi dan mulai menyantap porsi yang telah disediakan untukku, menganggap semuanya berjalan seperti biasa.

”Bisakah kali ini kau batalkan rencanamu itu, anakku?” ucap ibuku dengan penuh harap.

Sontak aku terkejut, hampir saja aku menyemburkan suapan ketiga yang baru saja masuk dan belum tertelan. Yah, aku memang merencanakan kepergianku melakukan hobi yang mungkin telah tertancap begitu dalam di jiwa, menjelajahi planet bumi. Ini adalah moment yang paling aku sukai sejak lama. Dengan bermodalkan tekad yang cukup kuat dan restu ibu yang masih sepenggal hati, untuk kesekian kalinya aku pergi menjalankan perintah hati yang terkadang membawa bencana tersendiri.

”Ibu, tenanglah... anakmu ini, Oruzgan Mourad Karzani, akan baik-baik saja.” Jawabku berusaha menenangkan ibu.

Tanpa menunggu ibu mencegahku, ku tinggalkan sarapan yang tersisa, ku dekati dan ku salam ia, ku kecup keningnya, memohon do’a serta izin darinya, lalu segera pergi meninggalkan kebisuan di bibir merahnya. Tentu saja bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memenuhi keinginanku yang telah kecanduan menjelajah. Aku yakin ibuku telah memahami sifat setiap anaknya, termasuk aku, Karzani si penjelajah dunia.
***

Menghirup udara dalam-dalam dengan mengoyakkan sedikit senyum kepuasan adalah hal pertama yang aku lakukan setibanya di kota terpelajar, Jogja. Ku ikuti kemana langkah kaki berjalan ditemani hiruk-pikuk orang-orang di sekelilingku. Ternyata seperti inilah pulau Jawa, tepatnya sebuah kota yang bernama Jogja. Mataku terus menerawang jauh menelusuri kota ini. Rasa keingintahuanku mendadak melesat tinggi memaksaku terus mencari apa saja yang bisa kudapat di sini.

Ketika nafas terasa terseok, kupalingkan wajah mencari-cari tempat yang bisa berbagi kelelahan. Ketika melihat sebuah warung kecil di pinggir jalan yang saat itu terlihat tidak begitu ramai, tanpa berpikir panjang aku langsung mendekatinya. Duduk di bangku yang kelihatannya sudah tua yang disediakan untuk para pembeli tepat di depan warung itu. Ternyata penjualnya adalah seorang ibu yang renta menggunakan busana kebaya coklat bercorak bunga kuning. Aku jadi ingat ibuku, walaupun ia tidak setua itu. Ibu penjual menyambutku dengan ramah. Ku pesan secangkir teh manis dingin yang memang tak banyak pilihan menunya dibandingkan restoran-restoran yang biasa ku datangi.

Tak butuh waktu lama cangkir yang tadi aku pesan kosong seketika. Betapa lelahnya aku yang sedari tadi berkeliling kota ini tanpa berkendara. Setelah lelah terasa mulai menghilang, waktunya aku melanjutkan perjalanan.
”Berapa bu?” Tanyaku pada ibu pemilik warung yang sedari tadi sibuk mengemas barang dagangannya. Mungkin ia akan segera menutup warungnya karena hari terlihat sudah mulai gelap. ”Cuma Rp.4000 aja nak.” jawabnya. ”Terlalu murah dibandingkan di restoran-restoran yang memasang harga tinggi” gumamku dalam hati.

Kurogoh kantong belakang sebelah kanan jeansku, mengambil dompet hitam yang terbuat dari kulit ular yang biasa aku gunakan. Namun, kali ini aku tak menemukannya. Ku coba mencarinya di dalam tas besarku, tapi yang kucari tak kunjung kelihatan. Bahkan, aku menemukan bagian bawah salah satu kantong bagian terdepan tasku sobek, seperti bekas sayatan. Semua barang-barang di dalamnya hilang, termasuk dua handphone yang kuletakkan di dalamnya.

 ”Dompetku hilang.” ucapku sedikit berteriak. Ku palingkan wajah ke sekelilingku, tak banyak orang di sana dan tak ada yang terlihat mencurigai. Di saat aku mulai panik, si ibu pemilik warung pun meringis. Tapi, kemudian memasang wajah empati kepadaku. ”Sudahlah, tidak usah dibayar. Lain kali berhati-hatilah.” Ucap si ibu menenangkan hati.

Betapa cerobohnya aku padahal ini bukanlah penjelajahanku yang pertama. Keindahan kota ini telah membuaiku hingga aku melupakan semua. Bahkan, aku lupa untuk memesan sebuah kamar hotel yang seharusnya telah aku lakukan setibanya aku di kota ini. Aku tak bisa menghubungi orang-orang yang bisa membantuku, termasuk keluargaku. Aku berniat menjual baju-bajuku berharap mendapatkan uang untuk menelpon keluargaku, tapi hari telah gelap. Sulit untuk melakukannya terlebih lagi aku tak mengenal siapapun di sini.

Angin berhembus kencang malam ini. Dewi malam menatap tajam seolah menyalahkan kebodohanku. Gemuruh malam Jogja terus saja terdengar. Ku sepi di tengah keramaian. Malam yang semakin larut ditambah lelah fisik dan mental memaksaku beristirahat di depan sebuah gedung yang kelihatannya tak berpenghuni, beralaskan kardus bekas berbantal tas besarku berselimut dinginnya angin dan beratapkan luasnya langit indah.
***
Seperti biasa, aku bangun setelah matahari menyingsing menyemburkan segurat sinar yang menyilaukan mata. Aku terbangun malas, bahkan serasa ingin tidur kembali. Namun, seketika aku tersadar ini bukanlah kamar di istanaku ataupun kamar mewah subuah hotel. Aku segera bangkit dan hendak meraih tas ku, tapi apa yang terjadi, lagi-lagi aku kebablasan. Tasku tak menunjukkan rupanya. ”Kemana tasku?” gumamku. Ku coba tuk mencari di sekitar tempat aku terlelap, tapi tetap tak menemukannya.

Kini ku tak bisa tinggal diam. Emosiku meluap-luap siap meledak. Ku langkahkan kaki semakin kuat melewati gedung-gedung tua yang tak bersahabat menuju satu tempat, kantor polisi. Sesampainya di sana, bukannya aku mendapatkan perlindungan ataupun sedikit ketenangan, mereka malah menganggap aku berbohong dan mempermainkan mereka. Mereka, para polisi itu tidak percaya karena aku tak bisa menunjukkan bukti apapun bahwa aku pendatang yang telah kecurian seluruh barang-barangku. Bahkan, aku tak mengingat nomor telepon seluler satupun keluargaku ketika salah satu polisi yang berperawakan kasar dengan kumis tipis memintaku menghubungi mereka. Yach, aku memang tak pernah menghafalnya.
***
Terdudukku di trotoar jalan memasang pandangan kosong ke depan. Meratapi nasibku yang semakin tak karuan. Kini kutak tahu harus melakukan apa agar aku dapat kembali pulang menikmati betapa nyamannya jika aku berada di rumahku. Sampai kapan aku harus seperti ini. Terkatung-katung di kota orang tanpa bekal. Aku tak menyangka mengapa kota yang disebut banyak orang sebagai kota terpelajar ini begitu kejam dan tak bersahabat, sungguh tak pantas dengan sebutannya. Aku jadi menganggap semua orang disini adalah musuhku.

Hari ini tepat hari ketujuh aku berada di Jogja, berarti aku telah seminggu berada disini. Aku benar-benar menjadi gembel Jogja sekarang. Bertahan hidup dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sering kali untuk mendapatkan sesuatu yang dapat mengganjal perut, aku bekerja di warung-warung makan dengan upah sebungkus nasi lengkap dengan lauk dan minumnya.

Jangan mengira aku tak berusaha bekerja untuk mendapatkan uang, aku telah berulang kali meminta bahkan terkadang memohon pekerjaan kepada orang-orang di sini, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan bahkan tak pernah sekalipun terpikirkan olehku sebelumnya. Tapi tak ada yang mau mempekerjakanku dengan upah uang, karena aku memang tak begitu lihai bekerja. Aku biasa hidup tersedia, semuanya serba ada. Dan sampai saat sebelum aku mengalami ini semua.

Ini semua membuatku hilang harapan. Harapan yang begitu indah saat aku melakukan hobiku. Berharap bisa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dan mempengaruhi hidupku selanjutnya. Tapi sekarang, aku merasa tak mendapatkan apapun di sini kecuali penderitaan. Aku bukanlah orang yang diciptakan untuk pandai menikmati penderitaanku. Dan satu lagi yang aku tahu bahwa orang-orang di sini kejam.
***
Langit belum sepenuhnya gelap. Sinar terang masih berdiri gagah di ufuk Barat. Gemilir angin berhembus tak terhirau, menabrak segala yang menghadang. Terlihat dari balik kabut senja sosok tua berjalan tak lagi gagah, kakinya telah goyah hingga harus berpapah pada sebuah tongkat tua. Sebelah tangannya menggendong beban yang cukup berat bagi orang setuanya. Rumput dan ilalang menari-nari di atas pundaknya diterpa hembusan angin. Pakaiannya kumuh tak terawat dengan sobek di bagian bahu dan kantong kiri bajunya.

Mataku masih menerawang ke arahnya, menyidik penuh haru. Seketika ia menoreh ke arahku menebarkan senyum yang merekah laksana sabit di perut malam, membuyarkan pandanganku dan mengajakku untuk segera membantunya. Hingga terjadi percakapan akrab di antara kami seolah-olah kami telah kenal cukup lama. Pak Kur, begitulah ia menyebutkan dirinya. Ia ramah sekali.

Ketika aku menceritakan perjalananku, ia turut prihatin dan bersedia membantuku walaupun keadaannya cukup memprihatinkan. Ia memberiku tumpangan tempat tinggal, makanan dan pakaian bersih. Dan yang paling membuatku takjub adalah ketika ia mengatakan bahwa akan membantuku untuk dapat berada di tengah-tengah keluargaku lagi. Diriku seakan menemukan setitik cahaya setelah sekian lama berada dalam kegelapan. Aku merasa sangat kerdil di depannya.

Jika dilihat sekilas tak ada yang istimewa darinya, hanya seorang kakek tua lusuh yang ingin pulang ke peraduannya. Namun, tahukah kalian siapa sebenarnya kakek tua yang berantakan yang kutemui ini? Ia adalah seorang pahlawan bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk membela Negara. Berjuang melawan Negara-negara yang menjajah negeri kita. Hingga kemerdekaan ada di tangan kita.

Namun, beginikah cara kita memperlakukan seseorang yang tersisa yang telah mempertaruhkan banyak untuk Negara? Kita mendapatkan kebebasan dari Negara yang dulu menjajah berkat orang-orang sepertinya, tapi kini kita mencampakkannya seolah tak perduli atas jasa-jasa mereka. Mungkin ia hanya satu dari mereka yang berjuang yang terungkap oleh kita, namun, tidakkah kita dapat menghargai jasanya? Adilkah ini bagi mereka? Tidak adakah sedikit saja kehormatan yang kita berikan padanya? Di sisa-sisa hidupnya, ia tersisih dari gemerlapnya dunia. Di balik gedung-gedung tinggi yang tak mau melirik seakan ia tak pernah ada. Kejam!!!

Sungguh mulia dirinya. Jika dibandingkan dengan diriku, aku bukanlah siapa-siapa. Walaupun ku hidup di keluarga yang berada, dipenuhi kasih sayang dan mendapatkan pendidikan tinggi, tapi ku tak pernah memberikan apapun tuk orang lain dan lingkungan sekitarku. Bahkan tak pernah terpikirkan olehku orang-orang seperti pak Kur sebelumnya.

Perjalanan kali ini membawaku pada pendewasaan yang sungguh sangat luar biasa yang tidak pernah ku dapatkan di Universitas terbaik sekalipun. Sekolah ataupun sejenisnya memberikan kita pelajaran terlebih dulu kemudian kita ujian, tapi kehidupan memberikan kita ujian yang mengandung pelajaran. Benar atau tidak, tapi inilah yang aku rasakan dan inilah akhir dari perjalananku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar