Rabu, 04 Juli 2012

SETITIK BARA


          Sebaris senyum tak lagi dapat kupancarkan dari bibirku. Seiring dengan terus bergantinya bilangan waktu pun tak dapat membuatku untuk menebarkan senyum itu bak sebuah bunga matahari yang sedang mekar dengan indahnya. Kucoba tuk menulis segurat kepedihan ini diatas pasir berharap angin maaf dapat berhembus dan menghilangkan kepedihanku, namun semua itu terasa sia-sia. Rasa ini seakan meremukkan seluruh tulang badanku hingga seakan kutak lagi sanggup untuk berdiri tegak bagai seorang maharani.
          Kejadian ini bermula tepat setahun yang lalu. Ketika hari liburan mulai menampakkan sosoknya yang begitu ditunggu-tunggu banyak orang, terutama bagi orang yang selama ini hari-harinya dipadati oleh banyak aktivitas. Begitu juga dengan diriku yang telah menetapkan rencana liburan kali ini dalam list-ku. Liburan kali ini akan menjadi hal yang akan sangat berkesan dan tidak akan terlupakan. Memang benar, malam itu adalah malam yang tak terlupakan bagiku. Bahkan hingga kini...
Beberapa ratus meter dari tempat aku memulai perjalanan menuju sebuah villa keluarga yang berada di daerah Puncak, aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Entah kenapa aku justru tidak tenang. Tidak seperti biasanya aku merasakan kegelisahan seperti ini. Saat mendekati sebuah tikungan yang gelap, pikiranku semakin menerawang tak jelas, kendali emosiku juga semakin tidak stabil serta mobil yang kukendarai pun tak bisa kukendalikan dengan baik. Di saat yang bersamaan, mataku mulai silau dengan sebuah cahaya terang dalam kegelapan tersebut. Awalnya hanya berupa sebuah titik kuning kecil. Lama kelamaan cahaya tersebut membesar dan semakin mendekatiku. Jantungku tersentak, darahku terhenyak ketika menyadari bahwa tepat satu meter di depanku, sebuah bus parawisata berpenumpang 15 orang itu melaju mendekatiku.
Mobilku terpelanting terbalik berulang-ulang meluluhlantakkan seisinya tanpa ampun. Aku sendiri terhempas keluar mobil dengan bagian wajah terlebih dulu mendarat di aspal mulus. Entah apa yang selanjutnya terjadi. Aku tak begitu sadarkan diri, aku hanya merasakan seolah-olah darahku berhenti mengalir. Remuk badanku semakin menggigit. Namun, ada hal yang kupikir lebih penting saat itu. Rasa sakit tersaingi oleh rasa kekhawatiran terhadap keluargaku. Yach,,, penumpangku saat itu adalah keluarga yang sangat kucintai. Ayah, ibu, dan kedua adikku masih berada di dalam mobil yang telah berhenti berguling selama beberapa menit. Mereka tentu merasakan sakit yang teramat. Dan aku tidak dapat menolong mereka. Andai ku bisa memindahkan semua rasa sakit yang mereka alami kerena ulahku seluruhnya kepadaku, tentu akan kulakukan. Namun, sungguh ku tak berdaya. 
Sayup-sayup kudengar suara-suara orang mengerumuniku. Tapi aku tak mendengar dengan jelas ucapan mereka. Tak lama setelah itu, bunyi sirene yang biasa kudengar di puskesmas dekat rumahku makin jelas mendekati telinga. Setelah itu, tak ada lagi raungan dan getar suara yang kudengar, mataku berpejam. Gelap…tak ada setitik cahayapun.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar