Rabu, 04 Juli 2012

Perawi

Pendahuluan
Pengumpulan dan periwayatan hadits tidak bersifat umum, tetapi dikumpul dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku seputar hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya  sampai masing-masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga akan mengupas seputar periwayatan suatu hadits.



Pembahasan
Pengertian Perawi
Perawi adalah diadopsi dari istilah aslinya yaitu "Rawi". Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil al-Hadits). Untuk membedakan antara rawi dan sanad adalah dalam dua hal, yaitu : pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan hanya menyampaikannya kepada orang lain tanpa membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab ada rawi yang membukukan hadits. Kedua, dalam penyebutan silsilah hadits untuk sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama adalah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama adalah sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqoh-an seorang perawi adalah
dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits
berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih
dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqoh. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhary al-Jufi atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari (194-256 H) dan Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury atau popular dengan sebutan Imam Muslim (204-261 H). Keduanya merupakan dua otoritas tertinggi dalam dunia periwayatan hadits sahih.
Hadits hadits yang diriwayatkan oleh keduanya memberi syarat yang sangat ketat atas matan (isi) ataupun sanad (silsilah periwayatan) hadits. Integritas orang-orang yang menwayatkan hadits (perawi hadits) juga sangat diperhatikan, seperti tidak pernah sekalipun berdusta, kuat ingatannya, pernah bertemu dengan perawi sebelumnya, dan lain-lain. Dalam salah satu riwayat juga disebutkan bahwa Imam Bukhari pernah menolak integritas seorang perawi hadits, hanya karena orang itu pernah berdusta kepada seekor kuda. Ia memanggil kuda dengan berpura-pura memberi makan, padahal di genggaman tangannya tidak ada makanan.
Demikian pula, Imam Muslim mempunyai otoritas yang sangat tinggi dalam periwayatan hadits. Muslim bin Qasim al-Qurtuby, salah satu dari teman dekat ad-Daruqutny, telah berkata di dalam kitab Tankh-nya saat mengomentari Imam Muslim, “Tidak seorang pun menyusun kitab hadits yang menyamainya. Ini mengacu pada bagusnya ia dalam hal penyusunannya, pengaturannya, dan kemudahan untuk menemukan hadits yang dicari. Ia menjadikan setiap hadits ada pada satu bab yang sesuai dengannya, menghimpun di dalamnya cara-cara penyusunan yang diinginkan, di samping memilih di dalam penyebutannya dan menyebutkan lafaz-lafaz yang berbeda-beda.” Dengan persyaratan yang sangat ketat, terutama atas matan dan sanad, tak heran kalau hadits-hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (muttafaq alaihi) menempati tingkatan teratas hadits sahih.

Syarat-Syarat Seorang Perawi
  1. Berakal
Menurut para ahli hadits, syarat berakal itu identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi, agar dapat menanggung dan menyampaikan suatu hadits, seseorang harus telah memasuki usia akil baligh. Bisa jadi anak yang masih belum akil baligh mampu menanggung riwayat, tetapi dia baru bisa menyampaikannya sesudah memasuki usia akil baligh.
Sahabat-sahabat yang paling banyak menerima riwayat yang mereka dengar semasa kecilnya ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin Rabi’ masih ingat Rasulullah SAW menghukumnya karena sesuatu kesalahan dan pada waktu Rasulullah SAW wafat, Mahmud baru berusia lima tahun.
Para ahli hadits tidak bersepakat mengenai batas usia yang pantas bagi seseorang untuk menceritakan hadits. Sebagian orang mengatakan lima belas tahun. Yang lain menganggap tiga belas tahun. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, di bawah usia tersebut pun seseorang boleh mendengarkan dan menceritakan hadits. Al-Khatib al-Baghdadi cenderung pada pendapat terakhir. Ia berkata : ”Itulah yang benar menurutku.”
Namun, hal ini juga harus mengikuti kondisi dan situasi negeri setempat. Jika penduduk Basrah dapat menulis dan mendengar hadits pada usia rata-rata sepuluh tahun, tapi penduduk Kufah tidak boleh menggampangkannya. Bagi mereka usia yang pantas untuk itu adalah dua puluh tahun, karena sebelumnya mereka masih tersita waktunya untuk menghafal al-Qur’an dan beribadah. Adapun penduduk negeri Syam menulis pada usia tiga puluh tahun.
  1. Cermat
Yang dimaksudkan dengan perawi yang cermat adalah dia mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, mampu memahami dengan cermat dan seksama, menghafalnya dengan sempurna hingga tidak menimbulkan keraguan, mempertahankan semuanya secara utuh mulai saat mendengar sampai saat menyampaikannya. Jadi, untuk syarat kecermatan ini diperlukan ingatan yang kuat dan pengetahuan yang jernih.
Kecermatan seorang perawi bisa dikenali jika hadits yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dikenali terpercaya, cermat dan teliti. Tetapi, itu tidak harus mengena secara keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadits yang mereka riwayatkan masih dapat diandalkan. Tetapi, kalau perbedaan terlampau besar dan sering tidak ssuai dengan hadits yang mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih meragukan. Walaupun suatu riwayat berasal dari orang-orang yang dikenal terpercaya, cermat dan teliti, riwayat tersebut tetap suatu penyimpangan. Orang yang membawa riwayat hadits yang aneh-aneh itu menanggung dosa besar dan kejahatan yang banyak.
  1. Adil
Perawi yang adil adalah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi terhadap urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian. Al-Khatib al-baghadadi memberikan defenisi tentang adil sebagai berikut: ” Yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat mempertahankan sifat-sifat tersebut, ia bisa disebut bersikap adil terhadap agamanya dan hadits-haditsnya diakui kejujurannya.”
  1. Islam
Mengenai syarat keislaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini akidah Islam, karena ia meriwayatkan hadits-hadits atau khabar-khabar yang berkaitan dengan masalah hukum, urusan tasyri’-tasyri’ agama tersebut. Jadi, ia mengemban tanggung jawab untuk memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun, syarat Islam itu sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadits, bukan ketika membawa atau menanggungnya. Terbukti dari riwayat Jubair bin Math’am yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar Nabi SAW membaca surah ath-Thur pada sembahyang maghrib, yang bisa diterima. Padahal waktu ituJubair bin Math’am masih berstatus tawanan Perang Badar dan belum masuk Islam. Namun, justru peristiwa itulah yang membuatnya beriman. Jubair mengaku-seperti yang disebutkan dalam Shakih al-Bukhari- ”Itulah yang pertama kali menanamkan keimanan ke dalam hatiku.”
  1. Sanadnya harus muttasil (bersambung).
Artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah SAW.
  1. Kuat ingatan/kokoh ingatannya.
Kekokohan ingatan perawi itu dibagi dua, yaitu :
a.       Kuat ingatannya karena kitabnya terpelihara. Ini disebut Dlabithul Kitab.
b.      Kuat hafalan dan pemahamannya. Ini disebut Dlabithus Shadri.
  1. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
  2. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
  3. Rawi mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan pendapat.
  4. Rawi mengetahui secara pasti apa yang diberitakannya.
  5. Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan kepada pengamatan sendiri, bukan atas dasar perasaan atau pemikirannya.

Pengertian At-Tahammul wa Al-'Ada (Transformasi Hadis)
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits. Jadi, tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits. Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya
  1. Kelayakan Tahammul
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain,   Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.
Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin ‘Itr menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka mem­berikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa me­ringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pende­ngarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mende­ngar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
Mengenai penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Rasulullah sebelum mereka masuk Islam. Salah satu sahabat yang mendengar sabda Rasululllah sebelum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia massuk Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat dianggap sah.[8]
2. Kelayakan Ada’
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.   Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b.    Baligh
Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
رفع القلم عن ثلاث عن المجنون حتى يفيق ,وعن النائم حتى يستيقظ ,وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
c.    Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara­perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.
d.    Dhabt
Dhabtu adalah:
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الي وقت اداء
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”
Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sam­pai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umum­nya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a. As-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut :
سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني
قال لى فلان, jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.


b. al Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al Ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
  • Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
  • Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
  • Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.

g. Al-Washiyah
Al-Washiyah adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.

Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Lafal-lafal Untuk Meriwayatkan Hadits
Lafal-lafal untuk menyampaikan hadits, dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Lafal para rawi yang mendengar langgung dari gurunya, seperti :
Saya telah mendengar ….
سَمِعْتُ
Kami telah mendengar……
سَمِعْنَا
Seseorang telah bercerita padaku …..
حَدَّثَنِى
Seseorang telah bercerita kepada kami…..
حَدَّثَنَا
Seseorang telah mengabarkan padaku/kepada kami …..
اَخْبَرَنَا , اَخْبَرَنِى
2. Lafal para rawi yang mungkin mendengar/tidak mendengar sendiri, seperti :
Diriwayatkan oleh …..
رُوِيَ
Dihikayatkan oleh ……..
حُكِمَ
Dari …..
عَنْ
Bahwasannya ….
أَنَّ
Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah: “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1) orang yang melakukan periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al- Hadist).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari ulama hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul hadits sewaktu menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa penggantian dan perubahan sedikit pun.
Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan tidak memperbolehkan peri­wayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari peruba­han makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandurg didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya ri­wayat dengan lafadz seperti yang didengarnya.
Seperti sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist.
1.  Periwayatan Hadist dengan Lafadz.
Periwayatan hadist dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan menolak periwayatan hadist dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya. Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.

2.  Periwayatan Hadist dengan Makna.
Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi. Dan periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi saw.
Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya. Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-kalim) dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.
Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadist dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.
Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadist oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan hadist dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.




Simpulan
Perawi adalah diadopsi dari istilah aslinya yaitu "Rawi". Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil al-Hadits). Adapun syarat-syarat perawi hadits, yaitu :
a.       Berakal
b.      Cermat
c.       Adil
d.      Islam
e.       Sanadnya harus muttasil (bersambung).
f.       Kuat ingatannya
g.      Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
h.      Tidak beillat
i.        Rawi mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan pendapat.
j.        Perawi mengetahui secara pasti apa yang diberitakannya
k.      Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan kepada pengamatan sendiri, bukan atas dasar perasaan atau pemikirannya.

Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah:
1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
2. Al-Qira’ah, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana.
3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5. Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
6. Al-I’lam, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya.



























Daftar Pustaka
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1993, Hal. 114
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1998. Hal. 204
M. M. Azami. Memahami Ilmu Hadits. Jakarta : Lentera, 2003. Hal. 102
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996. Hal. 104
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001. Hal. 169
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta : Bulan Bintang, 1974. Cet. Keempat. Hal. 100 dan hal. 229
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006. Hal 195
’Ajaj, Muhammad al-Khatib. Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001. Hal 200
Nuruddin. Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo. Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994. Hal. 194
Mudasir. Ilmu Hadist. Bandung: Pustaka Setia, 2005. Hal. 183
Soetari, Endang. Ilmu Hadist. Bandung : Amal Bakti Press, 1997. Hal. 186
Zainimal. Ulumul Hadist. Padang : The Minangkabau Foundation, 2005. Hal. 184
http://referensiagama.blogspot.com


1 komentar:

  1. terimah kasi nuri barkat makalah kt yg aku copy shingga tugas ku selesai

    BalasHapus