Rabu, 04 Juli 2012

Ijtihad

A.   Pengertian Ijtihad
Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
ﺑﺬل وﺳﻌﻪ وﻃﺎﻗﺘﻪ ﻃﻠﺒﻪ ﻟﻴﺒﻠﻎ ﻣﺠﻬﻮدﻩ وﻳﺼﻞ إ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ
“Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.”[1]
Menurut al-Syaukani, arti etimologi ijtihad adalah:
ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ اﺳﺘﻔﺮاغ اﻟﻮﺳﻊ اي ﻓﻌﻞ
“Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.”[2]
Menurut Abu Zahrah, secara istilah, arti ijtihad ialah:
ﺑﺪل اﻟﻔﻘﻴﻪ وﺳﻌﻪ اﺳﺘﻨﺒﺎط اﻻﺣﻜﺎم اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ
“Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.”[3]
Menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, ijtihad ialah:
اﺳﺘﻔﺮغ اﻟﻮﺳﻊ ﻃﻠﺐ اﻟﻈﻦ ﺑﺸﻰءﻣﻦ اﻻﺣﻜﺎم  اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara’.”[4]
Secara etimologis kata ijtihad diambil dari kata dasar(mujarrad)nya al-jahd atau al-juhd yang berarti al-masyaqqah yaitu kepayahan, kesulitan atau kesungguhan.[5] Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan al-ifti‘al dari kata dasarnya al-juhd, yaitu kemampuan.[6] Menurut as-Sa‘d at-Taftazani, sebagaimana dikutip Nadiyah Syarif al-‘Umari, bahwa secara etimologis kata ijtihad digunakan untuk menyebut pekerjaan yang berat dan sulit, bukan untuk pekerjaan yang ringan dan mudah.[7] Sehingga istilah ini dipakai untuk sebutan aktifitas penggalian hukum Islam dari sumber-sumber aslinya, karena aktifitas ini memang menuntut suatu kesungguhan, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan secara terminologis, ijitihad adalah pengerahan potensi oleh seorang ahli fiqh dalam rangka memperoleh hukum Syar‘i baik yang berupa hukum aqli maupun naqli, atau qat‘i maupun zanni.[8] Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[9] Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”[10] Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mengatakan ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Ia mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i.[11]
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
B.   Dasar Ijtihad
Dasar hukum ijtihad  dapat berasal dari al-Qur’an maupun hadits, diantaranya yaitu:
Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada allah (al-Qur'an dan sunnah nabi).
Firman Allah dalam Surat an-Nisa:83
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[12] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[13]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Firman Allah Surat al-Anfal:41
Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampaan perang maka sesungguhnya setengah untuk Allah, Rosul, Kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-orang miskan dan ibnu sabil. Jika kamu beriamn kepada Allah dan kepada apa yang kami terunkan kepada hamba kami muhammad dari hari furqon yaitu bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa ata segala sesuatu.
Firman Allah Surat ar-Rum:21
Artinya : ... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Sabda Rasullullah Saw:
Artinya dari Mu'adz bin Jabal ketika nabi Muhammad SAW mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu'adz, “Apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus di putuskan?” Mua'dz menjawab, "Aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam Kitabullah". Nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?" Mu'adz menjawab, "Dengan berdasarkan sunnah Rasulullah". Nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula dalam sunnah Rasullullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan menjawab dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan", lalu Mu'adz mengatakan," Rasullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan".[14]
Hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﻓﺎﺻﺎب ﻓﻠﻪ اﺟﺮان واذا ﺣﻜﻢ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﺛﻢ اﺧﻂﺄ ﻓﻠﻪ اﺟﺮ واﺣ
"Bila seorang hakim akan memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala melakukan ijtihad).”[15]
C.   Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun, jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
D.   Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
E.   Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahi yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’.[16]
F.    Jenis-jenis ijtihad

a.      Ijma'

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

b.      Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi) :
1.      Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.      Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.      Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

c.       Istihsân

Beberapa definisi Istihsân
1.      Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.      Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.      Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.      Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.      Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.

d.      Mashlahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

e.       Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

f.       Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

g.      Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
G.  Ijtihad : Sumber Dinamika
Dalam buku Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri merupakan mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar maka akan turun wahyu membenarkannya. Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk meluruskan kesalahan tersebut. Secara umum, di kalangan para ulama menyepakati ijtihad Rasulullah SAW dalam urusan-urusan kemashlahatan yang bersifat keduniawian, pengaturan taktik dan strategi peperangan, dan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan persengketaan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai ijtihad Rasulullah SAW dalam utusan hukum-hukum agama.[17]
Suatu hari, salah seorang sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan shalat tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan junub.  Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat. Untuk menengahi persoalan itu, Rasulullah SAW lantas bersabda dalam rangka membenarkan perbuatan Amr, "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala." (HR Bukhari dan Muslim).
Ijtihad banyak digunakan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya Rasul, tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian pula hadits pun tidak bertambah. Sementara di sisi lain, problema yang timbul di tengah umat makin bertambah, baik ragam maupun jumlah. Salah satu mekanisme ijtihad yang dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat guna bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap permasalahan tertentu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak ditemukan nash-nya dalam Alquran.
Ijtihad ini kian mengalami perkembangan setelah masa sahabat. Kemunculan sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibn Shihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai hal tersebut. Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai masa perkembangan paling pesat. Masa ini pula kemudian dikenal dengan periode pembukuan sunah dan fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka yang merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii serta Imam Hanbali.
Akan tetapi, ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah abad keempat Hijriyah. Muncul pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran umat Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Selain itu, tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal yang memiliki kemampuan seperti para mujtahid sebelumnya. Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajara Islam, mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
H.  Syarat Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Para ulama membuat norma-norma dan persyaratan seseorang yang dapat melakukan ijtihad yang secara umum sulit dipenuhi, sehingga ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang berpendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup karena sudah tidak mungkin lagi menemukan orang yang dapat memenuhi persyaratan sebagai mujtahid sepeninggal para ulama mujtahid abad III H. Kalau dilacak sejarahnya, ternyata fatwa pintu ijtihad sudah tertutup (insidad bab al-ijtihad) itu hanya dilontarkan perorangan saja, bukan merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana klaim Imam ar-Rafi‘i (w. 623 H). Ia berpendapat “bahwa semua orang sepertinya sudah sepakat bahwa sekarang ini tidak ada lagi mujtahid”.[18] Pendapat itu disangkal oleh az-Zarkasyi (745-794 H) dan mayoritas ulama Hanabilah.[19]
Menurut hemat penulis, bahwa persyaratan ijtihad itu bukanlah doktrin yang harus terpenuhi secara sempurna, artinya perlu modifikasi kembali, karena jika demikian justru akan membuat hukum Islam itu tidak berkembang, sementara persoalan hukum akan terus bermunculan mengiringi dinamika sosial masyarakat. Artinya, perlu reformulasi fiqh ijtihad yang lebih memberikan peluang bagi dinamika hukum Islam, terutama dalam merespon hukum-hukum muamalat yang sangat dinamis perkembangannya, meskipun tidak keluar jauh dari koridor umum hukum Islam.
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
1.      Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
a.       Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
b.      Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
c.       Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya.
d.      Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
2.      Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits
3.      Mengetahui bahasa arab
4.      Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
5.      Mengetahui usul fiqih
6.      Mengetahui maksud-maksud sejarah
7.      Mengenal manusia dan alam sekitarnya
8.      Mempunyai sifat adil dan taqwa
Syarat tambahan :
1.      Mengetahui ilmu ushuluddin
2.      Mengetahui ilmu mantiq
3.      Mengetahui cabang-cabang fiqih
I.      Tingkatan-Tingkatan Para Mujtahid
Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan:
1.      Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk ber-isbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam madzhab yang empat.
2.      Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah
3.      Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i
4.      Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali.














J.     Kesimpulan
Dari beberapa defenisi di atas mengenai ijtihad, maka dapat disimpulkan bahwa ijtihad (bahasa Arab : اجتهاد) dari kata al-jahd atau al-juhd yang berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Dasar dilakukannya sebuah ijtihad adalahdari al-Qur’an dan hadits. Ijtihad dilakukan untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Jika muncul persoalan yang merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Adapun hukum berijtihad bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung kepada kapasitas orang tersebut. Ijtihad memiliki beberapa jenis, diantaranya ialah ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah murshalah, Sududz Dzariah, istishab, dan ‘urf. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Dimana untuk menjadi mujtahid harus memenuhi banyak persyaratan yang dapat dibilang sulit. Dan mujtahid juga memiliki beberapa tingkatan.








Daftar Pustaka
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Terj. Anas Mahyuddin, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1995.
Hanafie, MA.,Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII.
Drs. Atang Abd. Hakim dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.
Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA.,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad asy-Syaukani, Relevansinya bagi Perubahan Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Umari, Nadiyyah Syarif al-. al-Ijtihad fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1986.
http://mmishbah.blogspot.com/2008/02/tentang-ijtihad.html
http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/kedudukani_ijtihad.htm
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/New/Nash%20dan%20Ijtihad.htm



[1] Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi (t.th:112)
[2] Al-Syaukani (t.th:250)
[3] Abu Zahrah (t.th:379)
[4] al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978:480)
[5] A.W. Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14. Surabaya: Pustaka Progresif. hlm. 217 dan 733. Dalam al-Qur’an al-juhd disebutkan dalam tiga tempat, yaitu dalam surat an-Nahl: 38; an-Nur:53 dan; Fatir: 42, yang semuanya menunjukkan arti ijtihad, yaitu mencurahkan segala kesungguhan, kemampuan dalam bersumpah. Lihat Nadiyyah Syarif al-‘Umari.1406/1986. al-Ijtihad fi al-Islam, cet. 3. Beirut: Muassasah ar-Risalah. hlm. 18.
[6] Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab al-Muhit. I: 521.
[7] Al-‘Umari. al-Ijtihad .... hlm. 18-19.
[8] Ibid. hlm. 27.
[10] Abdul Hamid Hakim. Mabadii Awwaliyyah. (Jakarta, Maktabah As-Sa’adiyyah Putra, tt), hlm. 19
[11] al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9
[12] Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[13] Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[14] Ali Hasab Allah, 1971:82
[15] Muslim,II,t.th:62
[16] Wahbah al-Zuhaili, 1978:498-9 dan Muhaimin,dkk, 1994:189
[17] Wahbah al-Zuhaili, 1978:499; al-Syaukani, t.th: 234
[18] Ibid. hlm. 225.
[19] Asy-Syaukani. Irsyad al-Fukhul. hlm. 253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar