Selasa, 24 Juli 2012

Diskusi Langsung Bareng Pendeta


Banyak orang berpikir akan sulit untuk melakukan hal-hal yang baginya luar biasa. Menganggap bahwa kita tak mampu melakukannya. Kita selalu terkurung oleh sugesti yang membuat kita berhenti sebelum mencoba. Bagaimana kita bisa tahu sesuatu itu sulit untuk dilakukan atau tidak, jika kita belum mencoba?
Kali ini aku ingin bercerita mengenai sebuah pengalaman yang baru saja aku alami. Sesuatu yang berada di luar rencana, tak pernah masuk dalam daftar hal-hal yang ingin aku wujudkan, bahkan tidak pernah sekali pun terlintas di benakku sebelumnya. Aku tak pernah memikirkannya karena mulanya aku menganggap itu tidaklah penting bagiku. Sejenak aku lupa bahwa tidak ada yang sia-sia di muka bumi ini.
‘Diskusi langsung dengan pendeta’. Pernahkah terpikirkan apa gunanya berdiskusi dengan seorang pendeta kristiani? Padahal dengan para ulama sendiri saja kita jarang, bukan? Ini berawal dari bergabungnya aku dengan sebuah komunitas yang ingin melihat seberapa besar perkembangan di wilayahnya, Sumatera Utara. Hal ini ingin terealisasikan melalui rencana penerbitan sebuah buku yang mengusung respon para tokoh penting di Sumut.
Singkat cerita, aku mendapat tugas untuk mengumpulkan naskah beberapa tokoh baik muslim maupun nonmuslim. Awalnya aku masih tenang saja, tak ada kekhawatiran yang terbesit saat itu. Hingga akhirnya aku merasa sedikit risau oleh sebab yang tak pasti. Aku sedikit tak tenang ketika harus terlibat dengan orang-orang nonmuslim. Memulai itu sulit, benarkan kawan? Karena sebelumnya tidak terbiasa berbicara dengan nonmuslim, terlebih lagi mereka adalah para tokoh yang disegani, aku hanyalah seorang mahasiswi yang kurang pengalaman, dll, inilah alasan-alasan yang muncul dibenakku saat itu.
Namun sekali lagi kawan, kita tak akan tau jika kita tak mencoba. Dengan basmillah ku maju selangkah. Awalnya memang hanya untuk menemani seorang teman –karena ini bagiannya-, namun lama kelamaan jadi tertantang. Kapan lagi bisa diskusi dengan pendeta yang bisa dibilang kaumnya sendiri aja sulit buat bertemu dengannya. Dengan mengatasnamakan Diskominfo, aku dan seorang temanku membuat janji dengan pendeta yang bersangkutan. “Ketemu di kantor saya ya, Jln Pemuda no 7 Perisai Plaza lt 8,” tuturnya memberi penjelasan melalui pesan singkat.
 Pada waktu yang telah ditentukan, aku dan seorang temanku meluncur ke sana. tak ku sangka, ternyata perisai itu tempatnya aneh, seperti gedung tua. Karena sedikit meragu, aku mencoba bertanya dengan salah seorang petugas di sana seputar tempat tersebut. Aku terkejut mendengar jawabannya. Kau tau kawan, ternyata tempat tu isinya merupakan tempat bermain booling dan sebuah gereja. Darahku seperti berhenti mengalir saat itu. Bayangkan saja, penafsiranku adalah tokoh yang akan kuajak diskusi merupakan seorang pendeta, kemungkinan besar aku akan menemuinya di gereja, bukan? Terlebih lagi dia belum tau kalau aku adalah seorang muslim. Owh Tuhan, aku lebih baik mundur dari pada harus masuk gereja hanya untuk menemuinya. Bersamaan seperti ada bisikan yang aku dengar saat itu, ada apa dengan sebuah gereja? Mengapa mengurungkan niat?
Saat itu tekad sudah terlanjur membara mengeluarkan asap nekad. Sudah sampai di sini, tanggung kalau gak jadi. Akhirnya aku ngeloyor masuk saja, langsung menaiki lift menuju lt 8. Ya ampun, kau tau kawan, semua orang di situ sepertinya nonmuslim semua. Terlihat dari raut wajah mereka, tak perlulah kuucapkan cirinya, kalian tentu lebih tau. Beberapa orang memandang penuh tanya ke arah kami. aku tak lagi heran, sebab aku sadar bahwa aku seorang muslim yang sedang berada di kawasan nonmuslim. Dengan pakaianku yang memang mencirikan seorang muslim, tak ayal mereka memandang seperti itu.
Sampainya di lt 8, suasananya tampak sepi. Gak seramai perkantoran-perkantoran lain. Entahlah kawan, aku gak tau ini jenis perkantoran apa. Mungkin jenis perkantoran khusus nonmuslim memang seperti ini. Hanya ada ruang-ruang kaca di bagian pinggir ruangan besar hingga memperlihatkan kelapangan di bagian tengahnya.  Aku makin bingung sebenarnya ini tempat apa. Setelah bertanya dengan bagian loket, kami di antarkan ke sebuah ruangan. Dalam setiap langkah aku berdoa agar itu bukanlah sebuah gereja. Bagian booling terlalui, aku melihatnya dengan jelas. Benar, di sini ada tempat bermain booling. Tempat apa sebenarnya ini, mengapa –maaf- gereja disandingkan dengan tempat bermain booling? Aneh tapi nyata.
Alhamdulillah, ruangan yang dituju ternyata bukanlah sebuah gereja, melainkan hanya sebuah ruangan yang memang mirip kantor pribadi. Tampak orang yang mengantarkan kami hormat terhadap pendeta tersebut. Lagi-lagi aku menyimpulkan  bahwa pendeta ini merupakan salah satu orang yang disegani di sini. Begitu bertemu, saling menyapa dan akhirnya duduk bersama. Walau awal tampak kaku, seiring pembicaraan aku mulai terbawa suasana. Tapi aku juga tidak melupakan bahwa dia adalah seorang pendeta, yang artinya berbeda keyakinan denganku dari sisi agama. Ini membuatku sedikit menjaga ucapan, takut-takut kalau mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya.
Selain itu, ada lagi yang membuat aku merasa perlu berhati-hati, sebab aku adalah seorang muslim sedang ia adalah seorang nonmuslim. Secara tidak langsung aku membawa nama agamaku, begitu pun dengan dia. Ini membuatku berusaha keras menjaga pandangan baik mereka terhadap agamaku. Aku tak ingin karena tingkahku yang mungkin tak lekat di hati pendeta tersebut, merusak nama baik islam. Meskipun yang menjadi topik pembicaraan kami saat itu adalah masalah umum, kemajuan sumut. Sama sekali tak menyangkut agama masing-masing. Bayangkan, aku yang hanya seorang mahasiswi semester 4 berdiskusi mengenai perkembangan sumut, wilayah kami, dengan seorang pendeta yang cukup disegani. Terakhir aku tau ia adalah salah satu perwakilan kristiani dalam FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).
Kau tau kawan, beginilah indahnya perdamaian, meskipun dengan umat agama lain. Kami sama sekali tak menyalahkan keyakinan yang masing-masing kami anut, atau memperdebatkan mengapa harus memilih agama tersebut. Di sini aku melihat betapa kami saling menghargai kepercayaan masing-masing, istilahnya toleransi beragama. Tak ada sedikitpun sentilan-sentilan yang menyinggung masalah itu. Kami damai. Dan seharusnya kita semua begitu. Betapa indahnya jika kita bisa menjunjung tinggi kerukunan. Tanpa harus menghancurkan agama satu sama lain. Ini indah kawan, kalian harus mencoba agar dapat measakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar