Sabtu, 19 Januari 2013

Kulihat Ayah Lewat Senja

 Dimuat dalam Buku Antologi Cerpen Sketsa Ayah

Menatap langit senja telah menjadi kebiasaan Yuki, wanita manis bertubuh mungil dengan lesung pipi sebelah kiri. Yuki mulai menyukai senja saat masih berumur sembilan tahun. Masih teringat jelas olehnya sosok ayah yang sangat ia kagumi yang memboncengnya dengan sepeda ontel. Membawanya ke atas salah satu bukit di desa kelahiran Yuki untuk menikmati indahnya senja. Ayah Yuki sosok pendiam dan penyayang juga giat bekerja. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah petuah, sayang untuk dilewatkan. Begitulah anggapan Yuki saking jarang ayahnya untuk berbicara.
Hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sebab kali ini Yuki menatap senja dengan ditemani linangan air mata. Ia merindukan ayahnya. Bagi Yuki, melihat senja bagai melihat sosok ayahnya. Kenangan bersama ayahnya berkelebat dalam pikirinnya hingga membuncahkan kesedihan juga kebanggaannya memiliki ayah yang luar biasa.
***
“Ayah, kapan kita pergi jalan-jalan ke pekan? Kemarin ayah sudah janji sama Yuki. Ayo kita jalan-jalan,” rengek Yuki sambil menarik tangan ayahnya. “Iya sayang, besok kita pergi,” jawab ayahnya lembut sambil mengusap kepala Yuki yang saat itu masih kanak-kanak. Tepat seperti yang telah dijanjikan, hari itu ayah Yuki pulang lebih awal. Jadilah mereka pergi ke pekan dengan sepeda ontel yang biasa digunakan ayahnya untuk pergi bekerja ke pertambangan. Ya, ayah Yuki hanyalah seorang penambang timah.
Sepeda terus dikayuh meninggalkan kampung halaman menuju kampung sebelah. Ya, pekan itu hanya ada di kampung sebelah. Di boncengan, Yuki terus melempar senyum seakan ingin mengabarkan pada semua orang bahwa ia akan pergi ke pekan. Bagi orang desa seperti Yuki, bisa pergi ke pekan merupakan hal yang luar biasa. Sebab pekan jarang diadakan, sekalipun ada untuk biaya masuk bagi keluarga Yuki bisa dianggap mahal.
Sebenarnya pekan ini baru digelar pada malam hari. Bisa dibilang, pekan itu menyerupai pasar malam. Sebelum ke pekan, ayah Yuki membawanya ke sebuah bukit. Awalnya Yuki berontak, namun setelah melihat keindahan dari atas bukit, ia terbawa kenikmatannya hingga lupa akan tujuan awal. Tepat di pinggir bukit, di bawah sebuah pohon rindang, Yuki bersama ayahnya melihat betapa kuasanya kekuasaan Sang Pencipta. Dari atas bukit tersebut, perkampungan Yuki tampak sangat kecil, tersusun begitu rapi. Baru kali ini Yuki melihat kampungnya dari atas. Bukan itu saja, perkampungan yang lain serta hijaunya pepohonan yang terhampar, juga tampak dari sana. Semuanya tampak dipayungi oleh awan-awan besar. Indah sekali.
“Lihat Yuki, di sana pekannya,” ucap ayah Yuki sambil menunjuk ke satu arah perkampungan. Mata Yuki beralih ke arah yang ditunjuk ayahnya, kemudian mengembangkan senyum memamerkan senyum pipinya. “Ayah suka ke sini?” tanya Yuki ingin tahu. “Ya sayang, ayah suka melihat senja dari sini. Ayah juga sering membawa almarhumah ibu kemari,” jawab ayah Yuki dengan tatapan terus ke depan. Ibu Yuki telah meninggal dunia saat melahirkan Yuki. Sejak kecil Yuki diasuh oleh ayahnya seorang diri. Karena ayah dan ibu Yuki adalah pendatang, jadi di sini Yuki tak memiliki saudara. Yuki hanya hidup berdua dengan ayahnya di sebuah rumah yang sederhana juga dengan cara yang sederhana. Baginya, ayah adalah segalanya dan ia hidup hanya untuk ayahnya.
“Jika besar nanti, Yuki mau jadi apa? Tanya ayah yang kali ini menolehkan wajah sendunya pada Yuki. “Yuki mau jadi penulis terkenal.” Jawab Yuki dengan antusias. Ayahnya tersenyum sambil mengangguk, Yuki ikut tersenyum. Sesaat keheningan menyelimuti mereka. Masing-masing saling menikmati panorama alam yang terhampar di depan mata. Sesekali Yuki memandang wajah ayahnya, tampak senyum indah mengembang dari bibir ayahnya. Senyum itu, mimik wajah bahagia itu dan eratnya genggaman ayah saat itu tak pernah ia lupakan.
***
Sehabis melihat senja, ayah membawa Yuki ke sebuah surau di perkampungan sebelah untuk terlebih dulu melaksanakan shalat magrib. Ya, saat itu gelap berhasil menelan senja. Setelah itu, barulah sepeda dikayuh menuju pekan yang berjarak sekitar empat kilo dari surau. Sesampainya di sana keramaian telah menghadang. Kelap kelip lampu berwarna-warni tampak di mana-mana. Saking tak sabarnya untuk masuk, Yuki menarik tangan ayahnya membelah keramaian.
Kesana-kemari mata Yuki menjelahi sudut-sudut pekan. Tak satupun yang ingin dilewatkan. Ayah Yuki sangat bahagia melihat anak yang sangat disayangi bersorak-sorak gembira. Saat itu, ayah Yuki membelikan Yuki sebuah kalung yang sampai saat ini masih Yuki pakai. Sebuah kalung dengan liontin kaca berbentuk limas, di dalamnya bernuansa laut dan terdapat sepasang lumba-lumba di tengahnya. Ayahnya memasangkan kalung itu ke leher Yuki. Indah sekali. Yuki melompat-lompat kegirangan kemudian memeluk ayahnya. Pelukan yang penuh dengan kedamaian, nyaman sekali.
***
Waktu bertengger di angka 10 malam. Langit tampak lebih gelap pertanda akan turun hujan. Menyadari itu, ayah mengajak Yuki yang masih asyik bermain untuk pulang. Meski urung, namun Yuki matut saja. Karena kelelahan, di perjalanan Yuki tertidur dengan bersender di badan ayahnya. Terseok-seok pedal sepeda dikayuh, semakin lama semakin kencang takut hujan keburu turun. Sesekali ayah membetulkan letak tubuh Yuki yang miring karena tertidur agar tak terjatuh dari sepeda.
Dingin semakin menyusup ke pori-pori, namun keringat ayah mengucur deras. Sepanjang jalan menuju pulang telah tampak sepi. Terlebih lagi saat melewati jalan yang dihimpit oleh pepohonan. Sepertinya hujan benar-benar akan segera turun. Ayah mengayuh sepeda semakin kencang. Hingga tepat di persimpangan jalan, sebuah petir memekik di kaki langit. Seperti sedang terjadi pertempuran sengit antarbenda langit. Ayah terkejut hingga tubuhnya bergetar, Yuki juga tak kalah terkejutnya hingga ia terjaga meskipun masih setengah sadar. Di saat yang sama, sebuah sepeda motor melaju dengan cepat muncul dari salah satu persimpangan yang lain dan akhirnya brakkk,, tanpa sempat dihindari menabrak sepeda yang ayah dan Yuki naiki.
Sepeda terjatuh beberapa meter dari tempat tabrakan. Ayah terlempar hebat membentur bebatuan jalan, begitu pula Yuki terlempar membentur salah satu pohon besar yang kemudian tak sadarkan diri. Hujan seketika turun sangat derasnya. Cairan merah kental mengalir bersama curahan hujan. Dan saat itu yang terdengar hanyalah aungan hujan.
***
Sejak saat itu, Yuki menjadi yatim piatu. Satu-satunya orang yang ia miliki juga ikut meninggalkannya. Meninggalkannya di usia yang masih cukup muda untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Ia harus putus sekolah yang sama sekali belum pernah ia tamatkan. Untuk mendapatkan sesuap nasi, ia harus bekerja serabutan, mengerjakan apa saja yang bisa ia lakukan. Terkatung-katung kesana-kemari, diusir saat mencari pekerjaan, kelaparan dan lain sejenisnya telah menjadi makanan sehari-hari Yuki. Selain dari kerja serabutan, Yuki hidup dari belas kasih tetangganya. Bukan hanya itu, akibat kecelakaan naas itu, kini Yuki juga telah kehilangan kaki kanannya. Ia harus meminta bantuan tongkat untuk menopang tubuhnya.
***
“Bunda... Bunda...” dua anak lelaki hampir sebaya berlarian dan menjatuhkan tubuhnya bersandar pada Yuki. “Ayah tangkap kalian,” ucap seorang lelaki berperawakan datang menyusul kepada dua anak lelaki tersebut. Yuki tersenyum kepada lelaki yang kini mendampinginya itu. Lelaki yang memberikannya senyuman terindah dengan kesetiaan dan cintanya. Lelaki yang memberikan kebahagiaan dengan kehadiran dua malaikat kecil. Lelaki itu memupuskan segala duka, menggantikan sosok ayah yang meninggalkannya 17 tahun yang lalu.
“Ayah, lihatlah aku kini. Aku telah bahagia dengan suami dan anak-anakku, cucumu. Aku juga telah mencapai mimpiku untuk menjadi seorang penulis yang sesungguhnya. Ah, andaikata kebahagiaan ini ikut kau reguk bersamaku!” setetes air mata membasahi pipi Yuki. Sosok ayahnya membayang dalam ingatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar