Senin, 23 September 2013

Syauqie


Tulisan Ini Telah Diterbitkan dalam Buku Love Story (Perdana Publishing, 2013) dan Menjadi Naskah Terbaik

Di luar masih basah, mungkin langit sedang menangis. Entah karena terlalu bahagia atau sebaliknya. Entahlah, langit selalu punya cerita sendiri yang terkadang sulit dimengerti. Tapi itu yang membuat aku menyukainya, terlebih saat ia mulai menitihkan butiran-butiran bening ke bumi. Hujan, entah sejak kapan aku mulai menyukainya.

Hari ini aku tidak berhasrat untuk keluar rumah, terlebih sekedar bermain-main dengan rinai hujan. Bukan karena aku marah pada hujan, tapi karena hari ini adalah hari libur. Sepertinya aku sudah lama tak memanfaatkan hari libur untuk bersantai. Selalu saja ada jadwal meski di hari libur. Karena itu, hari ini aku benar-benar ingin merasakan ‘libur yang sesungguhnya’ sebelum aktivitas kembali menyita waktu.
Detik demi detik waktu terus berlalu, lama kelamaan aku mulai merasa bosan. Mungkin karena tidak terbiasa berdiam diri di rumah. Semua pekerjaan sudah dilakukan, tidak mungkin dikerjakan ulang demi menghabiskan waktu. Akhirnya aku membuka Popo, Laptop kesayanganku, dan mulai berkomunikasi dengan dunia luar lewat media online. Di zaman berkembangnya teknologi, aku juga tidak ingin ketinggalan.
Lama aku menatap layar Popo, mengobrak-abrik apa saja yang aku anggap menarik. Hingga akhirnya mataku tertuju pada sebuah pesan masuk di salah satu media online yang kuikuti. “Hai Dinda, bolehkah aku mengenalmu lebih jauh? Sepertinya akan seru jika memiliki teman dari kota lain. Maaf jika terkesan tidak baik.” Lebih kurang begitulah isi pesannya. Karena sedikit penasaran akhirnya aku membuka profilnya. “Syauqie Al Mubaraq, menetap di Pinrang, kelahiran Mei 1991, ... #bla,,bla,,bla...” gumamku membaca identitasnya.
Aku yang biasanya selalu tidak memperdulikan orang-orang yang tidak kukenal, kali ini malah berbeda. Mungkin karena aku sedang tidak sibuk dan merasa bosan di hari libur tanpa aktivitas. “Sekedar untuk mengisi kekosongan,” pikirku. Akhirnya aku menggubris pesan tersebut dan terjadilah sebuah percakapan ringan di antara kami. Persepsi awalku bahwa ia hanyalah orang iseng terpatahkan begitu saja. Tutur katanya begitu sopan, ia begitu terbuka dan sepertinya juga terlihat baik. Mungkin ini alasan kenapa aku tidak merasa canggung berteman dengannya. “Teman Dunia Mayaku”, begitu aku menyebutnya.
***
Lama waktu berselang sejak ‘pertemuan’ itu. Kini kami menjadi teman yang saling melontar cerita setelah aktivitas yang kian menguras tenaga. Melepas penat hasil kesibukan masing-masing. Bukan hanya lewat media online, namun kini kami juga saling mengumbar cerita via telepon. Sekedar mengantisipasi jika media online sedang tak bersahabat.
Syauqie: “Assalamu’alaikum Dinda, hari ini Syauqie hunting foto di Pantai Losari loh. Bagaimana dengan Dinda?”
Aku: “Wa’alaikum salam,, wah,, pasti seru donk ya?? Hari ini Dinda menghabiskan waktu dengan liputan untuk majalah edisi terbaru..”
Syauqie: “Dinda pasti capek ya? Istirahat ya Dinda, besok Syauqie hubungi lagi. Nice dream Dinda. J
Ini hanya sample sederhana percakapan kami. Hanya saling mengumbar aktivitas hari ini lalu ditutup dengan ucapan selamat tidur. Namun, tak jarang komunikasi kami terhenti karena ketiduran akibat kelelahan dengan kesibukan seharian penuh. Lalu setelah bangun, sambung lagi.
Terkadang aku berpikir mengapa bisa menjalin pertemanan dengan orang yang tak dikenal, tidak pernah berjumpa, juga jauh di sana. Bahkan aku tak sungkan mengumbar cerita yang mungkin tak terceritakan kepada teman terdekat sekalipun. Aku yang biasanya sulit untuk bercerita tentang diriku, namun tidak demikian ketika harus bercerita dengannya. Mungkin karena ia jauh, jadi aku merasa nyaman untuk bercerita sebab semua ceritaku tak akan terbongkar begitu saja. Atau mungkin juga karena ia sosok yang terbuka, selalu pandai memancing orang lain untuk bercerita. Entahlah, tanpa kusadari kedekatan kami melebihi sekedar hubungan pertemanan.
***
Hari itu hujan kala senja, betapa aku menikmati saat-saat indah seperti itu di beranda rumah. Adakah langit sedang berbahagia? Hembusan lembut angin membawa butiran-butiran bening nyaris membelai wajahku. Memancingku untuk bermain bersama. Namun, aku urung, takut-takut jikalau terlihat oleh orang rumah. Akhirnya aku hanya membiarkan salah satu tanganku membentang, merasakan betapa lembutnya sentuhan Tuhan lewat ciptaan-Nya. Hujan nyaris menyusupkan kesejukan tepat dihatiku. Aku makin jatuh cinta.
Dreeet,, Dreeet,, getar hpku sontak mengejutkan lamunan. Kuraih dan kulihat. “Owh,, ternyata Syauqie,” gumamku. Lama kami bercekrama di bawah rinai hujan senja. Hingga akhirnya,
Syauqie: “Dinda, hari ini Dinda lagi seneng gak?”
Aku: “Hmm, hari ini mood Dinda lumayan bagus sih, ada apa?”
Syauqie: “Mau tanya sesuatu, boleh?”
Aku: “Haha, bukannya dari tadi Syauqie nanya terus ya?”
Syauqie: “Haha, bener juga ya Dinda.”
Aku: “Hmm.”
Syauqie: “Dinda...”
Aku: “Hmm??”
Syauqie: ”Dinda suka gak sama Syauqie?”
Aku: “Jiah, pasti narsisnya mulai kumat lagi deh ne.”
Syauqie: “Walau narsis tapi ngangenin khan Dinda? Hehe.”
Aku: “Idih, tu khan narsis.”
Syauqie: “Haha, Tapi Syauqie serius Dinda. Dinda suka gak sama Syauqie?”
Aku: “Haha, manknya napa Syauqie?”
Syauqie: “Karena Syauqie suka sama Dinda.”
Aku: #Gubrak.
Sejak saat itu, ia tidak lagi pernah canggung untuk mengungkapkan perasaannya. Selalu menyelipkan kata-kata manisnya di sela-sela obrolan, belum lagi perhatiannya yang begitu menghanyutkan. Selebihnya, kami tetaplah sahabat. Ya, karena sebuah komitmen yang masih teguh aku pegang untuk tidak menjalin hubungan dalam sebuah ikatan ‘pacaran’, hingga saat ini kami hanyalah sahabat yang saling bertukar cerita. Tentu saja ia kecewa, hingga beberapa saat setelah percakapan itu ia menghilang. Entah kemana. Aku sedikit khawatir saat itu, takut terjadi sesuatu yang tidak berkenan. Bagaimana keadaanya, apa yang sedang ia lakukan, apa yang ia rasakan, semua tentangnya, aku ingin tahu. Aku berusaha mencari informasi tentangnya, namun nihil. Aku putus asa. Tidak percaya kalau persahabatan kami terhenti begitu saja.
Selang beberapa minggu, lagi-lagi saat hujan sedang asyik bermain bersama deru angin di kaki langit, aku dikejutkan oleh sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Syauqie via media online. “Hai Dinda, apa kabar? Ndak kangen ya sama Syauqie? hehe.” Sontak aku membeku tak percaya kalau ia akan datang lagi. Setelah itu, kami kembali berkomunikasi seperti awal bertemu. Seakan kembali mengurai cerita yang hanya dimengerti oleh kami. Tak sekali pun aku bertanya alasan menghilangnya ia, meski aku begitu ingin. Seolah ia mengerti dengan nada pembicaraanku, tanpa diminta akhirnya ia bercerita.
“Syauqie pikir wajar jika patah hati ketika ditolak orang yang kita sayang. Syauqie butuh waktu untuk menerima semuanya, Dinda. Awalnya Syauqie berpikir untuk menjauh dan melupakan Dinda, tapi Syauqie ndak bisa. Syauqie bersedia walau hanya jadi sahabatnya Dinda. Yang penting Syauqie bisa deket terus sama Dinda. Dinda masih mau jadi sahabat Syauqie khan?”
Aku mencoba mencerna semua perkataannya saat itu, di balik rinai hujan yang kian menderu. Benarkah masih ada orang yang berlapang dada seperti ia? Atau ini hanya akal-akalannya saja? Entahlah, tapi aku pikir masih akan aman jika kami masih bersahabat, karena kami dipisahkan oleh jarak. “Gak ada yang perlu dikhawatirkan,” pikirku.
Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Entah ia, tapi aku pikir mungkin karena begitu banyak persamaan di antara kami, juga perbedaan yang selalu tertutupi oleh satu sama lain. Namun, tak jarang kami harus beradu argumen hingga akhirnya harus menghentikan komunikasi barang beberapa hari. Lalu membiarkan kerinduan menyatukan kami kembali. Begitu seterusnya. Entah sampai kapan, aku dan ia, kami sama tak peduli.
***
Pagi itu terasa begitu hambar, sepertinya aku tengah kehilangan sesuatu. Aku mencoba berpikir keras, apakah gerangan? Lamat-lamat aku mulai menyadari, tak ada pesan penyambut pagi dari sahabatku, Syauqie. Tak seperti biasanya ia absen pagi ini. Karena kesibukan yang telah menanti, sejenak aku lupa akan ia. Hingga senja menjelang, tak ada satu kabar pun tentangnya. Tidak via telepon juga via media online. Ia kembali menghilang. “Apakah ia marah padaku? Sepertinya tidak, kami tidak tengah bertengkar semalam,” pikirku keras. Akhirnya aku mencoba menghubunginya, nihil.
Hari demi hari terus berlalu, hingga nyaris genab menginjak sebulan. Aku mulai khawatir, berulang kali aku mencoba menghubunginya lewat berbagai cara, namun tetap saja nihil. Tak ada kabar sama sekali, juga dari kerabat dekatnya. Atau mereka sengaja menutupi? Entahlah. Aku berusaha menepis, namun sia-sia. Bayang-bayangnya seperti hantu yang selalu mengusik hari-hariku.
***
Memasuki masa liburan, kali ini aku sengaja memasang tempat liburan di Sulawesi Selatan. Selain untuk mencarinya, aku memang sudah sejak lama ingin berkunjung ke sana. Melepas rindu dengan beberapa kenalan yang menetap di sana. Berharap kedatanganku di sana menghasilkan kabar baik. “Syauqie, bersiaplah untuk kejutan dariku,” ucapku lirih bersama terbangnya pesawat yang aku tumpangi.
Bermodal beberapa kenalan, aku mulai mencarinya. Bertanya kian kemari, berharap menemukan sedikit saja jejaknya. Namun, kembali nihil. Seminggu lebih pencarianku tak menghasilkan apapun. Saat aku nyaris putus asa, bayangnya kembali hadir, kali ini bersama mimpi. Dalam mimpiku, kami bertemu di sebuah tempat yang sering ia ceritakan dulu, ia mengaku sangat suka menikmati senja di tempat itu, Pantai Losari.
Dengan bantuan seorang teman, aku menelusuri setiap sudut tempat itu. Berharap kami benar dapat dipertemukan di sana. Terik sinar matahari tak menyurutkan langkahku untuk mencarinya. Hingga akhirnya mataku menatap seorang lelaki yang mengenakan kaos bertuliskan “Anggara Art Studio”, sebuah komunitas fotografer yang Syauqie ikuti. Ia memang bukan Syauqie, tapi darinya aku mengetahui banyak tentang Syauqie. Terakhir aku tahu ia adalah Eko, sahabatnya Syauqie.
“Syauqie sudah meninggal dunia sekitar sebulan yang lalu, Dinda. Ia menderita kanker paru-paru stadium akut. Maaf jika tidak memberitahumu, Syauqie yang memintaku untuk menyembunyikan ini darimu. Ia tidak ingin melihatmu mengkhawatirkannya,“ jelas Eko, sahabat Syauqie.
“Akun yang digunakan Syauqie selama ini adalah akun yang khusus ia buat untuk berkomunikasi denganmu, Dinda. Jauh sebelum kamu mengenalnya, ia sudah terlebih dulu memperhatikanmu. Syauqie begitu mencintaimu, Dinda.” Lanjutnya.
Aku nyaris tak berdaya, seluruh tulangku serasa melemas. Tanpa sadar aku sudah terisak, nafasku terasa  tersengal-sengal. Sesuatu telah menghujam jantungku begitu keras. Aku seperti tak percaya dengan semua cerita Eko. Hingga akhirnya Eko membawaku ke tempat peristirahatan terakhir Syauqie. Aku jelas melihat batu nisan itu bertuliskan namanya. Bersamaan dengan itu, seakan semua kenangan kembali bergulir dalam ingatanku. Saat awal kami saling mengenal, canda tawa yang kami lewatkan bersama, narsisnya, perhatian-perhatiannya, pertengkaran-pertengkaran di antara kami yang selalu terselesaikan oleh kerinduan, sampai berbagai tingkah lakunya yang baru kusadari bahwa itu adalah sebuah isyarat terakhir darinya. Yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa aku tidak sempat mengucapkan ‘selamat jalan’ padanya.
“Dinda, jika nanti Syauqie menghilang dan tidak kembali lagi. Maafkanlah Syauqie. Mohon jangan bersedih dan jangan mencari Syauqie. Dinda tahu, Dinda begitu berharga buat Syauqie. Jadi jangan menangis ya adek kecil.”


Biodata Deskriptif

           Nurie Syauqie adalah nama pena dari Nuri Aslami. Kelahiran Medan, 19 Februari 1993. Berdomisili di jalan Purnawirawan No 17C Medan Estate. Anak kedua dari lima bersaudara ini tercatat sebagai mahasiswi Ekonomi Perbankan Syariah IAIN SU stambuk 2010. Saat ini menjadi reporter di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika IAIN SU. Wanita yang menyukai baca tulis, editing dan tadabbur al-Qur’an ini telah menelurkan beberapa buku, diantaranya antologi Hujan Di Atas Kubah Masjid (Menara Buku, 2010), antologi Sketsa Ayah (Pustaka Jingga, 2012), antologi puisi Menguak Tabir (Labsas, 2012) dan antologi The Moments (Perdana Publishing, 2013). Tegur sapa bersamanya via e-mail: nuaie_syauqie@yahoo.com, facebook: Nurie Syauqie dan twitter: @nurieSyauqie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar