Minggu, 05 Agustus 2012

Ketika Hati Telah Membatu


Bumi kembali berputar pada porosnya mengikuti aturan takdir. Sang surya masih enggan bersembunyi, namun aturanNya tak pernah lari. Tapi, tenanglah, sang surya tetaplah sang surya, ia akan tetap bersinar walau malam menjelang. Semburat garis jingga di tepi langit sore mulai menyembur pelan menutup cakrawala, memamerkan indahnya pesona senja. Maghrib menjelang diwarnai lantunan adzan. Pintu-pintu rumah warga tertutup rapat. Sepi mulai menyelinap. Bagi umat muslim, segala aktivitas diberhentikan demi menjalankan satu dari sekian perintahNya. Namun, yang terlihat tidaklah demikian.

Sebuah rumah yang dihuni oleh lima orang beragama Islam, terdiri dari sepasang suami istri dan tiga orang anak laki-laki, dua diantaranya telah baligh sedang satunya lagi masih berumur sekitar tiga tahun. Ketika malam menjelang diwarnai lantunan adzan maghrib, di saat umat muslim lainnya menjalankan ibadah shalat yang hanya memiliki sedikit rentang waktu, mereka masih saja larut dalam tayangan televisi yang memukau. Seolah ingin menarik mereka untuk masuk ke dalam layar televisi. Dan ini bukan kali pertama. Hampir di setiap harinya hal ini selalu terjadi.

Sang kepala keluarga yang rutin berada di mesjid terdekat untuk shalat berjamaah sebelum adzan menggema selalu mengingatkan sebelum ia berangkat, namun selalu jua tak digubris. Walhasil, sepanjang adzan berkumandang, siaran televisi masih bebas memanjakan penonton setianya. Ketika beberapa pasang mata masih saja terbelalak tak berkedip di depan layar, si bungsu yang masih berumur tiga tahun bergegas mematikan televisi. Layar televisi mendadak gelap, tak memunculkan warna kecuali hitam. Sontak penonton kecewa, sembari menatap marah si kecil yang masih berdiri tegak. Anak kecil itu lalu berkata, ”colat-colat, ndah atan” ucapnya celat namun dengan nada mantap.
Saudaraku, ini adalah satu dari sekian kisah yang patut kita renungkan. Betapa kita telah lupa akan asal kita, Sang Maha Pencipta. Nikmatnya dunia yang senantiasa membelai mesra telah membuat kita melupakan kewajiban kita, lupa untuk apa kita diciptakan. Betapa masih sucinya seorang anak kecil dibanding kita yang telah berlumur dosa, namun masih saja membusungkan dada di atas bumi Allah SWT.
Saudaraku, saat mobil mewah dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.
Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa tenang meski terlalu sering melalaikan shalat, kita masih berdiri tegak dan sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita, meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar.
Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan yang baru.
Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya.
Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan, tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.
Tetapi juga saudaraku, tidak jarang kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar di telinga. Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar nanti. Kita juga tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang sholeh dan beriman. Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar