Sabtu, 22 November 2014

Meregang Nyawa II

Apakah kamu pernah sakit? Hmm, tentu saja, pikirku. Tapi, apakah kalian termasuk orang yang suka menyepelekan rasa sakit? Belum tentu, pikirku. Aku termasuk salah satunya, orang yang selalu mengabaikan rasa sakit. Untuk apa? Pikirku. Semakin sakit dimanja, semakin ia merajalela.
Baru-baru ini aku jatuh sakit. Ya, sakit. Bagiku, ketika aku menyebutkan kata sakit, itu berarti bukan sakit biasa. Seperti yang sudah aku katakan, aku pengabai rasa sakit. Jadi untuk rasa sakit yang masih tertahan, bagiku bukan sakit. Tapi kali ini aku merasakan sakit yang menurutku adalah sakit yang sesungguhnya.
Dimana kamu tidak lagi dapat mengendalikan tubuhmu meskipun kamu masih empunya. Mungkin tubuhku sudah jenuh dengan kerasnya hidup yang kucoba jalani. Atau ia sudah terlalu lemah untuk terus dipaksa bertahan menjalani hari-hari yang sulit. Ntahlah, yang aku tahu, ia sempat menyerah. Dan itu membuatku kalah, bukan, lebih tepatnya mengalah pada keadaan tubuhku yang tidak lagi memungkinkan untuk bertahan.
Seperti biasa, di awal-awal sakit muncul, aku biasa saja. Bahkan nyaris mengabaikan. Hingga sakit terus menyerang. Aku tetap saja diam. Melakukan aktivitas seperti biasa. Pekerjaan yang banyak menjadi hal yang tabu. Jika diturutkan, maka tidak akan ada habisnya. Begitu kata 'orang tua'. Tapi selama aku masih merasa mampu, aku tidak akan pernah berhenti. Itu aku.
Selain pengabai rasa sakit, aku juga termasuk pembenci obat-obatan dan hal terkait, apapun itu. Mengandalkan stimulus tubuh, aku bertahan. Seminggu sudah sakit terabaikan, mungkin ia menjadi kesal. Lalu mengambil alih kendali tubuhku, tanpa ampun. Pagi itu aku sudah merasakan sakit teramat. Panas merasuki sekujur badan, sesuatu menekan tepat di kepala, nafasku naik turun, tenggorokan menjepit, hidung tersumbat. Aku sadar kekebalan tubuhku sedang melemah. Tapi, aku tetap berusaha menganggap semuanya baik-baik saja. Melakukan aktivitas juga seperti biasa. Berharap sakit yang akan menyerah.
Ternyata aku salah. Kali ini aku yang menyerah, bukan, bukan aku, tapi tubuhku. Beberapa hari dibawa beraktivitas penuh, tubuhku semakin melemah. Pandanganku gelap, sakitku semakin teramat. Sampai ke rumah langsung tak berdaya. Antara sadar atau tidak. Aku merasakan tubuhku dibopong keluar.
Rumah sakit, ntah sejak kapan aku tidak menyukainya. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Aku tidak suka obat-obatan dan hal menyangkut tentang itu, termasuk rumah sakit. Tapi apa dayaku kini, setelah sebelumnya berontak beberapa kali untuk dibawa ke RS, akhirnya aku sampai juga di sana.
Meskipun dalam keadaan setengah sadar, tapi ku tahu apa yang para dokter itu lakukan padaku. Dalam kondisi tak berdaya, mereka merebahkan tubuhku di sebuah tempat tidur. Lalu mendorongnya ke sebuah ruangan. Dalam waktu sekejab, tabung oksigen sudah menetap di hidungku, menghembuskan nafas-nafas kehidupan. Jarum infus juga sudah tertambat erat di tangan kananku. Menciptakan rasa lirih yang memerih. Belum lagi segala jenis pemeriksaan yang tidak aku mengerti, termasuk cek darah. Hingga aku berpikir, "Apakah aku sebegitu parah?"
Sakit membuatku mengabaikan segalanya. Aku mulai melakukan hal-hal yang tidak aku suka. RS, obat-obatan, bubur, dan lainnya. Ntah sampai kapan aku terus melakukannya. Sepertinya Tuhan masih saja diam. Semakin hari aku semakin tak berdaya. Sakitnya semakin menjadi-jadi. Tubuhku menolak segala asupan. Memuntahkan segala yng masuk, meskipun itu hanya air putih. Energiku hanya berasal dari tabung infus. Ini membuatku sangat lemah.
Vonis, ya, dokter hanya bisa memvonis. Dan itu hanya mematikan harapan. Aku tidak percaya ini, dokter bukan Tuhan. Aku merasa seperti mengulang waktu saat aku terkapar tak berdaya dulu. Antara hidup dan mati. Menunggu waktu, meregang nyawa. Hanya vonis yang berbeda. Dalam hati aku benar-benar sudah pasrah. "Tuhan, jika waktuku tak lagi banyak, izinkan aku membahagiakan orang-orang yang menyayangiku, sekali lagi," lirihku dalam hati.
Dalam keadaan sekarat seperti itu, keluarga menjadi penopang untukku bertahan. Aku masih ingat jelas bagaimana raut sedih di wajah mereka, terutama kedua orang tuaku. Bagaimana mamak dan ayah yang tetap siaga menjagaku. Bahkan saat hanya mendengar suara batukku, mereka langsung sigap. Aku masih ingat lirih mamak saat itu, "Bagaimana kalau sakit kemarin terulang lagi?" Ini membuatku sedih, sungguh.
Tapi mereka tak pernah kenal lelah dalam merawatku, meskipun harapan hanya seujung kuku. Bagaimana mereka tak pernah luput mengawasi perkembangan kesehatanku. Meraba keningku untuk memastikan apakah panasku masih tinggi atau tidak. Mengelus-elus pundakku setiap kali batuk meregang tenggorokan. Menemaniku tidur meskipun aku tetap saja terjaga sepanjang malam, menahan sakit yang teramat menegangkan. Mungkin Tuhan membiarkanku tetap terjaga, sebab sekali saja aku terlelap, mungkin saja aku tidak akan pernah terbangun lagi. Pikiran itu acap kali melesat di kepalaku. Ntahlah, mungkin karena aku merasa tak lagi mampu bertahan saat itu.
Silih berganti sanak saudara dan teman-teman berkunjung menjenguk. Sekedar pelepas gundah atau sebagai perpisahan terakhir. Apapun itu, setidaknya aku merasa masih ada yang peduli. Itu bagaikan setetes air yang menyentuh tenggorokanku yang kering. Menyejukkan, sungguh. Maaf untuk teman-teman yang datang berkunjung tapi tidak bisa menemuiku. Maaf.
Seberapa banyak RS yang aku datangi dan seberapa banyak dokter yang menanganiku, tetap saja aku kembali pada dokter pribadiku. Bagaimanapun, dia yang paling tahu perkembangan kondisiku. Bahkan hingga kini, aku merasa baik setelah ditangani olehnya. Dia hanya tersenyum saat aku katakan, "kemanapun saya pergi berobat, tetap saja sembuhnya bersama dokter." Ini lucu sekali, tapi begitulah adanya.
Di luar itu, Tuhanlah yang berkuasa. Aku hanyalah manusia biasa, sampai saat ini aku tetap tidak tahu rahasia dan rencana Tuhan. Apakah Ia sedang mempermainkan atau sedang mengujiku. Memberiku rasa sakit, lalu menarik ulurnya. Mungkin Tuhan sedang mengingatkan bahwa beginilah rasa sakit itu, agar aku tak pernah melupakannya saat aku sehat.
Rasa sakit itu, aku tidak akan pernah melupakannya. Aku pikir ini untuk kedua kalinya aku meregang nyawa. Terima kasih Tuhan untuk rasa sakit ini, hingga aku tahu betapa nikmatnya sehat. Meskipun masih dalam kondisi pemulihan, bagiku ini sudah merupakan kenikmatan luar biasa. Aku seperti diberikan nyawa baru, kehidupan baru. Sudah sangat lama rasanya tidak menatap dunia setelah mimpi buruk kemarin. Aku kembali menikmati dunia, terlebih menatapnya dengan penuh kesyukuran bahwa aku masih hidup. Terima kasih Tuhan.



1 komentar:

  1. Tetap jaga kesehatan adik kecil. Semoga kesehatan senantiasa menyertai perjalanan hidupmu dek..

    BalasHapus