BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Abul A'la Maududi, disamping sebagai
tokoh pergerakan yang banyak berbicara tentang politik, ia juga banyak
berbicara tentang ekonomi. Kepeduliannya terhadap problem umat dituangkan dalam
butir-butir pemikirannya tentang prinsip-prinsip Ekonomi Islam yang tertuang
dalam kumpulan risalahnya yang sudah dibukukan seperti Economic System of
Islam, Economic Problem of Man and It’s Islamic Solution, Way of Life dan
lain-lain.
Dalam bukunya,
Maududi telah menjelaskan bahwasanya Islam telah meletakkan beberapa prinsip
dan menetapkan batasan-batasan tertentu untuk melaksanakan kegiatan ekonomi
sehingga segala bentuk produksi, pertukaran dan distribusi kekayaan dapat
serupa (conform) dengan ukuran Islam. Islam tidak membentuk
metode-metode dan tehnik-tehnik yang berubah-ubah menurut waktu atau dengan
detail-detail dari bentuk-bentuk dan alat-alat organisasi tetapi Islam
membentuk metode-metode yang cocok pada setiap zaman dan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat serta tuntutan situasi ekonomi. Jadi, Islam bertujuan
bahwa apapun bentuk atau mekanisme kegiatan ekonomi itu, harus mendapat tempat
yang tetap dan penting dalam setiap kegiatan, keadaan dan zaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al-
Maududi
Sayyid Abul
A’la Maududi merupakan cendikiawan muslim yang dilahirkan pada 3 Rajab 1321 H
atau 25 September 1903 di Aurangbad, India. Cendekiawan ini merupakan putra dari Abu Hasan, seorang
pengacara yang berketurunan
dari sufi besar tarekat Christiyah yang banyak berperan dalam penyeberan
Islam di India.
Pendidikannya
diawali di Madrasah Furqoniyah, sebuah sekolah menengah yang mencoba menerapkan
sistem pendidikan nalar modern dan islam tradisional. Kemudian, orang tua
al-Maududi lebih memilih mendidiknya di rumah dengan menggunakan bahasa Arab
Persia, Urdu dan Inggris, sebab mereka tidak ingin al-Maududi pergi ke sekolah
inggris. Dalam konteks inilah, dapat dipahami kenapa Al Maududi menjadi seorang
tradisionalis fundamentalis (dengan latar belakang pendidikan yang anti barat).[1]
Tulisan Abu A’la Al Maududi banyak mencakup bidang politik,
sosial, ekonomi, kebudayaan dan Agama. Salah satunya, ia pernah menulis buku perbandingan antara Islam, Sosialisme
dan Kapitalisme, dalam bahasa Urdu. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Muhammad ‘Ashim al-Haddad dengan judul: “Usus Al-Iqtishad Baen Al-Islam wa
Al-Nuzum Al-Mu ‘ashirah” (Dasar-Dasar Ekonomi Antara Islam dan Sistem-Sistem
Ekonomi Modern). Selanjutnya secara khusus, ia juga menulis buku tentang Riba
dalam pandangan Islam dengan pendekatan ekonomi yang kuat secara teoritis.[2] Pada tanggal 22 September 1979, beliau meninggal dunia di
Buffalo New York dan dikuburkan di rumahnya di daerah Lehrah, lahore.[3]
B.
Latar Belakang
Pemikiran Al Maududi
Pemikiran
Maududi didasarkan keyakinannya bahwa Islam bukanlah sekumpulan gagasan yang
tidak saling berkaitan satu sama lain, tetapi Islam adalah agama yang
paripurna, sempurna, dan satu kesatuan bulat yang didasarkan pada
prinsip-prinsip yang jelas dan pasti. Semua ajarannya, baik yang pokok maupun
yang terinci secara logis digali dari prinsip-prinsip dasar dan tidak terlepas
dari ikatan prinsip tersebut. Semua hukum dan peraturan yang ada dalam Islam
diberbagai sektor kehidupan merupakan hasil renungan, pengembangan dan
pencerminan dari prinsip-prinsip dasarnya. Dari prinsip-prinsip dasar inilah semua rancangan kehidupan Islam muncul dan
berkembang, sehingga segala aspek yang akan dikaji tidak bisa lepas dari
pengkajian prinsip dasarnya.[4]
Berangkat dari
fakta dan realita inilah, kemudian al-Maududi membahas masalah-masalah
sosio-politik, sistem ekonomi dan lain-lain. Menurutnya, titik pijak semua
masalah seperti sosio-politik dan ekonomi adalah Tauhid,
yakni beriman terhadap keesaan dan kekuasaan Allah SWT. Inilah yang menjadi
landasan utama sistem sosial dan moral, sebagaimana telah diajarkan oleh para
rasul. Dari prinsip tauhid inilah, kemudian al-Maududi menjelaskan bahwa tidak
seorangpun diberi wewenang untuk memberi perintah dan aturan-aturan semaunya
sendiri atas sesamanya.
Pendapat-pendapat Maududi yang melatarbelakangi
pemikiran-pemikirannya antara lain adalah:[5]
1.
Asas terpenting
dalam Islam adalah Tauhid. Seluruh nabi dan rasul mempunyai tugas pokok
untuk mengajarkan tauhid kepada umat manusia. Tauhid itu sangat revolusioner
dan mempunyai implikasi yang amat jauh dalam mengubah tata sosial, politik dan
ekonomi.
2.
Sistem politik
Demokrasi memiliki kelemahan, yakni kelompok penguasa bisa saja bertindak atas
nama rakyat, meskipun bukan untuk rakyat melainkan untuk dirinya sendiri. Jika
kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan rakyat, tidak
mustahil tindakan non-manusiawi menjadi legal bila rakyat menghendakinya dan
begitu pula sebaliknya. Menurut al-Maududi, Islam dapat menghindarkan kelemahan
itu karena Islam menolak sistem kedaulatan rakyat dan mengembangkan teori
politik atas dasar kedaulatan Tuhan dan berbentuk khilafat (kekhalifahan).
Untuk itu Maududi mengemukakan teori yang sangat genuin, yaitu konsep
politik dan pemerintahan dalam Islam adalah Theo Democrasi.
Konsep ini memberikan kedaulatan kepada rakyat, namun kedaulatan itu tidak
mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang ditetapkan oleh Tuhan.
3.
Penyebab
kemerosotan ekonomi adalah egoisme dan sistem politik yang tidak benar. Untuk
itu Ia mengajukan tiga kaidah dalam pemecahan dalam masalah ekonomi, yaitu:
a.
Pemecahannya
jangan sampai bertentangan dengan fitrah manusia.
b.
Perbaikan sosial
bukan hanya menyangkut hukum tetapi juga akhlak.
c.
Pemerintah
jangan menggunakan kekerasan kecuali bila itu merupakan satu-satunya
alternatif.
C.
Pemikiran
Ekonomi Islam Al-Maududi
1.
Format Sistem
Ekonomi Islam Al-Maududi
Menurut Al-Maududi, Islam telah menerangkan sebuah system
ekonomi. Akan tetapi, Islam hanya menentukan landasan dasar yang bisa membuat
kita menyusun sebuah rancangan ekonomi yang sesuai di setiap masa. Dalam bidang
ekonomi, Islam telah membuat beberapa peraturan dan menyusun sejumlah batasan
dimana kita boleh membuat suatu system. Sebagaimana perkembangan yang ada, kita
harus menyimpulkan peraturan baru yang berada pada batasan-batasan yang
ditemukan oleh Islam.[6]
Dalam menggambarkan masalah ekonomi manusia,
S.A.A. Maududi mengatakan bahwa
masalah ekonomi menempati hari-hari pusat kehidupan intelektual dan sebelumnya belum pernah
menonjol sehingga banyak atau diasumsikan pentingnya, sekarang ini. Kata yang digunakan terkenal sebagai soal fakta pentingnya ekonomi
yang secara alami dalam kehidupan
umat manusia selalu dimiliki di setiap zaman. Terdorong atas individu,
masyarakat, bangsa, negara dan memang
semua orang memperhatikan hal itu. Karena masalah
ini telah datang untuk dianggap
sebagai satu-satunya masalah
kehidupan.
Pada awal zaman, masalah ekonomi hampir sama sederhana bagi
manusia seperti pada hewan.
Berarti tidak ada keterbatasan dalam hidup yang telah tersebar di bumi Allah
yang baik. Semua yang diperlukan
untuk menyokong kehidupan manusia
tersedia dalam kelimpahan. Setiap orang pergi keluar mencari bagiannya dan
mendapatkannya dari harta tersebut.
Tidak ada yang harus membayar harga kebutuhannya, juga porsi satu orang bukan
dalam cengkeraman lain. Berpegang pada yang baik bahkan sampai hari ini sejauh hewan yang bersangkutan. Tapi manusia memiliki
jenis baru dari masalah.[7]
2.
Tujuan Organisasi Ekonomi dalam Islam
a. Kebebasan Individu
(Individual Freedom)
Tujuan yang pertama dan utama dari Islam ialah
untuk memelihara kebebasan individu dan untuk membatasinya ke dalam tingkatan
yang hanya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Alasannya adalah karena
seseorang harus bertanggung jawab secara individu kepada Allah dan bukannya
secara kolektif. Oleh karena itu, Islam menentukan peraturan ekonomi yang
menghasilkan kebebasan secara maksimal terhadap kegiatan ekonomi kepada setiap
individu, dan mengikat mereka yang hanya kepada batasan-batasan yang sekiranya
penting untuk menjaga mereka tetap pada jalur yang ditentukan. Tujuan semua ini
adalah menyediakan kebebasan kepada setiap individu dan mencegah munculnya
sistem tirani yang bisa mematikan perkembangan manusia.[8]
b. Keselarasan dalam
Perkembangan Moral dan Materi
Yang kedua, perkembangan moral manusia adalah
kepentingan dasar bagi Islam. Jadi penting bagi individu di dalam masyarakat
untuk memiliki kesempatan mempraktekkan kebaikan secara sengaja. Maka
kedermawanan, kemurahan hati, dan kebaikan lainnya menjadi suatu yang hidup
dalam masyarakat. Karena itulah Islam tidak bersandar seluruhnya kepada hukum
untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi memberikan otoritas utama kepada
pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan, dan lain-lainnya. [9]
c. Kerjasama, Keserasian
dan Penegakkan Keadilan
Yang ketiga, Islam menjunjung tinggi persatuan
manusia dan persaudaraan serta menentang perselisihan dan konflik. Maka dari
itu Islam tidak membagi masyarakat ke dalam kelas sosial. Jika menengok kepada
analisis terhadap peradaban manusia akan kelas sosial terbagi menjadi dua. Yang
pertama, kelas yang dibuat-buat dan tercipta secara tidak adil yang dipaksakan
oleh system ekonomi, politik dan sosial yang jahat seperti Brahmana, Feodal,
Kapitalis. Adapun Islam tidak menciptakan kelas seperti itu dan bahkan
membasminya. Yang kedua, kelas yang tercipta secara alami, karena adanya rasa
hormat menghormati dan perbedaan kemampuan dan kondisi dari masyarakatnya.[10]
3.
Prinsip-prinsip
Dasar
a.
Kepemilikan
Pribadi dan Batasannya (Private Properti and Its Limits)
Ajaran Islam mengakui hak
manusia untuk mencari penghidupan di atas bumi Allah ini sesuai dengan
kesanggupan, kecakapan, dan bakat yang dimilikinya. Akan tetapi, Islam tidak
memberikan hak kepada manusia untuk mencari penghidupan dengan cara-cara yang
akan menyebabkan timbulnya kekacauan dalam memperoleh harta kekayaan.[11]
Ajaran Islam menegakkan
perbedaan antara “halal” (yang sah) dan “haram” (tidak sah) dalam menilai
berbagai cara yang merugikan dan merusakkan moral. Untuk keperluan ini, Islam
menetapkan dengan jelas cara-cara yang dianggap merugikan moral.
b.
Keadilan
Distribusi (Equetable Distribotion)
Peraturan penting dalam ekonomi Islam ialah
membangun suatu system distribusi yang adil. Kemudian dalam hal pengeluaran,
Islam menentukan kondisi yang tidak menyebabkan kerugian moral dari individu
atau yang membahayakan public secara umum. Islam juga tidak menyetujui
seseorang untuk menahan hartanya dari sirkulasi.
Selain itu, Al-Maududi pun menyebutkan bahwa Islam
melarang umatnya berbuat terhadap orang lain atau menggunakan aturan yang tidak
adil dalam mencari harta, tetapi mendukung penggunaan semua cara yang adil dan
jujur dalam mendapatkan harta kekayaan. Hak individu untuk memiliki harta dan
bekerja secara bebas diperbolehkan tetapi hendaklah menurut landasan teretentu,
karena islam tidak akan toleran terhadap tindakan penyalahgunaan hak-hak
tersebut.
Maka, jalur yang benar menghasilkannya secara
halal, mengeluarkannya sesuai kebutuhan, menginvestasikannya kepada jalur
sirkulasi yang halal pula. Dan dalam hal ini, Islam juga melarang adanya
reservasi terhadap kesempatan ekonomi untuk beberapa individu, keluarga, kelas
yang menghalangi kelas lainnya untuk menggunakan kesempatan itu.[12]
c. Hak-hak Sosial
Islam kemudian menghubungkan kembali hak sosial
dengan kekayaan individu dalam berbagai bentuk, salah satunya yaitu seseorang
yang memiliki harta lebih mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan kepada
kerabatnya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.[13] Semua ini bertujuan untuk menanamkan
moral kedermawanan, lapang dada dan mencegah sifat egoism dan kikir.
d. Zakat
Dalam perekonomian konvensional, dikenal istilah
pajak. Sedangkan dalam Islam, dikenal istilah zakat yang dipungut sesuai dengan
besarnya pengeluaran atau dengan kata lain pungutan yang ditarik melalui harta
yang diakumulasikan, perdagangan, pertanian, peternakan dan berbagai macam
bisnis lainnya. Namun pada dasarnya, zakat sangatlah jauh berbeda dengan pajak.
Karena dana zakat tidak disalurkan untuk pembangunan sarana umum, melainkan
untuk memenuhi hak-hak orang yang telah ditentukan oleh Allah, yakni mustahiq.
Selain itu, menurut Al-Maududi zakat adalah
solidaritas umat Islam untuk mewujudkan jiwa saling tolong menolong di
kehidupan social. Ini adalah inovasi yang baik bagi mereka yang sedang
mengalami kemandekan dalam berekonomi. Ini juga merupakan sarana untuk menolong
mereka yang tidak mampu, yang sakit, para yatim piatu sehingga terwujud
persamaan, kestabilan kondisi dan ketentraman jiwa. Di atas semua itu, zakat
adalah sesuatu yang tidak pernah hilang dalam pikiran umat Islam.[14]
e. Hukum Waris (Law of
Inheritance)
Hukum waris pada intinya ialah mendistribusikan
kekayaan yang dimiliki oleh almarhum. Hukum waris dimaksudkan agar harta yang
dimiliki oleh almarhum tidak terpusat pada satu orang atau satu keturunan,
tetapi terdistribusi kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.[15]
f. Peran Tenaga Kerja,
Modal dan Pengelolaan (Role of Labor, Capital and Management)
Islam mengenali hak pemilik tanah dan pemodal,
begitu pula terhadap pekerja dan pelaku bisnis yang menerangkan secara jelas
bahwa Islam menganggap keduanya sebagai factor ekonomi. Kemudian dari
faktor-faktor tersebut harus adil dalam pembagian keuntungan. Intinya, Islam
melepaskan kepada kebiasaan dalam pembagiannya. Jika diantara faktor-faktor
tersebut terdapat ketidakadilan maka hukum tidak hanya boleh melakukan
intervensi, melainkan bertugas untuk mengarahkan kepada regulasi keadilan dalam
distribusi profit diantara modal, tenaga kerja dan pengelolaan.
g.
Zakat dan
Kesejahteraan Sosial (Zakat and Social Welfare)
Pendapatan dari
zakat dan shodaqah memang diperuntuhkan untuk kesejahteraan sosia. Tujua dari
zakat sebenarnya ialah untuk menyediakan kebutuhan hidu, seperti makanan,
pakaian, rumah, bantuan medis, pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak
bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, seperti yatim, fakir miskin, dan yang tidak
mampu. Maka, zakat telah ditetapkan untuk membantu kategori yang disebutkan di
atas. Untuk membangun ekonomi suatu negara harus mencari pendapatan lain.
h.
Ekonomi Bebas
Riba (Interset-Free Economy)
Sistem ekonomi
ini sebenarnya sudah tercipta pada masa lalu ketika pertama kali riba dilarang
di wilayah Arab, dan setelah itu wilayah islam berkuasa. Karena riba telah
diharamkan terhadap seluruh operasi pada sistem ekonomi. Maududi telah
menjelaskan bahwa tidak ada kesulitan yang berat untuk mencapai tujuan ini.
Masalahnya jelas dan praktis, modal tidak punyahak untuk memungut bunga yang
tetap, meskipun peminjam untung atau rugi. Kreditur tidak punya urusan mengenai
untung rugi, dia tetap menentukan bunga yang tetap dan diambil tiap bulan atau
tahun. Karena itu tidak seorangpun mempunyai alasan yang rasional terhadap hal
ini. Dan tidak ada argumen yang dapat membuktikan kebenaranya.
i.
Hubungan Antara
Ekonomi, Politik, dan Aturan Sosial
Hubungan
diantara hal tersebut ialah sama bagian akar, batang, cabang, dan daun dari
suatu pohon. Hal itu merupakan satu sistem yang timbul dari iman kepada Allah
dan utusa-Nya. Sistem ahklak, ibadah, atau disebut aqidah, kemudian sumber
sosial, ekonomi, dan kemasyarakan semua sistem ini berada pada satu sumber.
Sistem ini dapat dipisahkan dan membentuk satu bentuk kesatuan. Dalam islam,
politik, ekonomi dan sosial, tidak dipisahkan secara terang-terangan, tetapi
merupakan satu kesatuan. Siapapun yang pernah mempelajari islam dan memiliki
keyakinan yang tinggi terhadap doktrinya tidak akan bisa membayangkan untuk
saat-saat sekalipun bahwa kehidupan ekonomi atau apapun dari hidupnya untuk
bisa dipisahkan dari aturan agama, maka hal itu tidak bisa disebut islami.
Dalam islam, ekonomi terendam di dasar
sosial dan etika agama. Dengan kata lain, ekonomi Islam bukan positif, maupun
ekonomi normatif. Secara umum, ekonomi positif mempelajari masalah ekonomi
sebagaimana adanya. Sedang ekonomi normatif memperhatikan apa yang seharusnya. Ekonomi
Islam memerlukan tujuan dan sarana yang harus Islami yang sah.[16]
D.
Teori Bunga
Maulana Abu al a’la Maududi telah membicarakan secara panjang lebar
aspek-aspek positif dan negatif dari institusi bunga serta telah menunjukkan kejahatan-kejahatannya
secara fundamental. Suatu usaha telah dilakukan untuk meringkas argumentasinya.
1.
Aspek
negative bunga
Masalah yang pertama kali harus kita putuskan adalah apakah bunga
itu merupakan pembayaran yang beralasan? Apakah para kreditor itu adil apabila
menuntut untuk membayar bunga atas hutang yang diberikan? dan adilkah jika
penghutang dituntut membayar bunga terhadap pemberi pinjaman sesuatu yang
melebihi pinjaman pokok? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menyelesaikan separuh dari masalah bunga.
Jika dapat ditunjukkan bahwa bunga tidak dapat dibenarkan baik oleh akal maupun
keadilan, lalu mengapa bunga masih menjadi perdebatan.
Mengapa peraturan yang tak beralsan tersebut tetap dibiarkan
berlangsung beraada di tengah masyarakat? Terdapat perbedaan pendapat yang
menyolok di antara para ahli yang mendukung doktrin bunga, yaitu untuk apakah
bunga itu dibayarkan? Sebagian mengatakan bunga
itu merupakan harga , tetapi harga untuk apa? Benda berharga apakah yang
dibayarkan oleh kreditor sehingga ia menuntut imbalan uang setiap bulan
ataupun setiap tahun? Para pelopor institusi bunga mendapat kesulitan besar
untuk memperoleh kesepakatan dalam masalah ini.[17]
·
Teori
Piutang Menanggung Resiko
Pelopor teori ini bahwa kreditor menanggung resiko karena
meminjamkan modalnya. Ia sendiri menangguhkan keinginannya semata-mata untuk
memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modalnya yang mestinya dapat
mendatangkan keuntungan. Jika penghutang menggunakan modalnya itu untuk
memenuhi keinginan pribadinya, ia harus membayar sewa atas modal yang dipinjam
itu, sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah rumah atau perabotan maupun
kendaraan. Sewa merupakan kompensasi terhadap resiko yang ditanggung oleh
kreditor karena memberi pinjaman dan sekaligus imbalan karena ia memberikan
pinjaman modalnya. Dan apabila peminjam menginvestasikan modalnya pada
usaha-usaha yang dapat memberikan keuntungan maka tidak berlebihan dan adil
apabila pemberi pinjaman menuntut sebagian dari keuntungan tersebut.[18]
Marilah kita analisa maksud daripada “resiko”. Memang benar bahwa
pemberi pinjaman menanggung resiko serta mengorbankan sesuatu apabila ia
meminjamkan modalnya kepada peminjam tetapi dengan cara apapun, hal ini tidak
memberikna hak kepada pemberi pinjaman untuk mengenakan harga 5 atau 10%
pertahun atas resiko atau pengorbanannya. Pemberi pinjaman mempunyai alas an
yang baik untuk menahan jaminan atas harta penghutang atau meminta garansi
terhadap resiko yang ditanggungnya atau jika ia tidak mau melakukan diantara
pilihan tersebut, ia tidak mau mengambil resiko sama sekali dan menolak untuk
memberikan pinjaman.[19]
Tetapi resiko itu sendiri bukanlah barang komersial yang
memunculkan harga, juga bukan sebagai perabotan atau kendaraan yang
memungkinkan mendatangkan sewa. Pinjaman dapat dikatakan sebagai pengorbanan
sepanjang pinjaman itu tidak dianggap sebagai dagangan karena pinjaman tidak
dianggap sebagai pengorbanan maupun barang dagangan. Jika seseorang melakukan
pengorbanan moral maka ia harus puas dengan apa yang ia peroleh secara moral,
apabila ia tidak boleh mengatakan sebagai pengorbanan melainkan harus sebagai
suatu bisnis. Dan apabila ia menuntut imbalan ekstra yang melebihi modal pokok
pertahun atau perbulan, ia harus memberikan alasan atas tindakannya itu dan
menjelaskan mengapa ia meminta imbalan semacam itu?[20]
Sebagian besar para kreditor mengatakan bahwa ia memberikan
kesempatan kepada peminjam untuk mencari keuntungan dari modalnya sehingga
dengan begitu ia harus memberikan sebagian keuntungannya. Tetap terhadap
pinjaman konsumsi, alasan ini tidak berlaku karena peminjam biasanya orang
miskin yang mengambil pinjaman untuk mengatasi masa-masa sulit dan tidak ada
keuntungan yang dapat dibagikan
Di dalam pinjaman produktif, terdapat dua kemungkinan yaitu memeroleh
keutungan atau menderita kerugian. Jika peminjam menjalankan bisnisnya
mengalami kerugian, bagaimana dan dengan landasan apa kreditor dibenarkan
menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam? Dan apabila
keuntungan yang diperoleh sama atau kurang dari besarnya bunga setiap bulan
atau tahun, maka bagaimana kreditor dibenarkan untuk mengambil bagian sedangkan
ia sendiri tidak melakukan apa-apa, sementara peminjam yang bekerja keras,
meluangkan waktunya, tenaganya, kemampuan dan modal pribadinya, setelah
pengorbanan itu semua, tidak memroleh apa-apa.[21]
Kalaupun keuntungan yang diperoleh peminjam
itu lebih besar dari jumlah bunga yang harus dibayarkan, tidak dibenarkan baik
dengan akal, rasa keadilan, prinsip-prinsip perdagangan dan ekonomi bahwa
pedagang, industrialis, petani serta faktor-faktor produksi lainnya, yang telah
menghabiskan waktu, tenaga, kemampuan dan sumber lain daripada jasmani dan
mentalnya, untuk mengeluarkan atau menyediakan barang-barang kebutuhan
masyarakat, yang kemungkinan mmeroleh jaminan bunga yang tetap dan pasti. Semua pihak mempunyai resiko menderita kerugian, tetapi pemilik
modal memiliki jaminan bunga yang pasti. Besarnya keuntungan bagi semua agen
mengalami naik turun sejalan dengan perbuatan harga tetapi bunga bagi kapitalis
tetap saja dibayar secara tetap setiap bulan atau setiap tahun dalam keadaaan
bagaimana pun.[22]
Tetapi jika kreditor menginginkan modalnya
harus diinvestasikan pada usaha-usaha yang menguntungkan sehingga memungkinkan
ia memerleh keuntungan, satu-satunya cara yang wajar dan praktis baginya adalah
dengan memasuki suatu partnership, dengan bisnisman dan bukannya dengan
meminjamkan modal dengan menarik bunga.[23]
·
Teori
Peminjam Memeroleh Keuntungan
Para pelopor pemikiran ini mengatakan bahwa
dengan “menunggu” atau dengan “menahan diri” dalam suatu periode tertentu dan
tidak menggunakan modalnya sendiri untuk memnuhi keinginannya sendiri, kreditor
memberikan “waktu” kepada peminjam untuk menggunakan modalnya untuk memeroleh
keuntungan. “Waktu” itu sendiri mempunyai
“harga” yang meningkat sejalan dengan periode waktu. Jika peminjam tidak
diberikan batasan waktu untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan modal yang
dipinjamnya, ia tidak akan mampu memeroleh keuntungan dan bahkan seluruh bisnisnya
bisa hancur karena kekurangan modal. Masa dimana peminjam menginvestasikan
modalnya, mempunyai “harga” tertentu baginya dan ia akan menggunakannya untuk
memroleh keuntungan. Maka tidak ada alasan mengapa kreditor tidak boleh
menikmati sebagian dari keuntungan peminjam. Selanjutnya, mereka mengatakan
bahw akemungkinan naik turunya, keuntungan sejalan dengan naik turunya waktu
dan tidak ada alasan mengapa kreditor tidak boleh mengenakan harga(waktu)
sesuai dengan lamanya waktu.[24]
Tetapi lagi-lagi pertanyaan bagaimana dan darimana sumbernya
kreditor itu mendapatkan informasi bahwa peminjam itu nyata-nyata memeroleh
keuntungan dan tidak mengalami kerugian dengan investasi modal peminjamannya
itu? Bagaimana ia mengetahui bahwa peminjam akan memeroleh keuntungan yang
pasti sehingga dengan begitu ia menetapkan bagian keuntunga tersebut? Dan
bagaimana dapat memperhitungkan bahwa peminjam pasti akan memeroleh kuntungan
yang begitu banyak selama masa modal digunakannya sehingga ia akan mampu
membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun?
Para pendukung teori bunga ini tidak mampu memberikan jawaban yang
masuk akal terhadap masalah tersebut.[25]
·
Teori
produktivitas modal
Sebuah pendapat menegaskan “produktivitas modal” sebagai jumlah
yang diwariskan yang memungkinkan kreditor menarik suatu imbalan (dalam bentuk
bunga) dari peminjam atas penggunaan modal tersebut. Ada bebrapa ahli ekonomu
menekankan aspek fungsi modal tersebut dalam produksi. Menurut pandangan
tersebut, modal dikatakan “produktif”. Secara jelas ini berarti bahwa “terdapat
suatu pasaran terhadap jasa mesin produktif (modal) dan bentuk konkrit modal
itu sendiri.” Pendapat ini memandang bahwa modal adalah produktif yang dapat
diartikan bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan barang yang jumlahnya
lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu, atas modal
mempunyai daya untuk menghasilkan tanpa modal tersebut, atau bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan
nilai tambah daripada nilai yang telah ada itu sendiri. Dan bunga merupakan
imbalan atas pelayanan produktif
tersebut atas modal kepada peminjam dalam proses produksi[26]
Meskipun modal digunakan dalam usaha-usaha yang mednatangkan
keuntungan, tidak perlu kiranya menghasilkan nilai lebih. Dapat dinyatakan bahwa
produktivitas merupakan kualitas yang melekat pada modal. Sering terjadi,
terutama dalam ekonomi yang merosot, penanaman modal tidak hanya menipiskan
keuntungan tetapi ternyata melibatkan keuntingan menjadi kerugian.
Jika modal dianggap memiliki produktivitas, produktivitas tersebut
tergantung pada berbagai faktor lain. Penanaman yang dapt mendatangkan
keuntungan banyak tergantung pada tenaga kerja, kemampuan, pandangan yang jauh
dan pengalaman orang yang menggunakannya disamping kestabilan ekonomi, social
politik suatu negara. Faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor sejajar yang
lain merupakan syarat bagi penanaman modal yang dapat mendatangkan keuntungan.
Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari
penanaman modal tersebut berubah menjadi kerugian.
Jika diakui bahwa modal itu memiliki suatu
kualitas produktivitas yang diberikan kepada pemilik modal sebagai bagian
keuntungan, tidak ada cara untuk mngetahui secara tepat dan pasti jumlah yang
sebenarnya dari keuntungan yang dibayarkan setiap bulan atau setiap tahun. Di
samping itu, tidak ada metode untuk menghitung atau memperkirakan keuntungan
dari penggunaan modal untuk jangka waktu sepuluh tahun atau dua puluh tahun
yang akan datang sehingga memungkinkan untuk mendapatkan jangka waktu bunga.[27]
Karena demikian halnya, tidak adil kiranya
mengenakan sejumlah bunga terhadap sejumlah uang yang dipinjamkan dimuka untuk
jangka waktu sepuluh atau dua puluh tahun jika besarnya keuntungan actual yang
dapat diperoleh dimasa yang akan datang tidak diketahui.
E.
Kejahatan Ekonomis
Bunga dibayarkan atas berbagai macam jenis pinjaman yang
mengakibatkan berbagai macam persoalan sesuai dengan sifat pinjaman dan
peminjan. Oleh karena itu, kita akan membicarakan setiap jenis pinjaman secara
terpisah:
a.
Pinjaman
Konsumsi
Pinjaman-pinjaman seperti ini dilakukan oleh orang-orang yang
mengalami kesulitan untuk memnuhi kebutuhan pribadinya. Pinjaman seperti ini
amat biasa dikalangan orang-orang miskin dan menengah, khususny di
Negara-negara berkembang. Sebagian besar orang yang mengambil ini memnuhi
kebutuhan sehari-hari. Oleh kerana itu, sebagian besar dari pendapatan mereka
diambil alih oleh pemilik modal dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di
Negara-negara berkembang menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar hutang
yang diwariskan kepada mereka. Upaha dan gaji mereka sangat rendah untuk
menjadikan mereka mampu mendapatkan satu dua piring makanan setiap hari.[28]
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus ini telah
merendahkan standard kehidupan dan pendidikan anak-anak mereka. Di samping itu,
kecemasan yang terus-menerus rupanya memengaruhi efisiensi kerja mereka yang
pada akhirnya akan memperlemah perekonomian Negara mereka.
Selanjutnya, pembayaran bung atelah mengurangi (menurunkan) daya
beli kalangan mereka. Oleh karena itu, industry yang memenuhi permintaan
golongan miskin dan menengah akan memeroleh kesan akan rendahnya permintaan
kalangan tersebut. Dan secara berangsur-angsur tetapi pasti, hal ini akan
menurunkan pembangunan industry serta menghambat kemajuan masyarakat.[29]
b.
Pinjaman
Produktif
Pinjaman ini dilakukan oleh para pedagang, industrialis dan para
petani untuk tujuan-tujuan yang produktif masuk dalam kategori peminjam jenis
ini. Kapitalis, dengan malapraktek mereka, telah menimbulkan banyak
kesengsaraan dengan memungut bunga dari pera peminjam, begitu juga terhadap
masyarakat.
Selain itu, bunga tetap untuk jangka panjang
itu sendiri merupakan kejahatan besar yang kadang-kadang, jika keuntungan usaha
rendah, menghancurkan perusahaan yang bekerja dan berkembang maju.[30]
c.
Pinjaman
Pemerintah
Pijaman pemerintah ada dua macam. Pinjaman yang diperoleh dari
dalam negeri fan pinjaman yang diperoleh dari luar negeri itu sendiri.
(i)
Pinjaman
yang diperoleh dari dalam negeri. Pinjaman ini mungkin tidak seproduktif
pinjaman perang; dan mungkin seproduktif pinjaman untuk mendirikan usaha-usaha
seperti membangun seluruh air, jalan kereta api, membangun listrik tenaga air
dan sebagainya.
Dalam
hal pinjaman tak produktif yang digunakan untuk keprluan-keperluan mendesak,
dan keadaan-keadaan lain, seperti kelaparan, gempa bumi dan sebagainya,
kedudukannya kurang lebih sama dengan pinjaman perorangan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi. Sesunggihnya kedudukan kapitalis dalam pinjaman semacam ini
lebih buruk daripada memberikan pinjaman perorangan.
Kaum
kapitalis seperti halnya orang yang tidak tahu bersyukur dan mementingkan
dirinya sendiri sehingga ia memungut bunga kepada pemerintah, yang telah
memberikan perlindungan kepadanya, dan memberikan kesempatan kepadanya
kedudukan yang mereka nikmati. Apabila modal tidak digunakan untuk usaha-usaha
yang dapat mendatangkan keuntungan tetapi digunakan untuk memnuhi kebutuhan
masyarkat maka ini sama halnya berguna bagi kapitalis itu sendiri, sehingga
dasar untuk menarik bunga tidak dapat dianggap adil.
Keadaan
akan menjadi lebih buruk dan tidak dapat dimaafkan apabila Negara itu sedang
berjuang hiup mati memerangi musuh yang mengancam kehidupan dan hak milik di
Negara itu. Seluruh masyarakat mengorbankan harta dan hidupnya untuk
mempertahankan keberadaan bangsa, sebaliknya kaum kapitalis yang mementingkan
dirinya sendiri memungut uang berupa bunga, dari pinjaman perang. Mereka tidak
bersedia memberikan walau sepersen pun dari uang pungutan bunganya, sedangkan
anggota masyarakat yang lain memberikan (mempertaruhkan) kehidupan
anak-anaknya, saudaranya, ayahnya untuk melindungi kehormatan dan negarannya.
Bagaimana dapat dikatakan adil dan bijaksana dengan memberikan suapan kepada
kaum kapitalis berupa bunga, sedangkan masyarakat yang lainnya dalam keadaan
mendrita, belum terjawab oleh para pelopor teori ini.[31]
Semua beban bunga baik itu pinjaman produktif maupun yang
tidak produktif akan ditanggap oleh golongan pembayar pajak yang miskin baik
itu melalui pembayaran pajak yang miskin baik itu melaui pembayaran pajak
langsung maupun tidak langsung. Terdapat jutaan orang miskin yang tidak mampu
memnuhi bahkan kebutuhan pokok hidupnya tetapi harus mebayar beban bunga kepada
kaum kapitalis
(ii)
Pinjaman pemerintah dari luar. Pinjaman ini
mempunyai keburukan baik yang dimiliki pada kburukan pinjaman perorangan maupun
pinjaman nasional, baik pinjaman ini digunakan untuk usaha-usaha produktif
maupun tidak produktif.
Di samping itu, pinjaman ini mempunyai aspek lain yang penting dan
berbahaya. Pinjaman ini dapat menghancurkan perekonomian dalam negeri dan juga
dapat menimbulkan pertikaian internasional. Beban hutang yang amat berat tidak
jarang bukan saja menghancurkan suatu bangsa, tetapi juga menaburkan benih
kebencian dan rasa dendan antar bangsa yang sering kali berakibat peperangan[32]Hutang
luar negeri jug adapt membahayakan keamanan dan keselamatan yang baru saja
medeka, yang belum cukup kuat secara financial dan politis untuk berdiri di
atas kaki sendiri.
Bab III
Penutup
Abul A’la al Maududi adalah seorang cendikiawan paling produktif
mengeluarkan ide-ide pembaharuannya,termasuk dalam bidang ekonomi, sekaligus
pejuang yang menginginkan terwujudnya negara Islam yang di dalamnya betul-betul
berjalan sesuai dengan tuntutan syari’ah Islam. Dan prinsip-prinsip dasar yang
dipakai beliau diantaranya adalah:
1. Kepimilikan pribadi
dan batasannya (private properti and its limits)
2. Keadilan distribusi
(equetable distribution)
3. Hak-hak social
4. Zakat
5. Hukum waris (law of
inheritance)
6. Peran tenaga
kerja,modal, dan pengelolaan (role of labour, capital, manegement)
7. Zakat dan
kesejahteraan sosial (zakat and social welfare)
8. Ekonomi bebas riba
(interset-free economy)
9. Hubungan antara ekonomi, politik dan aturan sosial
Al-Maududi juga menerangkan
bahwa bunga yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. karena, terdapat
pembayaran lebih dari uang yang di pinjamkan dan sangat menyengsarakan
masyarakat. Sedangkan
uang yang lebih dari itu adalah Riba, dan riba itu adalah haram hukumnya.
Kemudian jika dilihat dari segi lain, bahwa Bank itu hanya tahu menerima
untung, tanpa menanggung resiko apa-apa. Bank meminjamkan Uang kemudian
rentenya dipungut, sedangkan rente itu semata-mata menjadi keuntungan Bank yang
sudah ditetapkan. Dan pihak Bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang
itu rugi atau untung.
Daftar Pustaka
Kamal,
Mustafa. Wawasan Islam dan ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. 1997.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. Depok: Gramata Publishing. 2010.
RA
Gunadi dan M. Shoelhi. Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol. Jakarta: Penerbit Republika, 2002.
Al-Maududi, Abu A’la. Economic system of Islam. Pakistan:
Islamic Publication Ltd. 1994.
Alam Khan, Badre. Economic Right Of Women Under,
New Delhi: Adam Publishers & Distributors. 2005.
Amalia, Euis. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publishing. 2005.
Al-Maududi, Abu A’la. Masalah Ekonomi dan Pemecahannya Menurut
Islam. Jakarta: Media Da’wah. 1985.
Al-Ba’ly, Abdul Hami Mahmud. Ekonomi Zakat Sebuah Kajian
Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta. 2006
Akhtar, Wazir. Economics In Islamic Law. New
Delhi: Kitab Bhavan. 1992.
Abularaq, Sayyid Abu A’la Maududi: Sawanih, Tahrik,
Lahore, 1971. Penerjemahan resmi tentang kisah hidup Maududi.
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Al-Haddad, Muhammad .Ashim. Usus Al-Igtoshad Baen Al-Islam Wa
Al-Nuzum Al-Mu.ashira. Kairo:Institude of Arabic Studies. 1967
Quthub, M . Waqi’una Al-Mu’ashir. Jeddah: Muassasah
Al-Madinah Li Al-Shahafah. 1988.
[1] Abularaq,
Sayyid Abu A’la Maududi: Sawanih, Tahrik, Lahore, 1971. Penerjemahan resmi
tentang kisah hidup Maududi
[2] Kamal, Mustafa. Wawasan Islam dan ekonomi.
Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1997.
Hal.103.
[3] Euis Amalia. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:
Gramata Publishing, 2010), hlm. 274.
[4] RA Gunadi dan M. Shoelhi. Dari
Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol, (Jakarta: Penerbit Republika, 2002),
hlm 179.
[7] Badre Alam
Khan, Economic Right Of Women Under, New Delhi, Adam Publishers &
Distributors, 2005. Hal 11
[11] Abul A’la Al-Maududi, Masalah Ekonomi dan Pemecahannya Menurut Islam,
(Jakarta: Media Da’wah, 1985), h.45. lihat juga: Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 30
[14] Ekonomi
Zakat Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Abdul Hami Mahmud Al-Ba’ly.
Jakarta. 2006
[17]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam(Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta:1996), hal.
57.
[18]
Ibid, hal. 58.
[19]
Ibid.
[20]
Ibid, hal. 59.
[21]
Ibi, hal 60.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid, hal. 61.
[25]
Ibid
[26]
Ibid, hal 62.
[27]
Ibid.
[28]
Ibid, hal.67.
[29]
Ibid.
[30]
Ibid, hal 68.
[31]
Ibid, hal.70.
[32]
Ibid.
Halo, nama saya Setiabudi, seorang korban penipuan dari tangan pemberi pinjaman, saya telah penipuan semua paling Rp40,000,000 karena saya butuh modal besar Rp500.000.000, saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, bisnis saya hancur dalam proses tersebut saya kehilangan anak saya .. saya tidak bisa berdiri again..all hal ini terjadi Desember 2014, tidak semua sampai saya bertemu dengan seorang teman yang memperkenalkan saya kepada ibu yang baik Mrs Alexandra yang akhirnya membantu saya mengamankan pinjaman di perusahaannya, ibu yang baik saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih, Semoga Tuhan terus memberkati Anda, saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyarankan sesama Indonesia, bahwa ada banyak scammers luar sana, jika Anda membutuhkan pinjaman dan pinjaman yang dijamin hanya cepat mendaftar melalui Ibu Alexandra melalui email. alexandraestherloanltd@fastservice.com dan alexandraestherloanltd@gmail.com, Anda dapat menghubungi saya melalui email ini; setiabudialmed@gmail.com untuk informasi perlu tahu. silahkan dia adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Tidak ada pajak. Tidak ada asuransi untuk membayar.
BalasHapusTerima kasih.